Anda di halaman 1dari 29

Persahabatan Sejati

Saat ini aku berada di kelas 3 SMP, setiap hari kujalani bersama dengan ketiga sahabatku yaitu
Aris, Andri, dan Ana. Kita berempat sudah bersahabat sejak kecil.

Suatu saat kami menulis surat perjanjian persahabatan di sobekan kertas yang dimasukkan ke
dalam sebuah botol, kemudian botol tersebut dikubur di bawah pohon yang nantinya surat
tersebut akan kami buka saat kami menerima hasil ujian kelulusan.

Hari yang kami berempat tunggu akhirnya tiba, kami pun menerima hasil ujian dan hasilnya kita
berempat lulus semua.

Kami serentak langsung pergi berlari ke bawah pohon yang pernah kami datangi dan menggali
tepat di mana botol yang dahulu dikubur berada.

Kemudian, kami berempat membuka botol tersebut dan membaca tulisan yang dulu pernah kami
tulis. Kertas tersebut bertuliskan “Kami berjanji akan selalu bersama untuk selamanya.”
Keesokan hari, aris berencana untuk merayakan kelulusan kami berempat. Malamnya kami
berempat pergi bersama ke suatu tempat dan di situlah saat-saat yang tidak bisa aku lupakan
karena aris berencana untuk menyatakan perasannya kepadaku. Akhirnya aku dan anis
berpacaran.

Begitu juga dengan Andri, dia pun berpacaran dengan Ana. Malam itu sungguh malam yang
istimewa untuk kami berempat. Kami pun bergegas untuk pulang.

Ketika perjalanan pulang, entah mengapa perasaanku tidak enak.

“Perasaanku ngga enak banget ya?” Ucapku penuh cemas.


“Udahlah ndi, santai aja, kita ngga bakalan kenapa-kenapa” jawab andri dengan santai.
Tidak lama setelah itu, hal yang dikhawatirkan Nindi terjadi.

“Arissss awasss! di depan ada juang!” Teriak Nindi.

“Aaaaaaaaaa!!!”

Bruuukkk. Mobil yang kami kendarai masuk ke dalam jurang. Aku tak kuasa menahan air mata
yang terus mengalir sampai aku tidak sadarkan diri.

Perlahan aku buka mataku sedikit demi sedikit dan aku melihat ibu berada di sampingku.
“Nindi.. kamu sudah sadar, Nak?” Tanya ibuku.

“Ibu.. aku di mana? Di mana Ana, Andri, dan Aris?” tanyaku.

“Kamu di rumah sakit Nak, kamu yang sabar ya, Andri dan aris tidak tertolong di lokasi
kecelakaan” Jawab ibu sambil menitikkan air mata.

Aku terdiam mendengar ucapan ibu dan air mataku menetes, tangisku tiada henti mendengar
pernyataan ibu.

“Aris, mengapa kamu tinggalkan aku, padahal aku sayang banget ke kamu, aku cinta kamu, tapi
kamu ninggalin aku begitu cepat, semua pergi ninggalin aku.” batinku berkata.
Lantas, 2 hari berlalu dan aku berkunjung ke makam mereka, aku berharap kami bisa
menghabiskan waktu bersama sampai tua. Tetapi sekarang semua itu hanya angan-angan. Aku
berjanji akan selalu mengenang kalian.
Kue Cokelat Elsa
Cerpen Karangan: Syarla Feonisa
Kategori: Cerpen Anak, Cerpen Keluarga, Cerpen Nasihat
Lolos moderasi pada: 6 October 2022

Bunda suka sekali masak, terutama biskuit, kue, dan makanan manis lainnya. Menurut Elsa, tak ada
yang bisa menandingi masakan Bunda di dunia ini. Bahkan, chef hotel bintang lima pun masih belum
bisa menandingi masakan Bunda.

Bunda senang sekali membuatkan Elsa makanan sebagai teman menonton di sore hari. Biasanya, Elsa
akan menonton serial anak-anak kesukaannya tiap kali dia pulang les, di ruang tengah. Sudah
menjadi kebiasaannya untuk berlari masuk ke rumah, mandi, dan berjalan menuju dapur untuk
melihat cemilan apa yang Bunda buat.

Namun, hari ini sedikit berbeda. Hari ini hari Minggu. Ayah dan Bunda yang biasanya sibuk bekerja,
keduanya ada di rumah. Elsa meminta Bunda untuk mengajarinya memasak. Niat dan semangat itu
datang karena Ayah baru saja bercerita mengenai anak dari rekan kerjanya yang membawakan
mereka makanan buatannya sendiri.

Si Bunga Merah

“Nyonya Hana, Anda sudah siap?” tanya seorang kru pada wanita berambut panjang
bergelombang, Kim Hana, yang duduk menyandar di kursi rias. Wanita itu duduk tegak seraya
mengangguk, memberitahu ia sudah siap naik ke atas panggung.
“Baiklah, silahkan ikut saya.” kemudian, kru tersebut melangkah keluar ruangan mendahului
Hana
Hana pun bangkit dan menyusul kru tersebut. Namun sebelum ia mencapai pintu, langkahnya
terhenti. Ia berbalik, menghadap cermin besar yang ada di sampingnya. Ia terdiam. Lalu
tersenyum. Ia amati pantulan dirinya di cermin itu. Ada begitu banyak perubahan pada tubuhnya.
Badannya terlihat lebih gemuk, kulitnya juga tak sehitam dulu. Ah, ia tak ingat perawatan apa
saja yang telah ia lakukan demi penampilan sesempurna ini.
“Nyonya Hana?” Hana menengok, mendapati kru tersebut menantinya untuk segera keluar
“Ah, maaf.” Ia pun berjalan ke luar ruangan

Riuh tepuk tangan penonton mendominasi studio ini. Hana menyamankan posisi duduknya di
sofa merah marun yang berhadapan dengan tribun penonton. Ada banyak kamera di
sekelilingnya. Tentu, ini adalah acara televisi nasional yang menyajikan informasi di dunia
perfilman. Dan untuk pertama kalinya ia diundang di sini. Tak sembarang orang bisa duduk di
sofa ini dan mendengar antusiasme penonton saat namanya disebut. Membutuhkan kerja keras
ekstra untuk bisa tampil di acara ini.

Si pembawa acara, Niken, menyapa para penonton. Ia memperkenalkan Hana pada penonton lalu
mengucapkan selamat atas keberhasilan Hana sebagai aktris terbaik 2016 di acara Movie Award
semalam. Hana yang tersipu malu hanya tersenyum simpul dan mengatakan terima kasih. Niken
pun mengawali inti acara dengan menanyakan motivasi Hana untuk menjadi aktris terbaik. Hana
sempat terdiam karena bingung harus menjawab apa. Namun sebuah ide muncul.
“Sebenarnya, aku pernah mengalami hal yang sama seperti Dea.” kata Hana
“Maksud Anda, tokoh yang Anda perankan?”
“Iya. Aku memiliki masa yang sulit seperti Dea. Mungkin kalian tidak pernah mendengar cerita
hidupku yang sebenarnya. Bagaimana aku tumbuh sebagai Hana saat ini adalah sesuatu yang
kurahasiakan. Tidak banyak yang mengerti siapa Hana dalam dunia nyata.”
“Bisakah Anda ceritakan sedikit? Kami jadi penasaran.” kata Niken seraya tersenyum simpul
“Haruskah?” tanya Hana menggoda
“Ayolah, aku jamin mereka pasti penasaran.” Hana mengedarkan pandangan, memastikan
apakah penonton juga penasaran dengan ceritanya. Dan ia terkejut saat mendapati penonton
terdiam menatapnya dengan raut penasaran.
“Hmm, baiklah.”
Dan Hana pun mulai bercerita tentang kehidupannya. Tentang dirinya yang tumbuh dengan belas
kasihan banyak orang. Juga tentang perjuangannya melawan trauma itu. Yah, trauma yang
mengacaukan hidupnya.

Rumah Sakit Jiwa Taemin, Seoul, Korea Selatan, 2009…


“Lepaskan!”
“Diamlah! Atau aku akan memukulmu!”
“Sayang, cepat bawa dia ke dalam!”
“Lepaskan!”
“Diam kau anak nakal! Kau seharusnya tinggal di sini. Bukan di rumah kami.”
“Tidak! Aku tidak gila! Aku tidak gila! Lepaskan aku!”

Seorang dokter dan beberapa suster berseragam sama menghampiri mereka. Dokter itu, Yoo,
menyuruh susternya membawa gadis berambut acak itu ke dalam rumah sakit sementara ia
berbincang dengan paman dan bibi gadis itu. John, paman gadis itu, meminta dokter Yoo
merawat sang keponakan selama ia pergi ke Paris bersama keluarganya. Ketika ditanya kapan
kembali, John hanya mengatakan secepatnya. Dokter Yoo tidak bisa bertanya lebih karena John
dan istrinya terburu-buru. Mereka bilang, mereka harus segera pergi ke bandara karena pesawat
akan take off.
Hana memberontak. Mencakar, mendorong dan melakukan apa saja agar suster-suster itu tidak
menyuntiknya. Ia harus pergi dari tempat ini. Ia tidak mau terperangkap di sini. Sudah cukup
rumah tua pamannya membuatnya menderita. Tempat ini akan membuatnya lebih menderita.

“Hey, tenanglah. Kami tidak akan menyakitimu. Jadi, kau tidak perlu takut.” kata Dokter Yoo
dengan nada lembutnya. Diam-diam, ia merampas suntikan itu dan meletakkannya di keranjang
obat. Hana berjalan mundur, berusaha menghindar.
“Tidak! Aku tidak gila! Aku tidak gila!” teriak Hana
“Iya, kau tidak gila. Jadi, tenanglah.”
“Suster, siapa nama pasien ini?” tanya dokter Yoo
“Kim Hana. Usianya 17 tahun dan mengalami gangguan psikis sejak 2 bulan lalu karena
orangtuanya meninggal.” kata seorang suster. Dokter Yoo mengangguk.

Hana melangkah, berencana kabur. Namun sayang, dokter Yoo berhasil menahannya. Lelaki itu
mengatakan bahwa Hana akan baik-baik saja di sini. Ia tidak perlu takut karena semua yang ada
di sini tidak akan menyakitinya. Dokter Yoo menatap mata Hana. Gadis itu tidak menangis.
Tetapi teriakannya sangat menyakitkan.
“Aku akan mengurusmu, kau tidak perlu takut. Aku orang yang baik, sebenarnya. Ah, tidak. Aku
memang orang yang baik. Tetapi aku tidak sebaik yang kau kira. Jika kau terus memberontak,
aku akan marah. Jadi, tenanglah.”
“Aku tidak gila! Lepaskan. Aku mau pulang.” teriak Hana.
Tanpa disadari seorang suster menyuntikkan obat penenang itu dan membuat Hana perlahan-
lahan terlelap. Dokter Yoo mengangkat tubuh Hana dan membawanya ke ruang pemeriksaan. Di
bantu seorang dokter senior dan beberapa suster, ia melakukan pemeriksaan psikis dan fisik pada
Hana.

Setelah melihat data pemeriksaan, ternyata Hana menderita sosiofobia. Dimana seseorang akan
benci pada orang asing. Fobia ini memang sudah umum, namun lebih parah dari anti sosial.
Seseorang yang mengidap penyakit anti sosial cenderung malas untuk berinteraksi dengan orang
lain. Sedangkan sosiofobia timbul karena ketakutan dan rasa tidak nyaman dengan kehadiran
orang asing. Selain itu, Hana juga mengidap kepanikan tinggi pada cahaya terang dan berkedip.
Ini menjadi poin penting yang harus ditelusuri lebih dalam karena penyebab timbulnya penyakit
jiwa itu belum diketahui pasti. Namun, dokter Yoo yakin ada alasan tersendiri di balik trauma
itu.

“Jika kau bisa menyembuhkan pasien ini, aku akan menaikkan jabatanmu.” kata Dokter Kim,
saat ia dan dokter Yoo tengah berbincang mengenai Hana. Dokter Yoo tertarik dengan tawaran
itu, tetapi ia ragu. Apakah ia bisa menyebuhkan Hana si gadis traumatik itu?

2 hari kemudian…
Hana terbangun saat ia mendengar bunyi knop pintu. Seseorang baru saja keluar dari sini. Ia
memejamkan mata lalu membukanya lagi. Ia mengedarkan pandangan. Hanya ada kasur, meja,
dan kursi. Untuk beberapa saat ia pandangi ruangan serba putih itu. Ini tak asing. Ia pernah
berada di ruangan seperti ini. Yah, ruangan ini adalah kamar tidurnya. Tetapi, mengapa kasurnya
seperti kasur di rumah sakit?. Oh tidak, apakah ia sedang sakit?
Tak sengaja, ia menyenggol sesuatu. Setangkai bunga mawar jatuh ke lantai tepat di bawah
ranjangnya. Ia bangkit untuk mengambil bunga itu. Lalu meletakkannya di atas meja.
“Apa ini? Kenapa ada kertas dan bolpoin?” batinnya.
Hana meraih kertas itu dan membawa dua kalimat di tepi atas kertas itu.
Selamat pagi bunga merah, mulai hari ini aku adalah temanmu. Maukah kau menceritakan
sesuatu padaku?
Hana terkekeh membaca kalimat-kalimat itu. Aneh. Mengapa ia harus berteman dengan kertas?
ada-ada saja. Hana pun mengacuhkan kertas itu.

Kasur empuk itu lebih menarik perhatiannya. Ia pun kembali berbaring. Namun sayang, ia tidak
bisa terlelap. Walau matanya terpejam, ia tidak bisa terlelap. Hana bangkit, menarik kursi dan
mendudukinya. Ia pun menulis sesuatu di kertas itu. Tak banyak, hanya menuliskan bahwa ia
suka berada di ruangan ini karena mirip dengan kamarnya. Setelah itu, ia pergi ke luar ruangan.
Di sana, tepat di depan pintu, dokter Yoo berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke saku
jas dokternya. Begitu dia melihat Hana keluar, dia langsung melambaikan tangan dan menyapa
Hana. Namun, hal itu membuat Hana mempercepat langkah karena ketakutan. Senyum dokter
Yoo benar-benar mirip dengan orang jahat itu. Dan Hana benci itu.
“Hana, kau mau ke mana?” Hana tak menjawab. Ia terus berjalan dengan cepat agar dokter Yoo
tidak bisa mengejarnya. Namun, ia gagal.
“Lepaskan! Aku tidak gila!” teriak Hana. Tanpa sadar, ia mencakar sesuatu. Dokter Yoo
meringis kesakitan karena cakaran Hana melukai lengan kirinya. Hana semakin ketakutan. Dia
berlari menjauhi dokter Yoo.

Keesokan harinya…
Setibanya di ruangan putih, sebutan untuk ruang inapnya, Hana mendapati selembar kertas putih,
bolpoin dan setangkai mawar merah telah menantinya di atas meja. Hana menulis sesuatu di
kertas itu.
Ibu, ayah, disini aku punya teman yang baik. Dia selalu ada untukku. Aku menyebutnya kertas
putih. Jika ada waktu, aku akan memperkenalkannya pada ibu dan ayah. Dia memanggilku
bunga merah dan selalu memberiku mawar merah. Ibu, ayah, 4 hari lagi hari ulang tahunku. Aku
selalu berdoa agar paman dan bibi tidak akan menjemputku. Mereka sangat kejam. Mereka
memarahiku setiap hari. Aku benci cahaya lampu. Itu mengingatkanku pada kecelakaan yang
kita alami. Aku tidak suka. Tetapi bibi dan paman selalu menyalakan lampu. Jika aku berteriak,
mereka memukulku. Ibu, ayah, tidak bisakah aku tinggal bersama kalian? Tidak apa-apa jika aku
harus mati. Asal aku bisa meninggalkan tempat ini dan berada di sisi kalian. Bawa aku, ibu.
Bawa aku, ayah.

Tak terasa, air mata mengalir perlahan. Membasahi kedua pipi Hana yang pucat dan kusam. Ada
perih yang tergambar jelas di wajahnya. Juga kekecewaan yang mendalam atas kepergian ayah-
ibunya. Ia tahu, ini tindakan bodoh. Ia tahu, ayah-ibunya pasti sedih melihatnya terpuruk seperti
ini. Tetapi, apa yang bisa ia lakukan? Tak satupun keluarganya yang mau merawatnya. Mereka
benci pada Hana. Hanya karena dia mengidap trauma pada cahaya lampu dan interaksi, mereka
tega membuang Hana ke tempat ini. Yah, setidaknya ia sedikit bersyukur. Berkat traumanya ini,
ia tahu bagaimana karakter keluarganya. Terutama paman dan bibinya. Yah, mereka benar-benar
buruk.

Sejenak Hana terdiam. Sudah tiga hari dia menerima kertas putih ini. Setiap harinya kertas itu
diperbarui. Dan di samping kertas itu pasti ada bunga mawar, bunga kesukaannya. Ia penasaran,
siapa yang meletakkan ketiga benda itu setiap harinya di meja ini? Apakah dokter Yoo? atau
suster-suster? Entahlah, Hana tak tahu. Ia sangat terbantu dengan kertas itu. Ia tidak merasa
kesepian. Setidaknya, untuk beberapa saat. Kehadiran si kertas putih itu menenangkan hatinya. Ia
tahu, dokter Yoo berusaha menyembuhkannya karena dia menerima tawaran dari atasannya. Jika
dia berhasil melakukannya, ia akan menjadi psikiater tetap di rumah sakit ini. Hana tak
menyangka, lelaki itu begitu licik. Ia memanfaatkan Hana untuk memperoleh keuntungan.

Di ruangan serba putih tanpa lampu ini, Hana menghabiskan hari-harinya. Ia hanya akan keluar
saat pagi hingga sore hari. Sedangkan malam, ia mengurung diri di kamar. Setiap pagi ia bangun
dengan semangat untuk menceritakan hal-hal baru pada si kertas putih. Mawar merah itu ia
kumpulkan di sebuah kaleng bekas yang telah ia isi dengan air. Setiap hari, kaleng itu semakin
penuh dengan mawar. Walau beberapa mulai layu, Hana tak pernah bosan merawatnya. Bila
malam tiba, kamar ini akan benar-benar gelap. Tetapi Hana tidak merasa takut. Ia bisa melihat
bulan dan bintang melalui jendela kamar inapnya. Lalu ia akan mengingat lagu tidur yang selalu
ibunya nyanyikan untuknya. Dengan begitu, ia bisa tidur.
Dokter Yoo mengumpulkan kertas–kertas putih itu dalam sebuah kotak. Setiap hari, ia membaca
dan menyelidiki semua tulisan di kertas-kertas itu. Tepat pukul 04.00 pagi, ia pergi ke kamar
Hana. Meletakkan mawar merah, bolpoin dan kertas putih baru yang masih mulus. Kemudian, ia
akan pergi tanpa suara. Terkadang dia berdiri sejenak di samping ranjang Hana. Memastikan
gadis itu baik-baik saja. Ia tak tega pada gadis itu. Ia telah mengatakan bahwa ia tidak menerima
tawaran Dokter Kim. Menjadi psikiater memang cita-citanya sejak kecil. Tetapi memanfaatkan
seseorang demi keuntungan sendiri benar-benar menjijikkan baginya.

Setelah melewati sekian banyak peristiwa buruk, Hana justru diserahkan kepada pihak rumah
sakit. Tidak ada yang tahu keberadaan keluarga Hana. Yang ia tahu, Hana memiliki paman dan
bibi yang ‘ternyata’ kejam. Berdasarkan cerita yang Hana tulis, ia dapat menyimpulkan bahwa
Hana mengalami trauma mendalam karena keluarganya sendiri. Seharusnya, mereka mengerti
jika Hana ketakutan bila melihat cahaya terang dan berkedip. Namun, mereka malah memarahi
Hana dan menganggap gadis itu hanya meminta belas kasihan. Oh Tuhan, apa dosa gadis itu?
Hingga keluarganya pun tak sudi merawatnya.

Sekarang, Hana mulai nyaman berada di dekat Yoo. Mereka sering berbincang, walau terkadang
Hana mendadak berteriak ketakutan saat Yoo tersenyum. Hana bilang, senyumnya seperti orang
yang telah menabrak ia, ayah dan ibunya. Ternyata kecelakaan itu telah direncanakan. Saat mobil
yang dikendarai keluarga Hana melintas di pertigaan Gangnam, sebuah truk melaju dengan
kecepatan tinggi dari arah berlawanan dan menghantam mobil mereka. Hana melihat cahaya
terang dari lampu truk itu dan membuat Hana ketakutan. Karena Hana melihat sendiri truk itu
menindas mobil yang ia tumpangi. Semua keluarganya meninggal saat itu juga. Hanya dia yang
sempat melihat si pelaku. Tetapi ia tak tahu bagaimana wajahnya. Ia hanya ingat senyumannya,
benar-benar menakutkan.

Dari sanalah, Yoo mengetahui penyebab trauma Hana. Ia rutin memberi Hana kertas putih dan
mulai membiasakan Hana dengan lampu. Saat pertama kali Hana tahu jika di kamarnya ada
lampu, ia berteriak histeris hingga pingsan. Hal itu membuat Yoo merasa bersalah. Namun, ini
satu-satunya cara agar Hana tidak terkejut lagi saat melihat lampu. Yoo akhirnya berinisiatif
membuatkan lampion mawar merah, dengan cahaya yang tidak terlalu terang.

Saat itu Hana tidak mau masuk ke dalam kamar karena ada lampion. Tetapi ia mencoba
memberanikan diri. Ia berjalan dengan ketakutan menuju kasurnya. Ia tak punya pilihan lain. Ia
sudah berjanji tidak akan berteriak karena itu akan mengganggu pasien lain. Ia tidur
memunggungi lampion itu. Berharap keajaiban datang dan membuat lampion itu mati, walau ia
tahu itu sangatlah konyol. Namun, ia penasaran. Ia berbalik seraya menutup matanya. Saat ia
mengintip lampion itu dari sela-sela jemarinya, ia terpukau. Bentuk lampion itu indah.
Cahayanya semerah mawar, bunga kesukaannya. Oh, apakah ia berhasil mengatasi traumanya?

“Lalu, bagaimana dengan dokter itu? Apa kalian masih saling berkomunikasi?” tanya Niken
setelah mendengar rentetan cerita masa lalu Hana.
Pertanyaan itu sukses membungkam mulut Hana selama beberapa saat. Ia tertunduk kembali.
Merangkai kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Matanya melirik sekilas ke
tribun penonton lalu menarik nafas dan tersenyum pada Niken.
“Sebentar lagi, kami akan menikah. Dokter Yoo ada di antara penonton di studio ini.”
Sontak, Niken berdiri dan memanggil dokter Yoo. Tak lama kemudian, seorang pria jangkung
bertubuh ideal memakai jas biru tua turun dari tribun dan menghampiri Hana.

Yoo dan Hana duduk berdampingan di satu sofa sementara Niken duduk di kursi yang berbeda.
Suasana studio mendadak hangat karena kehadiran Yoo. Diam-diam, Hana dan Yoo saling
memandang. Membuat lidah Niken gatal untuk menanyakan banyak hal tentang mereka.
“Jadi, berapa perbedaan usia kalian?”
“Kami berbeda 3 tahun. Yoo lebih tua dariku.”
“Dan Anda, Dokter Yoo, bagaimana kesan Anda saat merawat Hana?”
“Saat pertama kali bertemu, aku takut dia akan menjadi liar. Aku ingin menanyakan banyak hal
tentang Hana pada paman dan bibinya, tetapi mereka terburu-buru. Setelah lama menunggu, aku
baru sadar kalau mereka membuang Hana ke rumah sakit kami. Aku tahu, Hana gadis yang
menyenangkan. Dia bisa diajak bicara. Tetapi butuh waktu lama untuk sekedar mendapat balasan
halo darinya. Setiap kali bertemu Hana, yang terpikirkan olehku hanyalah lampu dan lampu.
Jujur, dia pasien terunik yang pernah kutangani. Dia trauma pada cahaya yang terang dan
berkedip. Dan itu membuatku penasaran. Kenapa bisa begitu? Seburuk apa peristiwa yang
membuatnya trauma?. Dan pertanyaan-pertanyaan itu mengantarkanku pada sebuah ide. Ibuku
pernah mengatakan, menulis bisa menyembuhkan trauma seseorang. Karena saat menulis, kita
seperti tengah bercerita kepada orang lain. Karena itulah, aku merawatnya dengan memberinya
kertas putih, bolpoin dan mawar merah setiap hari.”
“Bagaimana kau tahu kalau Hana suka mawar merah?”
“Hari pertama tiba di rumah sakit, ia berjongkok di depan pot mawar merah selama hampir satu
jam. Aku pikir dia sedang melamun, ternyata dia sedang berbincang dengan mawar itu dan
sesekali tersenyum.”
“Benarkah? Jadi kau mengamatiku saat itu?” tanya Hana tak percaya. Yoo mengangguk dan
tersenyum.
“Astaga. Waktu kita sudah habis. Sungguh, ini adalah acara yang menarik. Aku sekarang tahu
bagaimana perjuangan seorang Hana melawan rasa traumanya dan menjadikannya seorang aktris
profesional. Sungguh, aku berterima kasih karena kau memberiku dan penonton banyak
pelajaran. Aku janji akan mengundangmu lagi nanti.”
“Hahaha… kau bisa saja. Tapi terima kasih sudah mengundangku. Berkat acaramu, tidak ada
lagi yang kurahasiakan.”
Niken mengarahkan pandangannya pada kamera lalu mengucapkan terima kasih kepada
penonton yang telah menyaksikan acara tersebut. Sebagai akhir, sebuah soundtrack film yang
dimainkan Hana diputar. Semua penonton berdiri dan bergoyang menikuti irama lagu. Sementara
Hana dan Yoo berdiri saling bergandengan.

Tak ada yang mengira Hana akan sesukses ini. Tetapi semua tak berarti tanpa Yoo dan Tuhan.
Yah, masa lalu itu membuatnya bangkit dan melangkah ke depan. Maju sedikit demi sedikit.
Memang, tak ada yang mudah dalam hidup. Tetapi kesulitan yang ia alami menjadikannya lebih
kuat dan mandiri. Hana memeluk Yoo, lalu mengucapkan terima kasih atas semua kebaikan yang
telah lelaki itu berikan padanya. Sementara Yoo terus tersenyum. Merawat Hana adalah
pengalaman yang tak terlupakan.
Cerpen Karangan: Wildatuz Zakiah

Indonesiaku

Cerpen Karangan: Fathiya Hasna Khairunisa


Kategori: Cerpen Anak
Lolos moderasi pada: 16 June 2017

Di bawah kibaran merah putih, kami berbakti.


Di bawag kibaran merah putih, kami mengabdi.
Di bawah kibaran merah putih, kami berjanji.
Merah putihku, jayalah bangsaku. Kami akan selalu mengabdi padamu dan negara. Ibu
Fatmawati yang telah bersusah payah menjahit bendera merah putih.
Untukmu, Indonesiaku tercinta.

Semalam, aku menonton tv usai belajar. Aku mencet mencet tombol remote tv. Tak ada acara
yang aku inginkan. Akhirnya kuputuskan untuk menonton Trans Tv. Ayahku tiba tiba datang.
Langsung ikut menonton tv. Ambil remote tv dan ganti channel.

“Yah, kok diganti?” tanyaku lesu.


“Udah! Nonton bola aja, seru!” ayahku asyik menonton bola. Aku lupa kalau hari ini, acaranya
AFF Suzuki alias bola. Indonesis vs Vietnam.
Aku seru seru nonton. Selang beberapa menit, ibu menyuruhku sholat isya. Aku pun sholat
dahulu.

Setelah shalat, aku lanjut nonton bola.


“Berapa kosong yah?” tanyaku kepada ayah.
“Masih nol nol” kata ayah. Aku asyik nonton sampai istirahat alias break yang main bolanya.
Sambil menunggu aku ngobrol sama ayah. Eehh, udah mulai lagi babak ke dua sekarang. Entah
menit keberapa, Indonesia mengubah skor menjadi 0-1 atas gol Lilipaly. Aku turut senang. Aku
tak sampai selesai menonton karena mengantuk.

Paginya, aku tanya ke ayah berapa kosong, ayah malah jawab Indonesia mrnang. Yuhuuuuuu!!!

Cerpen Karangan: Fathiya Hasna Khairunisa

Kue Cokelat Elsa

Bunda suka sekali masak, terutama biskuit, kue, dan makanan manis lainnya. Menurut Elsa, tak
ada yang bisa menandingi masakan Bunda di dunia ini. Bahkan, chef hotel bintang lima pun
masih belum bisa menandingi masakan Bunda.

Bunda senang sekali membuatkan Elsa makanan sebagai teman menonton di sore hari. Biasanya,
Elsa akan menonton serial anak-anak kesukaannya tiap kali dia pulang les, di ruang tengah.
Sudah menjadi kebiasaannya untuk berlari masuk ke rumah, mandi, dan berjalan menuju dapur
untuk melihat cemilan apa yang Bunda buat.

Namun, hari ini sedikit berbeda. Hari ini hari Minggu. Ayah dan Bunda yang biasanya sibuk
bekerja, keduanya ada di rumah. Elsa meminta Bunda untuk mengajarinya memasak. Niat dan
semangat itu datang karena Ayah baru saja bercerita mengenai anak dari rekan kerjanya yang
membawakan mereka makanan buatannya sendiri.

“Elsa yakin? Anak rekan kerja Ayah itu udah remaja, sayang. Elsa kan masih kecil. Yakin mau
diajarin masak?”
Elsa mengangguk dengan mata yang berbinar. “Supaya nanti Elsa bisa bikinin makanan buat
Ayah dan rekan-rekan kerja Ayah. Nanti, rekan kerja Ayah bakalan cerita soal makanan Elsa di
rumahnya, kaya yang Ayah lakuin tadi.”

Bunda memutuskan untuk mengajari Elsa membuat kue cokelat, kue favorit Elsa dan kue yang
paling sering Bunda buat untuk Elsa.
Tadinya, Bunda berniat untuk memberi Elsa tugas menuangkan bahan-bahan dan berbagai
kegiatan kecil saja. Namun, Elsa sedikit keras kepala. Elsa meminta Bunda untuk diam saja dan
memberitahunya prosedur dari pembuatan kue cokelat karena Elsa yakin, kue buatannya pasti
enak.

Akhirnya, Bunda hanya duduk di sudut ruangan, memberitahu prosedur dari pembuatan kue
cokelat, sembari memandangi Elsa dengan senyuman. Ternyata, memasak itu tak seperti yang
dia bayangkan. Setelah kuenya jadi pun, Elsa jadi berantakan sekali. Elsa tak ingin memotong
dan mencoba kue itu karena dia ingin kue itu tetap utuh.

Elsa bersikeras untuk meminta Ayah membawa kue cokelatnya ke kantor. Namun, kata Bunda,
kenapa Elsa tidak membawa kue cokelatnya ke sekolah dulu saja? Memberikan kue cokelat itu
untuk Sari dan Reta, teman-teman dekat Elsa. Pasti akan menyenangkan.

Namun, keesokan harinya, Elsa pulang dengan wajah yang murung. Dia langsung menuju
kamarnya, mandi, dan tidur siang. Bunda pun sedikit bingung dengan apa yang terjadi, tapi
Bunda mulai mengerti ketika dia melihat kue yang Elsa bawa nyaris masih utuh, hanya beberapa
potong saja yang diambil.

“Ada apa?” tanya Bunda memasuki kamar Elsa, ketika Elsa sedang duduk di kursi meja
belajarnya, mengerjakan PR. “Kok tadi sore gak nonton Handy Manny? Biasanya, gak pernah
ketinggalan.”

Elsa yang tengah sibuk menggambar bentuk bangun ruang di atas halaman buku kotak-kotak
tersebut, hanya menoleh ke Bunda sekilas, lalu merengut.
“Kata Sari dan Reta, kue buatan Elsa enak,” ucap Elsa. “Tapi, kata Joshua, Tedi, dan anak laki-
laki lainnya, kue buatan Elsa gak enak. Malahan, mereka muntahin kue buatan Elsa.”
Bunda hanya bisa tersenyum. “Terus?”
“Sari dan Reta bohong. Mereka bilang kue buatan Elsa enak, tapi ternyata gak enak. Elsa gak
suka pembohong,” ucap Elsa lagi, tampak sedih.

Bunda terdiam sejenak, lalu mengelus kepala Elsa dengan lembut.


“Mereka bukannya pembohong dan Elsa gak perlu marah,” ujar Bunda. “Gak ada yang perlu
dimarahin dari orang yang cuma berusaha untuk gak nyakitin hati kita dan bikin kita senang.
Meskipun cara mereka salah yaitu bohong, tapi percaya deh, mereka cuma gak mau nyakitin hati
Elsa.”

Elsa terdiam, cukup lama.

“Lagian, masak itu ajaib. Meskipun dengan prosedur yang sama, belum tentu rasanya bakalan
sama karena tangan pemasaknya berbeda.”

Elsa masih belum memberi respon apapun. Bunda benar. Dia tak seharusnya marah kepada Sari
dan Reta. Mereka hanya tak ingin menyakiti hati Elsa. Jika Elsa berada di posisi mereka pun,
mungkin Elsa bingung harus merespon apa dan mungkin, Elsa juga akan berbohong agar tak
menyakiti hati mereka.
“Bun, Bunda bisa bikinin kue cokelat yang enak gak, malem ini?” tanya Elsa.
“Malem ini?”
Elsa mengangguk. “Untuk Sari dan Reta, besok.”

Jam Karet

Pagi itu, tepatnya pada hari Senin. Hari yang paling menyebalkan dan hari yang paling dibenci
oleh semua orang.

Dalam situasi dan kondisi yang penuh dengan rasa malas untuk menyibukkan diri dengan
berbagai hal, apalagi kalau dihadapi dengan rencana yang begitu banyak.

Hari yang penuh dengan menyebalkan itu aku dan keempat temanku telah merencanakan untuk
mengadakan diskusi kelompok mengenai tugas mata kuliah.

Terasa sulit untuk menerima perencanaan itu, tetapi mau bagaimana lagi ini adalah tugas mata
kuliah. Perasaan benci akan hari itu kini tidak bisa terkalahkan oleh tugas yang diberikan.

Aku dan temanku telah sepakti untuk kerja tugasnya di Kampus Unika Santu Paulus Ruteng.
Aku dan teman-teman sepakati kegiatan kerja kelompok tersebut pada pukul 10.00.

Aku mempersiapkan diri untuk pergi ke kampus sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

Waktu menunjukkan pukul 09.00 aku berangkat ke kampus karena rumahku cukup jauh dengan
kampus.
Aku berangkat dengan sepeda motorku dan tak sampai satu jam aku tiba di kampus.

Aku berjalan menuju ruangan yang telah kami sepakati yaitu ruangan GUB 207. Sesampainya di
ruangan itu ternyata hanya aku sendiri yang sudah datang. Aku duduk di kursi menanti
kedatangan keempat temanku Arlan, Arman, Alfan dan Bona sambil membuka materi yang
hendak didiskusikan.
Kurang lebih satu jam aku menunggu. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 keempat temanku
belum juga muncul, aku sudah mulai kesal karena mereka belum juga muncul sementara waktu
yang telah disepakati sudah lewat setengah jam. Pikiranku menjadi kacau dan dalam hatiku
berkata “apakah kerja kelompok ini masih jadi atau tidak?”

Karena aku takut akan kegagalan dari mata kuliah yang ditugaskan itu, aku menelepon temanku
Arlan, aku mengambil handphoneku dan meneleponnya. Bunyi berdering handphone tanda
masuk pun terdengar dan arlan mengangkatnya.

“Hallo.” Ucap Arlan.


“Iya bro, kamu di mana sudah? Saya sudah tunggu dari tadi di kampus ini” kataku.
“Iya bro sabar sedikit lagi ini sudah menuju kampus. Jangan marah karena bemo tadi terlambat”
kata Arlan.
“Iya bro, tidak apa-apa, saya tunggu di kampus” ucapku.
“Ok bro siap. Off dulu bro” ucap Arlan.
Telepon pun berakhir dan hatiku kembali tenang ketika mendapatkan jawaban dari Arlan yang
ternyata kerja tugasnya masih jadi.

Selang beberapa menit kemudian Arlan tiba di ruangan kelas. “halo bro, jangan marah saya baru
datang.” Ucap Arlan.
“Tidak apa-apa lan, santai saja”
“Terus teman yang lain mana bro?” Tanya Arlan
“Mereka belum datang Land.”
“Aduh bagaimana ini kerja kelompok ini sudah telat satu jam lebih.” Kata Arlan.
“Kita bersabar saja. Mungkin mereka lagi di jalan” kataku.

Kami berduapun duduk menunggu kedatangan dari tiga orang teman kami sambil bercakap-
cakap mengenai materi yang akan didiskusikan.

Waktu semakin Molor, Kami sudah tak sabar lagi untuk memulai diskusi tersebut sebab
waktunya sudah lewat namun mau apalagi keinginan kami ini tidak terpenuhi hanya karena
kedatangan dari teman kami yang tidak disiplin.
Rasa kecewa dan kesal mengalir dalam diri kami atas tindakan dari teman-teman kami tersebut,
kami berdua berniat untuk menelepon mereka agar teman-teman kami cepat datang ke kampus.

“Lan bagaimana ini teman-teman kita ini belum juga muncul masa kita kerja berdua saja ini
tugas” ucapku.
“Bagaimana ini sudah bro, kita telepon saja mereka siapa tahu mereka lupa lagi dengan tugas
ini.” Jawab Arlan.
“Baik sudah, kalau begitu saya telepon Bona dan Kamu menelepon Arman dan Alfan.”
“Ok de.” Jawab Arlan.

Kami berdua menelepon teman–teman kami sesuai dengan kesepakatan. Aku menelepon Bona
sedangkan Arlan menelepon Arman dan Alfan.
Bunyi berdering tanda masuk teleponku kepada Bona dan tidak lama kemudian Bona
mengangkatnya.
“Halo abang, saya lagi di jalan ini soalnya saya lupa tadi kalau hari ini kita ada kegiatan diskusi.”
Kata Bona dalam telepon.
“Cepat sudah teman ini sekarang sudah menunjukkan pukul 12 kita sudah telat dua jam dan apa
lagi ini jam makan siang sudah, aku dengan Arlan sudah dari tadi disini. Cepat sudah kami
tunggu.” Jelasku dalm telpon
“Ok baik sudah abang, ini sudah di jalan ini. Off dulu ya.” Kata Bona mengakhiri telpon
“Ok bro.” Jawabku.

Aku mengakhiri telepon dengan Bona dengan penuh percaya dan berharap Bona akan segera tiba
di kampus, akan tetapi harapan itu ternyata salah Bona bukannya saja sudah di jalan melainkan
masih di rumahnya dan baru bangun. Aku menghampiri Arlan dan menanyakan tentang kabar
dari Alfan dan Arman.

“Lan bagaimana jawaban dari Alfan dan Arman?” Tanyaku.


“Sabar Bro, ini baru mau telepon lagi soalnya tadi mereka tidak angkat.” jawab Arlan.
“Ok de, kamu telepon lagi.” kataku.

Arlan menelepon kembali Arman dan Alfan alhasilnya mereka berdua menjawab telepon darinya
dan ternyata Alfan masih di rumah dan baru bangun tidur juga seperti Bona.

“Hallo, Alfan cepat sudah ke kampus saya dengan Rival sudah menunggu dari tadi ini!” Kata
Arlan dengan nada yang tegas.
“Ok, bung ini sudah mau jalan. Mohon maaf karena ban motor saya tadi pecah.” Kata Alfan
dengan alasannya.
“Oke, sekarang cepat kami tunggu” kata Arlan.
Telepon antara Arlan dan Alfan pun berakhir, lalu Arlan menelepon lagi si Arman karena waktu
telepon segitiga itu Arman cepat putus teleponnya. Suara berdering pun keluar dari handpone
milik Arlan tanda panggilannya berhasil.

“Hallo Arman.. kamu ini punya niat atau tidak kerja tugas ini! Kalau tidak ada mending keluar
karena kami disini sudah menunggu kedatangan dari kelian bertiga berjam-jam”. Kata Arlan
dengan nada yang marah.
“Iya, bro ini sudah di jalan sabar ya.” Jawab Arman.
“kalau kalian tidak ada niat, tolong berbicara atau kabar supaya kami tidak menunggu.” lanjut
Arlan.
“Iya bro, saya masi ada niat saya lagi tunggu alfan jemput. Jangan marah, mohon maaf.” Kata
Arman.
“Ok. Cepat ini sudah menunjukkan pukul 13.00. kata Arlan” Arman langsung mati teleponnya
karena marah atas perlakuan dari teman-temannya.

Kemudian akupun mengahampirinya


“Bagaimana jawaban dari mereka sudah lan.” tanyaku
Arlan menjawab “katanya mereka sudah di jalan”

Aku terdiam mendengar jawaban dari Arman karena ketiga temanku semuanya menjawab di
jalan tetapi kenyataannya belum muncul sementara jarak rumah mereka dengan kampus tidak
jauh.
Kami berdua pun kembali duduk di kursi sambil membicarakan ulah dari teman kami yang tidak
disiplin dan tidak bisa menghargai waktu.

Waktu menunjukkan pukul setengah dua bona pun mencul di hadapan kami dan menyapa
“selamat siang teman”
“Teman-teman mohon maaf saya terlambat karena di jalan ada macet” sapa Bona
Aku menjawab “iya selamat siang juga, tidak apa-apa”
sementara Arlan tidak menjawab sapaan dari Bona karena dirinya sudah kesal lalu memberikan
kata-kata marah kepada Bona
“Hei, teman kalau memang tidak ada niat untuk bekerja atau gabung dengan kita mending
keluar!.” Aku terdiam mendengar kata-kata dari Arlan dan dalam hati muncul ketakutan kalau-
kalau Arlan dan bona akan berkelahi. Bona juga hanya terdiam karena mengaku salah.
Kemudian aku pun menghampiri Arlan dan berkata “sudahlah kita harus bersabar.”

Waktu sudah menunjukkan pukul dua yang datang baru kami bertiga sementara Arman dan
Alfan belum juga muncul di kampus. Aku mulai panik dengan hal ini sebab diskusi ini
dilaksanakan untuk menjalankan presentasi lusa.

Sementara di rumah Rumah Alfan baru siap-siap untuk pergi diskusi tersebut sambil berkata
“saya malas sekali dengan teman-teman yang mendesak ini mereka tidak tahu dinginnya kota
ruteng.” Alfan kemudian menyiapakan sepeda motornya untuk berangkat ke kampus tersebut,
tiba-tiba dia dikagetkan dengan kedatangan Arman yang menyapanya “Halo Alfan” Alfan
binggung dan berpikir mungkin diskusi kelompoknya sudah selesai karena melihat Arman
datang. kemudian Alfan berkata “Kamu sudah pulang? Diskusinya sudah selesai? Dan
bagaimana hasilnya”.
Arman kaget mendengar pertanyaan dari temannya tersebut kemudian berkata “Maksudnya
bagaimana ini, ini saya baru mau berangkat itu makanya saya datang ke rumahmu.” Jawab
Arman.
Alfan tersenyum mendengar jawaban dari Arman ternyata dugaannya salah lalu Alfan berkata
“saya pikir sudah selesai, baiklah kalau begitu kita berangkat.”. mereka berduapun berangkat ke
kampus dengan waktu sudah menunjukan pukul setengah empat itu artinya mereka sudah
terlambat berjam-jam.

Di jalan Alfan berkata kepada Arman “kalau mereka bertanya kenapa kalian terlambat? Kita
harus menjawabnya soalnya tadi ban motornya pecah dan di bengkel antre lagi.” Ide yang buruk
dari Alfan pun disetujui oleh temannya Arman.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore itu artinya diskusi itu sudah terlambat dan
dinyatakan tidak akan dilaksanakan pada hari itu. Aku pun duduk dan merenung atas tindakan
dari teman-teman yang jam karet itu dan merasa takut dikatakan sebagai seorang ketua kelompok
yang tidak bertanggung jawab. Selagi kami bertiga ngobrol tiba-tiba Alfan dan Arrman datang
dan menyapa “selamat sore, teman-teman.” Tanpa berpikir panjang dan membalas sapaan dari
Alfan dan Arman itu, Arlan langsung mendorong Alfan hingga terjatuh. “Brekkkk!” Arlan
merasa sangat emosi atas perbuatan dari teman-temannya yang tidak bertanggung jawab. Karena
Alfan tidak terima, mereka berduanya pun berkelahi aku dan Bona serta Arman sangat panik
melihat hal itu apalagi terjadi di dalam ruangan kelas. Kami bertiga pun meleraikan perkelahian
mereka dan membawa mereka ke tempat duduk.

Aku memberikan nasihat kepada mereka semua yang ada bahwa


“Kita harus menjadi mahasiswa yang bertanggung jawab, tidak boleh mengecewakan teman dan
tidak boleh melalaikan tugas yang menjadi tanggung jawab bersama.” Mendengar hal itu
keempat temanku terdiam tanpa satu pun yang bersuara kemudian aku menjelaskan bahwa kita
harus bersabar juga tidak boleh pakai kekerasan karena kita ini bukan anak kecil yang harus
disuap lagi baru mau makan.

Keempat temannku berdiri dari tempat duduknya sambil merangkul satu sama lain dan
mengucapkan permohonan maaf serta berjanji tidak mengulanggi hal itu.

Begitulah kisah dari kelima tokoh dalam cerpen yang berjudul “Jam Karet”.

Gempa Bumi di Selatan Pulau Jawa Sebabkan Tsunami di Beberapa Tempat

Senin, 17 Juli 2006 - Dibaca 11359 kali

Berdasarkan data yang diperoleh Badan Geologi Departemen ESDM dari beberapa sumber,
seperti pusat pengamatan gempa bumi BMG, Geofon, Jerman, dan USGS Amerika Serikat,
diperoleh data sebagai berikut :

Gempa bumi terjadi pada tanggal 17 Juli 2006 pukul 15:19:24 WIB. Menurut informasi dari
BMG pusat gempa berada di laut pada koordinasi 9,46o LS dan 107,19o BT, dengan magnitudo
6,8 SR, kedalaman 33 km, atau berada pada jarak 286 km di selatan Bandung. Berdsarkan
informasi automatic BMG gempa susulan I terjadi pada pukul 16:05 WIB pada koordinat 10,40o
LS dan 107,97o BT, dengan magnitudo 5,3 SR pada kedalaman 33 km. Gempa susulan II terjadi
pada pukul 16:13 WIB pada koordinat 9,133o LS dan 107,653o BT dengan magnitudo 6,1 SR
pada kedalaman 94 km.

Sedangkan menurut Geofon, Jerman, pusat gempa berada pada koordinat 9,45o LS dan 107,17o
BT dengan magnitudo 5,5 SR.

Sementara menurut USGS, Ameriksa Serikat, pusat gempa pada kordinat 9,295o LS dan
107,347o BT, dengan magnitudo 7,2 Mw, pada kedalaman 48,6 km, atau berjarak + 225 km di
timur laut Christmas Island, + 240 km di tenggara Tasikmalaya, + 260 km di selatan Bandung, +
355 km di selatan Jakarta.

Sumber gempa diperkirakan berasal dari sistem subduksi yang berada di selatan Pulau Jawa.

Sementara itu. berdasarkan informasi sementara yang didapat Badan Geologi, kenaikan air di
Cilacap menyebabkan instalasi water treatment dari PLTU Cilacap terganggu, sehingga PLTU
Cilacap saat ini dalam proses untuk diturunkan pembenanannya dan dipertahankan sebesar 100
MW, guna dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Sedangkan Gardu Induk (GI) di pantai selatan
yaitu GI Cilacap, GI Pangandaraan, GI Pamengpeuk dalam kondisi aman, hanya ada feeder
(penyulang) GI Pangandaraan yang memasok listrik di daerah Pangandaraan terpaksa dimatikan
karena tergenang air (beban padam 1,1 MW).

Sejauh ini kejadian gempa bumi tidak tampak pengaruhnya terhadap aktivitas Gunung Merapi.
Namun demikian pemantauan terhadap aktivitas Gunung Merapi tetap dilakukan secara intensif
melalui pos-pos pngamatan yang ada.

Rekomendasi

Masyarakat dihimbau untuk tetap tenang dan mengikuti arahan dan informasi dari petugas Satlak
PB dan Satkorlak PB, serta tidak terpancing isu yang tidak bertanggungjawab seputar gempa
bumi dan tsunami.

Masyarakat agar tetap waspada dengan kejadian gempa bumi susulan.

Gempa Guncang Jateng dan Yogyakarta, dan Kisah Gempa Besar 1943

Gempa bumi tektonik mengguncang wilayah Jawa Tengah (Jateng) dan Yogyakarta. Gempa ini
menunjukkan parameter update dengan magnitudo M 5,1.

Menurut Kepala Bidang Mitigasi Gempa bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, dalam
keterangannya, Senin (13/7), gempa terjadi pukul 02.50.29 WIB. Wilayah Jawa Tengah dan
Yogyakarta merasakan guncangan gempa tektonik ini.

Episenter terletak pada koordinat 8,73 LS dan 109,88 BT, atau tepatnya di Samudra Hindia
Selatan Jawa pada jarak 101 km arah Selatan Kulonprogo pada kedalaman 46 km.

"Dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, gempa yang terjadi
merupakan jenis gempa dangkal akibat aktifitas subduksi Lempeng Indo-Australia yang
menunjam ke bawah Lempeng Eurasia," beber dia.

Daryono melanjutkan, hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan gempa ini memiliki
mekanisme pergerakan naik (thrust fault) yang merupakan ciri khas gempa akibat tumbukan
lempeng di zona megathrust.

"Guncangan gempa ini dirasakan di Pacitan, Purworejo, Yogyakarta, dan Wonogiri. Meskipun
Shakemap BMKG menunjukkan guncangan terjadi dalam wilayah luas dari Pangandaran hingga
Pacitan," beber dia,
Hingga saat ini belum ada laporan dampak kerusakan yang ditimbulkan akibat gempa tersebut.
Hasil pemodelan menunjukkan bahwa gempa ini tidak berpotensi tsunami. Hingga pukul 03.15
WIB, hasil monitoring BMKG belum menunjukkan adanya aktivitas gempa susulan (aftershock

"Menariknya, pusat gempa ini bersebelahan sangat dekat dengan pusat gempa berkekuatan M 8,1
yang menimbulkan kerusakan di Pulau Jawa pada 23 Juli 1943. Kota-kota yang mengalami
kerusakan akibat gempa pada saat itu adalah Cilacap, Tegal, Purwokerto, Kebumen, Purworejo,
Bantul, dan Pacitan," terang dia.

Ahli geologi Belanda Van Bemmelen pada 1949 mengungkap bahwa korban meninggal akibat
Gempa Jawa 23 Juli 1943 lebih dari 213 orang, sedangkan korban luka mencapai 2.096 orang,
dan 15.275 rumah rusak di Jawa Tengah dan Yogyakarta

Dalam 3 pekan terakhir wilayah Selatan Pulau Jawa memang terjadi peningkatan aktivitas
gempa, seperti:

1. Gempa Selatan Pacitan M 5,0 pada 22 Juni 2020

2. Gempa Selatan Blitar M 5,3 pada 5 Juli 2020

3. Gempa Lebak M 5,1 pada 7 Juli 2020

4. Gempa Selatan Garut M 5,0 pada 7 Juli 2020

5. Gempa Selatan Selat Sunda M 5,2 pada 7 Juli 2020

6. Gempa S0elatan Sukabumi M 4,8 pada 10 Juli 2020

7. Dan pagi ini Gempa Selatan Kulonprogo M 5,1 pada 13 Juli 2020.

"Meningkatnya aktivitas kegempaan di Selatan Jawa akhir-akhir ini tidak perlu membuat
masyarakat khawatir berlebihan, meskipun kita harus waspada dengan meningkatkan
kesiapsiagaan baik para pemangku kepentingan bidang kebencanaan dan masyarakat," tutup dia.
Terima Kasih, Langit (Part 1)

Untuk seseorang yang selalu ada meskipun ia tahu penantiannya tak berujung.
Untuk seseorang yang rela meluangkan waktu hanya untuk mendengarkan ocehan seorang gadis
tentang lukanya.

Terima kasih selalu ada. Seperti namamu yang selalu ada meskipun musim datang silih berganti,
tetap ditempat yang sama meski tak banyak orang tahu apakah Langit menyukai hal itu. Yang
orang tau Langit selalu ada dan tak akan pernah berubah.

Yang aku tahu dari seseorang yang memiliki nama Langit bahwa ia tidak membenci musim
panas atau musim hujan, tetapi bukankah ada antara di kedua musim itu? Yang biasa disebut
dengan Rinai. Rinai hujan. Tidak sepenuhnya berada di musim hujan karena masih ada
hangatnya sinar matahari dan tidak sepenuhnya musim panas karena gerimis menyapa bumi.

Satu hal yang pasti Rinai membawa pilu untuk Langit. Hal yang paling tidak dimengerti adalah
Langit begitu menyukai Rinai yang membuatnya kesakitan. Entah bodoh atau peduli. Ia tak
menggubrisnya. Satu-satunya hal yang membuatnya bahagia dan sedih dalam satu waktu adalah
Rinai.

“Langit… hari ini hujan”


“Lalu?”
“Tidak… aku hanya ingin menghubungimu”
“Apa kamu mengingatnya lagi?”
“Hmm….”
“Sudahlah Rinai. Bukankah kamu sudah melepasnya?”
“Ahh… mengapa hujan selalu mengingatkanku padanya?”

“Ngomong-ngomong di tempatku belum hujan tetapi masih rinai yang turun.”


“Apa bedanya, Langit?”
“Berbedalah Rinai. Kamu tahu arti dari namamu?”
“Rintik?”
“Rinai adalah sesuatu yang berhubungan dengan hujan. Rintik hujan. Tidak semuanya menyukai
hujan. Ada beberapa orang yang sebal karena hujan membasahi baju mereka, merusak rambut
yang sudah satu jam mereka tata di salon. Tetapi, tidak degan rinai. Rinai itu menyejukkan. Baju
mereka tidak terlalu basah dan tatanan rambut mereka juga tidak terlalu berantakan karena rinai.
Dan sinar matahari juga masih muncul ketika rinai datang. Hangat.”
“Apa kamu sekarang menjadi ahli filosofi, Langit?”
“Mungkin.”

“Apa kamu menyukai rinai hujan?”


“Iya, aku selalu menyukai Rinai. Entah ia menyukaiku atau tidak.”

Namanya Langit. Pria cerewet dan hangat dalam satu waktu. Urusan mengejek orang dia nomor
satu. Lima tahun sudah kami berteman. Langit teman SMA ku. Kuakui dia jenius matematika,
tapi untuk pelajaran yang lain dia ada di bawahku heheh. Kami dekat hingga menjadi sahabat
tanpa disangka dia meminta maaf karena menganggapku lebih dari sahabat.

Mungkin satu lagi kelebihan dari Langit, dia pria yang gigih. Aku cukup menganggapnya
sahabat karena jika ada rasa yang lebih, maka hubungan kami akan selesai dan aku tidak mau itu
terjadi. Langit bagiku cukup Langit yang sekarang. Berulang kali dia bilang “Rinai aku menyu

kaimu”, berulang kali pula aku mengatakan “Biarkan aku memilikimu sebagai Langit yang
sekarang.” Mungkin menyakitkan baginya, tapi jauh lebih menyakitkan jika Langit tidak ada di
sisiku, yang selalu menjadi pendengar cerita randomku bahkan di tengah malam, Langit yang
selalu mengomel karena aku yang tidak bisa mengerjakan soal matematika, dan Langit yang
perhatian pada setiap hal kecil yang aku lakukan.
Hingga kami ada di titik ini. Aku yang semakin dekat dengan Langit sebagai sahabat dan Langit
yang masih gigih menyukaiku tapi tidak masalah dengan persahabatan kami.

“Rinai, besok lusa hari jadi sekolah kita.”


“Lalu?”
“Apa kamu tidak mau hadir sebagai alumni?”
“Kamu kan tahu sendiri kalau aku….”
“Tidak menyukai keramaian, paling malas ketemu orang banyak, dan bla bla bla.”, belum sempat
aku menyelesaikan kalimatku, Langit sudah memotongnya.
“Tuh kamu tahu.”
“Ayolah Rinai, toh kamu tidak ada kesibukan apa-apa.”, desak Langit.
“Baiklah… baiklah.”
“Yesss, nanti aku kabari.”
“Serah.”
“Jutek amat non.”
“Langit.”
“Ya ya aku tahu, sekarang jam tidurmu, meski ini masih jam 8 malam. Selamat tidur Tuan
Putri.”
“Selamat tidur pengawal.”
“Dasar.”
Tuuuttt sambungan terputus. Malam yang sama seperti malam- malam sebelumnya setiap kali
hujan turun. Rinai yang menelepon Langit. Rinai yang mematikan sambungan dengan umpatan
dari Langit.

Besok lusa datang dan hari ini adalah hari jadi sekolah. Aku dan Langit janji bertemu di depan
gerbang sekolah.

“Ahhh rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali kesini. Saat itu semua terasa
membingungkan.”, aku bergumam sendiri.
“Apa sih Rinai, kebiasaanmu masih saja sama. Bicara sendiri.”
“Apa sih Langit, suka-suka aku dong.”
Langit menonyor kepalaku karena kekesalannya padaku yang selalu saja membalikkan
kalimatnya.

“Nyamannya….”
“Dasar gadis aneh, ditonyor malah bilang nyaman.”

Tidak jarang kami memiliki perspektif yang berbeda, termasuk masalah kali ini. Aku yang
nyaman karena kembali lagi menginjakkan kaki di tempat aku memperoleh dan melepas cinta.
Dan Langit yang salah mengartikan bahwa aku nyaman karena toyorannya.

Kami menikmati pentas seni yang disuguhkan sekolah di hari jadinya. Mengobrol bersama
teman lama, kebanyakan Langit sih yang ngobrol dan jadi juru bicaraku karena aku tidak terlalu
menyukai acara seperti ini.

“Kau dan Rinai masih dekat saja. Kapan nih ada kemajuan?”, tanya teman kami pada Langit.
“Iya nih, si Tuan Putri belum menemukan kunci buat buka hatinya. Hahahah.”, kata Langit sok
asyik.
Aku hanya pasang wajah datar, tidak menggubris.

“Rinai”, kata Langit tiba-tiba.


“Apa?”
“Ini lho rinai hujan mulai turun, sebentar lagi pasti hujan.”
“Jangan menggodaku Langit…”

Dan ternyata benar hujan turun dengan derasnya. Semua kalang kabut ke tepi lapangan untuk
berteduh. Dengan sigap Langit melepas jaket denimnya dan melindungiku dari hujan. Ala-ala di
sinetron romantis.
“Sini Rinai berlindung di dekatku.”
“Apa sih Langit, kita jalan sepuluh langkah udah nyampek di pinggir lapangan kali.”
“Yaaa ala-ala sinetron romantis gitu lho Rinai.”

Tidak tahu lagi apa yang dipikirkan Langit. Lima tahun kami berteman, lima tahun pula aku
melihat ada kemajuan dari Langit, kerandomannya. Katanya “Karena aku selalu di dekatmu,
makanya aku sepertimu, Rinai”
Bayangkan jika 24 jam kami bersama, mungkin Langit bukan lagi “seperti” aku, tapi sepenuhnya
“menjadi” aku.

“Sama sama random kan lucu.”, katanya lagi yang justru tingkat kerandomannya semakin naik
level. Sungguh obrolan tidak berguna.

“Ini di tengah lapangan dan kamu mau adegan ala sinteron romantis? Bisa-bisa kita dilihatin
orang sesekolah, Langit.”, kataku sebal pada Langit dengan tetap berjalan menuju pinggir
lapangan.
“Biar semua orang tahu kalau Rinai milik Langit.”

“Sudah sampai.”, selagi Langit gigih dengan adegan ala sinetron romantisnya, kami sudah
sampai di pinggir lapangan.
Begitulah Langit pria cerewet yang tidak sadar dengan kecerewetannya.
“Yahhh… gak jadi adegan ala-ala di sinetron romantis.”, keluh Langit.
Hujan turun sangat deras. Pantas, ini bulan Februari.

“Pakai jaket ini, Rinai”, Langit memasangkan jaketnya pada pundakku.


“Hangat.”
“………………”

“Hujan deras lebih disukai daripada Rinai ya?”


“Ha apa?”, tanya Langit bingung.
“Dia.”
“Ah dasar hujan”, Langit mengumpat. Ia tahu setiap kali hujan turun, pasti aku mengingatnya.
“Mungkin dia lebih menyukai hujan yang deras daripada Rinai.”, lanjutku.
“Dia pria yang bodoh jika begitu.”
“Jangan menyebutnya bodoh, Langit.”
“Lalu apa jika tidak bodoh? Egois?”
“……..”

“Lihat kau tidak bisa menjawabnya”


“Aku hanya tidak bisa memahaminya.”
“Jangan mencoba memahami seseorang yang dia saja tidak mau memahamimu.”
“Lalu apa kau memahamiku, Langit?”
“Aku memang masih belum memahamimu sepenuhnya, tapi aku mencoba untuk memahamimu
karena isi otakmu itu seperti penulis yang tidak membiarkan pembacanya menebak alur cerita
yang dibuat.”
“Maksudmu?”
“Tidak terduga.”

“Atau karena isi otakku yang tidak terduga, dia jadi tidak menyukaiku?”
“Ayolah, Rinai. Bukankah dengan menjadi tidak terduga akan ada banyak hal seru yang
dijalani?”
“Kau sangat tau aku, Langit”
“Kau meragukan lima tahun kita bersama?”, Langit mulai menyombong.

Sebelum sombongnya semakin menjadi–jadi, kudorong ia dari pinggir lapangan. Mungkin


dinginnya air hujan bisa membuatnya kembali tersadar. Atau mungkin aku yang perlu, untuk
menyadarkanku betapa jauh dia untuk digapai yang ketidakhadirannya disisiku melebihi
hadirnya Langit di setiap hariku.

“Ya ampun Rinai, kau tidak tahu air hujan mengandung asam yang jika berlebihan bisa
menyebabkan gangguan pernapasan. Aduhhh basah….”, gerutu Langit yang entah mengapa ia
tidak segera ke pinggir lapangan. Langit menggerutu di bawah hujan dengan banyak mata
memandang.
“Kalau tau begitu kenapa tidak kembali ke pinggir lapangan?”, kesalku sambil menarik lengan
Langit untuk segera berteduh.
“Kembali ke sisimu?” dengan senyum smirknya, ia kembali menggoda.
Kudorong lagi Langit. Tau begitu kubiarkan ia kena gangguan pernapasan.

“Benar, kau memang tidak terduga.” katanya sambil kembali ke pinggir lapangan, di sisiku.

“Kau ingat dulu saat kita pergi untuk simulasi ujian masuk perguruan tinggi di salah satu kampus
juga hujan deras seperti ini.”, kata Langit tiba-tiba mengingatkan masa perjuangan anak putih
abu – abu.
“Aku ingat betapa bodohnya kau membiarkan air hujan membasahi tubuhmu karena kita hanya
punya satu payung.”, masih saja aku kesal jika mengingat kejadian itu.
“Dan aku ingat betapa bodohnya kau menangis di kelas karena melihat aku demam.”, tapi aku
tidak bisa jika melihat Langit sakit.

Hujan reda dan mereka semua kembali ke tengah lapangan melanjutkan acara.
Aku memilih menepi dari keramaian yang menurut sebagian orang seru tapi menurutku
melelahkan.

“Rinai, sini”, sahabat sahabat perempuanku mengajakku bergabung.


Mereka sahabat perempuan yang mengenal bagaimana aku tapi tidak sebanyak Langit. Tidak
semua bagian hidupku aku ceritakan pada mereka. Tapi dengan merekalah aku menjadi Rinai
tanpa kepura-puraan. Karena itu aku suka mereka. Kami berbincang melepas rindu,
menertawakan kebodohan saat SMA. Masa putih abu-abu penuh kenangan.

“Mana Langit?”, tanya sahabat SMA ku disela-sela nostalgia.


“Memangnya jika ada aku harus ada Langit?”
“Tidak… tapi Langit selalu menempel padamu, bukankah begitu sejak dulu?”, mereka semua
setuju.
“Langit selalu sama dan tidak berubah, itu katamu kan?’, benar itu memang kataku.

“Sini kuberitahu.”, aku mendekat.


“Dulu, Langit tidak seperti sekarang. Dia laki laki yang jarang bicara. Jika aku melihat Langit
bicara, pasti karena ada matematika. Entah itu saat menyelesaikan soal di kelas, mengikuti klub
matematikanya yang dipenuhi orang orang aneh…”
“Mungkin maksudmu jenius, kau saja yang aneh”, celetuk lainnya.
“Iya… iya terserah yang penting ia hanya peduli pada matematikanya saja.”, cerita sahabatku
yang kebetulan teman SMP Langit.
“Tapi, setelah dia masuk SMA dan aku menjadi dekat denganmu, selalu kudapati Langit ada di
sekitarmu dengan senyum konyolnya yang bahkan saat di SMP pun aku tidak pernah
melihatnya.”
“Bukankah itu berlebihan?”, tanyaku seakan tak percaya perubahan Langit.
“Tidak tidak, mungkin kau menjadi salah satu soal yang belum ia temukan jawabannya.”

Hening. Hanya isi kepalaku. Keadaan di sekitar tetap riuh.

“Rinai”, Hingga lamunanku terbuyarkan ketika Langit memanggilku. Aku tersenyum lelah.
“Aku dan Rinai pergi dulu ya.”, dan Langit tahu apa yang mesti dilakukan.
“Kalian pergi begitu saja?”
“Karena ada yang lebih penting dan harus diselamatkan.”, jawabku yang tak dimengerti yang
lainnya.
“Organ di perut kami butuh asupan agar mereka bisa diam dan menutup mulut mereka.”
“Dasar berdua aneh. Bilang saja lapar”, kompak lainnya menjawab.

Aku dan Langit pergi begitu saja melambaikan tangan tanda kemenangan.
2. Contoh Cerpen Singkat Pendidikan

Mengajarkan Tentang Bersikap Rendah Hati

Ada seorang anak bernama Fitri, dia merupakan murid kelas 6 SD yang sangat pintar dan baik
hati. Di sekolah sangat banyak teman yang menyukainya karena sikapnya tersebut. Tidak jarang,
semua ingin berteman dengan Fitri. Ada lagi anak perempuan bernama Ita, ia berbanding terbalik
dengan Fitri. Ia pintar namun sangat sombong. Temannya hanya dua yaitu Lisa dan Lily, gadis
kembar di sekolahnya.

Suatu hari, Ibu guru mengumumkan bahwa akan ada perlombaan membaca pidato dua minggu
lagi. Bu Yati selaku wali kelas 6 membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa saja yang ingin
ikut seleksi. Fitri dan Ita jelas ikut berpartisipasi. Setiap hari mereka selalu latihan membaca
pidato agar lolos seleksi. Sampai hari penyeleksian tiba, keduanya memberikan tampilan yang
memukau lalu dinyatakan lolos.

Saat hari perlombaan tiba, Ita terus saja membanggakan dirinya, menyatakan bahwa pasti ia akan
juara. Sebab sebelumnya dia juga pernah menjadi juara waktu kelas 5 SD di lomba pidato.
Berbeda dengan Fitri, ia tidak henti-hentinya berdoa dan berlatih, mencoba menghafal kembali
teks pidato. Ita pun dipanggil lebih dulu, sang juara kelas 5 SD kini mendadak lupa teks pidato
yang sudah dihafalnya.

Setelah itu, Fitri maju dan memberikan penampilan yang sangat bagus. Semua juri kagum
termasuk Bu Yati yang saat itu datang untuk menemani mereka lomba. Pengumuman pun tiba,
Fitri keluar menjadi juara 1 sedangkan Ita harus menahan air matanya karena dia tidak menang
sama sekali. Cerpen pendidikan ini mengajarkan kita bahwa harus menjadi orang yang rendah
hati dan jangan sombong.

3. Contoh Cerpen Singkat Kehidupan Sehari-hari

Melupakan Prioritas Terpenting


Suara alarm berdering begitu nyaring mengusik tidur nyenyak seorang Nathan. Dia enggan
membuka mata namun akhirnya terpaksa ia buka.
“Oh Tuhan!” Nathan kaget melihat jam ternyata sekarang sudah pukul 7 pagi. Nathan langsung
bergegas mandi dan tanpa sarapan ia berangkat ke kantor. Sesampainya Nathan di kantor,
Nathan telat mengikuti pertemuan pagi ini karena telah dimajukan lebih awal dari biasanya
dengan alasan Bapak Direktur ada keperluan di luar kota.

“Permisi, Pak. Saya Boleh masuk?” Tanya Nathan izin kepada bapak direktur yang memimpin
pertemuan.

”Silakan masuk, tapi maaf proyekmu digantikan oleh saudara Arkan.”

“Kenapa pak? Saya hanya telat 15 menit.”

“Maaf saudara Nathan ini bukan masalah lama atau tidaknya Anda terlambat, namun ini tentang
ke koensistensi Anda dalam bekerja.” Jelas Bapak direktur  dengan tegas.

Langsung seketika Nathan hanya bisa terdiam dengan wajah pucatnya. Setelah pertemuan ini
selesai Nathan berjalan gontai pergi menuju meja kerja miliknya.

“Ada apa Nath? Kok telat.”

“Memang salah saya, saya semalam bergadang nonton bola, sampai melupakan project penting
yang sangat menguntungkan bagi saya.”
“Oalah harusnya kamu harus lebih mengurangi hobimu.” Sambung Meri sedikit memberi
nasihat.

Anda mungkin juga menyukai