Anda di halaman 1dari 3

Peristiwa Rengasdengklok

Latar Belakang Peristiwa Rengasdengklok Sukarno dan Hatta tidak ingin salah langkah dalam
mengambil keputusan. Di sisi lain, para tokoh muda mendukung gagasan Sjahrir, yakni
mendesak Sukarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Dikutip dari buku
Sejarah Indonesia Kontemporer: Peristiwa Sejarah Indonesia dalam Narasi Wartop (2017) karya
Puspita Pebri Setiani, Sukarno dan Hatta berpendapat bahwa: “Kemerdekaan Indonesia yang
datangnya dari pemerintahan Jepang atau dari hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri tidak
menjadi soal karena Jepang sudah kalah." "Kini kita menghadapi serikat yang berusaha akan
mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Karena itu, untuk memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia diperlukan suatu revolusi yang terorganisasi." Maka dari itu, Sukarno-
Hatta ingin membicarakan hal ini terlebih dahulu dalam rapat PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) pada 16 Agustus 1945 sambil menanti kabar terbaru dari pemerintah
Jepang. Namun, golongan muda tidak sepenuhnya sepakat. Mereka tetap mendesak agar
kemerdekaan Indonesia diproklamirkan secepatnya.

Kronologi Peristiwa Rengasdengklok Golongan muda mengadakan rapat pada 15 Agustus 1945
malam di Pegangsaan Timur, Jakarta. Rapat yang dipimpin oleh Chaerul Saleh ini menyepakati
bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak rakyat Indonesia, tidak tergantung dari pihak lain,
termasuk Jepang. Pada pukul 22.00 malam hari itu juga, Wikana dan Darwis menjadi utusan
dari golongan muda untuk menemui Sukarno, juga Hatta. Mereka kembali menuntut agar
proklamasi kemerdekaan dilakukan esok hari yakni tanggal 16 Agustus 1945. Jika tidak, bakal
terjadi pergolakan. Dinukil dari Konflik di Balik Proklamasi (2010) yang disusun St Sularto
dan Dorothea Rini Yunarti, Bung Karno menolak seraya berkata tegas: "Inilah leherku, saudara
boleh membunuh saya sekarang juga. Saya tidak bisa melepas tanggung jawab saya sebagai
Ketua PPKI. Karena itu, saya akan tanyakan kepada wakil-wakil PPKI besok.” Gagal
membujuk Sukarno, golongan muda kembali mengadakan rapat. Dikutip dalam Proklamasi 17
Agustus 1945: Revolusi Politik Bangsa Indonesia (2017) karya Haryono Riandi, rapat digelar
pada pukul 00.30 di Jalan Cikini 71, Jakarta. Rapat dihadiri oleh para tokoh muda termasuk
Chairul Saleh, Djohar Nur, Kusnandar, Subadio, Subianto, Margono, Wikrana, Armansjah,
Sukarni, Jusuf Kunto, Singgih, dr. Muwardi dari Barisan Pelopor, dan lainnya. Diputuskan
bahwa Sukarno dan Hatta akan diamankan ke luar kota demi menjauhkan mereka dari segala
pengaruh Jepang.

Peristiwa Rengasdengklok Para pejuang dari golongan muda membawa Sukarno dan Hatta ke
Rengasdengklok, dekat Karawang. Pengamanan pun berjalan lancar karena dibantu oleh Latief
Hendraningrat yang merupakan prajurit PETA (Pembela Tanah Air) berpangkat Sudanco atau
Komandan Kompi. Tepat pada pukul 04.30 dini hari tanggal 16 Agustus 1945, Sukarno
bersama Fatmawati dan putra sulungnya, Guntur, serta Hatta dibawa ke Rengasdengklok,
kemudian ditempatkan di rumah seorang warga keturunan Tionghoa bernama Jiauw Ki Song.
Aksi "penculikan" ini semula dimaksudkan untuk menekan Sukarno dan Hatta agar bersedia
segera memproklamirkan kemerdekaan, tetapi karena wibawa dua tokoh bangsa itu, para
pemuda pun merasa segan. Di Jakarta, Achmad Soebardjo yang termasuk tokoh dari golongan
tua mengetahui peristiwa tersebut. Ia lantas menemui Wikana, salah satu tokoh pemuda.
Pembicaraan pun dilakukan dan disepakati bahwa kemerdekaan harus segera dideklarasikan di
Jakarta. Selanjutnya, Achmad Soebardjo bersama dengan Sudiro dan Jusuf Kunto menuju
Rengasdengklok untuk menjemput Sukarno-Hatta dan membawa keduanya kembali ke Jakarta.

Pada hari itu juga, dilakukan pembicaraan terkait rencana pelaksanaan deklarasi
kemerdekaan. Malam harinya, di kediaman Laksamana Muda Maeda, seorang perwira Jepang
yang mendukung kemerdekaan Indonesia, dirumuskanlah naskah teks proklamasi. Keesokan
harinya, tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno-Hatta membacakan teks proklamasi kemerdekaan
Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Indonesia pun merdeka dan bukan
merupakan hadiah dari Jepang. Sukarni dan Peristiwa Rengasdengklok 15 Agustus 1945, kabar
seputar menyerahnya Jepang atas Sekutu membuat para pemuda revolusioner bergejolak.
Indonesia tengah mengalami kekosongan kekuasaan, namun proklamasi tidak segera
dilaksanakan. Dalam momentum ini, golongan muda, termasuk di antaranya Sukarni bersama
Chaerul Saleh dan Wikana, menginginkan kemerdekaan diproklamirkan secepatnya. Dalam rapat
golongan muda pada tanggal 15 Agustus 1945 malam yang dipimpin Chaerul Saleh, menelurkan
keputusan bahwa kemerdekaan merupakan “hak dan soal rakyat yang tak dapat digantungkan
oleh orang lain.” Dari keputusan tersebut, mereka mendesak untuk memplokamirkan
kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno-Hatta selambat-lambatnya tanggal 16 Agustus 1945.
Usulan ini ditolak golongan tua, yang beralasan segala keputusan terkait kemerdekaan
hendaknya menunggu sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terlebih dahulu.
Namun, golongan muda tidak menerima hal tersebut, karena mereka khawatir Sukarno
terpengaruh Jepang, sehingga kemerdekaan Indonesia bisa jadi tidak diberikan. Akhirnya,
sebagaimana mengutip Benedict Anderson dalam Revoloesi Pemoeda (2018), berdasarkan
keputusan rapat terakhir yang diadakan pada pukul 24.00 WIB menjelang tanggal 16 Agustus
1945 di Cikini 71, Jakarta, para pemuda bersepakat untuk “mengamankan”Sukarno dan Hatta ke
luar kota, dengan tujuan menjauhkan mereka dari segala pengaruh Jepang. Demikianlah, pada
tanggal 16 agustus 1945 jam 04.00 WIB terjadi peristiwa penculikan Sukarno dan Hatta untuk
dibawa ke luar kota menuju Rengasdengklok. Tidak jelas siapa yang memulai rencana untuk
menculik Sukarno dan Hatta, tetapi pada akhirnya para pelaksananya adalah Chaerul Saleh,
Wikana, dr. Muwardi, Jusuf Kunto, Singgih, dr. Sutjipto, dan tentu saja Sukarni. Meski
kemudian tetap menimbulkan beda pendapat antara golongan muda dan golongan tua, tapi
Achmad Soebardjo berhasil menengahinya. Ia pun menjanjikan bahwa proklamasi akan
dilaksanakan pada 17 Agustus 1945 pagi. Setelah situasi sudah menjadi dingin, akhirnya
digelarlah rapat PPKI di kediaman Laksamana Muda Maeda, yang menghasilkan teks
proklamasi. Sukarno memerintahkan Sayuti Melik untuk mengetik naskah tersebut, yang
akhirnya dibacakan pada pagi harinya, pukul 10.00 WIB di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56.

Anda mungkin juga menyukai