Anda di halaman 1dari 2

PERISTIWA PROKLAMASI ( RENGGAS DENGGKLOK )

Sejarah peristiwa Rengasdengklok terjadi tanggal 16 Agustus 1945 atau sehari sebelum
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada 14 Agustus 1945, Soetan Sjahrir mendengar kabar dari radio bahwa Jepang menyerah
dari Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya. Sjahrir segera menemui Sukarno dan
Mohammad Hatta untuk menyampaikan kabar tersebut.
Saat itu, Sukarno dan Hatta baru saja pulang dari Dalat, Vietnam, usai bertemu dengan
pemimpin militer tertinggi Jepang untuk kawasan Asia Tenggara, Marsekal Terauchi. Kepada
Sukarno-Hatta, Terauchi menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia.
Silang pendapat pun terjadi di antara ketiga tokoh bangsa itu. Sjahrir meminta agar
kemerdekaan segera dideklarasikan. Namun, Sukarno dan Hatta yang belum yakin dengan
berita kekalahan Jepang memilih menunggu kepastian sembari menanti janji kemerdekaan
dari Dai Nippon.
Latar Belakang
Sukarno dan Hatta tidak ingin salah langkah dalam mengambil keputusan. Di sisi lain, para
tokoh muda mendukung gagasan Sjahrir, yakni mendesak Sukarno-Hatta untuk segera
memproklamasikan kemerdekaan.
“Kemerdekaan Indonesia yang datangnya dari pemerintahan Jepang atau dari hasil
perjuangan bangsa Indonesia sendiri tidak menjadi soal karena Jepang sudah kalah.”
“Kini kita menghadapi serikat yang berusaha akan mengembalikan kekuasaan Belanda di
Indonesia. Karena itu, untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia diperlukan suatu
revolusi yang terorganisasi.”
Maka dari itu, Sukarno-Hatta ingin membicarakan hal ini terlebih dahulu dalam rapat PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 16 Agustus 1945 sambil menanti kabar
terbaru dari pemerintah Jepang.
Namun, golongan muda tidak sepenuhnya sepakat. Mereka tetap mendesak agar
kemerdekaan Indonesia diproklamirkan secepatnya.
Kronologi Peristiwa
Golongan muda mengadakan rapat pada 15 Agustus 1945 malam di Pegangsaan Timur,
Jakarta. Rapat yang dipimpin oleh Chaerul Saleh ini menyepakati bahwa kemerdekaan
Indonesia adalah hak rakyat Indonesia, tidak tergantung dari pihak lain, termasuk Jepang.

Pada pukul 22.00 malam hari itu juga, Wikana dan Darwis menjadi utusan dari golongan
muda untuk menemui Sukarno, juga Hatta. Mereka kembali menuntut agar proklamasi
kemerdekaan dilakukan esok hari yakni tanggal 16 Agustus 1945. Jika tidak, bakal terjadi
pergolakan.
Dinukil dari Konflik di Balik Proklamasi (2010) yang disusun St Sularto dan Dorothea Rini
Yunarti, Bung Karno menolak seraya berkata tegas:
“Inilah leherku, saudara boleh membunuh saya sekarang juga. Saya tidak bisa melepas
tanggung jawab saya sebagai Ketua PPKI. Karena itu, saya akan tanyakan kepada wakil-
wakil PPKI besok.”
Gagal membujuk Sukarno, golongan muda kembali mengadakan rapat. Dikutip dalam
Proklamasi 17 Agustus 1945: Revolusi Politik Bangsa Indonesia (2017) karya Haryono
Riandi, rapat digelar pada pukul 00.30 di Jalan Cikini 71, Jakarta.
Rapat dihadiri oleh para tokoh muda termasuk Chairul Saleh, Djohar Nur, Kusnandar,
Subadio, Subianto, Margono, Wikrana, Armansjah, Sukarni, Jusuf Kunto, Singgih, dr.
Muwardi dari Barisan Pelopor, dan lainnya.
Diputuskan bahwa Sukarno dan Hatta akan diamankan ke luar kota demi menjauhkan mereka
dari segala pengaruh Jepang.
Peristiwa Rengasdengklok
Para pejuang dari golongan muda membawa Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok, dekat
Karawang. Pengamanan pun berjalan lancar karena dibantu oleh Latief Hendraningrat yang
merupakan prajurit PETA (Pembela Tanah Air) berpangkat Sudanco atau Komandan Kompi.
Tepat pada pukul 04.30 dini hari tanggal 16 Agustus 1945, Sukarno bersama Fatmawati dan
putra sulungnya, Guntur, serta Hatta dibawa ke Rengasdengklok, kemudian ditempatkan di
rumah seorang warga keturunan Tionghoa bernama Jiauw Ki Song.
Aksi “penculikan” ini semula dimaksudkan untuk menekan Sukarno dan Hatta agar bersedia
segera memproklamirkan kemerdekaan, tetapi karena wibawa dua tokoh bangsa itu, para
pemuda pun merasa segan.
Di Jakarta, Achmad Soebardjo yang termasuk tokoh dari golongan tua mengetahui peristiwa
tersebut. Ia lantas menemui Wikana, salah satu tokoh pemuda. Pembicaraan pun dilakukan
dan disepakati bahwa kemerdekaan harus segera dideklarasikan di Jakarta.
Selanjutnya, Achmad Soebardjo bersama dengan Sudiro dan Jusuf Kunto menuju
Rengasdengklok untuk menjemput Sukarno-Hatta dan membawa keduanya kembali ke
Jakarta.
Pada hari itu juga, dilakukan pembicaraan terkait rencana pelaksanaan deklarasi
kemerdekaan. Malam harinya, di kediaman Laksamana Muda Maeda, seorang perwira
Jepang yang mendukung kemerdekaan Indonesia, dirumuskanlah naskah teks proklamasi.

Keesokan harinya, tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno-Hatta membacakan teks proklamasi


kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Indonesia pun merdeka
dan bukan merupakan hadiah dari Jepang

Anda mungkin juga menyukai