Anda di halaman 1dari 8

1.

Para pemuda menganggap bahwa kekalahan Jepang sebagai vacuum of power karena saat itu di
Indonesia tidak ada pemerintahan yang berkuasa, sebab Jepang sudah menyerah tanpa syarat kepada
Sekutu, namun pasukan Sekutu belum datang ke Indonesia untuk mengambil alih kekuasaan.

Pasca Jepang runtuh, terjadi perdebatan sengit antara Golongan Muda dan Golongan Tua dalam
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia

Himmah Online, Yogyakarta – Setelah Jepang menyerah pada sekutu tanggal 14 Agustus 1945, status
Jepang tidak lagi memerintah Indonesia tetapi hanya berfungsi sebagai penjaga, yakni menjaga situasi,
kondisi seperti pada masa perang dan adanya perubahan-perubahan di Indonesia. Sampai Sekutu
mengambil alih kekuasaan atas semua wilayah jajahan Jepang. Tentu saja kemerdekaan tidak mungkin
bisa didapat dari Jepang .

Pada tanggal 15 Agustus 1945, para pemuda dipimpin Chaerul Saleh, setelah berdiskusi dengan Tan
Malaka, mengadakan rapat untuk membicarakan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan. Salah satu
hasilnya yaitu mendesak Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan malam itu juga
atau paling lambat 16 Agustus 1945.

Sjahrir kemudian menemui Soekarno dan Hatta dengan membawa hasil rapat tersebut. Awalnya
Soekarno menolak keras petrmintaan Sjahrir tersebut karena Bung Karno masih menunggu keputusan
Jepang. Ini sangat berbeda denga golongan pemuda, yang pada saat itu menginginkan merdeka lebih
cepat tanpa bantuan Jepang. Namun, karena didesak Sjahrir, Bung Karno pun berjanji mengumumkan
proklamasi pada tanggal 15 Agustus setelah pukul lima sore. Sjahrir pun menginstruksikan kepada
pemuda yang bekerja di kantor berita Jepang untuk bergerak lebih cepat.

Namun, perihal pelaksanaan kemerdekaan, Sjahrir mendeteksi ketidakseriusan Soekarno dalam


memerdekakan Indonesia pada saat itu. Terbukti, pada pukul lima sore 15 Agustus 1945, ribuan pemuda
telah menunggu dan bersiap-siap mendengar kabar proklamasi dari Soekarno dan Hatta. Alhasil, pada
pukul enam kurang beberapa menit Soekarno mengabarkan penundaan proklamasi.

Hal tersebut membuat marah para pemuda yang menjadi pengikut Sjahrir. Namun, batalnya
diumumkan proklamasi tak sempat dikabarkan di Cirebon. Para pemuda Cirebon yang basisnya
mendukung Sjarir, dibawah pimpinan dokter Soedarsono, pada hari itu mengumumkan proklamasi versi
mereka sendiri.

Pada malam itu pula, kira-kira pukul 10 malam, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tempat
kediaman Bung Karno, berlangsung perdebatan serius antara sekelompok pemuda dengan Bung Karno
mengenai Proklamasi Kemerdekaan. Bahkan Wikana mengancam Soekarno jika tidak mengumumkan
kemeredakaan saat itu juga, maka akan terjadi pertumpahan darah esok harinya. Akhirnya Bung Karno
menjawab bahwa ia tidak bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan tokoh golongan tua
lainnya, seperti Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusmasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Hasilnya
masih sama, penolakan untuk kemerdekaan saat itu juga. Hingga pada akhirnya, golongan muda
mengambil kesimpulan yang menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung Hatta dengan maksud
menyingkirkan kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang.
Indonesia mengalami Vacum of Power (kekosongan kekuasaan) akibat kekalahan Jepang. Sebelumnya
kemerdekaan telah dijanjikan oleh Jepang kepada Indonesia. Lantas, siapa yang memberikan
kemerdekaan Jndonesia jika Jepang sudah dikalahkan? Jika kemerdekaan tidak diproklamirkan, maka
pada 15 Agustus 1945, golongan muda dan Soekarno-Hatta belum bisa mengambil keputusan. Pasalnya,
kemerdekaan yang dijanjikan oleh jepang akan diberikan pada 27 Agustus 1945, dan Soekarno mencoba
menaati janji itu. Hatta juga masih meragukan berita yang dibawa oleh Syahrir.

Golongan tua yang merupakan orang-orang yang cukup koperatif kepada tentara jepang, enggan untuk
kemerdekaan segera diproklamirkan. Janji yang telah diberikan, membuat para golongan tua tak ingin
terburu-buru. Selain itu, kedudukan Jepang di Indonesia masih cukup kuat, dan para golongan tua tak
ingin ada pertumpahan darah terjadi.

Lain halnya dengan golongan tua, golongan muda merasa indonesia sudah cukup kuat untuk
menyatakan kemerdekaannya. Wikana sebagai perwakilan golongan muda mendesak Bung Karno untuk
mengumumkan kemerdekaan. Mereka pun semakin geram dengan keputusan golongan tua yang dinilai
terlalu bergantung dengan janji yang diberikan jepang. Akhirnya, mereka menginisiasi untuk melakukan
penculikan terhadap Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok

2. Golongan muda yang membawa Soekarno-Hatta kala itu terdiri dari Wikana, Aidit, Chaerul Saleh dan
lainnya. Rengasdengklok terletak di sebuah kecamatan di Karawang, Jawa Barat. Daerah itu dipilih
karena dinilai lebih aman dibandingkan Jakarta yang mempunyai kemungkinan mudah bergolak.

Menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok.

Mengapa begitu dan bagaimana sejarahnya? Berikut adalah alasannya.

Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 dini hari, kelompok pemuda
mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Namun, Soekarno, Hatta, dan para tokoh golongan tua masih ragu. Karena perbedaan pendapat inilah,
para pemuda membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945 dini hari.

Dikutip dari artikel Kompas.com yang berjudul “Hari Ini dalam Sejarah: Soekarno dan Hatta dibawa ke
Rengasdengklok”, pada 15 Agustus 1945 golongan muda melakukan rapat di Ruang Laboratorium
Mikrologi di Pegangsaan Timur membicarakan pelaksanaan proklamasi tanpa menunggu pihak Jepang.

Ketegangan antara golongan tua dan golongan muda muncul dalam menyikapi peristiwa kekalahan
Jepang dari Sekutu.

Perbedaan pandangan tentang kapan waktu yang tepat mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia antara golongan muda dan golongan tua itulah yang melatarbelakangi ketegangan
tersebut.
Saat itu kabar penyerahan Jepang masih belum pasti. Belum ada konfirmasi dari otoritas Jepang di
Jakarta.

Pemerintah Jepang dengan tegas melarang penduduk Indonesia mendengarkan radio luar negeri.
Sehingga, kabar kekalahan Jepang sulit ditembus rakyat Indonesia.

Berkat keuletan para pemuda terutama yang bekerja di kantor berita Jepang, maka informasi mengenai
pidato Kaisar Hirohito tentang Jepang menyerah tanpa syarat ke Sekutu dapat sampai ke Indonesia.

Menurut golongan muda Indonesia, kekalahan Jepang itu adalah waktu yang tepat untuk Indonesia
merdeka.

Golongan muda Indonesia mendesak agar proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia segera dilakukan.
Bahkan, muncul ancaman dari golongan muda.

Soekarno Marah

Soekarno marah saat mendengar ancaman dari kelompok pemuda.

Soekarno tetap bersikeras akan tetap menunggu kejelasan status resmi dari Jepang.

Menurut Soekarno, proklamasi kemerdekaan tidak bisa dilakukan secara gegabah dan harus menunggu
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang telah dibentuk.

Soekarno dan golongan tua khawatir akan muncul korban jiwa jika Indonesia mengambil keputusan
terburu-buru merdeka.

Pendapat tersebut membuat golongan muda bingung menentukan keputusan kapan waktu yang tepat
untuk memproklamirkan kemerdekaan.

Membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok

Akhirnya, golongan muda Indonesia kembali melakukan rapat di Asrama Baperpi (Kebun Binatang Cikini)
hari itu juga. Hasilnya, mereka sepakat untuk menjauhkan Soekarno dan Hatta agar tak mendapat
pengaruh Jepang.

Mereka pun memutuskan untuk menyingkirkan Soekarno dan Hatta ke luar kota untuk menjauhkan
mereka dari segala pengaruh Jepang.

Ädam Malik pada tahun 1970 mengenang saat itu pemuda sepakat bahwa kemerdekaan harus
dinyatakan sendiri oleh rakyat. Jangan menunggu kemerdekaan sebagai hadiah dari Jepang.

Saat itu, pasukan Peta telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang timbul setelah proklamasi
dinyatakan.

Mengutip dari Harian Kompas tanggal 16 Agustus 1966, Soekarno dan Hatta akhirnya dibawa pergi ke
Rengasdengklok dengan menggunakan kendaraan militer pada 16 Agustus 2020.
Golongan muda yang membawa Soekarno-Hatta kala itu terdiri dari Wikana, Aidit, Chaerul Saleh dan
lainnya.

3. Mengikuti desakan pembentukan tentara kebangsaan, pada 5 Oktober 1945, dikeluarkan Maklumat
Pemerintah oleh Presiden Soekarno yang berbunyi “Untuk memperkuat perasaan keamanan umum
maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat.” Sehari kemudian, keluar Maklumat Pemerintah yang
mengangkat Supriyadi sebagai Menteri Keamanan rakyat.

Selanjutnya, pada tanggal 9 Oktober 1945, Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat atau KNIP Pusat
memobilisasi para pemuda untuk mendaftarkan diri menjadi anggota TKR melalui kantor BKR di ibu kota
kabupaten masing-masing. Mobilisasi tersebut juga ditanggapi oleh para mantan perwira KNIL dengan
suatu maklumat pada tanggal 14 Oktober 1945. Mereka mendukung pemerintah Republik Indonesia
yang baru berdiri dan siap menerima perintah dengan segala kekuatan lahir dan batin.

Untuk melengkapi kementerian, pada tanggal 20 Oktober 1945 diuumumkan pembentukan


Kementerian Keamanan Rakyat. Sebagai Menteri Keamanan Rakyat ad interim, diangkat Muhammad
Sulyoadikusumo. Selain itu, diangkat pula pemimpin tertinggi TKR Supriyadi dan Kepala Staf Umum
Mayor Oerip Sumohardjo. Mayor Oerip kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi letnan jenderal.

Dalam menjalankan tugasnya, Letjen Oerip membentuk Markas Tertinggi TKR (MT TKR) di Yogyakarta
dengan susunan: 1) Markas Tertinggi TKR, 2) Markas Besar Umum TKR, dan 3) Empat Komandemen.

Keempat komandemen itu adalah Komandemen I Jawa Barat di bawah pimpinan Jenderal Mayor Didi
Kartasasmita, Komandemen II Jawa Tengah di bawah pimpinan Jenderal Mayor Suratman, Komandemen
III Jawa Timur di bawah pimpinan Jenderal Mayor Muhammad, dan Komandemen Sumatera di bawah
koordinasi dr. AK Gani.

Pada tanggal 14 September 1945, Kabinet Sjahrir mengangkat Amir Sjarifuddin sebagai Menteri
Keamanan Rakyat. Selanjutnya, Kementerian Keamanan menetapkan dasar-dasar TKR pada tanggal 17
September 1945.

Paparan Topik | Hari TNI

TNI: Sejarah dan Perkembangan Organisasi

Sejak dibentuk pada 5 Oktober 1945, tentara kebangsaan Indonesia mengalami berbagai pergantian
nama dan perubahan organisasi. Kini, tentara kebangsaan Indonesia bernama Tentara Nasional
Indonesia yang terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan

Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Letjen Oerip Sumohardjo bersama para perwira TKR.

Fakta Singkat

Perkembangan Organisasi TNI


Tentara Keamanan Rakyat (1945)

Tentara Keselamatan Rakyat (1946)

Tentara Republik Indonesia (1946)

Tentara Nasional Indonesia (1947)

Angkatan Perang Republik Indonesia (1948)

Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (1949)

Angkatan Perang Republik Indonesia (1950)

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (1962)

Tentara Nasional Indonesia (1999)

Setiap tanggal 5 Oktober, bangsa Indonesia memperingati hari TNI. Peringatan tersebut bertepatan
dengan hari pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945. Pembentukan TKR
didahului dengan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bertugas menjaga keamanan
secara umum.

Sebagai tentara kebangsaan, nama TNI baru digunakan secara resmi pada tanggal 3 Juni 1947.
Sebelumnya, tentara kebangsaan Indonesia pernah disebut sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR),
Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia (TRI), Tentara Nasional Indonesia (TNI),
Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI),
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), dan sekarang kembali lagi disebut Tentara Nasional
Indonesia (TNI)

Upacara pelantikan opsir-opsir tinggi TRI di Istana Yogyakarta pada tanggal 25 Mei 1946.

Badan Keamanan Rakyat (1945)

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia belum memiliki kesatuan tentara secara resmi. Rapat
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 menghasilkan
keputusan bahwa presiden perlu memanggil pemuda-pemuda yang memiliki kecakapan militer untuk
membentuk tentara kebangsaan yang kokoh. Untuk mempersiapkan pembentukan tentara kebangsaan
dan kepolisian, presiden membentuk panitia yang terdiri atas Abdul Kadir (ketua) dibantu Kasman
Singodimedjo serta Otto Iskandardinata.

Dalam rapat PPKI tanggal 22 Agustus 1945 diputuskan pembentukan Komite Nasional, Partai Nasional,
dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Keputusan membentuk badan keamanan alih-alih tentara
kebangsaan didasarkan pada pertimbangan bahwa pembentukan tentara akan menimbulkan reaksi dari
pasukan Jepang serta pasukan Sekutu yang akan mendarat. Mengikuti keputusan tersebut, Presiden
Soekarno mengumumkan berdirinya Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI),
dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 23 Agustus 1945.
BKR merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama
Badan Pembantu Prajurit atau Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sendiri sudah berdiri sejak zaman
Jepang dan bertugas untuk memelihara anggota tentara Pembela Tanah Air (Peta) dan Heiho.

Laskar Bambu Runcing siap menghadapi musuh negara (1946).

Badan keamanan yang dibentuk tersebut bertugas sebagai penjaga keamanan umum di daerah-daerah
di bawah koordinasi KNI Daerah. Dengan tugas tersebut, BKR lebih berfungsi sebagai penjaga keamanan,
bukan tentara kebangsaan.

Terpilih sebagai ketua BKR Pusat adalah Mr. Kasman Singodimedjo, mantan daidanco Jakarta. Setelah
Kasman Singodimedjo terpilih sebagai Ketua KNIP, ketua BKR diganti oleh Kaprawi, mantan daidanco
Sukabumi.

Pada saat itu, pimpinan BKR Pusat terdiri atas Kaprawi sebagai ketua umum, Sutalaksana sebagai Ketua
I, dan Latief Hendraningrat sebagai Ketua II dengan dibantu oleh Arifin Abdurrahman, Mahmud, dan
Zulkifli Lubis. Beberapa pimpinan BKR daerah pada saat itu adalah Mufreini (Jakarta), Moestopo (Jawa
Timur), Soedirman (Jawa Tengah), Arudji Kartawinata (Jawa Barat).

Badan perjuangan dan laskar

Pembentukan BKR tak sepenuhnya memenuhi keinginan para pemuda. Mereka yang tidak setuju
dengan pembentukan BKR membentuk berbagai badan perjuangan dengan berbagai nama.

Beberapa badan perjuangan tersebut, antara lain, Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Jakarta,
Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (P3I) di Bandung, Angkatan Muda Indonesia (AMI) di Surabaya,
Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) di Padang, Barisan Pemuda Republik Indonesia (BPRI) di
Kalimantan, maupun badan perjuangan bersenjata di Pare-Pare, Palopo, dan Bonthain.

Beberapa badan perjuangan di atas sudah didirikan sejak zaman Jepang dan memiliki bagian yang
dipersenjatai yang disebut laskar. Selain itu, hampir setiap partai politik juga memiliki laskarnya masing-
masing. Berbagai badan perjuangan yang muncul dapat dikelompokkan berdasarkan sifat
keanggotaannya, yakni etnis, lingkungan kerja (profesi), lokal, maupun ideologis

Barisan pasukan Laskar Hisbullah.

Beberapa badan perjuangan yang cukup besar pengaruhnya pada saat itu adalah Pemuda Republik
Indonesia (PRI) dan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya, Kebaktian Rakyat
Indonesia Sulawesi (KRIS) di Sulawesi, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), serta Hizbullah. Terlepas
perbedaan sifat keanggotaannya, berbagai badan perjuangan tersebut bertujuan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.

Berbagai badan perjuangan serta laskar yang bermunculan pada saat itu umumnya tidak memiliki
hubungan organisasi satu sama lain. Bahkan, walaupun merupakan bagian dari badan yang sama, antara
pusat dan daerah tak selalu bekerja atas dasar garis komando.
Mengingat belum adanya tentara kebangsaan serta munculnya ancaman dari kedatangan pasukan
Inggris, muncul desakan untuk membentuk tentara. Salah satu tuntutan muncul dari sekelompok
mantan prajurit Peta yang mendesak pembentukan tentara dan mencalonkan Supriyadi, komandan Peta
Blitar, sebagai pemimpin tertinggi.

Tentara Keamanan Rakyat (1945)

Mengikuti desakan pembentukan tentara kebangsaan, pada 5 Oktober 1945, dikeluarkan Maklumat
Pemerintah oleh Presiden Soekarno yang berbunyi “Untuk memperkuat perasaan keamanan umum
maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat.” Sehari kemudian, keluar Maklumat Pemerintah yang
mengangkat Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat.

Selanjutnya, pada tanggal 9 Oktober 1945, Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat atau KNIP Pusat
memobilisasi para pemuda untuk mendaftarkan diri menjadi anggota TKR melalui kantor BKR di ibu kota
kabupaten masing-masing. Mobilisasi tersebut juga ditanggapi oleh para mantan perwira KNIL dengan
suatu maklumat pada tanggal 14 Oktober 1945. Mereka mendukung pemerintah Republik Indonesia
yang baru berdiri dan siap menerima perintah dengan segala kekuatan lahir dan batin.

Untuk melengkapi kementerian, pada tanggal 20 Oktober 1945 diumumkan pembentukan Kementerian
Keamanan Rakyat. Sebagai Menteri Keamanan Rakyat ad interim, diangkat Muhammad
Sulyoadikusumo. Selain itu, diangkat pula pemimpin tertinggi TKR Supriyadi dan Kepala Staf Umum
Mayor Oerip Sumohardjo. Mayor Oerip kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi letnan jenderal.

Dalam menjalankan tugasnya, Letjen Oerip membentuk Markas Tertinggi TKR (MT TKR) di Yogyakarta
dengan susunan: 1) Markas Tertinggi TKR, 2) Markas Besar Umum TKR, dan 3) Empat Komandemen.

Keempat komandemen itu adalah Komandemen I Jawa Barat di bawah pimpinan Jenderal Mayor Didi
Kartasasmita, Komandemen II Jawa Tengah di bawah pimpinan Jenderal Mayor Suratman, Komandemen
III Jawa Timur di bawah pimpinan Jenderal Mayor Muhammad, dan Komandemen Sumatera di bawah
koordinasi dr. AK Gani.

Pada tanggal 14 September 1945, Kabinet Sjahrir mengangkat Amir Sjarifuddin sebagai Menteri
Keamanan Rakyat. Selanjutnya, Kementerian Keamanan menetapkan dasar-dasar TKR pada tanggal 17
September 1945.

Laskar rakyat Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) siap menghadapi musuh negara, (Februari
1946).

Di luar pembentukan TKR, masih terdapat pula laskar/kesatuan/barisan rakyat sebagai kekuatan
perjuangan. Pada saat itu, muncul kesadaran bahwa rakyat berhak untuk memiliki tentaranya sendiri di
luar tentara negara.

Oleh karena itu, Markas Tertinggi TKR mengeluarkan Maklumat tanggal 6 Desember 1945 yang
ditandatangani oleh Kepala Staf Umum Letjen Oerip Sumohardjo. Dalam maklumat tersebut, TKR tidak
meniadakan laskar rakyat yang terbentuk, tetapi berusaha merangkul laskar-laskar untuk ikut serta
menjadi kekuatan pendukung sekaligus mengajak untuk memiliki disipilin militer.

Supriyadi tidak pernah datang untuk menduduki jabatan Menteri Pertahanan maupun Pemimpin
Tertinggi TKR sehingga diadakan konferensi pemilihan pimpinan tertinggi TKR yang baru pada bulan
November 1945. Dalam konferensi tersebut, terpilih Kolonel Soedirman, Komandan Divisi V/Banyumas.
Pada saat itu, sudah terbentuk 10 divisi TKR di Pulau Jawa dan enam divisi TKR di Pulau Sumatera.

Pada 18 Desember 1945, Kolonel Sudirman dilantik sebagai Panglima Besar TKR dan dinaikkan
pangkatnya menjadi jenderal. Sedangkan Oerip Soemohardjo tetap menduduki jabatan Kepala Staf
Umum TKR dengan pangkat letnan jenderal. Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX terpilih menjadi
Menteri Pertahanan.

Tindakan pertama Panglima Besar Sudirman sebagai Panglima Besar TKRI adalah mengundang semua
panglima daerah untuk merancang kembali organisasi TKR di Yogyakarta.

Mengikuti pembentukan TKR, muncul pula TKR Laut pada 15 November 1945 yang merupakan
transformasi dari BKR Laut yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, muncul pula TKR Jawatan
Penerbangan yang kemudian diresmikan masuk dalam bagian penerbangan Markas Tertinggi TKR pada
12 Desember 1945.

Anda mungkin juga menyukai