Anda di halaman 1dari 23

Nama : Budi Santoso

NIM : 0703943
Kelas :M
Mata Kuliah : Sejarah Revolusi Indonesia
Dosen : Drs.Ayi Budi Santosa,M.Si
Drs.Andi Suwirta, M.Hum
Tugas : UAS-Sejarah Revolusi Indonesia (Take Home)

1. Mengapa periode 1945-1949 disebut periode Revolusi kemerdekaan?


Jawab: Karena pada periode ini merupakan periode dimana masyarakat
Indonesia mempertahankan Kedaulatan Republik Indonesia dari ancaman
sekutu yang ingin menguasai kembali Indonesia dan upaya untuk
mendapatkan pengakuan dunia Internasional akan adanya Negara Indonesia.
Perubahan secara cepat yang mendasari tatanan kenegaraan terjadi
pada periode ini, sehingga periode ini diarasakan sangat penting. Tahun
1945 merupakan tahun di proklamirkannya Negara ini oleh dua founding
father kita yaitu Soekarno-Hatta, setelah dilakukan hal tersebut banyak
terjadi pergolakan di daerah sebagai upaya untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia, sedangkan akhir dari periode revolusi kemerdekaan
yaitu tahun 1949 bertepatan dengan perjanjian KMB dimana 23 agustus
1949 - 2 September 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar di kota Den
Haag, negeri Belanda, hasil dari perundingan tersebut salah satunya adalah
pengakuan dunia internasional akan adanya sebuah negara yang merdeka
yaitu Negara Republik Indonesia. Dalam berlangsungnya konferensi
tersebut, peranan PBB cukup besar dan berfungsi sebagai pengawas.
Akhirnya dengan berakhirnya KMB, berakhir pula pesengketaan Indonesia-
Belanda. Hal ini juga memberikan pengakuan secara de facto bahwa hal ini
membuktikan adanya Negara Republik Indoesia, karena mendapat
pengakuan dari negara-negara di luar Indonesia. Yang datang pertama kali
adalah dari negara-negara yang terabung dalam Liga Arab, yaitu Libanon,
Mesir, Suriah, Saudi Arabia, dan akhirnya menyusul juga Afghanistan,
India, dll. Untuk perkataan penyerahan kedaulatan itu, oleh pihak Indonesia
diartikan sebagai pengakuan kedaulatan, walaupun pihak Belanda Tidak
setuju dengan hal itu. Namun dalam kenyataan oleh masyarakat
internasional diakuinya, keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Jelaskan kontrovensi Golongan Muda-Golongan Tua dalam peristiwa sekitar
Proklamasi kemerdekaan?
Jawab: Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu.
Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena
Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan
Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar
ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal
bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak
ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan
darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat
PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah
sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan
kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei)
untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan
Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu,
Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di
Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan
selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum
menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang
dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus
keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala
sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan
kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari
beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak
dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak
tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana
--yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi
dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka yang tergabung dalam gerakan
bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus
1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan
pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur
yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian
terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini,
mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan
para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr.
Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo
menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke
Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta
kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para
pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan.
Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat
bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak
dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran
Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung
museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima
oleh para tokoh Indonesia.
Adapun kronologis kejadiannya yang saya dapatkan dari situs resmi
Sekretariat Negara mengenai hal diatas adalah sebagai berikut:
Sekarang Bung, sekarang! Malam ini juga kita kobarkan revolusi, kata
Chaerul Saleh. Kita harus merebut kekuasaan, tukas Sukarni. Kami sudah
siap mempertaruhkan jiwa kami, seru mereka bersahutan. Wikana bahkan
mengatakan, Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada
malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan
pembunuhan besar-besaran esok hari. Mendengar kata-kata ancaman seperti
itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil berkata, Ini
batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini
juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari. Hatta kemudian
memperingatkan Wikana, ...Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus
menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di
negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya
katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk
memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak
memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri? Mengapa meminta Soekarno
untuk melakukan hal itu?
Namun, para pemuda terus mendesak. Apakah kita harus menunggu
hingga kemerdekaan itu diberikan kepada kita sebagai hadiah, walaupun
Jepang sendiri telah menyerah dan telah takluk dalam Perang Sucinya.
Mengapa bukan rakyat  itu sendiri yang memproklamasikan
kemerdekaannya? Mengapa bukan kita yang menyatakan kemerdekaan kita
sendiri, sebagai suatu bangsa? Dengan lirih, setelah amarahnya reda,
Soekarno berkata,...kekuatan yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan
kekuatan bersenjata dan kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang
bisa kau perlihatkan kepada saya? Mana bukti kekuatan yang
diperhitungkan itu? Apa tindakan bagian keamananmu untuk
menyelamatkan perempuan dan anak-anak? Bagaimana cara
mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan? Kita tidak akan
mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana
kita akan tegak di atas kekuatan sendiri ?. Demikian jawab Bung Karno
dengan tenang.
Para pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera
memproklamasikan kemerdekaan. Setelah berulangkali didesak oleh para
pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia tidak  bisa memutuskannya
sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan pemuda
mempersilahkan Bung Karno untuk berunding. Tidak lama kemudian, Hatta
menyampaikan keputusan, bahwa usul para pemuda tidak dapat diterima
dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak
korban jiwa dan harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda nampak
tidak puas. Mereka mengambil kesimpulan yang menyimpang; menculik
Bung Karno dan Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu
dari pengaruh Jepang.
Di sebuah pondok bambu berbentuk panggung  di tengah persawahan
Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan panas. Revolusi berada di
tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak
memulai revolusi malam ini, lalu ... Lalu apa?, teriak Bung Karno sambil
beranjak dari kursinya, dengan kemarahan yang menyala-nyala. Semua
terkejut, tidak seorang pun yang bergerak atau berbicara. Waktu suasana
tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai
berbicara, Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah
saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan
ini untuk dijalankan tanggal 17. Sukarni balik bertanya, Mengapa justru
diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16?
Soekarno menjawab, Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya
tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17
lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam
kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci.
Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita
semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal 17
besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat
suci. Al-Quran diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat,
oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia.
Malam itu, dari rumah Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta
ditemani Laksamana Maeda menemui Somobuco (kepala  pemerintahan
umum), Mayor Jenderal Nishimura, untuk menjajaki sikapnya mengenai
pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Namun Jepang melarang Soekarno-
Hatta mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi
Kemerdekaan. Melihat kenyataan ini, Soekarno-Hatta sampai pada
kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicarakan soal
kemerdekaan Indonesia dengan Jepang. Setelah itu, Soekarno dan Hatta
kembali ke rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan teks proklamasi.
Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945, pada saat
Soekarno membuka pertemuan dini hari itu dengan beberapa patah kata.
Keadaan yang mendesak telah memaksa kita semua mempercepat
pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Rancangan teks telah siap
dibacakan di hadapan saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa
saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat
berjalan terus dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar
menyingsing.
Rencananya teks proklamasi akan dibacakan di lapangan IKADA.
Akan tetapi Soekarno menolak saran Sukarni. Tidak, kata Soekarno, Lebih
baik dilakukan di tempat kediaman saya di Pegangsaan Timur. Pekarangan
di depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita harus
memancing-mancing insiden? Lapangan IKADA adalah lapangan umum.
Suatu rapat umum, tanpa diatur sebelumnya dengan penguasa-penguasa
militer, mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu bentrokan
kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan membubarkan
rapat umum tersebut, mungkin akan terjadi. Karena itu, saya minta 
saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56 sekitar pukul 10.00
pagi.

Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan


singkat sebelum membacakan teks proklamasi.

Saudara-saudara sekalian! saya telah minta saudara hadir di sini,


untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita.
Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk
kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun.
Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya
ada turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam
jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak
berhenti. Di dalam jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan
diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga
kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah
saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita
di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib
dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi
malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat
Indonesia dari seluruh Indonesia, permusyawaratan itu seia-sekata
berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan
kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu.
Dengarkanlah Proklamasi kami:
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia. 
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l.,  diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja. 
 Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno/Hatta.
Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada
satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat
ini kita menyusun negara kita! Negara Merdeka. Negara Republik Indonesia
merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan
kita itu.
Dengan kearifan mereka yang tua dan semangat mereka yang muda, kita
diwarisi oleh mereka dengan kehormatan sebagai bangsa yang merdeka.

3. Bagaimana sikap kelompok-kelompok Sjahrir, Tan Malaka, dan Amir Sjarifuddin


pada masa Revolusi Kemerdekaan?
Jawab: Sjahrir adalah satu dari Tujuh Begawan Revolusi Indonesia. Ketujuh
orang ini Soekarno, Hatta, Sjahrir, Amir Sjarifoeddin, Tan Malaka,
Sudirman, dan A.H. Nasution dalam kadar berbeda menentukan arah dan
produk revolusi. Republik Indonesia pada zaman revolusi, dengan demikian,
bukan merupakan akibat dari proses sosial yang impersonal dan tak
terhentikan, melainkan hasil interaksi ribuan orang dan organisasi, kelompok
angkatan bersenjata dan badan perjuangan, politikus nasional dan lokal,
idealisme dan oportunisme, patriotisme dan banditisme, pahlawan dan
pengecut. Semua ingar-bingar itu berakhir dengan ajaib: pengakuan
kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada Desember 1949.
Ketujuh pemimpin ini dengan caranya masing-masing berkontribusi
bagi jalannya revolusi. Setelah revolusi, mereka mengalami peruntungan
berbeda, aliansi berbeda, dan perimbangan kekuatan berbeda.
Sjahrir dan Amir, yang tak tergoda bekerja sama dengan Jepang, pada
1945 segera mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno dan Hatta.
Mereka menghadirkan Republik Indonesia yang siap bernegosiasi dengan
Sekutu dan Belanda. Di latar belakang, Soekarno dan Hatta menunggu saat
yang tepat untuk comeback. Kesempatan itu datang tatkala Sjahrir berada di
bawah tekanan melakukan terlalu banyak konsesi dalam pembicaraannya
yang dalam diskursus politik sering disederhanakan sebagai diplomasi.
Tan Malaka, politikus sorangan, yang setelah 20 tahun di pembuangan,
secara diam-diam kembali ke Jawa pada 1942. Ia mengepalai sebuah koalisi
berwajah angker antara organisasi politik dan organisasi militer, Persatuan
Perjuangan. Koalisi yang membawa panji-panji perjuangan ini melancarkan
oposisi blak-blakan terhadap konsesi apa pun dengan Belanda, bila konsesi
itu menyimpang dari semangat Proklamasi. Tujuan mereka adalah merdeka
100 persen.
Namun Tan Malaka dan koalisinya ternyata hanya raksasa dengan kaki
dari tanah liat. Setelah melakukan perlawanan sengit terhadap Sjahrir, Amir,
Soekarno, dan Hatta keempatnya hanya memberikan tanggapan moderat
dalam sidang parlemen sementara, yaitu Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) di Solo pada Februari 1946, Persatuan Perjuangan lenyap tak
berbekas. Tan Malaka pun hilang dalam gerhana.
Kendati demikian, Tan masih dianggap ancaman bagi kehormatan
Republik. Entah Amir atau Sjahrir, atau mungkin keduanya, dengan
persetujuan Soekarno, secara tak resmi mendukung penculikan Tan Malaka
dan beberapa pengikut setianya oleh dua orang pemuda Pesindo, organisasi
pemuda sosialis, dari sayap yang dipersenjatai. Penculikan pada Maret 1946
itu berhasil, tak mendapat kecaman publik, dan Tan Malaka ditahan tanpa
proses persidangan sampai September 1948. Ketika dibebaskan, Tan tentu
saja sakit hati terhadap mereka yang bertanggung jawab atas penahanannya:
Sjahrir, Amir, Soekarno, Hatta.
Selama delapan bulan dari Proklamasi sampai penculikan Tan
Malaka,Tan berubah dari negarawan senior terhormat, disegani karena
pengalamannya dan perjuangan antikolonialnya, dan seorang teoretikus
revolusi, menjadi orang buangan, dihujat dan dilupakan. Sjahrir adalah salah
satu pengagumnya. Mereka bertemu pertama kali pada September, di rumah
Soebardjo, tempat Tan Malaka tinggal sementara. Mereka bertemu lagi
ketika Tan Malaka pindah ke Bogor. Sjahrir dan para pemuda terkemuka
mendiskusikan cara menggantikan kekuasaan presiden Soekarno dan Hatta
dengan pemerintahan parlementer yang dikepalai Sjahrir.
Tan Malaka memberikan usulan dalam bahasa Inggris: ”We must
follow a nationalist policy with a very deep cut into socialism” (Kita harus
menjalankan suatu politik nasionalis yang sangat diwarnai oleh sosialisme).
Sjahrir setuju. Dalam kerja sama yang erat, mereka merencanakan langkah-
langkah untuk mengambil alih kekuasaan dari Soekarno dan Hatta.
Tapi belakangan Sjahrir berpikir bahwa dalam keadaan segenting itu
perlu mempertahankan Soekarno sebagai simbol negara. Sjahrir juga
menaruh rasa hormat pada Tan Malaka yang ia sapa dengan sapaan
kehormatan Minangkabau, Engku.
Sjahrir kemudian terpilih menjadi Kepala Badan Pekerja KNIP pada 17
Oktober untuk menangani masalah-masalah parlementer. Ia mengisi
lembaga yang dipimpinnya dengan sejumlah besar pendukungnya yang
ditemuinya seminggu kemudian. Termasuk, Tan Malaka yang saat itu berada
di Serang. Ini merupakan pertemuan penting. Tan Malaka mengemukakan
pandangannya bahwa perlawanan all-out terhadap Belanda merupakan
kebijakan yang harus diikuti. Indonesia tak memiliki persenjataan, tapi ia
memiliki rakyat dan pemuda yang siap bertempur.
Ancaman bumi hangus akan mencegah Belanda untuk kembali.
Perundingan dengan Belanda hanya boleh terjadi bila Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia. Perlawanan total inilah yang kemudian menjadi
program Persatuan Perjuangan dan memicu bubarnya kerja sama Tan
Malaka dan Sjahrir. Tapi, di Serang, Sjahrir masih meminta Tan Malaka
menjadi Ketua Partai Sosialis yang segera didirikan. Reputasi Tan yang
legendaris dipandang dapat memperkuat basis kekuasaan yang solid bagi
Sjahrir.
Tan Malaka menolak tawaran itu. Dalam pandangannya, partai-partai
yang tumbuh seperti jamur di musim hujan hanya membawa perpecahan dan
mengancam persatuan yang begitu diperlukan bagi perjuangan melawan
Belanda. Tan Malaka menegaskan prinsipnya: ”Sesudah lebih daripada dua
puluh tahun di belakang ini, saya tiada ingin akan menjadi teman separtai
kaum sosialis, yang kebanyakan masih mau berkompromi dengan kapitalis-
imperialis itu.” Kepada pengikut setianya, Maroeto Nitimihardjo, ia bahkan
lebih terus terang, ”Aku tak bisa melakukan ini, aku Komunis.”
Inilah akhir kerja sama kedua tokoh ini .Sjahrir memilih garis lebih
moderat, Tan Malaka mengorganisasikan alternatif lebih radikal. Keduanya
tak pernah bertemu lagi.
Dari ketujuh tokoh utama revolusi, hanya Sjahrir dan Tan Malaka yang
menuangkan gagasan mereka dalam tulisan. Sjahrir menerbitkan Perjuangan
Kita, yang beredar luas dan dipuji. Khususnya, oleh para pendukung di luar
negeri dari kelompok sosial demokrat yang moderat yang setuju dengan
lahirnya bangsa Indonesia yang baru. Namun prinsip-prinsip dan visi yang
dikemukakan Sjahrir tentang persoalan-persoalan aktual kenegaraan terlalu
singkat. Visi Sjahrir juga bercampur-aduk antara analisis politik,
pertimbangan-pertimbangan taktis, rencana jangka pendek dan jangka
panjang, pilihan praktis, ortodoksi Marxis, serta hasil pengamatan yang
ditujukan kepada audiens dalam negeri dan luar negeri, yang disajikan
kadang-kadang secara agresif, kadang-kadang tersembunyi.
Dibandingkan trilogi Tan Malaka yang disajikan dalam format dialog
Politik, Muslihat, Rencana Ekonomi buklet Sjahrir tak dapat bersaing
dengan tulisan Tan Malaka yang koheren dan mendalam tentang kebijakan-
kebijakan pemerintah. Tapi Tan Malaka tak punya sarana untuk menerbitkan
dan mengedarkan buklet-bukletnya. Ia juga tak mempunyai hubungan baik,
serta kontak dan simpati dengan luar negeri.
Di dalam penjara Tan Malaka menulis Dari Penjara ke Penjara, yang
juga berisi komentar-komentarnya tentang revolusi Indonesia yang diwarnai
pengalaman-pengalaman getir bersama kuartet Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan
Amir. Dalam jilid tiga Dari Penjara ke Penjara yang beredar dalam bentuk
stensilan ia tetap mengemukakan pandangan-pandangannya. Pada waktu itu
Sjahrir telah turun dari jabatan perdana menteri, telah pula kehilangan
goodwill, dan dituduh terlalu banyak melakukan konsesi dengan Belanda.
Amir mengalami nasib yang sama menyusul keterlibatannya dalam
Pemberontakan Komunis di Madiun, yang dibayar dengan eksekusi mati.
Analisis Tan Malaka atas keempat pemimpin dilakukan dalam bentuk
sketsa: ”Satu dengan lainnya lebih banyak mempunyai persamaan dalam hal
yang penting daripada perbedaan. Mereka sama-sama berasal dari golongan
petite bourgeoisie, borjuis kecil Indonesia, sama-sama mendapatkan
pendidikan sekolah Belanda tertinggi. Dan sama-sama bercita-cita ‘kerja-
sama’ dengan imperialis Belanda, menurut Linggarjati dan Renville. Mereka
cuma berbeda dalam kualitas, sifat, sebagai orang saja.”
Tentang Sjahrir, Tan menulis: ‘Sampai pada waktu Jepang menyerah,
maka Sutan Sjahrir paling dekat dengan para pemuda […]. Tetapi dalam
sikap tindakan merebut senjata dari Jepang pada 17-18-19 Agustus sudah
kelihatan retak antara Sjahrir cs. dengan para pemuda. […] Sebenarnya
Sjahrir sudah bertindak dengan Soekarno-Hatta. Dia dengan golongan
pemudanya sudah melayang-layang di antara Massa Aksi dengan Diplomasi.
Dia kelak dengan majunya perjuangan akan terpaksa memilih salah satunya
pekerjaan yang sangat sukar bagi borjuis kecil.” Tan terus mencadangkan
kritik terhadap perilaku Sjahrir pada rapat KNIP di Solo, ketika keempatnya
Sjahrir, Amir, Soekarno, Hatta menyingkirkan Persatuan Perjuangan lewat
gerakan-gerakan rahasia dan manuver-manuver cerdik.
Atas cara ini, dalam beberapa bulan, kerja sama yang menjanjikan
telah berbelok menjadi perseberangan yang pahit, dengan Tan Malaka dalam
peran abadinya sebagai pecundang sepi. Tapi hari-hari kejayaan Sjahrir juga
pendek. Sejak Juli 1947, ia dihukum untuk berdiri di pinggir, sebagai
pemimpin partai sosial demokratik yang kecil.

4. Bagaimana peran diplomasi dan perang pada masa Revolusi Kemerdekaan?


Jawab: Dalam perjuangan Revolusi di Indonesia, terdapat dua jalan untuk
mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia, yaitu melalui jalan perang
dan cara diplomasi.Untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia baik
secara de facto ataupun secara de jure, pemerintah melakukan beberapa
usaha untuk mengadakan perlawanan terhadap tentara NICA dan mengubah
pemerintahan yang semula Presidensial menjadi Parlementer. Hal ini
dilakukan pemerintah dalam usahanya untuk mendapatkan pengakuan
kedaulatan atas Republik Indonesia oleh dunia internasional. November
1945 kabinet Republik Indonesia pertama dibentuk dengan Sutan Sjahrir
sebagai Perdana Menteri yang bertugas menjalankan semua diplomasi baik
dengan sekutu maupun dengan pihak Belanda. Sjahrir dipilih karena dia
pada saat pemerintahan Jepang tidak bekerjasama dengan pihak Jepang.
Alasan dirubahnya pemerintahan Republik Indonesia dikarenakan
Sekutu beranggapan bahwa Republik Indonesia adalah buatan Jepang.
Anggapan itu didasarkan pada para pemimpin Indonesia dalam hal ini
Sekarno dan Hatta adalah kolaborator pada masa Jepang. Kemudian seluruh
persiapan kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh badan-badan
buatan pemerintahan Jepang di Indonesia seperti BPUPKI dan PPKI.
Selain mengubah pemerintahan, keluar Maklumat pada 3 November
1945 tentang partai politik yang isinya membolehkan setiap orang,
kelompok dan golongan untuk membentuk partai politik. Hal ini juga adalah
usaha untuk menunjukan kepada dunia internasional dan terutama sekutu
bahwa Republik Indonesia adalah Negara yang demokrasi bukan Negara
yang dibuat oleh Jepang.
Menurut George Kahin, Indonesia periode 1945-1946 adalah internal
dynamic in the revolution. Pada periode ini perang pendapat antara
pemimpin Republik Indonesia dalam memilih jalan untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia, apakah dengan jalan diplomasi atau dengan jalan
perang fisik. Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya adalah peristiwa
yang menjadi titik awal perdebatan itu. Tetapi kabinet Sjahrir memilih jalan
berdiplomasi untuk menghadapi Belanda. Pemilihan diplomasi ini bukan
tanpa alasan, kabinet Sjahrir memiliki pertimbangan terhadap kekuatan
persenjataan Republik Indoneisa apabila dibandingkan dengan persenjataan
Belanda. Tetapi jalan yang ditempuh oleh Sjahrir mendapat kritikan dari
para tokoh nasional yang menginginkan jalan perang fisik seperti Tan
Malaka, Achmad Subardjo, Muh. Yamin dan yang lainnya.
Peranan Diplomasi.Pertemuan pertama antara Pemrintah kabinet Sjahrir
dengan pihak Belanda dan Sekutu terjadi di Markas Besar tentara Inggris di
Jakarta pada 17 November 1945. Pihak Republik Indonesia diwakili oleh
Perdana Menteri Sutan Sjahrir, pihak Sekutu diwakili oleh Letnan Jenderal
Christison dan pihak Belanda diwakili oleh Dr. H.J van Mook selaku Wakil
Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pertemuan ini bertujuan untuk
mempertemukan Indonesia dengan Belana serta menjelaskan tugas Sekutu di
Indonesia.
Baik diplomasi maupun peperangan kedua-duanya saling isi mengisi.
Namun semuanya mempunyai alasan yang cukup kuat dan mendasar, bagi
pihak yang memilih perjuangan diplomasi, mengemukakan alasan sebagai
berikut:
 Dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea ke empat terdapat kata-kata
yang berbunyi: ...ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan....
 Walaupun Jepang mengalami kakalahan terhadap sekutu, namun pihak
Jepang masih bersenjata lengkap, hal ini menimbulkan ke khawatiran
jika terjadi adu fisik dengan Jepang maka akan menyebabkan
timbulkan korban perang yang sangat besar.
 Belanda yang termasuk di pihak sekutu, akan mendapat bantuan
kekuatan dan dukungan cukup besar dari kelompok sekutu. Karena
itulah jika terjadi pertempuran maka dikhawatirkan akan lebih
menyengsarakan masyarakat Indonesia.
Dengan memperhatikan alasan-alasan tersebut menurut saya pada
alasan pertama, yaitu ...ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan.... dalam hal ini berarti bahwa bangsa Indonesia
mendapat beban dan tugas untuk memelihara perdamaian. Apabila terdapat
persengketaan atau kesalahpahaman antara negara dengan negara lain, bagi
negara-negara yang menjadi naggota PBB, sedikit banyak harus turut
prihatin dan sedapat mungkin membantu dalam proses penyelesaian masalah
melalui perundingan. Dengan demikian apabila bangsa Indonesia
menghadapi penjajah Belanda melalui perjuangan bersenjata, maka akan
mendapat kecaman dari dunia internasional dan berarti bertentangan dengan
pembukaan UUD 1945.
Oleh karena itu, pihak pemerintah pada awal pemerintahannya
menempuh perjuangan diplomasi dengan sasaran untuk mendapatkan
perhatian dunia Internasional, agar memberikan pengakuan terhadap negara
Republik Indonesia. Program politik pemerintah yang harus dijalankan oleh
kabinet Sjahrir ialah berunding atas dasar kemerdekaan penuh 100%
(Notosusanto, 1984: 49). Saat itu pihak Belanda mengadakan blokade
ekonomi terhadap Indonesia dan didukung oleh Amerika Serikat. Untuk
menghadapi hal tersebut pemerintah mencoba menarik perhatian dunia luar
dengan cara memberikan bantuan beras kepada India dan juga menjamin
modal asing yang ditanamkan di Indonesia (Sudiyo,2002: 113).
Usaha pemerintah Indonesia itu, di imbangi oleh Belanda dengan cara
memecah belah wilayah tanah air Indonesia melaluai Konferensi Malino
yang diselenggarakan pada 15-25 Juli 1946, dipimpin oleh Gubernur
Jenderal Dr.H.J. Van Mook. Tidak lama kemudian konferensi ini disusul
konferensi Pangkal Pinag pada tanggal 1-12 Oktober 1946 dan pihak
Belanda berhasil mendirikan ”Negara Boneka”.
Memperhatikan langkah-langkah yang dilakukan Belanda itu, maka
pemerintah RI protes dan terjadilah perundingan Linggarjati tanggal 7
Oktober 1946 yang menghasilkan:
1.Belanda mengakui secara de fakto Republik Indonesia dengan wilayah
kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa, Madura.
2.Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk
negara Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah
Republik Indonesia.
3.Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-
Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya (Notosusanto, 1984: 50).
Penandatanganan perundingan Linggarjati itu dilakukan pada tanggal
24 Maret 1947 oleh pemerintah masing-masing. Perundingan ini tidak
berajalan dengan lancar, oleh karena itu berkali-kali mengalami penundaan.
Setelah dianggap cukup dan menghasilkan keputusan sebanyak 17 pasal,
ternyata kedua belah pihak menafsirkn hal yang berbeda. Akibatnya
terjadilah Agresi Militer Belanda I tanggal 21 Juli 1947.
Dalam konfrontasi pertama dengan Belanda setelah kemerdekaan
itulah, mulai mendapatkan perhatian dari PBB dan dibentuklah Komisi Tiga
Negara yang terdiri dari Australia (pilihan Indonesia), Belgia ( pilihan
Belanda), Amerika serikat (pilihan Belgia dan Australia). Pada tanggal 27
Oktober 1947, KTN memulai bekerja dan meminta perundingan di atas
kapal laut angkut milik Amerika Serikat bernama Renville.
Sementara itu, kabinet Hatta meneruskan perjuangan diplomasi, yaitu
menyelesaikan masalah intern terlebih dahulu. Perjuangan bangsa Indonesia
setelah berhasil menyelesaikan masalah intern dalam negeri, kemudian terus
melanjutkan perundingan-perundingan untuk segera menyelesaikan
persengketaan dengan Belanda. Pihak Belanda bersedia mengadakan
perundingan denganpihak Indonesia setelah mendapat desakan dari
berabagai negara yang menjadi anggota PBB. Akhirnya pada tanggal 23
agustus 1949 - 2 September 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar di kota
Den Haag, negeri Belanda.
Dalam berlangsungnya konferensi tersebut, peranan PBB cukup besar
dan berfungsi sebagai pengawas. Akhirnya dengan berakhirnya KMB,
berakhir pula pesengketaan Indonesia-Belanda. Hal ini juga memberikan
pengakuan secara de facto bahwa hal ini membuktikan adanya Negara
Republik Indoesia, karena mendapat pengakuan dari negara-negara di luar
Indonesia. Yang datang pertama kali adalah dari negara-negara yang
terabung dalam Liga Arab, yaitu Libanon, Mesir, Suriah, Saudi Arabia, dan
akhirnya menyusul juga Afghanistan, India, dll. Untuk perkataan
penyerahan kedaulatan itu, oleh pihak Indonesia diartikan sebagai
pengakuan kedaulatan, walaupun pihak Belanda Tidak setuju dengan hal itu.
Namun dalam kenyataan oleh masyarakat internasional diakuinya,
keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Peranan Perang. Sejak semula pemerintah RI di bawah Soekarno-
Hatta, apalagi di bawah Perdana Menteri (PM) Sutan Sjahrir, melaksanakan
strategi diplomasi. Berdasarkan sikap sangsi atas kemampuan rakyat
bersenjata dengan TNI sebagai intinya, pemimpin-pemimpin politik yang
duduk dalam pemerintah memberi konsesi demi konsesi kepada pihak
lawan. Strategi diplomasi yang bertolak dari tidak adanya rasa percaya diri
ini memberi peluang kepada pihak Belanda untuk secara terus-menerus
mengambil langkah-langkah likuidasi terhadap republik dengan kekuatan
militer.
Strategi diplomasi seperti itu dimulai dari Indonesia bagian Timur.
Wilayah itu diserahkan Sekutu kapada Belanda secara resmi pada bulan Juli
1946. Setelah Belanda menerima pendudukan tersebut dan setelah merasa
kuat, maka usaha untuk meningkatkan dibidang politik dengan membentuk
“negara bagian”, yang gagasannya dilontarkan dalam Konferensi Malino di
bawah pimpinan Dr. H.J. van Mook (Wakil Gubernur Jenderal Hindia
Belanda) yang berlangsung pada tanggal 16-22 Juli 1946.
Tujuan konferensi itu menurut Belanda adalah untuk membangun
suatu susunan politik di daerah-daerah dalam rangka ketatanegaraan federal
yang disusun di bawah Belanda. Langkah-langkah yang dimulai di Malino
itu dilanjutkan di Denpasar pada tanggal 18-24 Desember 1946. Konferensi
ini bertujuan untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT). Pada tahun
1946 itu Belanda telah menduduki Indonesia bagian timur termasuk Irian
Barat, maupun bagian Indoneisa bagian Barat seperti Bangka Belitung dan
Riau.
Sedangkan di Jawa dan Sumatera pada tahun 1946, digunakan oleh
Inggris maupun Belanda untuk mengulur waktu dengan cara berunding
dengan RI, menjaga status quo sambil mendatangkan dan memasukkan
pasukan-pasukan dari Negeri Belanda, agar dapat mengambil alih kekuasaan
seluruhnya dari tentara Inggris. Sementara itu pihak Belanda berusaha keras
mengamankan Konsepsi Malino, tentara ekpedisi Belanda mengadakan
operasi-operasi militer dan tekanan-tekanan terhadap pejuang RI di daerah-
daerah yang termasuk wilayah Konsepsi Malino (daerah federal sementara).
Pada bulan April 1946 Belanda menangkap Gubernur Sulawesi Dr.
Sam Ratu Langie di Ujung Pandang, kemudian membuangnya ke Irian
Barat. Selanjutnya pada bulan November dan Desember 1946, Belanda
melancarkan operasi Miiliter besar-besaran di Pulau Bali. Operasi ini
mendapat perlawanan dari rakyat Bali. Dalampertempuran habis-habisan
yang terjadu di desa Marga pada bulan April 1946 antara pasukan TRI
dengan pasukan kolonial Belanda, Komandan Resimen Letnan Kolonel
Ngurah Rai gugur, dan pada waktu itu pihak Inggris selalu membantu pihak
Belanda yang ingin mengembalikan kekuasaan kolonialnya, dan melakukan
usaha-usaha penengahan atau arbitrase. Hal tersebut disebabkan karena
Inggris mendapatkan tekanan-tekanan politik di negerinya untuk segera
menaraik mundur pasukannya, mula-mula didatangkan Sir Archibald Clark
Kerr untuk menengahi sengketa antara RI dengan pihak Belanda. Ia
kemudian diganti oleh Lord Killearn, yang kemudian berhasil membawa
pihak Indonesia dan Belanda ke meja perundingan dan menghasilkan
Persetujuan Linggajati. Dengan demikian pihak Inggris dapat menarik
mundur pasukan-pasukannya dari Indonesia pada akhir tahun 1946.
Berabagai raeksi muncul akibat adanya perundingan Linggajati,
akibatnya untuk mencegah kesimpangsiuran pendapat di kalangan Angkatan
Perang, maka pada tanggal 21 November 1946 Panglima Besar Jenderal
Soedirman mengeluarkan instruksi yang mengingatkan kepada seluruh
anggota Angkatan Perang agar tidak memikirkan masalah perundingan dan
tidak bertindak sendiri sendiri. Kewajiban angkatan perang sebagai tulang
punggung negara adalah memperkuat dan mempertahankan kemerdekaan
dan kedaulatan negara. Amanat yang berupa instruksi Panglima Besar
tersebut disusul dengan amantnya tanggal 28 November 1946 yang sekali
lagi membawakan sikap Ankatan Perang terhadap persetujuan Linggajati
yang tercermin dalam amanatnya: ”maka disamping KNI Pusat Pleno dan
partai-partai seluruhnya akan dan atau sedang membicarakan naskah
persetujuan itu, kita sekalian yang turut bertanggung jawab atas
keselamatan dan kesejahteraan negara serta bangsa Indonesia, tidak boleh
sekali-kali tinggal diam, duduk termenung, hanya memikirkan Badan
Perwakilan Rakyat”. Selanjutnya Panglima Besar dalam amanatnya
menyambut berita kekejaman tentara Belanda di Bogor, merasa kurang
senang terhadap berlarut-larutnya pembicaraan mengenai naskah Persetujuan
Linggajati, sedangkan pihak Belanda terus melancarkan aksi teror.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa diplomasi juga terkadang
dihubungkan dengan perang. Oleh karena itu seorang filsuf Jerman yang
bernama Clausewitz, dalam pernyataannya yang terkenal mengatakan bahwa
perang merupakan kelanjutan diplomasi dengan melalui sarana lain. Dengan
dua cara tersebut memiliki satu tujuan yang sama yaitu mempertahankan
Kemerdekaan Republik Indonesia.

5. Pada masa Revolusi Kemerdekaan Bangsa Indonesia berjuang melawan berbagai


kekuatan baik dari dalam maupun luar. Jelaskan!
Jawab: Sesudah proklamasi terjadilah pertempuran dan bentrokan-bentrokan
antara pemuda-pemuda Indonesia melawan aparat kekuasaan Jepang.
Tujuannya adalah untuk merebut kekuasaan guna menegakan kedaulatan
Republik serta untuk memperolah senjata. Euforia revolusi segera mulai
melanda negeri ini, dan khususnya kaum muda merespons hal ini dengan
mengambil tindakan-tindakan yang ditujukan untuk mempertahankan
kedaulatan.Di dalam rangka ini di Jakarta pata pemuda yang diperoleh oleh
Komite van Aksi Menteng 31 merencanakan untuk mengerahkan massa
pada suatu rapat raksasa di Lapangan Ikada Jakarta, agar para pemimpin RI
dapat berbicaradi hadapan mereka. Rencana itu dilaksanakan dengan 2 cara
yaitu: persiapan pengerahan massa dan menyampaikan rencana itu pada
presiden. Pada prinsipnya, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta
setuju, demikian pul a para mentri. Yang menjadi persoalan bagi Pemerintah
adalah bagaimana skap penguasa Jepangsetelah mereka menyerah dan
menjadi alat Serikat. Kemudian dibicarakan masalah tersebut dalam kabinet
bertempat di kediaman presiden. Sidang berlangsung sampai dinihari tanggal
19 September 1945. Sidang tidak menghasilkan keputusan yang bulat lalu
ditangguhkan sampai pukul 10 pagi. Sidang dimulai lagi pada pukul 10 di
Lapangan Banteng Barat yang dihadiri juga oleh para pemimpin pemuda.
Para pemimpin pemuda menyatakan agar rapat tidak dibatalkan. Sementara
itu massa sudah berbondong-bondong membanjiri lapangan Ikada siap
mendengarkan pidato dari para pemimpin-pemimpinnya. Situasi menjadi
sangat tegang karena Lapangan Ikada telah dijaga ketat oleh pasukan
bersenjata Jepang, yang juga mengerahkan tank-tanknya. Sewaktu-waktu
bisa terjadi bentrokan berdarah. Akhirnya sidang memutuskan agar pata
pemimpin datang untuk berhadapan muka dnegan massa guna meminta
kesediaan mereka untuk mematuhi perintah-perintahnya. Selanjutnya
menyerukan kepada mereka supaya bubar dan pulang kerumah masing-
masing (Marwati D. P., 1993: 101).
Kemudian Presiden, Wakil Presiden dan para mentri menuju ke
Lapangan Ikada. Pada waktu itu Lapangan Ikada telah melimpah-ruah
dengan massa yang membawa pelbagai macam senjata tajam. Tampak pula
psukan –pasukan Jepangdan bayonet terhunus di samping tank-tanknya.
Mobil Presiden dan Wakil Presiden sebelum memasuki lapangan ditahan
sebentar oleh komandan jaga. Mereka saling mengadakan pembicaraan,
kemudian diperbolehkan meneruskan perjalanan. Sukarno langsung menuju
panggung, berpidato singkat. Ia meminta kepercayaan dan dukungan rakyat
kepada Pemerintah Republik Indonesia dengan kebijakan-kebijakannya,
dengan jalan mematuhi perintah-perintahnya dan tunduk kepada disiplin.
Kemudian massa diminta bubar dengan tenang. Perintah tersebut ditaati.
Rapt raksasa 19 Septemer 1945 itu adalah menifestasi perama daripada
kewibawaan Pemerintah Republik Indonesia kepada rakyatnya.
Sekalipun rapat raksasa di Lapangan Ikada ini berlangsung hanya
beberapa menit, namun berhasil mempertemukan Pemerintah RI, yang baru
berusia sebulan, dengan rakyat dan memberikan kepada rakyat kepercayaan
kepada potensinya sendiri. sementara itu, di beberapa daerah di Indonesia
terjadi beberapa perebutan kekuasan, baik dengan kekerasan maupun dengan
jalan perundingan. Di beberapa kepresidenan di Jawa, pada bulan September
1945 Pimpinan masign-masing menyambut Proklamasi Kemerdekaan
dengan menyatakan diri sebagai pemerintah Indonesia dan mengancam
bahwa segala tindakan yang menentang PemerintahRI akan diamil tindakan
keras. Pegawai-pegawai Jepang dirumahkan, dilarang memeasuki kantor-
kantor mereka. Pada tahap selanjutnya para pemuda berusaha untuk mereut
gedung-gedung vital. Di Surabaya selama bulan September terjadi perebut
senjata di arsenal (gudang mesiu)) Don Bosco dan perebutan Markas
Pertahanan Jawa Timur, maupun pangkalan Angkatan Laut Ujung dan
markas-markas tentara Jepang serta pabrik-pabrik yang tersebar di seluruh
kota. Pada tanggal 19 September 1945, terjadi insiden bendera di Hotel
Yamato. Insiden ini pecah ketika orang-orang Belanda bekas tawanan
Jepang menduduki Hotel Yamato, dengan dibantu oleh serombongan
pasukan Serikat yang diterjunkan di Gunungsari, untuk mendirikan markas
RAPWI. Orang-orang Belanda tersebut mengibarkan bendera mereka di
puncak hotel tersebut. Sudah barangtentu hal ini memancing kemarahan para
pemuda. Hotel tersebut diserbu oleh para pemuda, setelah permintaan
Residen Sudirman dengan cara baik-baik untuk menurunkan bendera
Belanda ditolah oleh penghuni hotel. Bentrokan tidak dapat dihindarkan lagi.
Beberapa orang pemuda berhasil memanjat atap Hotel serta menurunkan
bendera yang berkibar diatasnya. Mereka merobek warna birunya dan
mengibarkan kembali sebagai merah putih.
Sasaran perebutan selanjutnya adalah Markas Kompetai dan yang
dianggap sebagai lambing kekejaman pemerintahan Jepang yang terletak di
depan kantor Gubernur yang sekarang. Pada tanggal 1 Oktober 1945, markas
itu diserbu oleh rakyat. Gedung dipertahankan dengan gigih oleh pihak
Jepang, namun jatuh ke tangan rakyat setelah pertempuran selama 5 jam.
Dalam perebutan ini 25 orang pemuda gugur dan 60 luka-luka sedangkan 15
orang prajurit Jepang mati.
Para pemuda yang tergabung dalam BKR berusaha untuk memperoleh
senjata. Usaha untuk melucuti Jepang melalui perundingan sama-sekali
gagal. Pada tanggal 7 Oktober malam para pemuda BKR bersama dengan
pemuda Polisi Istimewa bergabung menuju ke Kota Baru. Mereka menyerbu
tangsi Otsuka Butai (sekarang gedung SMA di sebelah Sentral Telepon).
Pada har itu juga, Otsuka Butai menyerah. Korban yang jatuh pada
penyerbuan ini 18 pemuda gugur.
Gerakan dan usaha merebut kekuasaan demi menegakan kedaulatan RI
terjadi hampir diseluruh sentral daerah di seluruh NKRI pada saat itu. Di
Yogyakarta, Aceh, Kalimantan, Gorontalo, dan tempat-tempat lainnya.
Usaha yang mereka lakuakan tidak dihargai dengan murah, namun telah
dibayar menggunakan jiwa mereka. peristiwa yang telah terjadi, seperti yang
telah ditulis diatas, dapat menjadi gambaran bagi peristiwa yang terjadi di
tempat lainnya. Berbagai peristiwa terjadi di berbagai daerah, seperti di
Sulawesi Utara, sekalipun telah hampir setengah tahun dikuasai oleh NICA,
usaha menegakkan kedaulatan tidaklah padam. Pada tanggal 14 Februari
1946, pemuda-pemuda Indonesia anggota KNIL, yang tergabung pada
Pasukan Pemuda Indonesia (PPI) mengadakan gerakan di Tangsi Putih dan
Tangsi Hitam di Teling, Manado. Mereka membebaskan para tahanan yang
dicurigai Pro-Republik Indonesia Antara lain Taulu, Wuisan, Sumanti, G.A.
Maengkom. Sebaliknya mereka menahan Komandan Garnisun Manado dan
semua pasukan Belanda di Teling dan penjara Manado. Di Bandung
pertempuran diawali oleh usaha para pemuda untuk merebut pangakalan
Udara Andir dan pabrik senjata bekas ACW (Artillerie Constructie Winkel),
dan terus berlangsung sampai kedatangan pasukan Serikat di Kota Bandung
pada 17 Oktober 1945. Di Semarang setelah para pemuda berhasil merebut
kekuasaan, terjadi benturan yang dahsyat antara pemuda Indonesia melawan
Jepang karena pihak Jepang merasa terancam oleh pemuda yang berusaha
merebut senjata mereka.
Selain itu kesenian juga memberikan kontribusinya dalam perjuangan
revolusi kemerdekaan, hal ini terlihat dari adanya semangat revolusi di
dalam kesastraan dan kesenian. Surat-surat kabar dan majalah-majalah
Republik bermunculan di banyak daerah, terutama di Jakarta, Yogyakarta,
dan Surakarta. Suatu generasi sastrawan dinamakan ’Angkatan 45’, yaitu
orang-orang yang meningkat daya kreatifnya pada masa revolusi. Di antara
mereka adalah Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, dan wartawan
Mochtar Lubis. Kebanyakan dari orang-orang ini merasa yakin bahwa seni
mereka dapat menjadi bagian dari perkembangan revolusi.
Banyak pemuda bergabung dengan badan-badan perjuangan. Di
Sumatera, mereka benar-benar memonopoli kekuasaan revolusioner, karena
jumlah pemimpin nasionalis yang sudah mapan di sana hanya segelintir
saja. Para mantan prajurit Peta dan Heiho membentuk kelompok-kelompok
yang paling disiplin. Laskar Msyumi, Barisan Hisbulloh, menerima banyak
pejuang baru dan kini ikut bergabung kelompok-kelompok bersenjata Islam
lainnya yang pada umumnya disebut barisan Sabilillah.

6. Bandingkan Peristiwa Tiga Daerah dan Revolusi Sosial di Sumatera Timur!

Jawab: Kekhasan Sumatera Timur menjelang Indonesia merdeka tahun 1945


adalah adanya perbedaan-perbedaan kelas antara bangsawan dan rakyat
jelata. Dalam masyarakat Simalungun, perbedaan kelas tersebut adalah
seperti golongan parbapaan (bangsawan), partongah (pedagang), paruma
(petani) dan jabolon (budak). Keadaan yang sama ada pada rakyat Melayu
Sumatera Timur terutama antara Sulthan dan rakyat.Sebagai negera yang
bari terbentuk, nasionalisme rakyat Indonesia masih mengental dan dapat
dipahami apabila masih menaruh dendam terhadap feodalisme yang
sebelumnya merupakan kaki tangan kolonial.  Oleh karena itu, situasi rakyat
yang masih baru merdeka, kemudian disulut dengan provokasi orang lain
(organisasi) tak pelak lagi apabila kecemburuan sosial dapat berujuk revolusi
massa yang menelan ongkos sosial yang tinggi. Termasuk punahnya sebuah
peradaban di Sumatera Timur (Simalungun dan Melayu), dimana raja dan
kerabatnya beserta istananya musnah selama-lamanya. Keadaan  seperti ini
berlanjut hingga memasuki tahun 1946 sehingga mendorong kebencian
masyarakat terhadap golongan elit. Sejalan dengan itu, berkembangnya
pemahaman politik pada waktu itu, turut pula menyulut keprihatinan
terhadap perbedaan kelas yang didorong oleh keinginan untuk
menghapuskan sistem feodalisme di Sumatera Timur. Demikianlah hingga
akhirnya terjadi peristiwa berdarah yang meluluhlantakkan feodalisme di
Sumatera Timur terutama pada rakyat Simalungun dan Melayu.  Pada 
peristiwa tersebut  empat dari tujuh kerajaan Simalungun yaitu Tanoh Jawa,
Panai, Raya dan Silimakuta pada periode ketiga ini musnah dibakar.
Sementara Silau, Purba dan Siantar luput dari serangan kebringasan massa.
Raja dan kerabatnya banyak dibunuh. Peristiwa ini menelan banyak korban
nyawa, harta dan benda. Kejadian yang sama juga menimpa kesultanan
Melayu dimana empat kesultanan besarnya Langkat, Deli, Serdang serta
Asahan dibakar dan lebih dari 90 sultan dan kerabatnya tewas dibunuh
(Reid, 1980) Riwayat swapraja Simalungun telah berlalu setelah terjadinya
revolusi sosial pada tahun 1946. Revolusi itu tidak saja menamatkan
kerajaan tapi juga seluruh kerabat perangkat kerajaan dan keluraga raja yang
mendapatkan hak istimewa  dari pemerintah kolonial, sehingga telah
meningkatkan kecemburuan sosial dari rakyat terhadap raja. Revolusi terjadi
setelah rakyat diorganisir dan diagitasi oleh organisasi dan partai
revolusioner di Simalungun. Sejak saat itu sistem kerajaan tradisional
Simalungun menemui riwayatnya.   Dalam arti lain, lenyapnya atau
runtuhnya zaman keemasan monarki itu telah pula menandai berakhirnya
peradaban besar rumah bolon. 

DAFTAR RUJUKAN:
Notosusanto, N. (1984). Pejuang dan Prajurit. Bandung: Angkasa
Poesponegoro, M.D. dan Notosusanto, N. (Eds). (1993). Sejarah Nasional
Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. (2007). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT. Serambi
Ilmu Semesta.
Sudiyo. (2002). Pergerakan Nasional – Mencapai dan Mempertahankan
Kemerdekaan. Jakarta: Rineka Cipta.
______. (2007). Editorial: Kearifan dan Semangat Menjelang Detik-detik
Proklamasi.[Online].Tersedia:http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=135
&id=750&option=com_content&task=view [25 Agustus 2009]
Litno D,Erond. (2008). Keruntuhan Monarki Simalungun. [Online]. Tersedia:
http://1simetri1.wordpress.com/2008/02/20/keruntuhan-monarchi-simalungun/
[ 25 Agustus 2009]
Poeze, Harry. (2009). Kerja Sama Singkat Tan Malaka dan Sjahrir. [Online].
Tersedia:http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/KL/mbm.200
90309.KL129742.id.html [25 Agustus 2009]

Anda mungkin juga menyukai