Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA 17 AGUSTUS 1945

Tanggal 17 Agustus 1945 merupakan tanggal istimewa bagi rakyat Indonesia, karena pada
tanggal tersebut Republik Indonesia mulai berdiri, Republik Indonesia mulai dikumandangkan
kemerdekaannya oleh sang proklamator Soekarno dan M Hatta. Sebelum Indonesia menyatakan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, banyak peristiwa yang melatarbelakangi terjadinya
peristiwa terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut. Bagi Anda yang belum tahu tentang sejarah
proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, berikut ini ulasan selengkapnya.

Latar Belakang

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima, Jepang oleh
Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari
kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau Dokuritsu Junbi
Cosakai, berganti nama menjadi PPKI ( Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga
Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai
kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki
sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun
dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua
BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km disebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal
Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan
kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan
Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang
bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang
diberikan sebagai hadiah Jepang. Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di
Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan
segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan
dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus. Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman
kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan
kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang
setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu
nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan
di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI
saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para
pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak
memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi
kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang.

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut
Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di
Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini
melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda
mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua
tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat
proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat
itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan
kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang. Soekarno dan Hatta mendatangi
penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan
Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong. Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor
Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1).
Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat.
Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang
dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna
membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan. Sehari
kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin
memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan.Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi
tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi
peristiwa Rengasdengklok.

Peristiwa Rengasdengklok

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana--yang konon kabarnya
terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka --yang tergabung
dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dinihari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama
Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama
Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian
terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak
terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah
dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apapun risikonya. Di Jakarta, golongan muda,
Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo
menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka diutuslah Yusuf Kunto
untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs.Moh.
Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-
buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang ke rumah masing-masing.
Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan
untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan
rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima
oleh para tokoh Indonesia.

Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura dan Laksamana Muda Maeda

Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto,
Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang
(Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Maeda Tadashi dan
memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum
pemerintahan militerJepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura
mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokyo
bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi ijin untuk mempersiapkan proklamasi
Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam.
Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira
yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta
agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat
perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh
Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokyo dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung
Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.

Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam
Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshiguna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah
menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri
menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad
Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshiyang
setengah mabuk duduk dikursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada
kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan
menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini
Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti. Bung Hatta, Subardjo, B. M Diah,
Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa
kalangan klaim Nishijima masih di dengungkan. Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan
mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman,
milik Mayor(Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di
Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan kekediaman Soekarno, Jalan
Pegangsaan Timur 56 (sekarangJl. Proklamasi no. 1).

Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi

Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis diruang makan
di laksamana Tadashi Maeda jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir.
Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno
sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar
yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa
Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di
kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar
Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti.

Pembacaan Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Isi Teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai
pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-
singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05 Atas nama bangsa Indonesia.

Soekarno/Hatta

Acara dimulai pada pukul 10:00 WIB dengan pembacaan teks proklamasi kemerdekaan
indonesia oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih,
yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota
Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor. Pada awalnya Trimurti diminta untuk
menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh
seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh
Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera
Merah Putih ( Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah
bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut
masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional. Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih
100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S. Brata datang terburu-buru karena mereka tidak
mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno
mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada
mereka. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil
keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik
Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45.

Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk


Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian. Setelah itu Soekarno dan M. Hatta
terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan Wakil Presiden akan dibantu oleh sebuah Komite
Nasional.

Itulah uraian tentang sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang perlu
Anda ketahui. Kini sudah 70 tahun Indonesia merdeka, sudah saatnya kita mengisi kemerdekaan
Indonesia dengan belajar, bekerja dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita
cintai ini. Dirgahayu Republik Indonesia, MERDEKA !!.
PERANG DIPONEGORO

Perang Diponegoro mulai meletus di Tegalrejo, Jogjakarta dan meluas hampir ke seluruh Jawa.
Bupati-bupati yang ada di bawah pengaruh Mataram ikut menyatakan perang terhadap Belanda. Maka
perang Diponegoro sering disebut perang Jawa. Pangeran Diponegoro adalah putera sulung Sultan
Hamengku Buwono III yang dilahirkan pada Tahun 1785. Ketika masih kecil bernama Pangeran Ontowiryo
dan hidup bersama neneknya yang bernama Ratu Ageng di Tegalrejo. Ilmu agama Islam begitu
mendalam dipelajari, sehingga membentuk karakter yang tegas, keras, dan jihad.

Perang Diponegoro

Perang Diponegoro sering dikenal sebagai Perang Jawa. Karena perang meluas dari Yogyakarta
ke daerah lain seperti Pacitan, Purwodadi, Banyumas, Pekalongan, Madiun, dan Kertosono. Merupakan
perang terbesar bagi Belanda sehingga menguras keuangan yang luar biasa jumlahnya. Korban dari pihak
rakyatpun sangat besar, menurut catatan MC Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern (Sejarawan
Australia) hampir setengah penduduk Yogyakarta habis karena perlawanan ini

Perlawanan rakyat Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro merupakan pergolakan


terbesar yang dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa. Pemerintah kolonial Belanda mengalami
kesulitan mengatasi perlawanan ini dan menanggung biaya yang sangat besar. Adapun sebab-sebab
terjadinya Perang Diponegoro dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebab umum dan sebab khusus.

Sebab-Sebab Umum Perang Diponegoro

Sebab umum perang diponegoro adalah:

1. Kekuasaan Raja Mataram semakin lemah, wilayahnya dipecah-pecah.

Karena ulah penjajah, kerajaan Mataram yang besar, di bawah Sultan Agung
Hanyokrokusumo, terpecah belah menjadi kerajaan yang kecil. Melalui perjanjian Gianti 1755,
kerajaan Mataram dipecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayoyakarta. Dengan
perjanjian Salatiga 1757 muncullah kekuasaan baru yang disebut Mangkunegaran dan pada
tahun 1813 muncul kekuasaan Pakualam. Kenyataan inilah yang dihadapi oleh Diponegoro.

2. Belanda ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan dan pengangkatan raja pengganti.

Campur tangan yang amat dalam mengenai penggantian tahta dilaksanakan oleh Belanda.
Demikian pula mengenai pengangkatan birokrasi kerajaan. Misalnya pengangkatan beberapa
pegawai yang ditugaskan untuk memungut pajak.

3. Kaum bangsawan sangat dirugikan karena sebagian besar sumber penghasilannya diambil alih
oleh Belanda. Mereka dilarang menyewakan tanah bahkan diambil alih haknya.

Telah terjadi kebiasaan bahwa kepada keluarga raja (sentana dalem), memberikan jaminan
hidup, berupa tanah apanase, juga kepada pegawai kerajaan (abdi dalem) diberikan gaji berupa
tanah lungguh. Pada masa Kompeni maupun masa kolonial Inggris dan Belanda, banyak tanah-
tanah tersebut diambil oleh pemerintah kolonial. Dengan demikian para bangsawan (sentana
dalem) dan para abdi banyak yang kehilangan sumber penghasilan. Akibatnya di hati mereka
timbul rasa tidak senang karena hak-haknya dikurangi, termasuk hak-hak raja dan kerajaan.

4. Adat istiadat keraton menjadi rusak dan kehidupan beragama menjadi merosot.

Pengaruh Belanda di kraton makin bertambah besar. Adat kebiasaan kraton Yogyakarta seperti
menyajikan sirih untuk Sultan bagi pembesar Belanda yang menghadap Sultan, dihapuskan.
Pembesar-pembesar Belanda duduk sejajar dengan sultan. Yang paling mengkhawatirkan adalah
masuknya minuman keras ke kraton dan beredar di kalangan rakyat.

5. Penderitaan rakyat yang berkepanjangan sebagai akibat dari berbagai macam pajak.

Berbagai macam pajak yang dibebankan pada rakyat penyebab perang diponegoro, antara lain:

 pejongket (pajak pindah rumah)


 kering aji (pajak tanah)
 pengawang-awang (pajak halaman-pekarangan)
 pencumpling (pajak jumlah pintu)
 pajigar (pajak ternak)
 penyongket (pajak pindah nama)
 bekti (pajak menyewa tanah atau menerima jabatan).

Sebab-Sebab Khusus Perang Diponegoro

Adapun sebab-sebab khusus perang Diponegoro adalah rencana pembuatan jalan yang melintasi
tanah makam leluhur pengeran Diponegoro tidak meminta ijin terlebih dahulu kepada Pangeran
Diponegoro. Sebab yang meledakkan perang ialah provokasi yang dilakukan penguasa Belanda seperti
merencanakan pembuatan jalan menerobos tanah Pangeran Diponegoro dan membongkar makam
keramat. Sebagai protes patok-patok (tanda dari tongkat kayu pendek) untuk pembuatan jalan dicabut
dan diganti dengan tombak-tombak. Residen Smissaert berusaha mengadakan perundingan tetapi,
Pangeran Diponegoro tidak muncul, hanya mengirim wakilnya, Pangeran Mangkubumi. Asisten Residen
Chevallier untuk menangkap kedua pangeran, digagalkan oleh barisan rakyat di Tegalreja. Mereka telah
meninggalkan tempat. Pangeran Diponegoro pindah ke Selarong tempat ia memimpin perang.

Pangeran Diponegoro minta kepada Residen agar Patih Danurejo dipecat. Surat baru mulai ditulis
mendadak rumah Pangeran Diponegoro diserbu oleh serdadu Belanda di bawah pimpinan Chevailer.
Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo beserta keluarganya. Rumah Pangeran Diponegoro dibakar habis.
Dia diikuti oleh Pangeran Mangkubumi. Pergilah mereka ke Kalisoka dan dari sanalah meletus
perlawanan Pangeran Diponegoro (20 Juli 1825). Banyak para pangeran dan rakyat menyusul Pangeran
Diponegoro ke Kalisoka untuk ikut melakukan perlawanan dengan berlandaskan tekad perang suci
membela agama Islam (Perang Sabil) menentang ketidakadilan. Dari Kalisoka pengikut Pangeran
Diponegoro tersebut dibawa ke Goa Selarong, jaraknya 7 pal (13 km) dari Yogyakarta. Pasukan Belanda
yang mengejar Pangeran Diponegoro dapat dibinasakan oleh pasukan Pangeran

Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Yogyakarta menjadi kacau, prajurit Belanda dan Sultan
Hamengku Buwana V menyingkir ke Benteng Vredenburg.

Taktik yang diterapkan Pangeran Diponegoro dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda adalah
taktik perang gerilya. Pangeran Diponegoro dan pasukannya selalu berpindah-pindah tempat
persembunyian. Adapun tempat persembunyian utamanya adalah di Goa Selarong.

Jalannya Perlawanan Perang Diponegoro

Hal yang menjadi sebab utama perlawanan Pangeran Diponegoro adalah adanya rencana pembuatan
jalan yang melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Dalam perang tersebut, Pangeran
Diponegoro mendapatkan dukungan dari rakyat Tegalrejo, dan dibantu Kyai Mojo, Pangeran
Mangkubumi, Sentot Alibasyah Prawirodirjo, dan Pangeran Dipokusumo. Pada tanggal 20 Juli 1825,
Belanda bersama Patih Danurejo IV mengadakan serangan ke Tegalrejo. Dari Selarong, tentara
Diponegoro mengepung kota Yogyakarta sehingga Sultan Hamengku Buwana V yang masih kanak-kanak
diselamatkan ke Benteng Belanda.

Kyai Maja

Kyai Maja seorang penasihat Perang Diponegoro, beliau seorang ulama dari daerah Surakarta,
meninggal pada tanggal 20 Desember 1849 di Tondano

Perang berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya dengan siasat perang gerilya dan mendadak
menyergap musuh. Pangeran Diponegoro ternyata seorang panglima perang yang cakap. Berkali-kali
pasukan Belanda terkepung dan dibinasakan. Belanda mulai cemas. Dipanggillah tentaranya yang berada
di Sumatera, Sulawesi, Semarang, dan Surabaya untuk menghadapi laskar Diponegoro. Namun, usaha itu
sia-sia. Pusat pertahanan Diponegoro dipindahkan ke Plered. Dari sini gerakan
Diponegoro meluas sampai di Banyuwangi, Kedu, Surakarta, Semarang, Demak, dan Madiun.
Kemenangan yang diperoleh Diponegoro membakar semangat rakyat sehingga banyak yang
menggabungkan diri. Bupati daerah dan bangsawan kraton banyak juga yang memihak kepadanya.
Misalnya Bupati Madiun, Bupati Kertosono, Pangerang Serang, dan Pangeran Suriatmojo dari Banyumas.
Di Plered, Pangeran Diponegoro sempat dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Sultan Abdul Hamid
Herucakra Amirul Mukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa, berpusat di Plered. Tanggal 9
Juni 1862 Plered diserbu Belanda. Pertahanan dipimpin oleh Kerta Pengalasan. Dalam perang tersebut,
Pangeran Diponegoro dibantu seorang yang gagah berani, bernama Sentot dengan gelar Alibasyah
Prawirodirjo, putra dari Bupati Madiun Raden Ronggo Prawirodirjo. Dari Plered, pertahanan Pangeran
Diponegoro dipindahkan lagi ke Deksa.

Sentot Ali Basyah

Sentot Ali Basyah seorang kepala pasukan Diponegoro yang terkenal menyerah pada tahun 1829 dan
meninggal pada tanggal 17 April 1855 di Bengkulu

Belanda mengalami kesulitan dalam menghadapi pasukan Diponegoro. Belanda terpaksa


mendatangkan pasukan tambahan dari negeri Belanda. Namun, pasukan tambahan Belanda tersebut
dapat dihancurkan oleh pasukan Diponegoro. Akibat berbagai kekalahan perang pada periode tahun
1825 – 1826 Belanda pada tahun 1827 mengangkat Jenderal De Kock menjadi panglima seluruh pasukan
Belanda di Jawa. Belanda menggunakan siasat perang baru yang dikenal dengan ”Benteng Stelsell”, yaitu
setiap daerah yang dikuasai didirikan benteng untuk mengawasi daerah sekitarnya.

Antara benteng yang satu dan benteng lainnya dihubungkan oleh pasukan gerak cepat. Benteng Stelsell
atau Sistem Benteng ini mulai dilaksanakan oleh Jenderal De Kock pada tahun 1827. Tujuannya adalah
untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro dengan jalan mendirikan pusat-pusat
pertahanan berupa bentengbenteng di daerah-daerah yang telah dikuasainya.

Gerak pasukan pos pertahanan Diponegoro berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain.
Menghadapi perlawanan Diponegoro yang kuat dan menyulitkan ini, kemudian Belanda segera
mendatangkan bala bantuan dan terutama pasukan dari Sumatra Barat. Untuk menghadapi perlawanan
Diponegoro, itu Belanda menerapkan sistem Benteng Stelsel (setiap daerah yang sudah berhasil diduduki
Belanda, dibangun benteng pertahanan, dan antar benteng pertahanan ada jalan/jalur penghubungnya).
Dari benteng yang satu ke benteng yang lain ditempatkan atau dihubungkan dengan pasukan gerak
cepat. Hal dimaksud untuk memutus jaringan kerja sama pasukan Diponegoro. Tujuan dari strategi
benteng stelsel untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro dan memberikan tekanan agar
pasukan Diponegoro segera menyerah.

Dalam perang Diponegoro, Belanda mengalami banyak kesulitan. Bahkan Belanda mengakui perang
Diponegoro merupakan perang terberat dan memakan biaya yang besar. Belanda menggunakan siasat
benteng stelsel dalam melumpuhkan perlawanan Pangeran Diponegoro.

Tujuan dari sistem benteng stelsel adalah:

1. Mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro.


2. Memecah belah pasukan Diponegoro.
3. Mencegah masuknya bantuan untuk pasukan Diponegoro.
4. Bagi Belanda sendiri dapat memperlancar hubungan antara Belanda jika mendapat serangan
dari pasukan Diponegoro.
5. Memperlemah pasukan Diponegoro.

Peta Benteng Stelsel

Sistem benteng stelsel ternyata belum berhasil mematahkan perlawanan Diponegoro. Namun dengan
strategi benteng stelsel sedikit demi sedikit perlawanan Diponegoro dapat diatasi. Dalam tahun 1827
perlawanan Diponegoro di beberapa tempat berhasil dipukul mundur oleh pasukan Belanda. Para
pernimpin pasukan Diponegoro banyak yang ditangkap. Tetapi perlawanan rakyat masih terjadi di
beberapa tempat. Untuk mempercepat selesainya perlawanan Diponegoro, maka Belanda
mengumumkan pemberian hadiah 20.000 ringgit kepada siapa yang dapat menyerahkan Pangeran
Diponegoro, hidup atau mati. Namun tidak ada tanggapan dari rakyat. Kemudian Belanda
mendatangkan pasukan dari daerah lain dan membujuk para pembantu Diponegoro untuk menyerah.
Dengan siasat itu, para pembantu Pangeran Diponegoro sebagian menyerah, tetapi belum berhasil
menangkap Pangeran Diponegoro. Belanda menggunakan siasat baru dengan sayembara, tetapi juga
belum berhasil.

Belanda kemudian menempuh cara lain dan akhirnya Belanda mengeluarkan jurus liciknya Jenderal De
Kock menggunakan siasat tipu muslihat melalui perundingan. Pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran
Diponegoro bersedia hadir untuk berunding di rumah Residen Kedu di Magelang. Dalam perundingan itu
Pangeran Diponegoro ditangkap. Setelah ditangkap Pangeran Diponegoro dibawa ke Semarang,
kemudian diasingkan ke Batavia/Jakarta. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1830 dipindah lagi ke Manado.
Pada tahun 1834 pengasingannya dipindah lagi ke Makassar sampai Pangeran Diponegoro meninggal
dunia pada usia 70 tahun tepatnya tanggal 8 Januari 1855.

Anda mungkin juga menyukai