Anda di halaman 1dari 143

SURAT PENGAKUAN HUTANG (SPH),

PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB),


SURAT KUASA MENJUAL DAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NOTARIS-PPAT
DALAM MENJALANKAN PRAKTIK JABATAN
-M. Sudirman-

Diskusi Hukum
Perlindungan Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Pengurus Daerah Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Kabupaten Bogor
Ruang Serbaguna I, Pemda Kabupaten Bogor, Jawa Barat
Rabu, 9 Oktober 2019
I. SURAT PENGAKUAN HUTANG
Pasal 1 angka 10 UndangUndang Nomor 10 
Tahun 1998 (Perubahan atas Undang‐Undang 
No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan)

Surat Berharga adalah Surat Pengakuan Utang, 


wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau
setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau
suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk
yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal 
dan pasar uang.
LEGALISASI NOTARIL

SURAT 
PENGAKUAN 
HUTANG 

WAARMERKING DIBAWAH 
TANGAN
II. GROSSE AKTA
Grosse Akta Pengakuan Hutang diatur 
Pasal 224 HIR. 

Grosse akta merupakan salah satu akta


Notaris yang mempunyai sifat dan
karakteristik yang khusus bila
dibandingkan dengan akta otentik
lainnya. 
PASAL 1 ANGKA 11 
UUJN

Grosse Akta adalah salah satu salinan Akta


untuk pengakuan utang dengan kepala Akta
"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN 
YANG MAHA ESA", yang mempunyai kekuatan
eksekutorial. 
GROSSE AKTA

 Suatu salinan atau kutipan (secara pengecualian)


dari minuta akta (naskah asli) yang di atasnya (di
atas judul akta) memuat kalimat: Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

 Dibawahnya dicantumkan kalimat Diberikan


sebagai Grosse Pertama dengan menyebut nama
dari orang, yang atas permintaannya, Grosse itu
diberikan dan tanggal pemberiannya
GROSSE AKTA
 Grosse akta yang memenuhi ketentuan/syarat‐syarat
sebagaimana diatur dalam pasal 224 HIR mempunyai
kekuatan eksekutorial seperti halnya putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dimana
apabila pihak Debiturwanprestasi, pihak Kreditur dapat
langsung memohon eksekusi kepada Ketua Pengadilan
Negeri tanpa melalui proses gugatan perdata terhadap
harta kekayaan Debitur.
 Apabila tidak memenuhi ketentuan/syarat‐syarat
sebagaimana diatur dalam pasal 224 HIR maka grosse akta
tersebut cacat yuridis, akta tersebut tidak mempunyai
kekuatan eksekutorial sehingga apabila Debitur wanprestasi
atas kewajibannya maka Bank harus mengajukan gugatan
perdata biasa melalui pengadilan.
ALASAN DIBUAT DAN DITANDATANGANI
GROSSE AKTA
 Perjanjian kredit tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sehingga jika
Debitur melakukan wanprestasi maka Kreditur tidak dapat melakukan
eksekusi langsung terhadap jaminan yang ada tetapi harus melakukan
gugatan melalui Pengadilan Negeri terlebih dahulu kepada Debitur;

 Akta pengakuan utang merupakan perjanjian sepihak, didalamnya


hanya dapat memuat suatu kewajiban untuk membayar utang
sejumlah uang tertentu. Akta pengakuan utang yang dibuat dihadapan
Notaris berdasarkan Pasal 224 HIR memiliki kekuatan hukum yang
sama seperti keputusan hakim yang bersifat tetap atau dengan kata
lain dapat diartikan bahwa akta pengakuan utang memiliki kekuatan
eksekutorial;

 Mempercepat eksekusi jaminan secara langsung tanpa memerlukan


gugatan terlebih dahulu kepada Debitur.
III. PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI
(PPJB)
PERJANJIAN

 Menurut Pasal 1313 KUH Perdata “Perjanjian adalah


suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

 Pasal 1320

 Pasal 1338
ASAS-ASAS PERJANJIAN

1.Konsensualisme: Perjanjian lahir dengan adanya kesepakatan.


2.Kebebasan berkontrak : Bebas mengadakan atau tidak Perjanjian

3.Pacta Sunt Servada : Akibat Perjanjian para pihak mentaati Per‐ UU dan tidak dapat
dibatalkan sepihak
4.Itikad Baik :
a.Subyektif : Kejujuran dalam melakukan perbuatan hukum
b.Obyektif : Perjanjian dilaksankan dengan itikad baik

5.Kepribadian : Asas yang berhubungan dengan Subyek Perjanjian (pasal 1340 ayat
(1) Perjanjian hanya berlaku untuk para pihak yang membuatnya)
PPJB

 Konsep dasar transaksi jual beli tanah adalah Terang dan


tunai.
 Terang, berarti dilakukan secara terbuka, jelas objek dan
subjek pemilik, lengkap surat‐surat serta bukti
kepemilikannya.
 Tunai, berarti dibayar seketika dan sekaligus.
 Dibayarkan pajak‐pajaknya, tanda tangan Akta Jual Beli,
untuk kemudian diproses balik nama sertifikatnya.
PPJB

 Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”) yang dibuat dihadapan notaris


merupakan akta otentik (Pasal 1868 KUH Perdata).

 Pengertian Otentik menurut Pasal 1868 KUHPdt adalah dibuat dalam


bentuk yang ditentukan UU (Ctt. Jangan sampai tidak otentik)

 Pasal 1870 KUH Perdata (Terjemahan R. Subekti):


“Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris‐
ahli warisnya atau orang‐orang yang mendapat hak dari mereka, suatu
bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.”
PPJB

 Suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua atau lebih


dimana masing‐masing pihak yang ada didalamnya dituntut
untuk melakukan satu atau lebih prestasi.

 Pada umumnya, PPJB dibuat secara otentik atau dibuat di


hadapan notaris selaku pejabat umum, sebaliknya ada juga
PPJB yang dibuat di bawah tangan.
MACAM PPJB
CICILAN LUNAS
Akta Pengikatan jual beli yang  Dilaksanakan pembuatan akta jual belinya
baru merupakan janji‐janji karena di hadapan PPAT yang berwenang, karena
masih ada proses yang belum selesai.
biasanya harganya belum lunas
(biasa disebut sebagai: PJB BELUM  Misalnya :
LUNAS Dalam proses pembayaran Pajak‐pajak
(Validasi),
Sedang dalam proses pemecahan
sertifikat,
Sedang dalam proses penggabungan
Dan berbagai alasan lain yang 
menyebabkan Akta Jual Beli belum bisa
dibuat (biasa disebut sebagai: PJB LUNAS).
ALASAN DIBUAT DAN DITANDATANGANI
PPJB?
 Pembayaran sebagai konsekuensi jual beli belum bisa
dilaksanakan dengan penuh atau lunas.

 Surat-surat atau dokumen tanah belum lengkap.

 Obyek atau bidang tanah belum dapat dikuasai oleh para pihak,
pihak penjual ataupun pihak pembeli, dalam hal ini pemilik asal
ataupun pemilik baru.

 Besaran obyek jual beli masih dalam pertimbangan para pihak.


 Lainnya
ALASAN DIBUAT dan DITANDATANGANI PPJB

 PPJB dibuat karena AJB belum dapat ditandatangani (belum dipenuhinya syarat tertentu atau tanah
yang menjadi obyek jual beli terletak di luar wilayah Jabatan Notaris/PPAT).
 Alasan PPJB diuraikan secara jelas dan tegas dalam PPJB
 Harga belum dibayar secara lunas.
 Tanah belum dilakukan pemecahan, digabung atau belum dibaliknama atau akan dilakukan
perpanjangan hak terlebih dahulu dan proses lainnya.
ASLI DOKUMEN SEBELUM
TANDATANGAN PPJB
1.Subyek (KTP, KK, Akta Perkawinan/Buku Nikah, Ganti Nama (apabila ada) 
2.Obyek (IMB) 
3. Sertipikat
4. SPPT PBB dan Bukti Pelunasan PBB
5. NPWP
Lainnya yang terkait
Wajib melihat asli‐aslinya dan fotokopi sesuai aslinya (dicek dan dicocokan kembali
dengan aslinya)
WAJIB DILAKUKAN SEBELUM PPJB

a. CEK SERTIPIKAT 
b. ASLI DOKUMEN
c. PEMBUATAN DAN PENANDATANGANAN AKTA DITEMPAT KEDUDUKAN PEJABAT
d. PEMBACAAN AKTA
e. PENJELASAN KEPADA PARA PIHAK
f. RENVOOI DAN BAP
g. PARAF DAN TANDATANGAN DIHADAPAN SAKSI‐SAKSI
h. PARAF DAN TANDATANGAN DILAKUKAN OLEH PARA PENGHADAP, PARA SAKSI DAN 
NOTARIS 
i. SIDIK JARI
j. SIMPAN SEBAGAI PROTOKOL
SUBYEK HUKUM PPJB

PERORANGAN  BADAN HUKUM
PERORANGAN

a. Kewenangan Dan Kecakapan
b. Tidak Menikah
c. Menikah (Perjanjian Kawin/Tidak Ada Perjanjian
Kawin)
d. Perkawinan Campur
e. Perkawinan Di Luar Negeri
f. Perkawinan Tidak Dicatat
g. Perbedaan Nama, Tanggal Lahir
h. Lainnya
BADAN HUKUM

a. KEWENANGAN DAN KECAKAPAN
b. PERSORAN TERBATAS 
OBYEK

Obyeknya Perorangan/badan hukum


Harta Warisan
Harta Wasiat
Harta Hibah
Harta pribadi/harta bersama
Obyeknya sedang dibebani hak tanggungan
HARGA/NILAI TRANSAKSI

 HARGA YANG DISEPAKATI OLEH PARA PIHAK
 NOTARIS/PPAT TIDAK TURUT CAMPUR DALAM HARGA ATAU NILAI 
TRANSAKSI 
 HARGA AJB DAN PPJB HARUS SAMA
 PAJAK DIBAYAR LUNAS
PPJB BERANTAI

 SESEORANG MENGUASAI TANAH DAN BANGUNAN BERDASARKAN PPJB


KEMUDIAN MENJUAL KEMBALI TANAH DAN BANGUNAN TERSEBUT KEPADA
PIHAK KETIGA KARENA BERBAGAI ALASAN
 PPJB TERHADAP TANAH YANG SEDANG DIJAMINKAN DI BANK ATAU DIBEBANI
HT
PAJAK DALAM PPJB

 Jangan membuat PPJB jika pajak belum dilunasi.


 PJB, baik secara bertahap maupun PJB Lunas, karena telah ada pembayaran
maka terdapat Penghasilan dan karenanya wajib membayar PPh (PP No. 34
Tahun 2016)
Permasalahan Muncul

Tindak Pidana
Tindak Pidana
dalam Akta PPJB 
dalam Akta PPJB 
karena kesalahan
karena
Notaris/PPAT 
Wanprestasi dari
dalam
Para Pihak.
menjalankan
Jabatan
IV. PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI
(PPJB)

MENURUT PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN


PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR
11/PRT/M/2019
PERATURAN MENTERI PEKERJAAN 
UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT 
REPUBLIK INDONESIA  NOMOR 
11/PRT/M/2019 

SISTEM PERJANJIAN PENDAHULUAN JUAL BELI RUMAH 
(SPPJBR)
DASAR HUKUM
 Undang‐Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4916)
 Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5188);
 Undang‐Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5252);
 Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8);
 Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2015 tentang Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 16)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 135 Tahun 2018 tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2015 tentang Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 249);
 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 03/PRT/M/2019
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 96);
BAB I KETENTUAN UMUM‐Pasal 1 

SISTEM PERJANJIAN PENDAHULUAN JUAL


BELI (SISTEM PPJB): rangkaian proses
kesepakatan antara setiap orang dengan
pelaku pembangunan dalam kegiatan
pemasaran yang dituangkan dalam
perjanjian pendahuluan jual beli atau
perjanjian pengikatan jual beli sebelum
ditandatangani akta jual beli.
BAB I KETENTUAN UMUM‐Pasal 1 

PERJANJIAN PENDAHULUAN JUAL BELI


ATAU PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI
(PPJB): kesepakatan antara pelaku
pembangunan dan setiap orang untuk
melakukan jual beli rumah atau satuan
rumah susun yang dapat dilakukan oleh
pelaku pembangunan sebelum
pembangunan untuk rumah susun atau
dalam proses pembangunan untuk rumah
tunggal dan rumah deret yang dinyatakan
dalam akta notaris.
BAB I KETENTUAN UMUM‐Pasal 1 

PEMASARAN: kegiatan yang direncanakan


pelaku pembangunan untuk
memperkenalkan, menawarkan,
menentukan harga, dan menyebarluaskan
informasi tentang rumah atau perumahan
dan satuan rumah susun atau rumah susun
yang dilakukan oleh pelaku pembangunan
pada saat sebelum atau dalam proses
sebelum penandatanganan PPJB.
BAB I KETENTUAN UMUM‐Pasal 1 

 RUMAH: bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang


layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat
penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.

 RUMAH SUSUN: bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam


suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian‐bagian yang distrukturkan
secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan
merupakan satuan‐satuan yang masing‐masing dapat dimiliki dan
digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang
dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah
bersama.

 SATUAN RUMAH SUSUN (SARUSUN): unit Rumah Susun yang tujuan


utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai
tempat hunian dan mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.
BAB I KETENTUAN UMUM‐Pasal 1 

SETIAP ORANG: orang perserorangan/badan


hukum.

PEMERINTAH DAERAH: kepala daerah sebagai


unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang
memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah otonom.
Pasal 2 

(1) Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi sistem PPJB


yang terdiri atas:
a. Pemasaran;
b. PPJB.

(2) Sistem PPJB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku


untuk Rumah umum milik dan Rumah komersial milik yang
berbentuk Rumah tunggal, Rumah deret, dan Rumah Susun.

(3) Pelaku pembangunan dalam Sistem PPJB terdiri atas orang


perseorangan dan/atau badan hukum.
BAB II PEMASARAN Pasal 3 

(1) Pelaku pembangunan dapat melakukan Pemasaran Rumah


tunggal atau Rumah deret pada saat dalam tahap proses
pembangunan.

(2) Pelaku pembangunan dapat melakukan Pemasaran Rumah


Susun sebelum pembangunan dilaksanakan.

(3) Pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat


(2) harus memuat informasi Pemasaran yang benar, jelas, dan
menjamin kepastian informasi mengenai perencanaan dan
kondisi fisik yang ada.
Pasal 4 

(1) Pelaku pembangunan yang melakukan Pemasaran sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) harus memiliki paling sedikit:
a. kepastian peruntukan ruang;
b. kepastian hak atas tanah;
c. kepastian status penguasaan Rumah;
d. perizinan pembangunan perumahan atau Rumah Susun; dan
e. jaminan atas pembangunan perumahan atau Rumah Susun dari lembaga
penjamin.

(2) Kepastian peruntukan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dibuktikan dengan surat keterangan rencana kabupaten/kota yang sudah disetujui
Pemerintah Daerah.

(3) Kepastian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dibuktikan dengan sertipikat hak atas tanah atas nama pelaku pembangunan atau
sertipikat hak atas tanah atas nama pemilik tanah yang dikerjasamakan dengan
pelaku pembangunan.
Pasal 4
(5) Kepastian status penguasaan Rumah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, diberikan oleh pelaku
pembangunan dengan menjamin dan menjelaskan mengenai
bukti penguasaan yang akan diterbitkan dalam nama pemilik
Rumah yang terdiri atas:

a. status sertipikat hak milik, sertipikat hak guna bangunan,


dan sertipikat hak pakai untuk Rumah tunggal atau Rumah
deret; dan
b. sertifikat hak milik atas Sarusun atau sertifikat kepemilikan
bangunan gedung Sarusun untuk Rumah Susun yang
ditunjukkan berdasarkan pertelaan yang disahkan oleh
Pemerintah Daerah kabupaten/kota atau Pemerintah Daerah
Provinsi khusus Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pasal 4
(6) Perizinan pembangunan perumahan pada Rumah tunggal, Rumah
deret atau Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
dibuktikan dengan surat izin mendirikan bangunan induk atau izin
mendirikan bangunan.

(7) Jaminan atas pembangunan perumahan pada Rumah tunggal, Rumah


deret atau Rumah Susun dari lembaga penjamin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e, dibuktikan pelaku pembangunan berupa surat
dukungan bank atau bukan bank.

(8) Pengawasan terhadap persyaratan Pemasaran sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilakukan oleh perangkat daerah yang membidangi
perumahan dan kawasan permukiman Pemerintah Daerah
kabupaten/kota atau Pemerintah Daerah provinsi khusus untuk Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
INFORMASI PEMASARAN‐Pasal 5 
(1) Informasi Pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3),
disampaikan kepada masyarakat dengan memuat paling sedikit:
a. a. nomor surat keterangan rencana kabupaten/kota;
b. nomor sertipikat hak atas tanah atas nama pelaku pembangunan atau pemilik
tanah yang dikerjasamakan dengan pelaku pembangunan;
c. surat dukungan dari bank/bukan bank;
d. nomor dan tanggal pengesahan untuk pelaku pembangunan berbadan hukum
atau nomor identitas untuk pelaku pembangunan orang perseorangan serta
identitas pemilik tanah yang melakukan kerja sama dengan pelaku
pembangunan;
e. nomor dan tanggal penerbitan izin mendirikan bangunan induk atau izin
mendirikan bangunan;
f. rencana tapak perumahan atau Rumah Susun;
g. spesifikasi bangunan dan denah Rumah atau gambar bangunan yang dipotong
vertikal dan memperlihatkan isi atau bagian dalam bangunan dan denah
Sarusun;
h. harga jual Rumah atau Sarusun;
i. informasi yang jelas mengenai prasarana, sarana, dan utilitas umum yang
dijanjikan oleh pelaku pembangunan; dan
j. informasi yang jelas mengenai bagian bersama, benda bersama, dan tanah
bersama untuk pembangunan Rumah Susun.
Pasal 5
(2) Dalam hal sertipikat hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b merupakan hak guna bangunan di atas hak atas tanah lainnya, harus
mencantumkan nomor perjanjian antara pemegang hak atas tanah lainnya dengan
pemegang hak guna bangunan.

(3) Penyampaian informasi Pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan melalui:
a. media cetak; dan/atau
b. media elektronik.

(4) Media cetak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dapat berupa brosur,
selebaran, spanduk, iklan di media massa.

(5) Media elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b berupa iklan
dengan menggunakan sistem elektronik.
Penjelasan kepada Calon Pembeli‐Pasal 6 

(1) Pelaku pembangunan menjelaskan kepada


calon pembeli mengenai materi muatan
PPJB.

(2)Penjelasan kepada calon pembeli


sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada saat Pemasaran.

(3) Dalam hal tanah dan/atau bangunan


menjadi agunan, pelaku pembangunan
menjelaskan kepada calon pembeli.
PEMBAYARAN‐Pasal 7 
(1) Pembayaran yang dilakukan oleh calon
pembeli kepada pelaku pembangunan pada
saat Pemasaran menjadi bagian pembayaran
atas harga Rumah.
(2) Pelaku pembangunan yang menerima
pembayaran pada saat Pemasaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menyampaikan informasi mengenai:
a. jadwal pelaksanaan pembangunan;
b. jadwal penandatanganan PPJB dan akta jual
beli; dan
c. jadwal serah terima Rumah.
Pelaku Pembangunan‐Pasal 8 

(1) Pelaku pembangunan dapat melakukan kerja


sama dengan agen Pemasaran atau penjualan untuk
melakukan Pemasaran.

(2) Pelaku pembangunan bertanggung jawab atas


informasi Pemasaran dan penjelasan kepada calon
pembeli yang disampaikan agen Pemasaran atau
penjualan.
Pasal 9 

(1) Dalam hal pelaku pembangunan lalai memenuhi jadwal sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a dan/atau huruf b, calon
pembeli dapat membatalkan pembelian Rumah tunggal, Rumah deret
atau Rumah Susun.

(2) Apabila calon pembeli membatalkan pembelian Rumah tunggal,


Rumah deret atau Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), seluruh pembayaran yang diterima pelaku pembangunan harus
dikembalikan sepenuhnya kepada calon pembeli.

(3) Dalam hal pembatalan pembelian Rumah tunggal, Rumah deret atau
Rumah Susun pada saat Pemasaran oleh calon pembeli yang bukan
disebabkan oleh kelalaian pelaku pembangunan, maka pelaku
pembangunan mengembalikan pembayaran yang telah diterima
kepada calon pembeli dengan dapat memotong 10% (sepuluh persen)
dari pembayaran yang telah diterima oleh pelaku pembangunan
ditambah atas biaya pajak yang telah diperhitungkan.
Pasal 9

(4) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
disampaikan secara tertulis.

(5) Pengembalian pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau


dalam hal terdapat sisa uang pembayaran setelah diperhitungkan dengan
pemotongan sebagai dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling lambat
30 (tiga puluh) hari kalender sejak surat pembatalan ditandatangani.

(6) Dalam hal pengembalian pembayaran dalam jangka waktu


sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak terlaksana, pelaku
pembangunan dikenakan denda sebesar 1‰ (satu per‐mil) per‐hari
kalender keterlambatan pengembalian dihitung dari jumlah pembayaran
yang harus dikembalikan.
BAB III PPJB  Pasal 10 

(1) PPJB dilakukan setelah pelaku pembangunan memenuhi persyaratan kepastian


atas:
a. status kepemilikan tanah;
b. hal yang diperjanjikan;
c. kepemilikan izin mendirikan bangunan induk atau izin mendirikan bangunan;
d. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan
e. keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen).

(2) Status kepemilikan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dibuktikan dengan sertipikat hak atas tanah yang diperlihatkan kepada calon
pembeli pada saat penandatanganan PPJB.
(3) Hal yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling
sedikit terdiri atas:
a. kondisi Rumah;
b. prasarana, sarana, dan utilitas umum yang menjadi informasi pemasaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf i;
Pasal 10
c. penjelasan kepada calon pembeli mengenai materi muatan PPJB; dan
d. status tanah dan/atau bangunan dalam hal menjadi agunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3).

(4) Kepemilikan izin mendirikan bangunan induk atau izin mendirikan bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, disampaikan salinan sesuai asli
kepada calon pembeli pada saat penandatanganan PPJB.
(5) Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d, untuk perumahan dibuktikan dengan:
a. terbangunnya prasarana paling sedikit jalan dan saluran pembuangan air
hujan/drainase;
b. lokasi pembangunan sarana sesuai peruntukan; dan
c. surat pernyataan pelaku pembangunan mengenai tersedianya utilitas umum
berupa sumber listrik dan sumber air.
(6) Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d, untuk Rumah Susun dibuktikan dengan surat pernyataan
dari pelaku pembangunan mengenai ketersediaan tanah siap bangun di luar tanah
bersama yang akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota atau
Pemerintah Daerah Provinsi khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Pasal 10

(7) Keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e, dibuktikan dengan:
a. untuk Rumah tunggal atau Rumah deret keterbangunan paling sedikit 20% (dua
puluh persen) dari seluruh jumlah unit Rumah serta ketersediaan prasarana,
sarana, dan utilitas umum dalam suatu perumahan yang direncanakan; atau
b. untuk Rumah Susun keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
volume konstruksi bangunan Rumah Susun yang sedang dipasarkan.

(8) Keterbangunan 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
huruf a dan huruf b sesuai dengan hasil laporan dari konsultan pengawas
pembangunan atau konsultan manajemen konstruksi
Pasal 11 
(1) PPJB dilakukan sebagai kesepakatan jual beli antara pelaku pembangunan
dengan calon pembeli pada tahap proses pembangunan Rumah.
(2) PPJB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
a. identitas para pihak;
b. uraian objek PPJB;
c. harga Rumah dan tata cara pembayaran;
d. jaminan pelaku pembangunan;
e. hak dan kewajiban para pihak;
f. waktu serah terima bangunan;
g. pemeliharaan bangunan;
h. penggunaan bangunan;
i. pengalihan hak;
j. pembatalan dan berakhirnya PPJB; dan
k. penyelesaian sengketa.
(3) Petunjuk materi muatan PPJB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
Pasal 12 

(1)Calon pembeli berhak mempelajari PPJB sebelum


ditandatangani paling kurang 7 (tujuh) hari kerja.

(2)PPJB ditandatangani oleh calon pembeli dan


pelaku pembangunan yang dibuat di hadapan
notaris.
Pasal 13 
(1). Dalam hal pembatalan pembelian Rumah setelah
penandatanganan PPJB karena kelalaian pelaku pembangunan
maka seluruh pembayaran yang telah diterima harus
dikembalikan kepada pembeli.

(2) Dalam hal pembatalan pembelian Rumah setelah


penandatanganan PPJB karena kelalaian pembeli maka:
a. jika pembayaran telah dilakukan pembeli paling tinggi 10%
(sepuluh persen) dari harga transaksi, keseluruhan
pembayaran menjadi hak pelaku pembangunan; atau
b. jika pembayaran telah dilakukan pembeli lebih dari 10%
(sepuluh persen) dari harga transaksi, pelaku pembangunan
berhak memotong 10% (sepuluh persen) dari harga transaksi.
BAB IV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 14 
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

a. PPJB yang telah ditandatangani sebelum


Peraturan Menteri ini mulai berlaku,
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
berakhirnya PPJB;

b. PPJB yang masih dalam proses penyusunan,


materi muatannya harus disesuaikan
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri
ini.
BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 15 

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:


a. Keputusan Menteri Negara Perumahan
Rakyat Nomor 11/KPTS/1994 tentang
Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan
Rumah Susun;

b. Keputusan Menteri Negara Perumahan


Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang
Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 16 

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal


diundangkan (18 Juli 2019)
V. LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM
DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR
11/PRT/M/2019

“PETUNJUK MATERI MUATAN PPJB”


1. KEPALA AKTA

Memuat judul akta, nomor akta, jam,


hari, tanggal, bulan, tahun, nama
lengkap, dan tempat kedudukan
notaris.
2. IDENTITAS PARA PIHAK

PPJB merupakan kesepakatan jual beli antara


pelaku pembangunan dengan calon pembeli pada
tahap proses pembangunan Rumah dengan materi
muatan sebagai berikut:
Memuat judul akta, nomor akta, jam, hari, tanggal,
bulan, tahun, nama lengkap, dan tempat
kedudukan notaris.
Memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan,
dan tempat tinggal para pihak yang melakukan
perjanjian.
3. URAIAN OBJEK PPJB

Memuat objek yang akan diperjanjikan berupa Rumah, dengan menjelaskan:

a) mengenai data fisik:


1) luas tanah dan luas bangunan untuk Rumah tunggal atau Rumah deret; dan
2) luas Sarusun untuk Rumah Susun;

b) letak (desa atau kelurahan, kecamatan, kota atau kabupaten, provinsi); dan

c) lokasi:
1) Rumah blok, nomor, klaster, untuk Rumah tunggal atau Rumah deret; dan
2) satu bangunan Rumah Susun, lantai dan nomor unit untuk Sarusun pada Rumah
Susun.
4. HARGA RUMAH DAN TATA CARA 
PEMBAYARAN

a) memuat harga penjualan Rumah;

b) memuat penjelasan mengenai tata cara dan waktu


pembayaran, serta biaya‐biaya yang timbul dari
perjanjian;

c) pelaku pembangunan tidak boleh menarik dana


lebih dari 80% (delapan puluh persen) kepada
pembeli sebelum memenuhi persyaratan PPJB.
5. JAMINAN PELAKU PEMBANGUNAN

a) memuat jaminan pelaku pembangunan


terhadap keabsahan kepemilikan akan
Rumah tidak dalam sengketa;

b) memuat jaminan bukti kepemilikan atas


Rumah berupa hak guna bangunan, hak
pakai, atau hak milik.
6. HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK 

A) HAK PELAKU PEMBANGUNAN PALING SEDIKIT MEMUAT


1) menerima pembayaran Rumah; dan
2) hak lainnya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang‐ perundangan
dan/atau sesuai kesepakatan;

B) KEWAJIBAN PELAKU PEMBANGUNAN PALING SEDIKIT MEMUAT


1) melakukan pembangunan Rumah sesuai rencana tapak (site plan) dan
perizinan;
2) menyelesaikan pembangunan Rumah secara tepat waktu;
3) menginformasikan kemajuan pembangunan kepada pembeli;
4) menyediakan prasarana, sarana, dan utillitas sesuai perizinan dan menyerahkan
kepada Pemerintah Daerah;
5) memberikan kesempatan kepada pembeli untuk mempelajari PPJB;
6) memberikan penjelasan dan informasi yang jelas kepada pembeli mengenai isi
PPJB; dan
7) khusus untuk Sarusun:
(1) memfasilitasi dan mensosialisasikan pembentukan perhimpunan pemilik dan
penghuni Sarusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‐undangan;
(2) melakukan pengelolaan selama masa transisi sebelum terbentuknya
perhimpunan pemilik dan penghuni Sarusun dalam pembangunan Rumah Susun;
dan
(3) menjelaskan mengenai bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama;

C) HAK PEMBELI PALING SEDIKIT MEMUAT:


1) memperoleh informasi yang benar, jujur, dan akurat mengenai Rumah;
2) mengetahui syarat dan ketentuan dalam jual beli Rumah sebelum melakukan
pembayaran atas harga Rumah;
3) menerima serah terima Rumah pada jangka waktu sesuai dengan yang
diperjanjikan;
4) mengajukan klaim perbaikan atas kondisi fisik Rumah yang tidak sesuai dengan
spesifikasi yang diperjanjikan;
5) mendapat perlindungan hukum dari tindakan pelaku pembangunan yang
beritikad buruk;
6) melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum;
7) hak untuk membentuk perhimpunan penghuni dan pemilik Sarusun dalam
pembangunan Rumah Susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‐
undangan; dan
8) hak lain yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‐
perundangan dan/atau sesuai kesepakatan;
D) KEWAJIBAN PEMBELI PALING SEDIKIT:
1) melakukan pembayaran harga Rumah sesuai dengan jumlah dan jadwal
pembayaran yang telah disepakati dalam PPJB;
2) memenuhi kewajiban pembayaran biaya, termasuk Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang timbul dari jual beli Rumah;
3) melakukan pembayaran harga Rumah sesuai dengan jumlah dan jadwal
pembayaran yang telah disepakati dalam PPJB;
4) menggunakan Rumah sesuai dengan peruntukannya;
5) membentuk perhimpunan pemilik dan penghuni Sarusun khusus untuk pembeli
Sarusun;
6) mentaati peraturan tata tertib lingkungan yang diterbitkan oleh pelaku
pembangunan selaku pengelola sementara sebelum terbitnya peraturan tata tertib
yang ditetapkan oleh perhimpunan pemilik dan penghuni Sarusun;

7) beritikad baik untuk melaksanakan ketentuan dalam PPJB; dan

8) kewajiban lain yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‐


perundangan dan/atau sesuai kesepakatan.
7. WAKTU SERAH TERIMA BANGUNAN

Serah terima dilakukan oleh pelaku pembangunan


terhadap unit Rumah atau Sarusun yang telah
terbangun, dilengkapi dengan dokumen:
a) berita acara serah terima kunci; dan
b) akta jual beli atau sertifikat hak milik/sertifikat hak
milik Sarusun/sertifikat kepemilikan bangunan
gedung Sarusun.
8. PEMELIHARAAN BANGUNAN
a) pelaku pembangunan bertanggung jawab terhadap
pemeliharaan untuk Rumah paling singkat 3 (tiga) bulan sejak
ditandatangani berita acara serah terima Rumah;

b) selama masa pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada


huruf (a), pembeli berhak menyampaikan keluhan atas
ketidaksesuaian dan/atau ketidaksempurnaan Rumah sesuai
dengan yang diperjanjikan;

c) perbaikan atas keluhan sebagaimana dimaksud pada huruf


(b), termasuk penggantian dan biaya yang timbul, menjadi
tanggung jawab pelaku pembangunan.
9. PENGGUNAAN BANGUNAN 

a) penggunaan Rumah sebagai tempat tinggal


sesuai dengan tujuan dan peruntukannya;

b) biaya penggunaan fasilitas berbayar


dan/atau utilitas berbayar yang dipergunakan
oleh pembeli menjadi tanggung jawab
pembeli.
10. PENGALIHAN HAK 

a) pembeli dilarang untuk mengalihkan hak


Rumah tunggal atau Rumah deret dan Sarusun
sebelum dilakukan proses penandatanganan
akta jual beli;
b) pengalihan hak sebelum penandatanganan
akta jual beli dapat dilakukan apabila
mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu
dari pelaku pembangunan; dan
c) pengalihan hak dilakukan dihadapan
notaris.
11. PEMBATALAN DAN BERAKHIRNYA PPJB 

a) pembatalan PPJB hanya dapat dilakukan


sesuai ketentuan yang mengatur mengenai
syarat pembatalan dalam PPJB yang
disepakati oleh pembeli dan pelaku
pembangunan;

b) berakhirnya PPJB adalah terpenuhinya


prestasi atau perikatan yang disepakati dan
syarat‐syarat tertentu dalam perjanjian.
12. PENYELESAIAN SENGKETA 

a) Sengketa sehubungan dengan PPJB, harus


diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat;

b) Sengketa diselesaikan secara musyawarah dalam


jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;

c) sengketa dapat diselesaikan melalui upaya


penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang‐undangan di
bidang perumahan dan permukiman.
13. PENUTUP 

Memuat tentang penandatanganan dan


tempat penandatanganan.
14. LAMPIRAN 

a) Untuk Rumah tunggal atau Rumah deret melampirkan gambar


bangunan yang dipotong vertikal dan memperlihatkan isi atau bagian
dalam bangunan, dan denah yang menunjukan lokasi Rumah berada;

b) Untuk Rumah Susun dengan satu bangunan Rumah Susun melampirkan


gambar denah tanah bersama, gambar bangunan yang dipotong
vertikal dan memperlihatkan isi atau bagian dalam bangunan, dan
denah yang menunjukan Sarusun berada; dan

c) Untuk Rumah Susun dengan lebih dari satu bangunan Rumah Susun
melampirkan gambar lokasi satu bangunan Rumah Susun atau blok,
gambar atau batas‐batas tanah bersama, gambar bangunan yang
dipotong vertikal dan memperlihatkan isi atau bagian dalam
bangunan, dan denah yang menunjukan lantai Sarusun berada.
VI. KASUS-KASUS PPJB
1. PPJB ATAS OBYEK SERTIFIKAT HAK GUNA BANGUNAN
(SHGB) SUDAH BERAKHIR

Notaris tidak bisa membuat PPJB yang bukti hak sertifikat (Mis :
SHGB atau SHGU atau Hak Pakai) telah berakhir haknya.

Catatan :
Dengan habisnya hak tidak serta merta menghapus hak pemilik
tersebut dan menjadi hak negara akan tetapi ada hak prioritas
yang mendahulukan pemilik sebelumnya untuk memiliki
kembali.

Catatan :
Untuk proses ini sebaiknya dilakukan Pelepasan Hak
2. NOTARIS MEMBUAT PPJB DAN KUASA MENJUAL
SEBAGAI PENYELESAIAN HUTANG PIUTANG
a.Putusan Mari 3247 K/Pdt/1987, PJB dengan tekanan hutang
piutang merupakan penyalh gunaan keadaan batal demi
hukum
b.Putusan MARI No. 1947 K/Pdt/1990, Hutang Piutang diikat
dengan perjanjian pinjam-meminjam tidak dengan PJB.
c.Putusan MARI No. 1074 K/Pdt/1985, Pjj Hutang Piutang
tidak dapat digantikan dengan PJB.
Catatan :
Notaris jangan membuat PPJB dalam rangka kewajiban
pelunasan hutang karena merupakan penyalah-gunaan
keadaan akibatnya “batal demi hukum”.

Lembaga hutang piutang dengan jaminan adalah “Hak


Tanggungan”, bukan PPJB atau AJB

Jika pinjaman dengan jaminan dilakukan dengan PPJB/AJB


merupakan penyalahgunaan keadaan.
3. PPJB DITANDATANGANI KOSONG dan TIDAK DIBACAKAN
NOTARIS.
Notaris bertanggung jawab secara perdata apabila akta yang
dihasilkan :
a. Karena cacat akta menjadi akta dibawah tangan
b. Pasal 1365, 1366 dan 1367 KUHPerdata terdapat kewajiban
ganti rugi dengan pembuktian unsur-unsur sbb :
(1) Kerugian yang diderita
(2) Hubungan kausal antara kerugian dan pelanggaran atau
kelalaian Notaris
(3) Pelanggaran dan kelalaian disebabkan kesalahan yang
dapat dipertanggung jawabkan Notaris.

 PPJB tandatangan blanko tidak berhadapan


 PPJB tidak berhadapan dan kemudian dipalsukan tandatangan
pemilik/penjual
 PPJB tidak dilakukan pengecekan sertifikat dan ternyata palsu
4. NOTARIS MEMBUAT PPJB DAN KUASA JUAL ATAS OBYEK
DALAM JAMINAN BANK .
 Dalam praktek masih banyak Notaris yang membuat akta
PPJB dengan obyek yang masih dalam Jaminan Hak
Tanggungan.
Catatan (Terjadi masalah jika Kredit macet/Wanprestasi):
-Obyek jaminan adalah hak Previlage dari Bank Pemberi Kredit jika
terjadi Wanprestasi.
-Perjanjian tsb obyek tidak pasti karena
dalam jaminan Bank ada resiko di lelang jk
wanprestasi

5. PPJB TERKAIT DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI Terkait


Penjualan Tanah Negara/Kas Desa (Kasus Sidoarjo). Tindakan
perjanjian diluar PPJB :
 Pengadaan tanah untuk kepentingan umum Notaris tiak perlu
melakukan pengukuran, Negosiasi harga serta ikut serta
Rapat dengan pengembang.
 Pelepasan hak berdasarkan Berita Acara Rapat Panitia 9. (UU
No, 2/1012)
6. PENITIPAN SERTIFIKAT DIARTIKAN SEBAGAI PENGGELAPAN

Terkait PPJB Tidak Lunas dan timbul


masalah karena Sertifikat dalam Penyimpanan Notaris

 Terjadi kaus karena terdapat wanprestasi dari salah satu pihak


 Notaris sebagai tersangka dengan tuduhan penggelapan

Catatan :
 Unsur Penggelapan harus Jelas sebagaimana dalam Pasal 372
KUHAP
 Notaris berkewajiban menjamin kepastian
hukum para pihak sebagaimana ketentuan UU.
 Akta dibuat atas kesepakatan para pihak.
 Notaris bukan pihak.
7. PPJB DENGAN ANGSURAN
• ‐Bila pembeli lalai dalam melakukan pembayaran, maka tidak serta merta perjanjian batal
akan tetapi harus diberikan klausul denda/ganti rugi, sehingga untuk kepentingan pembeli
terlindungi.
• Catatan :

 Klausul mengenai denda jika melanggar perjanjian


harus dimuat secara tegas, termasuk ketentuan batal.
 Sebaliknya juga harus ada klausul bila penjual membatalkan maka pembeli mendapat
ganti rugi.
 Jika terjadi pembatalan oleh Pembeli sertifikat kembali ke pemilik
 Jika PPJB pembatalannya oleh Pengadilan Negeri, maka
sertifikat wajib dikembalikan ke Pemilik.
 Jika perjanjian belum ada pembatalan, maka Notaris wajib melindungi kepentingan para 
pihak.
 Jika PPJB belum lunas dan pembeli adalah PT yang dipailitkan, maka yang bertindak
melakukan perbuatan hukum dari PT yang dipailitkan adalah Kurator yang ditunjuk
Pengadilan Niaga.
8. PENYIMPANGAN KUASA JUAL

Kuasa Jual tetapi didalamnya dicantumkan klausul tentang


pelepasan hak
VII. KUASA MENJUAL DAN KUASA 
MUTLAK
KUASA MENJUAL

Kedudukan Kuasa dalam PPJB adalah sebagai jaminan kepada Pembeli untuk  balik nama 
karena telah Lunas.
Akta PJB, di dalamnya dibarengi dengan Kuasa untuk menjual, dari penjual kepada
pembeli. Jadi, ketika semua persyaratan sudah terpenuhi, tanpa perlu kehadiran penjual
karena sudah terwakili sudah memberikan kuasa, dengan redaksi kuasa menjual kepada
pembeli, PPAT dapat langsung membuatkan Akta Jual Beli untuk memproses balik nama
sertifikatnya.

(Kuasa Jual PPJB Lunas adalah untuk kepentingan Pembeli)

Pasal 1792 KUHPerdata menyebutkan, “Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan
mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas
namanya, menyelengarakan suatu urusan”.

Kuasa untuk menjual, masuk kedalam kategori kuasa yang digunakan untuk
memindahtangankan benda yang sejatinya hanya dapat dilakukan oleh pemiliknya saja.
Maka dari itu, untuk kuasa menjual ini, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata‐
kata yang tegas di dalam aktanya (Pasal 1796 KUHPerdata).
KUASA MENJUAL

Kuasa untuk menjual ini, bisa masuk sebagai klausul dalam PJB, bisa juga berbentuk akta
tersendiri. Jadi, menandatangani dua akta: PJB dan Akta Kuasa Untuk Menjual. Kuasa
untuk menjual masuk sebagai klausul dalam PJB, maka yang ditandatangani hanya akta PJB
saja.

Akta PJB Lunas, Kuasa Menjual yang terdapat di dalam akta PJB Lunas bersifat mutlak,
artinya tidak dapat dicabut kembali dan tidak berakhir karena sebab yang diatur Pasal
1813 KUHPerdata. Hal ini menjamin kepastian hukum pembeli yang sudah membayar
lunas secara penuh namun belum bisa dilaksanakan baliknama karena satu dan lain hal
ada syarat‐syarat yang belum terpenuhi. Jika kuasa menjual ini bagian yang tak
terpisahkan dari PJB Lunas, maka dalam hal akta PJB Lunas tersebut telah ditandatangani
dengan sempurna tanpa ada unsur khilaf, paksaan maupun tipuan, maka proses PJB
Lunas, yang dilanjutkan menjadi AJB sampai balik nama sertifikat, memang sudah berjalan
sebagaimana seharusnya.

Pencantuman Kuasa dalam PJB adalah untuk kepentingan Pembeli karena telah
memenuhi seluruh kewajibannya.
KUASA MENJUAL

Kuasa menjual yang termasuk dalam PJB tujuannya


memberikan jaminan kepada Pembeli setelah syarat‐syarat
yang diharuskan dalam jual beli dipenuhi, utuk melakukan
AJB dengan mudah tanpa kehadiran Penjual.
KUASA MUTLAK

Istilah KUASA MUTLAK adalah istilah dalam Instruksi


Mendagri 14 1982, tgl 6 Maret 1982, tentang larangan
penggunaan Kuasa Mutlak menurut INMEN tersebut adalah
Kuasa berdiri sendiri dengan obyek tanah dan yang
memberikan kewenangan kepada pemberi kuasa untuk
menguasai dan menggunakan tanah serta melakukan segala
perbuatan hukum yang menjadi wewenang Pemberi Kuasa
(Pemilik Tanah), dalam Kuasa tersebut disebutkan tidak
dapat dicabut kembali.
Kuasa Menjual PPJB tidak 
termasuk Kuasa Mutlak

a. Kuasa menjual tersebut dibuat dalam rangka atau


mengabdikan pada suatu perjanjian causa yang sah atau
halal.

a. Tindakan hukum yang disebut dalam kuasa bukan untuk


kepentingan Pemberi Kuasa akan tetapi untuk kepentingan
Penerima Kuasa, dan merupakan pelaksanaan kewajiban
hukum Pemberi Kuasa selaku Penjual karena Penerima
Kuasa telah pembeli telah membayar lunas.
VIII. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
NOTARIS-PPAT DALAM MENJALANKAN
PRAKTIK JABATAN
• Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Majelis Kehormatan
Notaris, sejak tanggal 22 September 2016, pemanggilan
terhadap Notaris oleh Penyidik/Jaksa Penuntut Umum/Hakim
wajib terlebih dahulu harus seizin dari Majelis Kehormatan
Notaris Wilayah (MKNW) Propinsi. Jika hal tersebut tidak
dilakukan, maka pemanggilan tersebut bisa dikualifikasikan
sebagai cacat hukum formalitas dalam melakukan pemeriksaan
terhadap Notaris.
• Pasal 66 Ayat (3) UUJN‐P  Imperatif (Wajib) MKNW untuk
memberikan jawaban : Majelis kehormatan Notaris dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya
surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) WAJIB memberikan jawaban menerima atau menolak
permintaan persetujuan.

93
PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA DAN 
PENYITAAN MINUTA
•Bahwa dalam Pasal 20 Permenkumham
disebutkan kewenangan MKNW yaitu :
Kewenangan Majelis Kehormatan Notaris
Wilayah berdasarkan keputusan rapat Majelis
Kehormatan Notaris Wilayah meliputi:

HABIB ADJIE-INC-NOTARIS-PPAT-PL II SURABAYA-08121652894 94


a. pemeriksaan terhadap Notaris yang dimintakan persetujuan
kepada Majelis Kehormatan Notaris Wilayah oleh penyidik, penuntut
umum, atau hakim;
b. pemberian persetujuan atau penolakan terhadap permintaan
persetujuan Pengambilan Fotokopi Minuta akta dan/atau surat‐surat
yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam
penyimpanan Notaris; dan
c. pemberian persetujuan atau penolakan terhadap permintaan
persetujuan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam penyidikan,
penuntutan, dan proses peradilan yang berkaitan dengan akta atau
protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

95
• MKNW punya kewenangan untuk memberikan persetujuan
atau penolakan permintaan pengambilan fotokopi minuta akta
dan/atau surat‐surat yang dilekatkan pada minuta akta atau
protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;
• Dengan MKNW terbatas hanya mengizinkan atau menolak
permintaan untuk pengambilan fotokopi minuta.
• Bagaimana dengan Penyitaan terhadap minuta minuta akta
dan/atau surat‐surat yang dilekatkan pada minuta akta atau
protokol notaris dalam penyimpanan notaris.?
• Dalam hal ini harus dibedakan antara Pengambilan Fotokopi
Minuta Akta dan Penyitaan Minuta Akta.

96
1. MKNW berwenang untuk mengijinkan atau
menolak permintaan penyidik, penuntut umum
dan hakim untuk pengambilan fotokopi minuta
akta dan/atau surat‐surat yang dilekatkan pada
minuta akta atau protokol Notaris dalam
penyimpanan Notaris
2. Penyitaan terhadap Minuta Akta Notaris Penyitaan hanya
dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin dari Ketua
Pengadilan Negeri setempat, namun dalam keadaan
mendesak, Penyitaan tersebut dapat dilakukan penyidik
lebih dahulu dan kemudian setelah itu wajib segera
dilaporkan ke ketua pengadilan negeri, untuk memperoleh
persetujuan.

97
Bahwa jika dilakukan Penyitaan oleh
Pengadilan yang pada akhirnya bukan untuk
dimusnahkan, tapi harus dikembalikan
kepada Notaris yang bersangkutan atau
Notaris pemegang protokol, karena Minuta
Akta Notaris merupakan arsip Negara (Pasal
1 angka 13 UUJN.

98
Pasal 29 Permenkumham menegaskan bahwa Ketentuan dalam
Peraturan Menteri ini berlaku juga bagi Notaris Pengganti dan
Pejabat Sementara Notaris. Hal ini harus diartikan untuk Notaris,
Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris yang masih
menjalankan jabatannya, bagaimana untuk :
a. Notaris yang pensiun/werda (karena telah sesuai
batas umur atau mengundurkan diri atau
diberhentikan).
b. Mantan Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara
Notaris.

99
Jabatan Notaris dalam pelaksanaan tugasnya harus 
dibina, diawasi oleh 3 (tiga) institusi yang berbeda:

• Majelis Pengawas Notaris (MPN) ‐ (Pasal 67 ayat (2)


UUJN).
• Majelis Kehormatan Notaris (MKN) – (Pasal 66 A
UUJN‐P).
• Dewan Kehormatan Notaris (DKN) – (Pasal 10 dan 12
AD INI).

100
MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS 
(MKN) – (PASAL 66 A UUJN)

• MKNW PUNYA KEWENANGAN KHUSUS/ISTIMEWA UNTUK


MENGIZINKAN/MENOLAK PERMINTAAN PENYIDIK/HAKIM/JAKSA
PENUNTUT UMUM JIKA NOTARIS AKAN DIPERIKSA.

101
FAKTOR PEMICU MASALAH

 Akta merugikan salah satu penghadap


 Tindakkan penghadap yang merugikan penghadap lainnya,
 Pihak lain yang tidak pernah ada kaitannya dengan akta
tersebut

LANGKAH HUKUM:
LAPOR KE KEPOLISIAN, KEPOLISIAN AKAN
MEMANGGIL/MEMINTA KETERANGAN DARI NOTARIS/PPAT

102
PASAL 66 UUJN

(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim
dengan persetujuan MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat‐surat yang dilekatkan
pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan
dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan
Notaris.
(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat‐surat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.
(3) Majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban
menerima atau menolak permintaan persetujuan.
(4) Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis
kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan.
103
Untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 66 A UUJN.

 Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia telah Menerbitkan


PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN
NOTARIS.

 Permenkumham tersebut mulai berlaku tanggal diundangkan, yaitu


tanggal 5 Pebruari 2016.

 Dengan demikian sejak tanggal 5 Pebruari 2016, jika Penyidik akan


memanggil Notaris, maka wajib terlebih dahulu meminta izin dari MKN
(Majelis Kehormatan Wilayah) yang ada di propinsi yang bersangkutan.

 Bahwa ketentuan tersebut harus/wajib dilaksanakan oleh Penyidik,


karena jika hal tersebut tidak dilakukan atau diabaikan oleh Penyidik,
maka penyidikan bisa dikategorikan dari sisi hukum telah cacat
formalitas
104
TUGAS DAN FUNGSI MKNW
Pasal 17 :
(1) Majelis Kehormatan Notaris Pusat mem‐punyai
tugas melaksanakan PEMBINAAN terhadap
Majelis Kehormatan Wilayah yang berkaitan
dengan tugasnya.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Majelis Kehormatan
Notaris Pusat mempunyai fungsi melakukan
pengawasan terhadap Majelis Kehormatan Notaris
Wilayah.

105
Pasal 18 :
(1) Majelis Kehormatan Notaris Wilayah mempunyai tugas:
a. melakukan pemeriksaan terhadap permohonan yang diajukan oleh
penyidik, penuntut umum, dan hakim; dan
b. memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permintaan
persetujuan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam penyidikan,
penuntutan, dan proses peradilan.
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Majelis Kehormatan Notaris Wilayah mempunyai fungsi melakukan
pembinaan dalam rangka:
a. menjaga martabat dan kehormatan Notaris dalam menjalankan profesi
jabatannya; dan
b. memberikan perlindungan kepada Notaris terkait dengan kewajiban
Notaris untuk merahasiakan isi Akta.

106
KEWENANGAN MKNW
Pasal 20 :
Kewenangan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah berdasarkan keputusan
rapat Majelis Kehormatan Notaris Wilayah meliputi:
a. pemeriksaan terhadap Notaris yang dimintakan persetujuan kepada
Majelis Kehormatan Notaris Wilayah oleh penyidik, penuntut umum,
atau hakim;
b. pemberian persetujuan atau penolakan terhadap permintaan
persetujuan pengambilan fotokopi minuta akta dan/atau surat‐surat
yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam
penyimpanan Notaris; dan
c. pemberian persetujuan atau penolakan terhadap permintaan
persetujuan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam penyidikan,
penuntutan, dan proses peradilan yang berkaitan dengan akta atau
protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

107
PROSEDUR
PEMANGGILAN/PEMERIKSAAN
NOTARIS

108
SYARAT PEMANGGILAN NOTARIS
Pasal 27
(1) Pemberian persetujuan kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk
kepentingan proses peradilan dalam pemanggilan Notaris, dilakukan dalam hal:
a. adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau surat‐
surat Notaris dalam penyimpanan Notaris;
b. belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam
peraturan perundangundangan di bidang hukum pidana;
c. adanya penyangkalan keabsahan tanda tangan dari salah satu pihak atau
lebih;
d. adanya dugaan pengurangan atau penambahan atas Minuta Akta; atau
e. adanya dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal (antidatum).
(2) Majelis Kehormatan Notaris Wilayah dapat mendampingi Notaris dalam proses
pemeriksaan di hadapan penyidik.

109
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PPAT
PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018
TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEJABAT PEMBUAT
AKTA TANAH

a. Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang


Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, perlu diatur
pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah yang dilaksanakan oleh Menteri;
b. pengaturan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
jabatan PPAT diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 2006
KETENTUAN YANG MENGATUR

Undang-Undang Nomor 5 Undang-Undang Nomor 4 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Tahun 1960 tentang Tahun 1996 tentang Hak Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Peraturan Dasar Pokok- Tanggungan atas Tanah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Pokok Agraria beserta benda-benda yang Nomor 24 tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan
berkaitan dengan tanah. Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata


Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor Peraturan Presiden Nomor
Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun
8 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja 17 Tahun 2015 tentang
2015 tentang Badan Pertanahan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Kementerian Agraria dan
Nasional.
Pertanahan Nasional. Tata Ruang

Peraturan Menteri Agraria dan Tata


Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Nomor 38 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2017 tentang Tata
Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Cara Ujian, Magang, Pengangkatan dan Perpanjangan
Nasional dan Kantor Pertanahan. Masa Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
DEFINISI

- Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi


wewenang untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun. (Pasal 1 angka 1)
- Pembinaan adalah usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan
oleh Menteri terhadap PPAT secara efektif dan efisien untuk
mencapai kualitas PPAT yang lebih baik . (Pasal 1 angka 2)
- Pengawasan adalah kegiatan administratif yang bersifat preventif
dan represif oleh Menteri yang bertujuan untuk menjaga agar
para PPAT dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan . (Pasal 1 angka 3)
- Majelis Pembina dan Pengawas PPAT adalah majelis yang diberi
kewenangan oleh Menteri untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap PPAT . (Pasal 1 angka 11)
MAKSUD, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP

Maksud :
Sebagai pedoman pelaksanaan pembinaan dan pengawasan serta
penegakan aturan hukum melalui pemberian sanksi terhadap
PPAT yang dilakukan oleh Kementerian. (Pasal 2 Ayat (1))
Tujuan :
Untuk mewujudkan PPAT yang profesional, berintegritas dan
melaksanakan jabatan PPAT sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan Kode Etik.(Pasal 2 Ayat (2))
Ruang Lingkup :
• pembinaan dan pengawasan PPAT;
• pembentukan majelis pembina dan pengawas PPAT;
• tata kerja pemeriksaan dugaan pelanggaran PPAT; dan
• bantuan hukum terhadap PPAT. (Pasal 3 Ayat (1))
PEMERIKSAAN AKTA PPAT

Pemeriksaan atas Akta yang


dibuat PPAT pada saat
pemindahan hak dan
pembebanan hak dilakukan
oleh Kepala Kantor
Pertanahan atau Petugas
yang ditunjuk. (Pasal 6)
Pengawasan
Pengawasan terhadap PPAT dapat berupa :
1. Pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan PPAT (Pasal 8 huruf a).;
2. Penegakan aturan hukum sesuai dengan ketentuan Per-UUan
di bidang PPAT. (Pasal 8 huruf b).
- Pengawasan dilakukan untuk memastikan PPAT melaksanakan kewajiban dan
jabatan PPAT ny sesuai dengan ketentuan Peraturan Per-UUan. (Pasal 9 Ayat (1)).
- Pengawasan atas pelaksanaan jabatan PPAT dilakukan dengan pemeriksaan ke
kantor PPAT atau cara pengawasan lainnya. (Pasal 10 ayat (1)).
- Pemeriksaan dapat dibantu oleh Majelis Pembina dan Pengawas PPAT sesuai dengan
tugas dan kewenangannya, dilaksanakan dengan ketentuan :
a. mendapat penugasan dari Ketua Majelis Pembina dan Pengawas PPAT; dan
b. dilakukan paling sedikit 2 (dua) orang. (Pasal 10 ayat (4) dan (5)).
- Hasil pemeriksaan dibuat dalam bentuk risalah. Apabila terdapat temuan
pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT ditindaklanjuti dengan pemeriksaan oleh
Majelis Pembina dan Pengawas PPAT. (Pasal 10 ayat (6) dan (7)).
SANKSI KEPADA PPAT
- Pemberian sanksi yang dikenakan terhadap PPAT yang melakukan
pelanggaran dapat berupa:
1. teguran tertulis dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan (Pasal 14
ayat (1));
2. pemberhentian sementara dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah
BPN (Pasal 14 ayat (2));
3. pemberhentian dengan hormat; atau pemberhentian dengan tidak
hormat dilakukan oleh Menteri (Pasal 14 ayat (3)).

- Pemberian sanksi berupa pemberhentian dapat diberikan langsung tanpa


didahului teguran tertulis. (Pasal 13 ayat (2)).
KESIMPULAN
• Mengacu kepada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Perundang-Undangan, Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2018
tentang Pembinaan dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah
merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 33 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah.
KESIMPULAN

• Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan disebutkan :

Pasal 7 ayat (1)

a. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:


Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. PeraturanPresiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 7 ayat (2)

Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan

sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud

pada ayat (1).


• Mengenai Pembinaan dan Pengawasan terhadap pelaksanaan
jabatan PPAT dapat dikatakan bahwa ketentuan Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 2 tahun 2018 termasuk peraturan Perundang-
undangan yang dalam pelaksanaannya dalam melakukan
Pembinaan, Pengawasan dan sampai memberikan sanksi kepada
PPAT apabila terbukti bersalah dalam menjalankan jabatan
PPAT maka keputusan Majelis Pembina dan Pengawas PPAT
mempunyai keputusan yang kuat, sah dan mengikat.
• Sebagai bagian pelaksanaan memberi kemudahan investasi yang
sedang dijalankan Pemerintahan Jokowi-JK baik yang sudah diatur
dalam Peraturan Menteri No. 2 tahun 2014 tentang Ijin lokasi maka
sudah seharusnya PPAT yang berkontribusi terhadap pelayanan
kepada masyarakat maupun penanam modal dalam menjalankan
profsi PPAT.
BANTUAN HUKUM TERHADAP  
PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

122
PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA 
RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN 
NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR  2  
TAHUN  2018 TENTANG  PEMBINAAN DAN 
PENGAWASAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
(Pasal 50) 

123
(1) Kementerian, Majelis Pembina dan Pengawas PPAT dan/atau
IPPAT dapat memberikan BANTUAN HUKUM TERHADAP PPAT
YANG DIPANGGIL SEBAGAI SAKSI MAUPUN TERSANGKA OLEH
PENYIDIK.

(2) PPAT YANGYANG DIPANGGIL SEBAGAI SAKSI MAUPUN


TERSANGKA OLEH PENYIDIK DAPAT MENGAJUKAN
PERMOHONAN BANTUAN HUKUM.

124
(3) Bantuan hukum sebagaimana di‐maksud
pada ayat (1) dapat berupa saran,
masukan/pendampingan dalam penyidikan
dan/atau keterangan ahli di pengadilan.
(4) Kementerian, Majelis Pembina dan
Pengawas PPAT dan/atau IPPAT dapat
membentuk tim gabungan guna
memberikan bantuan hukum kepada PPAT
yang anggotanya berasal dari unsur
Kementerian, Majelis Pembina dan
Pengawas PPAT dan/atau IPPAT.

125
(5)Dalam Hal Penyidik Akan
Memeriksa Ppat Atas Dugaan
Tindak Pidana Dapat Ber‐koordinasi
Dengan Kementerian, Majelis
Pembina Dan Pengawas PPAT
dan/atau IPPAT.

126
PPAT Yang Dipanggil Sebagai Saksi Maupun Tersangka
Oleh Penyidik  Dapat Diberi Bantuan Hukum Oleh
Kementerian, Majelis Pembina Dan Pengawas PPAT
dan/atau IPPAT.

BANTUAN HUKUM  DarI MP3 (Pusat‐wilayah –


Daerah) DaN IPPAT (Pengurus Pusat – Pengurus
Wilayah – Pengurus Daerah) Atau Tim Gabungan (MP3
DAN IPPAT)

127
BANTUAN HUKUM:

Saran, 
Masukan/Pendampingan Dalam
Penyidikan Dan/Atau
Keterangan Ahli Di Pengadilan. 

128
•KOORDINASI ANTARA KEMENTERIAN,
MAJELIS PEMBINA DAN PENGAWAS
PPAT DAN/ATAU IPPAT DALAM HAL
PENYIDIK AKAN MEMERIKSA PPAT
ATAS DUGAAN TINDAK PIDANA YANG
DILAKUKAN PPAT

129
BANTUAN HUKUM YANG AKAN 
DILAKUKAN BERKAITAN DENGAN 
PELAKSANAAN TUGAS JABATAAN 
PPAT ATAU DALAM KORIDOR 
HUKUM/KEWENANGAN PPAT.

130
PERMOHONAN BANTUAN HUKUM 

DIAJUKAN OLEH PPAT YANG 
BERSANGKUTAN KE : MP3 (PUSAT‐
WILAYAH–DAERAH) DAN IPPAT 
(PENGURUS PUSAT–PENGURUS 
WILAYAH–PENGURUS DAERAH) ATAU 
TIM GABUNGAN (MP3 DAN IPPAT)

131
SEGALA PERSOALAN/MASALAH YANG 
BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN 
JABATAN PPAT DAPAT DILAPORKAN KE 
MP3 (PUSAT‐WILAYAH‐DAERAH)

132
1. NOTARIS  PASAL 66 UUJN JO PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG MAJELIS
KEHORMATAN NOTARIS, SEJAK TANGGAL 22 SEPTEMBER 2016, PEMANGGILAN
TERHADAP NOTARIS OLEH PENYIDIK/JAKSA PENUNTUT UMUM/HAKIM WAJIB
TERLEBIH DAHULU HARUS SEIZIN DARI MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS WILAYAH
(MKNW) PROPINSI.

2. PPAT  PASAL 50 ‐ PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA


BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018
TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH 
BANTUAN HUKUM : KOORDINASI DENGAN KEMENTERIAN, MAJELIS PEMBINA
DAN PENGAWAS PPAT DAN/ATAU IPPAT

133
IX. KESIMPULAN
PPJB DAN KUASA JUAL
1. PPJB DAN KUASA MENJUAL BERKEDOK UTANG-PIUTANG ATAU
PINJAM-MEMINJAM
2. NOTARIS MEMBUAT PPJB ATAS OBYEK YANG SERTIFIKAT HAK
GUNA BANGUNAN (SHGB) SUDAH BERAKHIR
3. NOTARIS MEMBUAT PPJB DAN KUASA MENJUAL SEBAGAI
PENYELESAIAN HUTANG PIUTANG
4. PPJB DITANDATANGANI KOSONG dan TIDAK DIBACAKAN NOTARIS.
5. NOTARIS MEMBUAT PPJB DAN KUASA JUAL ATAS OBYEK DALAM
JAMINAN BANK
6. PPJB TERKAIT DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI
7. PENITIPAN SERTIFIKAT DIARTIKAN SEBAGAI PENGGELAPAN
8. PPJB DENGAN ANGSURAN
9. PENYIMPANGAN KUASA JUAL Hindari/Jangan
Dilakukan
FAHAMI
1.Wajib melakukan Pengecekan Sertipikat ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota letak objek tanah
yang dilakukan oleh PPAT Tidak melihat dan fotokopi asli‐asli seluruh dokumen untuk AJB dan
atau PPJB.
2.Pengecekan tunggakan PBB dan pembayaran seluruh tunggakan PBB
3.Pembayaran Pajak Penjual dan Pajak Pembeli terlebih dahulu sebelum tandatangan AJB.
4.Validasi pajak penjual dan pembeli ke pihak yang berwenang untuk itu.
5.Pembayaran pajak terhadap kekurangan bayar pajak, apabila dinyatakan kurang bayar pajak oleh
pihak yang berwenang untuk itu.
6.Pembayaran PNPB ke pihak yang berwenang untuk itu.
7.Melakukan Roya terlebih dahulu
8.Melakukan PPJB atau AJB padahal Sertipikat tanah sedang dijaminkan ke Pihak Bank maupun
pihak lainnya.
9.Melakukan PPJB atau AJB padahal Sertipikat tanah sedang dalam sengketa/diblokir/disita oleh
pihak yang berwenang untuk itu.
10.Melakukan PPJB atau AJB padahal Sertipikat tanah sedang dalam proses lelang (belum final).
11.Melakukan PPJB atau AJB padahal Sertipikat tanah sedang dalam proses eksekusi.
12.Melakukan PPJB atau AJB padahal Sertipikat tanah sedang dalam proses pailit dan tanpa
adanya izin dari Kurator dan Hakim Pengawas.
FAHAMI
14. Penjual menandatangani AJB terlebih dahulu dan Pembeli tidak ikut tandatangan dan akan diisi
kemudian hari atau digantikan dengan Pembeli yang lain.
15. Tidak menghadirkan suami/isteri tandangan AJB terhadap Harta Bersama Suami Isteri (kecuali
jika ada Perjanjian Kawin/Harta Pisah).
16. Dilarang melakukan pengalihan/pembebanan hak atas tanah milik yayasan yang Anggaran
Dasarnya belum disesuaikan dgn UU Yayasan sebagaimana yang dimaksud UU No 16/2001 Jo.
UU No.28/2004 Jo. PP No.63/2008 Jo. Pp No.2/2013.
17. WNA dilarang untuk mempunyai tanah dengan status Hak Milik dan HGB (Pasal 21 ayat (3) dan
Pasal 36 ayat (2) UUPA), Jika Penjual adalah WNI yang menikah dengan WNA yang dicatatkan di
Indonesia tanpa adanya Perjanjian Kawin Pisah Harta dan perkawinan sudah lebih dari 1 tahun,
maka status tanahnya gugur dan kembali kepada Negara.
18. Tanah yg belum bersertipikat, sebelum AJB wajib melakukan Pengukuran Tanah (SK BPN No
1/2006), sebaiknya dilakukan pensertipikatan terlebih dahulu.
19.Minuta akta dibawa oleh pihak lain.
20.Tanda tangan AJB tidak dihadapan PPAT.
21.Mendaftarkan AJB ke Kantor Pertanahan melebihi 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal
penandatanganan AJB.
22.Tidak melakukan proses pemeliharaan data atau pembetulan atau penyesuaian terlebih dahulu,
apabila adanya hal atau kewajiban melakukan perubahan (misal pemecahan, ganti blangko, ganti
nama, letak dan lain‐lain).
FAHAMI
23. Melakukan PPJB dan atau AJB terhadap harta warisan yang belum dilakukan Balik
Nama Waris.
24. Tidak menghadirkan suami/isteri yang telah bercerai untuk tandatangan PPJB dan
atau AJB yang merupakan harta bersama/harta gono gini/harta campur.
25. PPJB dan AJB dengan pemberian kuasa hanya kuasa dibawah tangan, sebaiknya jika
kuasa dibuat secara Akta Notaril dan atau Legalisasi dari Notaris dan atau Konjen
setempat (apabila di luar negeri).
26. Tidak membuat Berita Acara Serah Terima (sebaiknya dibuat BAS).
27. Agar mengikuti seluruh ketentuan hukum yang berlaku, Hukum Syariah dan Hukum
Positif yang berlaku di Indonesia.
28. Jangan Minta Nomor Akta
29. Jangan Melakukan Cek Intip, Cek Toong, Cek SMS
30. Jangan Asisten atau Karyawan yang melakukan AKAD
31. Berikan Salinan Akta atau dokumen lainnya kepada penghadap atau kepada yang
berwenang untuk itu atau ada Surat Kuasa tertulis (jika dikuasakan).
Lainnya
MITIGASI

Berdoa kepada Allah SWT dalam menjalankan jabatan Notaris


PPAT.
Jalankan jabatan Notaris PPAT sesuai dengan UUJN, PJ PPAT,
Kode Etik Peraturan Perkumpulan dan Peraturan Terkait
Lainnya.
Konsultasi dengan Organisasi INI IPPAT apabila ada hal yang
tidak jelas dan tidak mengerti
Selesaikan Sengketa atau Kasus dengan baik
Lakukan Perdamaian
Hindari proses berperkara secara litigasi (Banding, Kasasi, PK).

139
REFERENSI:
1. KUHP
2. KUHD
3. UUPA
4. PP 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai
5. UU 40/2007 tentang PT
6. PP. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah
7. PP 24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik
8. Perpres 17/2015 tentang Kementerian ATR
9. Perpres 20/2015 tentang BPN
10. Permen Hukum dan HAM RI 17/2018 tentang Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma, dan Persekutuan Perdata.
11. UUJN
12. PJ PPAT
13. Permenkumham & Permen ATR
14. Surat Edaran 2/2019
15. Badan Pertanahan Nasional (2019)
16. Habib Adjie (2019)
17. Udin Narsudin (2019)
18. Julius Purnawan (2019)
19. MJ. Widijatmiko (2019)
20. Agung Irianto (2019)
21. Alwesius (2019)
22. I Made Pria (2019)
23. Lainnya.
141
Dr. M. Sudirman, SH, MH, SpN, MKn
Dosen Universitas Brawijaya, Universitas Tarumanagara, Universitas Jayabaya
Email: m.sudirman321@gmail.com
Hp: 0 8 1 3 8 5 9 1 5 1 9 9
Salam Hormat

Anda mungkin juga menyukai