Anda di halaman 1dari 13

BOLEHKAH,

PPJB SEBAGAI
DASAR JAMINAN
HUTANG DI BANK?
Dr. I Made Pria Dharsana, S.H., M.Hum.
Pengantar
• istilah PPJB dalam aturan Hukum di Indonesia
• Perjanjian Pengikatan Jual Beli atau
diatur dalam PP No. 14 tahun 2016 tentang
disingkat PPJB yang berkaitan dengan
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
proses peralihan hak atas tanah dan/atau
Permukiman (PP 14/2016) sebagaimana diubah
rumah memang tidak diatur secara spesifik
dengan PP 11/2021.
dalam peraturan perundang-undangan.
• Pada PP 11/2021 Pasal 1 angka 10 menyebut,
• Karena itu, PPJB sebenarnya hanyalah
Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli yang
ikatan awal antara penjual dan pembeli
atau Sistem PPJB adalah rangkaian proses
tanah yang bersifat di bawah tangan atau
kesepakatan antara setiap orang dengan pelaku
akta non-otentik. Akta non-otentik berarti
pembangunan dalam kegiatan pemasaran yang
akta yang dibuat hanya oleh para pihak atau
dituangkan dalam perjanjian pendahuluan jual
calon penjual dan pembeli, tetapi tidak
beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli
melibatkan Notaris.
sebelum ditandatangani Akta Jual Beli (AJB).
Latar Belakang Lahirnya Pengikatan Jual
Beli PPJB
Dibuat Ketika Terjadi Persyaratan-
Persyaratan Yang Belum Terpenuhi

Persyaratan Yang Timbul Persyaratan Yang Timbul


Karena Undang-Undang Karena Kesepakatan
Persyaratan Yang Timbul dari Kesepakatan Para
Persyaratan yang timbul dari undang- Pihak Misalnya Pada Waktu Akan Melakukan
undang misalnya jual beli harus telah lunas Jual Beli, Pihak Pembeli Menginginkan Adanya
baru Akta Jual Beli (AJB) dapat Sertipikat Hak Atas Tanah Yang Akan Dibelinya
ditandatangani Sedangkan Hak Atas Tanah Yang Akan Dijual
Belum Mempunyai Sertipikat

▸ Dengan keadaan di atas tentunya akan menghambat untuk pembuatan akta jual
belinya, karena pejabat pembuat akta tanah akan menolak untuk membuat akta
jual belinya karena belum selesainya semua persyaratan tersebut.
▸ Untuk menjaga agar kesepakatan itu tetap terlaksana dengan baik sementara
persyaratan yang diminta bisa tetap dapat di urus, maka biasanya pihak yang akan
melakukan jual beli menuangkan kesepakatan awal tersebut dalam bentuk
perjanjian yang kemudian dikenal dengan nama Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(PPJB) yang lazimnya dibuat dihadapan Notaris
Umumnya PPJB Digolongkan Sebagai
Perjanjian Obligator
● PPJB adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai
perjanjian pendahuluan dan bentuknya bebas. Sebagai
perjanjian bantuan, maka perjanjian tersebut dapat
berupa perjanjian pendahuluan (Pactum de contrahendo),
yaitu perjanjian di mana para pihak saling mengikatkan diri
untuk terjadinya perjanjian pokok yang menjandi tujuan
mereka, yakni perjanjian kebendaan.
● PPJB merupakan perjanjian yang dibuat oleh calon penjual
dan calon pembeli suatu tanah/bangunan sebagai
pengikatan awal sebelum para pihak membuat Akta Jual
Beli (“AJB”) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT).
Dasar Notaris
Membuat Akta PPJB
Hak Atas Tanah
Dalam membuat akta PPJB, Notaris bersandar pada
ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN yang
memberikan kewenangan kepada notaris untuk
membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.
Tulisan ini tidak hendak menguji apakah ketentuan
Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN tersebut bertentangan
dengan norma lainnya yang mengatur tentang
pertanahan, sehingga keberadaan Pasal 15 ayat (2)
huruf f UUJN harus difahami sedemikian adanya
sebagai dasar bagi notaris untuk membuat akta
PPJB-HAT dan secara normatif diterima sedemikian
rupa sebagai norma yang berlaku sebagai hukum
positif
Ketentuan Pasal 15 Ayat (2) Huruf F UUJN Tersebut
Sekaligus Menjawab Pendapat Sri Soedewi Masjchoen
Sofwan Yang Menyatakan:
▸ “Dengan dicabutnya Buku II KUH Perdata, maka pasal-pasal yang merupakan ataupun
bertalian dengan pasal-pasal yang tak berlaku itu, meskipun tidak tegas-tegas dicabut
dan diletakkan di luar buku II, Buku III, Buku IV KUH Perdata juga dianggap tidak berlaku
lagi, Juga pasal-pasal tentang sewa menyewa, jual beli tanah dan lain-lain, karena
bertalian dengan tanah yang sudah diatur khusus dalam UUPA maka pasal-pasal
tersebut tak berlaku lagi.”
▸ Dengan tetap menghormati pendapat tersebut, persoalan yang mengemukan ialah
bagaimana jika terdapat kekosongan hukum untuk mengatur peralihan hak atas tanah,
karena sampai saat ini belum terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang perbuatan-perbuatan hukum atas tanah, misalnya: apa dan bagaimana syarat
dan sahnya serta kebatalan jual beli, tukar-menukar, hibah, sewa-menyewa dan
perbuatan hukum hak atas tanah lainnya.
▸ Dinyatakan terdapat kekosongan norma hukum, karena Buku II KUH Perdata yang
berkaitan dengan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara
tegas dinyatakan dicabut oleh UUPA, sehingga Buku III yang berkaitan dengan agraria
tersebut juga tidak berlaku. Interpretasi demikian sangat logis, karena hal-hal yang
diatur sebagimana tercantum dalam Buku II KUH Perdata sudah tidak ada, maka Buku III
yang berkaitan dengan hal-hal yang sudah tidak ada itu menjadi tidak relevan
Pertanyaan Yang Mengemuka, Mengapa Notaris Tidak Menulis
Dalam PPJB Bahwa PIHAK PERTAMA Sebagai CALON PENJUAL
dan PIHAK KEDUA Sebagai CALON PEMBELI ?
▸ Hal ini terjadi karena sifat konsensuil dalam perjanjian sebagaimana
diatur dalam Buku III KUH Perdata. Secara materiil PPJB-HAT telah
melahirkan peralihan hak atas tanah seketika terjadi kata sepakat
berdasarkan PPJB-HAT, walaupun harganya belum dibayar lunas dan
barangnya belum diserahkan.
▸ Namun demikian, dalam hal objek perjanjian berupa hak atas tanah
semestinya notaris harus memberi sebutan kepada para pihak,
masing-masing sebagai Calon Penjual dan Calon Pembeli, karena
secara formal terjadinya jual beli hak atas tanah akan dilangsungkan
dihadapan PPAT sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 1997 tentang Pejabat Pembuat Akta
Tanah. 7
• Sehubungan dengan jaminan atas fasilitas kredit yang berupa
LANTAS
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”), pada dasarnya Bank BOLEHKAH PPJB
hanya dapat menerima objek berupa tanah dan bangunan yang
dapat dibebani Hak Tanggungan. Tanah dan bangunan yang akan
DIJADIKAN
dijaminkan tersebut sudah memiliki status sebagai Hak Milik, Hak SEBAGAI DASAR
Guna Usaha maupun Hak Guna Bangunan. Dalam hal tanah
tersebut masih belum memiliki status hak-hak tersebut dan masih
JAMINAN
dalam proses PPJB, maka objek tanah dan bangunan tersebut HUTANG ?
secara hukum belum dapat dibebani dengan Hak Tanggungan.
• Beberapa Bank memiliki ketentuan internal tersendiri mengenai
penjaminan dengan dasar PPJB atas KPR. Tetapi berdasarkan best
practice, apabila PPJB tersebut ingin dijadikan jaminan atas KPR,
maka Bank memperbolehkan hal tersebut dengan syarat bahwa
KPR tersebut untuk memfasilitasi pembelian rumah baru
(KPR Primary) serta khusus untuk pembelian
melalui developer rekanan dari Bank tersebut.
Umumnya, Bank Hanya Dapat Menerima Obyek
Tanah Dan Bangunan Sebagai Jaminan
▸ Dalam prakteknya bank hanya dapat menerima
objek berupa tanah dan bangunan yang dapat
dibebani hak tanggungan. Tanah dan bangunan yang
akan dijadikan sebagai jaminan harus berstatus
sebagai hak milik, hak guna usaha atau hak guna
bangunan.
▸ Dan PPJB, hanya merupakan bentuk kesepakatan
yang belum berstatus sebagai hak milik, hak guna
usaha dan hak guna bangunan, sehingga tidak dapat
dibebani dengan hak tanggungan.
Sangat Beresiko Apabila
PPJB Dijadikan Jaminan Bank !
▸ Apabila PPJB dijadikan sebagai jaminan utang, maka dapat
beresiko terhadap kreditur yang dalam hal ini bank, karena obyek
yang dijadikan sebagai jaminan masih bersifat menggantung,
dalam artian belum pasti kepemilikannya sebelum diterbitkannya
AJB. Resiko terhadap kreditur yang dapat dimungkinkan terjadi,
yaitu kreditur hanya berstatus sebagai kreditur konkuren.
▸ Kedudukan kreditur konkuren dalam hal terjadinya kepailitan
merupakan kreditur yang tidak memiliki kedudukan utama dalam
pembayaran utang oleh debitor karena kreditur konkuren tidak
memegang hak jaminan atau obyek kebandaan sehingga haknya
untuk mendapatkan pelunasan utang adalah paling terakhir
setelah pelunasan terhadap kreditur-kreditur utama lainnya
(kreditur separatis dan kreditur preferen).
Jaminan Kredit Oleh Bank Harus Memenuhi
Unsur 5C
Jaminan kredit merupakan salah satu unsur pemberian
kredit, yaitu termasuk dalam unsur 5C. Unsur 5C itu adalah:
1. Character/profile integritas nasabah;
2. Capacity/kemampuan finansial untuk memenuhi
kewajiban nasabah;
3. Capital/modal dari nasabah;
4. Conditions/kondisi ekonomi secara keseluruhan
darinasabah;
5. Collateral/jaminan atas fasilitas kredit yang diberikan.
➢ Pada dasarnya tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara umum
ataupun secara khusus mengenai limit unsur dari 5C tersebut yang harus dipenuhi dalam hal
pemberian kredit. Hal tersebut tergantung pada business judgment/keputusan bisnis dan ketentuan
internal dari masing-masing bank.
Bagaimana Ketentuan
Mengenai Hal Tersebut?
• Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No 7 tahun 1992 tentang
Perbankan (“UU 10/1998”), apabila berdasarkan unsur-unsur lain
telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan Nasabah debitur
mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang,
proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang
bersangkutan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang
yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang
lazim dikenal dengan agunan tambahan.
• Sehubungan dengan jaminan atas fasilitas kredit yang berupa
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”), pada dasarnya Bank
hanya dapat menerima objek berupa tanah dan bangunan yang
dapat dibebani Hak Tanggungan. Tanah dan bangunan yang akan
dijaminkan tersebut sudah memiliki status sebagai Hak Milik, Hak
Guna Usaha maupun Hak Guna Bangunan.
• Dalam hal tanah tersebut masih belum memiliki status hak-hak
tersebut dan masih dalam proses PPJB, maka objek tanah dan
bangunan tersebut secara hukum belum dapat dibebani dengan
Hak Tanggungan.
Bagaimana Ketentuan
Mengenai Hal Tersebut?
• Beberapa Bank memiliki ketentuan internal tersendiri mengenai
penjaminan dengan dasar PPJB atas KPR. Tetapi berdasarkan best
practice, apabila PPJB tersebut ingin dijadikan jaminan atas KPR,
maka Bank memperbolehkan hal tersebut dengan syarat bahwa
KPR tersebut untuk memfasilitasi pembelian rumah baru
(KPR Primary) serta khusus untuk pembelian
melalui developer rekanan dari Bank tersebut. Dengan
pertimbangan bahwa proses jual beli rumah baru akan
memerlukan proses yang tidak singkat sampai dengan terbitnya
sertifikat atas rumah tersebut.
• Dari segi aspek developer rekanan, dikarenakan apabila terjadi
resiko hukum pada Bank terkait dengan jaminan yang masih
berupa PPJB tersebut, Bank dapat melakukan gugatan dan/atau
tuntutan hukum kepada developer berdasarkan perjanjian kerja
sama rekanan antara Bank dan developer.
• Untuk pembelian bukan rumah baru (KPR Secondary), maka saran
kami agunan yang dijaminkan tetap berupa bangunan yang telah
selesai proses Akta Jual Beli-nya dan telah diterbitkan sertifikat
atas tanah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai