Anda di halaman 1dari 6

Di malam yang begitu gelap gulita, aku duduk seorang diri dibawah besarnya

rintihan hujan memeluk erat tubuhku yang tak lagi berpenopang, lemas, tak
berdaya. Bertanya pada sekitar, apa yang terjadi, tangisan apa ini, dan dimana
senyumku yang dulu?, mengapa kini sirna bagai ditelan bumi.

“ina’ mbe side lalo, jangan tinggalkan aku ina’…” ucapan itu keluar dengan
sendiriya dari mulutku.

Pukul 07.12 WITA, pagi yang begitu cerah langit biru bersih tanpa awan
sedikitpun.

“Hanya mimpi, Alhamdulillah.”

Itulah yang terjadi, sekali lagi mimpi itu menghantui batinku, Tetapi aku
berupaya untuk tetap berpikir positif beranggapan teguran sebab tidur sehabis
shalat subuh.

Namaku Sofia Dwi Kusrini, orang terdekatku biasa memanggilku Ririn. Aku
merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dan kami memiliki jarak usia 7 tahun,
namanya Nur Indah Swariningrum, “mba’ iyum” begitu aku memanggilnya. Kami
adalah putri yang berasal dari keluarga sederhana, bukan pula berasal dari keluarga
besar yang bergelimang harta, ayahku bernama Sutarta dan ibuku Hapsia Pattawe,
keduanya merupakan seorang perantau yang mengadu nasib di tanah Sulawesi.

Awalnya, kami sekeluarga tinggal di pedesaan yang merupakan salah satu


wilayah Trans Sulawesi Tengah, bertempat di Modo 4 desa Winangun, Kec. Bukal,
Kab. Buol. Ayahku merupakan seorang aparat desa, dan ibuku adalah seorang guru
PAI Sekolah Dasar. Lama sudah mereka mengabdi, sekitar 20 tahun sejak tahun
1996-2016.
Sejak kecil, aku sudah terbiasa ditinggal oleh ibuku bepergian keluar kota
karena beliau harus mengikuti PLPG untuk setifikasi. Itu sebabnya, aku dirawat
oleh seorang wanita paruh baya yang merupakan janda anak dua, namanya
Suna’ah. Beliau mengasuhku layaknya seorang pengasuh namun tanpa bayaran
sedikitpun, walapun kehidupan ekonominya ergolong susah.

Disuatu ketika dimana umurku sekitar 9 tahun, aku pernah bertanya kepadanya,
“apa yang buat ina’ mau menjagaku tanpa bayaran?, apa yang buat ina’ rela
membuang waktu dan sedikitpun tidak pernah membeda-bedakanku dengan anak-
anak ina’?. Dan jawaban yang keluar dari mulutya, sampai detik ini selalu
membuatku bangga pernah dibesarkan oleh orang sebaik beliau.

“tidak ada yang lebih berharga di dunia selain keluarga, tidak ada yang lebih
mahal di dunia ini selain keikhlasan, kesabaran, dan kasih sayang, kamu alasan
ina’ merasa punya keluarga, memiliki keikhlasan, sabar dan kasih sayang ke kamu
sama seperti kakak-kakakmu.” Jawaban yang benar benar memiliki makna yang
begitu dalam.

Sekitar tahun 2015, hal yang kutakutkan terjadi, bukan lagi mimpi, ini
kenyataan yang harus dihadapi. Ina’ pergi meninggalkan kami, bukan untuk keluar
kota, tapi untuk menghadap sang pencipta. Mungkin ini bisa diterima, karena
sejatinya seorang manusia pasti akan berpulang kepada-Nya. Tapi banyak hal yang
menjanggal yang tak bisa kuterima begitu saja.

Sebelum meninggal, ina’ beberapa kali mengeluhkan sakit diperutnya, bukan


haya sekali dua kali pula aku menawarkan untuk ke dokter, tapi jawabannya selalu
sama

“tidak apa-apa, ini sakit perut biasa” entah karena tak punya biaya, atau ada hal
lainnya, aku yang posisinya hanya seorang anak kecil bermodalkan kekhawatiran
tak mampu untuk memaksakan yang aku inginkan. Sampai akhirnya, aku berniat
untuk mengutarakan keinginanku ini kepada ayah ibuku.

“Mama, papa ina’ sering sakit-sakit, minta tolong bujuk pergi dokter” ucapku
kepada kedua orang tuaku.

“Ina’ sakit?, dari kapan nak? Pantas sering kelihatan pucat, datang kerumah
juga tidak cerita”, kata ibuku yang nampakya terkejut karena mengetahui seorang
wanita yang begitu kuat, terkena hujan, terik matahari, angin tak pernah
dianggapnya menjadi peyakit kini mengeluhkan rasa sakit.

“Besok bilang ina’ kita ke Buol periksa dokter, biayanya insya allah mama papa
ada.” Kata ayahku untuk meyakinkan puterinya ini.

Dua hari berlalu, hasil pemeriksaan muncul. Begitu mengejutkan, tak pernah
disangka, Kanker Rahim. Teryata ina’ mengidap penyakit kanker sejak lama,
sekitar 2 tahun yang lalu, sebuah penyesalan bagi kami semua mengapa baru
memeriksanya sekarang.

Ya, sempat bertanya kepada tuhan di dalam solatku. “Yaa allah, kenapa
cobaannya seberat ini? Bukannya kanker penyakit orang kaya?, biayanya mahal,
sementara kami hanya orang biasa, bisa makan sekeluarga saja sudah syukur
Alhamdulillah yaa allah.” Kebetulan saat itu aku mempelajari jenis jenis penyakit
disekolah, dan mengetahui seberapa bahayanya penyakit kanker.

Hari hari berlalu, dengan penuh ketakutan, ditinggalkan, meninggalkan, itulah


yang kami semua pikirkan sebab dokter pun sudah sering kali menyampaikan
bahwa penyakit ini benar-benar serius. Megajukan tindak Operasi beberapa kali,
biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit, butuh menjual beberapa lahan tanah
kami di Modo.
Sampai pada akhirnya, Operasi terakhir ina’ berlangsung di RS Mokoyurli
Buol. Kurang lebih selama 3 jam operasi berlangsung, dan untuk yang kesekian
kalinya dokter keluar dengan wajah pasrah.

Sebulan full ina’ dirawat di Rumah Sakit, dan dibolehkan untuk pulang.
Entah karena telah dinyatakan sembuh, atau pihak Rumah Sakit sudah menyerah.
Disarankan untuk rujuk ke Makassar, tapi Allah berkehendak lain, tak lama setelah
di pulangkan, ina’ harus menutup matanya untuk selama-lamanya.

Desember, 2015 telah berpulang ke Rahmatullah ibu kami, Suna’ah. Hatiku


hancur, ibu keduaku pergi takkan kembali, perpisahan yang dibatasi antara atas dan
bawah tanah adalah hal yang paling menyakitkan bagi semua orang, itulah yang
aku rasakan.

Sampai saat ini, kehidupanku akan terasa sempurna karena adanya orang
orang baik seperti mereka didalamnya, ayah, ibu, ina’, kakak-kakakku dan orang
orang sekitar yang tak bisa aku kemukakan satu persatu.

Kehidupanku akan terasa berharga karena keluarga, akan terasa kaya karena
budipekerti, keikhlasan, kesabaran, dan kasih sayang, tak perlu harta yang
bergelimang, akan kutemukan jatidiriku.

Anda mungkin juga menyukai