Anda di halaman 1dari 3

Sisi Lain

Oleh : Fathimah

Pagi yang yang tidak diharapkan muncul kesekian kalinya 2 tahun belakangan ini.
Aku yang masih terbaring malas diatas ranjang begulat dengan isi otaku yang
bising. Bahkan kebisingannya terasa terdengar oleh telingaku, memekakkan. Otak
yang bising, pikiran yang ramai mambuatku lelah tanpa beraktivitas. Sebenarnya
ini masih terlalu pagi untuk lelah, ironinya aku bahkan merasa hanya memiliki
30% tenaga.

Menghela nafas panjang, memaksa tubuh untuk bangun. Aku terpaku begitu
melihat bayanganku di cermin, jerawat merah yang bertambah, kulit yang hitam,
hidung yang pesek, tubuh yang gempal. Membuatku gagal memenuhi stereotip
masyarakat, dikucilkan dan dirundung. Makian terhadap fisiku terasa terdengar
kembali. Tawa yang merendahkan itu terasa nyaring ditelingaku saat ini. Air mata
terus menetes tak terkendali. Aku menangis, aku marah, aku muak. Emosi yang
hanya mampu kubendung dengan bantal. Tak satupun peduli, tak satupun.

Aku memutuskan untuk ke bawah, menilik sarapan di meja. Tapi yang ketemukan
hanya ayah yang seperti biasa, sibuk dengan dunianya dan ibu yang asik
memainkan hp, fenomena yang entah kapan berakhir. Sungguh menyebalkan, tapi
inilah keluargaku aku tidak punya pilihan. Memikirkan itu selalu berhasil
membuatku sesak.

“Memang belum memasak, beli saja makanan diluar, ayah dan ibu juga belum
makan”, ibu yang masih dengan hpnya menyadari keberadaanku

Menjadi hal yang berat ketika aku mendapatkan misi yang mengharuskanku
keluar rumah. Cacian makhluk makhluk di sekolahku benar-benar berdampak
besar. Kejadian saat itu seperti diputar kembali layaknya reka ulang. Berputar-
putar, membuat kepalaku pening, dada menjadi sesak, dan mata yang memanas
tak kuat membendung air mata. Dua bulir, Tiga bulir air mata keluar begitu saja.
Ibuku yang hanya peduli bahwa misi darinya harus terlaksana berteriak kali ini.
Menyadarkanku, aku begitu melankolis setelah kejadian itu. Mengatur nafas, dan
mengusap air mata. Tanpa menjawab, aku buru-buru berganti pakaian.
Mengambil uang dan bergegas pergi untuk menyelesaikan 1 misi itu. Karena
bagaimanapun juga aku tidak mau dilabeli anak durhaka

“Halo kak, apakah kakak pelajar yang tertarik dengan isu pendidikan di
Indonesia?” perempuan yang nampaknya tidak terpaut jauh dengan usiaku itu
mendekat, tersenyum ramah. Aku yang nampak bingung hanya direspon dengan
menunjuk pakaianku. Apa? Apakah karena jaket milik temanku yang tertulis
“Pendidikan Luar Biasa” FKIP UNY sepertinya tidak ada hubunganya, batinku
yang semakin bingung. “Saya dari Komunitas Harapan yang kebetulan sedang
membuka kesempatan untuk menjadi relawan diacara kami, acara peringatan Hari
Disabilitas yang masih 5 bulan kedepan kak, dan informasi lebih lanjut sudah
tercantum di brosur ini, terima kasih.”

------

“Awan! Bantu aku mengangkat meja ini ke panggung” teriak “perempuan brosur’
itu “Hei! apa yang kau lamunkan?” senggolnya menggoda.

Aku tersenyum terkenang masa itu. Aku menyebutnya anugrah. Ditemukan


diwaktu yang tepat bersama orang-orang hebat. Aku yang rapuh pasca pembulian
memutuskan homeschooling. Dua tahun homeschooling, konsultasi dengan
psikolog masih belum membuatku lebih baik. Tapi bertemunya aku dengan
‘perempuan brosur’ itulah yang menjadi pemantik bagiku.

Memutuskan datang dan bergabung setelah dengan yakin bahwa aku akan
diterima. Aku yang terlebih dahulu menjelaskan bahwa aku hanyalah seorang
pengangguran yang berjuang untuk kesembuhan mental. Tapi justru itulah
poinnya, itu yang menjadi cikal bakal Komunitas Harapan ini. Bersama teman-
teman perempuan disabilitas fisik, perempuan perempuan bermental illness, dan
perempuan perempuan lain yang berjuang dengan masalahnya. Kami berkumpul
menguatkan satu sama lain. Karena kekuatan itu jugalah yang menjadikanku
berani mengambil keputusan besar, memilih melanjutkan pendidikanku dengan
Pendidilan Luar Biasa UNY sebagai tempatku berproses. Untuk menjadikan
kesalahpahaman ketika diawal pertemuan dengan ‘perempuan brosur’ itu menjadi
nyata. Melalui Komunitas Harapan ini yang perlahan menyembuhkan luka batin
itu.

“Ayok kita pengarahan dulu teman teman!” teriak ‘perempuan brosur’ lantang.
Dengan keterbatasan fisiknya dia tetap menjadi cantik dan piawai. Caranya
bertutur dan mengambil keputusan benar-banar membuat terkesima “Komunitas
Harapan!!”

“Bangkit, bangkit bangkit!”

“Untuk apa kita bangkit?”

“Mencuri perhatian dengan prestasi”

“Komunitas Harapan”

“Perempuan juga bisa!”

Anda mungkin juga menyukai