Anda di halaman 1dari 5

Pertama kali mengenal IIP awal tahun 2016 setelah berminggu-minggu browsing mengenai kehidupan

ibu rumah tangga dan ibu bekerja. Rasa galau yg melanda semakin kuat antara memilih pekerjaan atau
keluarga. Banyak artikel yg telah dibaca justru membuat semakin bingung, satu-satunya hal paling
meresahkan pikiran jika harus berhenti bekerja adalah soal uang. Gaji suami yg tidak besar menuntutku
untuk tetap bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup. Sementara Radhika sudah tidak bisa lagi
menunggu lebih lama. Iya Dhika yg dulu saat ibunya berpamitan untuk bekerja bisa tertawa dan
tersenyum melambaikan tangan, lalu berubah menjadi tangis yg begitu menyayat hati. Ibu dan suami
menyarankan untuk tidak berpamitan saja lebih baik di alihkan perhatiannya. Tapi aku menolak, karena
Dhika harus tahu bahwa ibunya meninggalkannya untuk sementara waktu dan akan kembali lagi. Tidak
apa-apa jika dia menangis, asal aku tidak membohonginya. Dia butuh adaptasi dan aku harap lama-lama
dia akan mengerti. Tapi ternyata sudah berjalan berminggu-minggu Dhika tak kunjung mau mengerti, dia
tetap menangis keras setiap kali aku berpamitan. Malah semakin histeris tangisnya dan di ikuti pukulan
tangannya pada kepalanya. Iya dia memukul kepalanya dengan keras, mungkin sebagai ungkapan rasa
frustasinya karena tak bisa menahan ibunya untuk tetap berada di sisinya. Dia terus menangis dan
berteriak tidak jelas. Tentu saja karena dia belum bisa memanggil ibunya dengan sebutan apapun. Hati
ibu mana yg tidak teriris perih melihat pemandangan seperti itu. Setiap selesei berpamitan, dalam hati
aku selalu berdo’a “ya Allah beri aku umur panjang, jangan cabut dulu nyawaku”. Aku begitu takut mati,
entah kenapa dan apa yg kupikirkan? Aku hanya tak ingin meninggal dengan menyisakan kenangan yg
begitu buruk dimata Dhika. Ketakutan yg ku nikmati sendiri, karena aku tidak punya keberanian untuk
membagikannya kepada siapapun, takut dibilang Lebay. Belum lagi Dhika yg menolak minum ASIP
semakin membuatku merasa bersalah. Dulu dia bisa menghabiskan 8 botol ASIP selama ditinggal 8-9 jam
kerja, tiba-tiba dia menolak untuk meminumnya. Dhika yg dulu bisa tertidur sendiri sambil pegang dot
berisi ASIPnya berubah tidak pernah tidur siang. Kalaupun tertidur itu hanya saat digendong ibu, itupun
tidak pernah lama. Betapa lelahnya ibu dengan segala kesibukannya mengurus rumah tangganya sendiri
dan harus masak untuk ngirim (memberi makan) orang-orang disawah saat musim tanam dan panen
tiba. Yang jumlahnya bisa puluhan orang, tentu berbeda dengan yg hanya masak untuk kebutuhan
sendiri. Dan itu berlangsung hampir berminggu-minggu. Tumpukan cucian piring kotor menggunung yg
baru bisa dijamah saat aku pulang kerja dan menjemput Dhika. Sungguh betapa lelah tubuhnya yg tak
lagi muda harus menggendong Dhika sembari mengerjakan pekerjaan domestiknya.

Sampai akhirnya aku menemukan artikel tentang wanita hebat yg mampu produktif tanpa harus
meninggalkan anak-anaknya. Keluarganya begitu keren dan sangat menginspirasi. Hatiku semakin
mantap untuk berhenti bekerja. Kalimat yg begitu ajaib dan menguatkan “ Bersungguh-sungguhlah
engkau di dalam, maka engkau akan keluar dengan kesungguhan itu, tidak ada hukum terbalik“ . Dari
situ aku mulai berbenah mencoba menyelesaikan pekerjaan domistik diluar jam kerja public. Nyatanya
aku belum mampu, karena hampir seluruh pekerjaan domistik di ambil alih dan dikerjakan oleh suami.
Akhirnya aku mengajukan untuk mengundurkan diri. Tapi penolakan dari atasan yg ku dapat.
Menurutnya alasanku sungguh tidak masuk akal. Bahkan teman-temanku pun menyayangkan
keputusanku.

Kok terlambat sekali jika alasanku berhenti hanya untuk mengasuh anak?

Lagian mau di asuh model seperti apa lawong sudah ada yg jagain kok?
Ngapain berhenti, kita ninggalin anak cuman buat kerja bukan mau minggat jadi gapapalah cuman nangis
doank.

Kok pede bener mau berhenti, gaji suamimu berapa? Yg kerja dua orang aja gak cukup, utang
dimana-dimana apalagi yg kerja cuman satu?

Kebutuhan hidup tambah tahun tambah meningkat, usia anak semakin besar, tambah besar juga
kebutuhannya, yakin gaji suami cukup?

Rentetan pertanyaan yg membuatku semakin galau. Kadang aku menjawab pertanyaan itu dengan
jawaban “Rezeki sudah ada yg ngatur, Insyallah cukup” sambil nelen ludah. Karena aku sendiri juga ragu
dengan ucapanku. Mencoba mencari seseorang yg dapat menguatkan keinginanku untuk berhenti
kerja, karena aku sendiri pun gak yakin. Hanya dua orang yg mendukung keputusanku saat itu, yaitu adek
laki-lakiku dan mbak Us temen kerja bagian laundry. Kata adek “Kalau untuk kebutuhan hidup, pasti
cukup. Kalau untuk memenuhi GAYA hidup, mau gaji berapapun gak akan pernah cukup. Gak usah
jauh-jauh nyari contoh, lihat Bapak dan Ibu. Meski hanya Bapak yg kerja dan Ibu jadi IRT nyatanya ke 4
anaknya Alhamdulillah bisa kuliah semua”. Kata mbak Us, “Ngapain sih dengerin apa kata orang, takut
banget jadi miskin, kayak gak punya Tuhan aja”. Kata-kata yg mak jlebb banget, iya seakan-akan aku
meragukan kekuasaan Allah SWT. Dan Alhamdulillah tanggal 14 September aku resmi berhenti kerja.
Meski harus berderai air mata saat harus berdebat dengan atasan. Disaat yg sama, takdir
mempertemukannku dengan status di FB bahwa bu Septi Founder Institut Ibu Profesional sang Ibu yg ku
kagumi membuka kelas Matrikulasi. Langsung saja menyatakan keinginan untuk joint dikolom komentar.
Sebenernya gak terlalu berharap diterima karena melihat peminatnya banyak sekali. Tapi Allah Maha
baik, beberapa minggu kemudian aku di invite di goup WA.

Ah yuforia sebagai Ibu Rumah tangga yg semakin lengkap saja rasanya. Bisa puas bermain, berpelukan
dan menciumi sang buah hati, bebas menyusui kapan saja dan dimana saja, bebas dari semua beban
pekerjaan dikantor, dan bergabung dengan komunitas yg keren, Subhanallah betapa indahnya hidup.
Hari-hari kulalui dengan penuh semangat menjalani kehidupan seorang IRT yg dulu di impikan dengan
bekal Materi di kelas Matrikulasi yang semakin membuat semuanya jadi begitu jelas, tentang tujuan
hidup dan semua yg berkaitan dengan peranku sebagai perempuan, istri dan Ibu. Semuanya lengkap
bahkan disertai dengan bagaimana cara-cara menghadapi tantangan-tantangan yg ada.

Sampai pada saat kelulusan tiba dan ada jeda libur panjang sebelum masuk ke kelas Bunda Sayang.
Ternyata mempunyai support system itu penting, dan berkumpul dengan orang-orang yg memiliki tujuan
yg sama itu juga sangat penting demi menjaga agar semangat untuk meraih tujuan itu tetap membara.
Jeda libur panjang ini membuatku linglung dan lupa dengan semua materi yg telah dipelajari
sebelumnya. Aku mulai dilanda rasa bosan menjalani profesi sebagai IRT. Berada bersama Radhika
selama 24 jam penuh juga membuatkan tertekan. Dhika yg begitu posesif membuatku jadi sulit bergerak.
Kemana-mana selalu mengekor, bahkan hanya sekedar menikmati mandi yg tenang tidak bisa, pasti
pintunya akan digedor-gedor, untuk BAB pun maunya ikut, harus mangku Radhika sambil jongkok itu
rasanya ‘sesuatu’. Terus menerus bersinggungan dengan anak mebuat sumbu sabarku jadi pendek. Emosi
yg kerap datang dan harus ditahan, meski sering juga kelepasan, membuatku begitu lelah hingga rasanya
kehabisan tenaga untuk menunaikan tugas domestic. Tantangan lainpun mulai muncul, masalah ekonomi
mulai melanda. Pendapatan yg berkurang drastis, sementara gaya hidup tetap sama membuat tabungan
yg dimiliki mulai di ambil secara rutin. Kalung dan gelang yg kumiliki ikut dijual demi memenuhi
kebutuhan keluarga. Perdebatan pun mulai sering muncul. Kami jadi begitu sensitive jika membahas soal
uang. Saat suami menanyakan sisa uang belanja, aku langsung emosi karena merasa dicurigai boros.
Suamipun menuduh aku terlalu menuntut jika mengatakan uang yg diberikannya kurang.

Sejak berhenti kerja, aku mulai senang membeli dan membacakan buku untuk Radhika, apalagi dampak
positif yg ditimbulkan setelah rutin dibacakan buku membuat progress besar dalam penambahan kosa
kata Dhika. Dhika yg uersia 18 bulan baru mengenal 2 kata (maem, papa ) 2 bulan setelah dibacakan
buku rutin sudah bertambah banyak kosa katanya, bahkan dia sudah bisa memanggilku “Mama”. Melihat
begitu banyak manfaat membaca buku membuatku rajin browsing buku anak apa yg recommended.
Hingga akhirnya ketemu dengan si “balita”. Aku langsung jatuh cinta dengan buku itu. Melihatnya
bersliweran di internet membuatku merasa buku itu WAJIB dimiliki bagi ibu yg memiliki balita. Mencoba
meminta suami membelikannya untuk Radhika, tapi ditolak. Alasannya harganya terlalu mahal. Tapi
tidak bagiku, dengan kwalitas buku yg sangat baik sekali harga itu masih masuk akal. Suami menolak,
sementara aku masih kekeh ingin memilikinya. Browsing sana-sini mencari buku secondnya barangkali
akan didapat harga separuhnya, tapi tidak ketemu juga. Terlalu lama berselancar di dunia maya
membuatku mengabaikan Dhika dan pekerjaan domestic lainnya. Gara-gara tidak bisa mendapatkan
buku itu membuatku merasa gagal sebagai ibu. Merasa suami pelit dan tidak mau mendukung proses
pendidikan Dhika. Tak kehabisan akal, akupun mengajukan untuk memakai tabungan pribadiku untuk
membelinya, tapi suami tetap menolak. Saat melihat mobil-mobilan yg harganya 2,6 juta ditambah
melihat ayunan yg dulu juga harganya hamper 3 juta, rasanya makin jengkel seperti melihat barang
rongsokan. Seadainya dulu dibelikan buku bisa dapet 2 paket. Kenapa gak dari dulu kepengen beli
bukunya? Pasti jauh lebih mudah tinggal transfer dari gajiku saja. Ah aku mulai jengah dengan semuanya.

Hingga materi perdana kelas Bunda Sayang tampil sebagai solusi. Komunikasi Produktif mulai
dipraktekan, family forum diadakan untuk saling mengungkapkan apa harapan-harapan kami
masing-masing. Dari situ kami jadi saling tahu bahwa suami menanyakan sisa uang belanja, bukan karena
curiga tapi sebagai kepala rumah tangga dia berhak tahu ada di posisi mana keuangan kita agar bisa
diambil langkah-langkah selanjutnya. Akupun menjelaskan dengan detail laporan keuangan kami secara
tertulis hingga suami paham setiap pengeluaran uangnya kemana saja. Kami mengakui perubahan ini
memang membuat kami tertekan sehingga kami menjadi begitu sensitive, suami yg merasa belum
mampu mencukupi kebutuhan keluarga dan aku yang merasa gak becus mengolah harta suami. Kami
belajar untuk mulai menerima keadaan dan saling memafkan . Istigfar, minta maaf pada Allah, betapa
aku kufur nikmat. Mulai mensyukuri semua hal yg Allah anugerahkan. Memiliki waktu yg lebih lama
bersama keluarga, air bersih yg melimpah, pemandangan alam sekitar yg menyejukkan mata, diberi
nikmat sehat, masih punya rumah, semua ku syukuri. Berhenti mengeluhkan apa-apa yg belum ku miliki.

Disaat raga ini lelah dengan semua pekerjaan rumah yg seakan tiada habisnya. Aku mulai menerima dan
memafkan diriku sendiri, wajar jika aku kaget dengan semua ini karena saat masih lajang, makan saja
disuapin ibu, segala sesuatunya sudah dilakukan ibu. Aku hanya terima beres saja. Jadi bisa dimaklumi
jika aku kaget dengan semua pekerjan rumah yg sebelumnya tak pernah terjamah. Tapi aku tidak boleh
terlalu lama menghayati dan beradaptasi dengan semua ini, aku harus bangkit. Tiba-tiba aku teringat
buku The Diary of Learner Mommy. Mulai membuka acak halamannya, dan taraaa ada sub judul “Anak
itu butuh Ibu bukan Buku”. Mak jleb rasanya, merasa tersindir. Ingin memiliki buku balita membuatku
LUPA akan tujuan awal untuk membelinya. Bukankah tujuan utamaku untuk mendampinginya tumbuh
dan berkembang serta mendidiknya? Buku itu hanya salah satu sarana penunjang saja. Baru sadar juga
bahwa gaji suami selama sebulan pun tidak cukup untuk membelinya, jelas saja suami menolak karena
memang permintaanku terlalu memaksakan keadaan. Toh uang tabungan yg ku gadang-gadang untuk
membelinya juga sudah habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Alhamdulillah Allah
sepertinya menyapaku melalui tulisan itu. Di halaman pertama mbak Farda menyematkan kalimat
“Dibutuhkan persiapan, dan keluasan hati untuk BAHAGIA menjadi ibu. Semangat menjadi teladan bagi
ananda” dibubuhkan tanda tangan dibawahnya. Ah iya kuncinya itu BAHAGIA. Mau menjadi ibu bekerja
public atau jadi ibu rumah tangga, seorang ibu harus bahagia, karena ibu mataharinya keluaraga.

Akupun mulai bersemangat kembali membenahi diri. Mulai menghadirkan fisik, pikiran dan hati utuh
saat membersamai radhika, stop disambi-sambi hapean. Mulai melihat kearifan lokal, bersyukur terlahir
dan tinggal dipedesaan. Dhika bisa bermain tanah liat disawah tanpa harus beli play daough, bisa main
pasir sepuasnya dihalaman rumah neneknya tanpa beli pasir kinetik, melihat dan menyentuh langsung
bunga putri malu dan beraneka tanamanan lainnya, bisa bermain dengan domba dan menggembalanya
di sawah sebelah rumah tanpa harus bayar fieltrip ke peternakan, bisa bebas bermain layang-layang
ditanah lapang. Semuanya Gratiss special persembahan dari Allah SWT, maka nikmat Tuhan yang mana
lagi yg kau dustakan?. Boleh saja berkeinginan untuk beli ini itu, pengin buku ini itu, pengen
furniture,pengen jalan-jalan, dll asal jangan LUPA dengan tujuan awal kita. Tentu setiap orang tua pasti
ingin memberikan yg terbaik untuk anak-anaknya. Kalau memang dirasa mampu membelinya
Alhamdulillah, kalau belum yah gak usah baper.

Rasa syukur membuatku semakin semangat untuk menyelesaikan tugas domestik. Kalau semua
dilakukan dengan bahagia, semua terasa begitu ringan dijalani. Disaat yg bersamaan dipertemukan
dengan RB Boga melalui mbak Ana. Disana aku menemukan semangat luar biasa dari sosok ibu bekerja
public yg tetap dengan bahagia memasak dan menyajikan makanan sehat untuk keluarga diantara semua
kesibukannya. Merasa sangat malu karena selama ini tidak pernah masak untuk keluarga. Jika dulu
alasannya karena sibuk bekerja, saat menjadi IRT berdalih mengasuh radhika sebagai alasan. Kecipratan
semangat dari mereka, maka aku mulai rajin memasak untuk keluarga. Dan ternyata ini membawa
pengaruh yg luar biasa pada kesehatan financial kita. Yang sebelumnya minus besar sekali, sekarang
Alhamdulillah gaji suami cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Terang saja selama ini gaji kami
gak pernah nyantol banyak ditabungan, lawong 3x sehari makannya beli mulu. Alhamdulillah Bulan
berikutnya sudah bisa menyisihkan untuk ditabung dan anggaran untuk membeli buku. Family forum
tetap berjalan, saling menceritakan cita-cita jangka pendek mengenai pengalokasian dana, suami
menginginkan di adakan pos untuk liburan keluarga di akhir tahun.Sedangkan aku ingin merenovasi
beberapa bagian rumah, karena sekarang kantorku dirumah jadi aku ingin, rumah menjadi tempat paling
nyaman.

Rejeki lain dari Allah yg disisipkan melalui komunitas ini adalah dipahamkan tentang aurat. Saat IIP
Surabaya mengadakan kopdar perdana, aku mulai mencari posting foto-foto acara sebelumnya, biar gak
salah kostum karena sedang bingung mau pakai baju apa? Sempat bingung dan bertanya-tanya, kok
semua pakai gamis? Ini acara komunitas ibu-ibu apa pengajian? Mebuka lemari baju dan menemukan
dua gamis, yg satu transparan dan satu cukup tebal. Dan aku pilih yg kedua. Aku heran kenapa dulu beli
gamis itu, karena menurutku itu bukan aku banget. Aku memakainya saat sudah tiba dilokasi, selama di
dalam mobil hanya pakai celana pendek dan kaos. Begitupun saat pulang dari acara, langsung
membukanya di mobil karena gerah. Malam harinya jadi bertanya-tanya, kenapa yah? Masih kepikiran
dan penasaran melihat tadi disebelahku duduk mbak Uswatun dengan gamis panjang dan jilbab panjang
lengkap dengan kaos kaki dan cadar. Akhirnya browsing dan baru tahu kalau menutup aurat itu wajib
bagi seorang muslimah. Sejak SD sebenarnya aku sudah tahu kalau aurat perempuan itu seluruh tubuh
kecuali wajah dan telapak tangan. Tapi aku kira itu hanya perlu ditutup saat akan melakukan sholat saja.
Karena dilingkunganku yg memakai jilbab itu kalau mau pergi-pergi jauh. Akupun sudah memakai jilbab
saat SMP dan SMA, saat kuliah dan kerja juga. Tapi tidak saat keluar rumah dalam jarak dekat. Guru ngaji
(tanpa mengurangi rasa hormatku) juga memakai daster lengan pendek dan memakai kerudung segi
empat kecil seperti Masha. Disini begitu lumrah. Bahkan yg sudah pulang dari pondokpun demikian, jadi
asumsiku menutup aurat hanya saat akan sholat. Ya Allah nyesel, setiap selesei sholat selalu berdoa
meminta anak yg sholeh sholihah tapi aku sendiri melalaikan kewajibanku. Merasa malu karena seperti
kata bu Septi bahwa setiap anak berhak mendapatkan orang tua yg sholeh sholihah jauh sebelum
mereka hadir. Akhirnya mulai berusaha menutup aurat dengan baju seadanya yg penting nutup dulu.
Karena dilemari tak ada satupun rok, isi lemari semuanya celana jins, celana pendek dan kaos.
Sehari-hari masih pakai celana panjang dan kaos lengan pendek yg di rangkap dengan jaket atau kaos
dan blouse lengan panjang. Mulai membeli dan mengumpulkan gamis, meski belum banyak semoga aku
bisa istiqomah memakainya, sebagai ikhtiar untuk mendekatkan diri padaNya dan memantaskan diri agar
diberikan anak yg sholil sholihah. Alamdulillah sekarang ada dhika yg bisa mengingatkan saat aku lupa
untuk memakai jaket dan jilbab jika keluar rumah.

Sungguh Allah Maha pemberi Rizki dan sebaik-baik pemberi rejeki. Semua harapan kami tercapai. Rasa
hormatku pada suami meningkat karena dia yg mau berjuang tak kenal lelah menjemput rejekiNya.
Betapa allah telah merencanakan semuanya dengan begitu baik. Satu tahun pertamaku menjalani profesi
sebagai ibu rumah tangga. Dengan semua persoalan yg ada, Allah jualah yg meberikan semua
jawabannya.

Be professional, rejeki will follow,,,.

Rejeki itu pasti, kemuliaan yang harus dicari.

Anda mungkin juga menyukai