Anda di halaman 1dari 2

Antara Ada dan Tiada

Orang tua akan selalu jadi bagian penting dari hidup seorang anak. Tak terkecuali
aku. Aku dibesarkan oleh dua orang tua hebat, kupanggil mereka Ayah dan Bunda.
Merekalah orang paling berjasa dalam hidupku, yang telah mendidikku hingga menjadi aku
yang seperti saat ini. Aku tak lupa selalu beryukur kepada Tuhan, karena telah
menghadirkanku diantara dua insan yang kini sangat menyayangi dan menjagaku.

Sayangnya hubunganku dengan salah satu diantara mereka tak begitu baik. Aku
memiliki konflik batin tersendiri dengannya. Dia ayahku. Orang yang memiliki sifat ceria dan
suka bercanda denganku, namun aku merasa memiliki jarak dengannya.

Orang bilang anak perempuan cenderung lebih dekat dengan ayahnya dibanding
dengan ibunya. Namun, aku rasa hal itu tidak belaku untukku. Aku cenderung lebih dekat
dengan Bunda dari pada Ayah. Mungkin hal ini karena sejak dulu Ayah harus pergi merantau
ke luar pulau dalam kurun waktu yang lama untuk urusan pekerjaan. Sehingga, sejak kecil
aku kehilangan banyak waktu dengannya. Bahkan, Bunda pernah bercerita padaku, saat dulu
menjemput Ayah di bandara waktu masih kecil, aku menangis tak mau digendong oleh Ayah
karena tidak mengenalinya. Memang, kami sering berhubungan lewat telepon. Tapi tentu saja
rasanya berbeda dengan ketika bertemu langsung dengannya.

Namun, sekarang keadaan berubah. Sejak pandemi covid-19, Ayah lebih sering
berada di rumah. Bukan karena bekerja dari rumah, tapi karena Ayah belum mendapat
panggilan dari pekerjaannya. Dengan demikian, keadaan ekonomi keluargaku pun juga
berubah. Bunda menjadi tulang punggung keluarga. Bundaku yang pintar memasak,
memanfaatkan keahliannya dengan membuka katering rumahan. Dengan dibantu aku dan
Ayah, usaha katering Bunda jalankan.

Hari-hariku berlalu. Aku menjalani keseharianku, belajar dan membantu katering


Bunda. Terhitung sudah sekitar sepuluh bulan usaha rumahan tersebut kami jalankan.
Semuanya berjalan lancar, banyak yang menyukai masakan Bunda. Namun, aku melihat
perubahan yang signifikan terjadi pada Bunda. Sejak membuka katering, Bunda jadi lebih
mudah sakit dan kelelahan. Sedangkan Ayah belum kunjung mendapat panggilan dari
pekerjaannya. Pernah, tapi hanya satu kali dalam satu tahun dan itu tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup kami. Aku sesungguhnya tidak tahu, apakah Ayah benar-benar
belum dapat panggilan pekerjaan atau memang tak berusaha mencarinya. Mungkin saja
pekerjaan Ayah terkena dampak pandemic covid-19. Tapi Bunda bilang padaku, bahwa
kolega Ayah masih banyak yang bekerja dan mendapatkan pekerjaan. Dan yang terbersit
dipikiranku adalah jika teman-teman Ayah bisa, kenapa Ayah tidak?

Lama-kelamaan rasa itu tumbuh. Aku tidak suka melihat Ayah berada di rumah, aku
kesal padanya. Seharusnya ia pergi mencari nafkah untuk keluarga kami, namun sepertinya
Ayah lupa akan kewajibannya itu. Melihat Bunda setiap hari harus sibuk memasak di dapur,
terkena cipratan minyak dan terluka karena pembakar gas. Aku tidak tega. Aku menangis
diam-diam karenanya. Aku sudah lelah, setiap hari harus melihat Bunda bekerja keras
sedangkan Ayah terlihat menikmati waktunya di rumah. Semakin hari aku merasa Ayah
kehilangan peranannya di rumah, semuanya tergantikan oleh Bunda. Ayah ada di rumah, tapi
aku tak melihat peranannya sebagai seorang kepala rumah tangga yang seharusnya
memimpin dan mengayomi setiap anggota keluarganya. Bagiku, Ayah bagaikan ada dan
tiada. Aku ingin kembali menyayanginya seperti sediakala dan mengikhkalskan semuanya
terjadi. Tapi, ini masih sulit untukku. Aku terus berpikir bahwa, semua salah Ayah.
Semuanya tidak akan terjadi kalau saja Ayah bekerja.

Bulan suci Ramadhan tiba, keadaan menjadi lebih berat untukku karena pesanan
katering Bunda yang ramai setiap hari. Pikiran bahwa semua salah Ayah semakin menggebu-
gebu. Aku semakin tidak tega melihat Bunda harus lelah setiap harinya. Aku pun bertanya
pada Bunda, “Apa Bunda nggak capek?” melihatku, Bunda tersenyum dan berkata, “Semua
ini Bunda lakukan untuk Adek, Bunda nggak papa. Bunda ikhklas.” Deg, hatiku rasanya
bergertar mendengar penuturannya. Sejak saat itu, aku belajar dan berusaha untuk
mengikhklaskan semua yang terjadi. Aku yakin akan ada hikmah dari semua peristiwa ini.

Aku tersadar, terkadang kehidupan tidak memberikan apa yang kita inginkan. Bukan
karena Tuhan tidak mampu untuk memberikannya, tetapi karena Tuhan punya rencana yang
jauh lebih baik bagi setiap hambanya. Dan dari setiap peristiwa hidup, Tuhan ingin
mengajarkan kepada hambanya untuk selalu bersabar dan menerima atas kehendak-Nya.
Terimakasih Tuhan untuk semua yang telah terjadi dalam kehidupanku.

Anda mungkin juga menyukai