Anda di halaman 1dari 4

Nama : Nadinda Titania Zulyfa

Adrian

No/Kelas : 18/9H

TUGAS PAI MATERI TATA KRAMA, SANTUN, DAN MALU

Kisah Sopan Santun Sahabat Rasulullah saw.


Ja’far bin Abu Thalib Diplomat Nabi yang Santun dan Dermawan

Pemuda gagah ini kulitnya cerah bercahaya. Ia lemah lembut, sopan, santun,
pengasih, penyayang, baik, rendah hati dan shalih. Ia pemberani, tak kenal takut. Ia pemurah,
tak takut miskin. Jiwanya bergitu bersih. Ia jujur dan bisa dipercaya. Pendeknya, semua sifat
baik dan keistimewaan ada pada laki-laki ini. Ialah Ja’far bin Abu Thalib adalah orang yang
mirip dengan Rasulullah, baik bentuk tubuh maupun akhlaknya. Rasulullah saw.
menjulukinya sebagai “Penyantun orang-orang miskin” dan “Si bersayap Dua di Surga”. Ia
adalah satu dari tokoh generasi Islam pertama yang mempunyai jasa besar dalam mewarisi
nurani kehidupan.

Ia datang kepada Rasulullah saw. untuk memeluk Islam. Sungguh satu kemuliaan
tersendiri bagi mereka yang memeluk Islam di masa-masa awal. Hari itu, sang istri, Asma’
binti Umais juga memeluk Islam. Mereka menghadapi gangguan dari orang-orang kafir
dengan berani dan sabar. Ketika Rasulullah saw. memutuskan agar kaum muslimin hijrah ke
Habasyah (Ethiopia), Ja’far dan istrinya ikut dalam rombongan hijrah itu. Mereka tinggal
disana cukup lama hingga dikaruniai 3 anak: Muhammad, Abdullah, dan Auf. Selama di
Habasyah, Ja’far tampil sebagai juru bicara yang cekatan. Ia pantas mewakili Islam dan
Rasulullah saw. Itu semua karana Allah telah memberinya karunia istimewa berupa hati yang
tenang, akal dan pikiran yang cerdas, jiwa yang mampu membaca situasi, dan cara bicara
yang baik.

Hijrahnya kaum muslimin ke Habasyah tidak mampu meredam kemarahan dan


kebencian orang-orang kafir Quraisy, bahkan mereka takut kaum muslimin akan semakin
besar di Habasyah. Mereka sepakat untuk mengirim dua utusan terhadap Raja Najasyi dengan
membawa hadiah-hadiah yang sangat berharga. Tujuannya hanya satu, yaitu agar Raja
Najasyi mengusir kaum muslimin dari Habasyah. Kedua orang utusan itu adalah Abdullah
bin Abu Rabi’ah dan Amru bin’ Ash, yang saat itu belum memeluk Islam.

Najasyi adalah Raja Habasyah yang saat itu merupakan pemeluk Nasrani sejati. Jauh
dari fanatisme dan menutup diri. Nama baik dan keadilannya telah tersebar kemana-mana.
Karena itu Rasulullah saw. memilih Habasyah sebagai tempat hijrah bagi kaum muslimin.
Dan karena itu pula kaum kafir Quraisy merasa khawatir kalau maksud dan tipu muslihat
mereka tidak berhasil. Oleh sebab itu, mereka membekali kedua orang utusan dengan hadiah-
hadiah yang sangat berharga untuk para pendeta. Para pembesar Quraisy berpesan kepada
utusan untuk tidak bertemu Najasyi sebelum memberikan hadiah kepada para pendeta,
sampai para pendeta itu setuju dengan maksud kedatangan mereka, sehingga nantinya para
pendeta berada di pihak mereka saat bertemu Najasyi.

Hari pertemuan dengan Raja Najasyi akhirnya di tentukan dan kaum muslimin pun di
undang menghadap raja. Dengan tenang, penuh wibawa, dan kerendahan hati yang penuh
pesona, Raja Najasyi duduk di singgasananya, dan di sekitarnya tampak para pengawal raja
juga para pendeta. Di arah depan raja, di ruang yang cukup luas, kaum muslimin duduk
dengan tenang. Kedua utusan kaum kafir Quraisy berdiri mengemukakan tuduhan miring
terhadap kaum muslimin. Tuduhan-tuduhan yang sudah mereka sampaikan dalam pertemuan
khusus mereka dengan Raja Najasyi sebelum pertemuan besar ini.

“Baginda Raja Yang Mulia, orang-orang bodoh ini telah nyasar ke negeri Tuan.
Mereka meninggalkan agama nenek moyang mereka, dan tidak pula masuk agama Panduka.
Mereka datang dengan agama baru yang tidak kami kenal. Panduka pun tidak mengenalnya.
Sungguh, kami ini diutus oleh para pembesar kaum mereka, dengan tujuan kiranya Panduka
mengembalikan mereka kepada kaum mereka.” Najasyi memandang ke arah kaum muslimin
dan bertanya, “Agama apa yang menyebabkan kalian menginggalkan bangsa kalian, tetapi
tidak tertarik dengan agama kami?”

Kemudian, Ja’far berdiri untuk menunaikan tugas yang telah diamanahkan oleh
kawan-kawannya. Sebelum pertemuan ini, mereka telah sepakat memilih Ja’far sebagai juru
bicara. Dengan ramah dan penuh hormat, Ja’far memandang sang Raja yang telah baik hati
menerima mereka lalu berkata, “Paduka yang mulia, dahulu kami memang orang-orang
bodoh. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan pekerjaan-pekerjaan keji,
memutuskan silaturahim, menyakiti tetangga, dan menyakiti orang yang meminta
perlindungan. Pihak yang kuat memaksa pihak yang lemah. Hingga akhirnnya Allah
mengutus seorang Rasul, dari bangsa kami sendiri. Kami kenal asal-usulnya, kejujuran,
ketulusan, dan kesucian jiwanya. Ia mengajak kami untuk mengesakan Allah dan
mengabdikan diri pada-Nya, dan agar meninggalkan patung dan berhala yang selama ini
kami sembah secara turun-temurun. Dia menyuruh kami bicara benar, menunaikan amanah,
menyambung silaturahim, berbuat baik kepada tentangga, tidak melanggar larangan, dan
tidak membunuh orang lain. Kami dilarang berbuat zina, berbohong, memakan harta anak
yatim, dan menuduh wanita baik-baik berbuat zina. Kami mempercayai dan mengikuti semua
yang dia dapatkan dari Tuhannya. Kami menyembah Allah semata, dan tidak
menyekutukannya dengan yang lain. Kami jauhi apa yang dilarang, dan kami lakukan apa
yang diperintahkan. Karena hal itu kaum kami marah. Siksaan sering kami terima, hanya
untuk mengembalikan kami kepada menyembah berhala dan ajaran buruk mereka. Ketika
penganiayaan dan siksaan yang mereka lancarkan semakin dashyat, bahkan kami sulit untuk
menjalankan ajaran kami, maka kami hijrah kenegeri Panduka. Kami berharap
mendapatkan perlindungan dari Panduka, karena kami tahu, Panduka bukan Raja yang
Zalim.” Raja Najasyi memandang Ja’far dengan penuh pesona dan bertanya, ”Apakah
engkau membawa sesuatu (wahyu) yang diturunkan Rasul kalian itu?” Ja’far menjawab,
“Ya.” Raja Najasyi pun berkata, “Bacakan kepadaku.”

Lalu, Ja’far membacakan beberapa ayat dari surah Maryam dengan tenang dan
khusyu’. Mendengar bacaanya, Najasyi menangis begitu pula dengan para pendeta yang hadir
di ruangan itu. Ketika air matanya mulai berhenti, Raja Najasyi berkata kepada kedua utusan
kafir Quraisy, “Sesungguhnya apa yang dibacakan tadi dan yang dibawa oleh Isa as.
Berasal dari sumber yang sama. Kembalilah kalian berdua kepada kaum kalian. Demi
Tuhan, kami tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian.” Pertemuan itupun selasai.
Allah telah menolong hamba-Nya. Sementara kedua utusan Quraisy mendapat kekalahan
yang memalukan. Wallaahu’alam bish showab.

Dari cerita sahabat Rasulullah saw. tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa kita harus
senantiasa berkata baik, sopan, dan santun kepada siapa pun. Termasuk juga kepada orang
yang berkata tidak benar tentang diri kita. Karena, Allah Swt. menyukai perkataan yang
lembut, sebagaimana hadist berikut.
‫ وما ال يعطي على‬،‫ ويعطي على الرفق ما ال يعطي على العنف‬،‫يا عائشة ! إن هللا رفيق يحب الرفق‬
‫ما سواه‬

Artinya: “Wahai Aisyah, sesunguhnya Allah itu Maha lembut dan mencintai
kelembutan. Allah memberi kepada kelembutan hal-hal yang tidak diberikan kepada
kekerasan dan sifat-sifat lainnya.” [HR Muslim]

Sehingga, kita harus membiasakan berperilaku dan berkata sopan santun baik kapan pun dan
dimana pun kita berada.

Sumber:

https://jumatonline.blogspot.com/2013/11/jafar-bin-abu-thalib-diplomat-nabi-yang.html

https://penaungu.com/hadits-tentang-sopan-santun/

Anda mungkin juga menyukai