Anda di halaman 1dari 8

DADDY

Layar benda pipih dengan case berwarna gold rose itu menyala, menampilkan nama
seseorang di sana. Dalam ruangan bising dipenuhi suara dentuman musik begini aku tak dapat
mendengar dering dari ponsel tersebut namun beruntung mataku sempat melirik ke arah meja.
Tanpa menungu lama aku meraihnya.

“Halo, Daddy.”

Suara Daddy tak jelas terdengar. Jadi aku bangkit dari sofa kemudian pergi menjauh, mencari
tempat yang tenang. Toilet adalah pilihan tepat.

“Halo, Dad.”

“Vivian, kamu lagi di diskotek, ya?”

Nah, sekarang suara Daddy bisa terdengar dengan jelas.

“Iya,” jawabku santai sambil meletakkan bokong di atas closet.

“Katanya, besok kamu ada kuis? Malah clubbing. Cepat pulang! Daddy tunggu kamu di
apartemen.”

“Oke, Daddy.”

Aku tersenyum senang, mengakhiri pembicaraan kemudian keluar dari toilet lalu kembali ke
ruangan remang dan penuh asap rokok itu untuk berpamitan pulang pada teman-teman. Mereka
meledek, katanya ini masih jam satu, belum saatnya pulang. Memang iya, biasanya kami pulang
saat azan subuh berkumandang tapi tidak untuk kali ini. Aku harus menuruti apa kata Daddy.

Daddy sangat perhatian, berbanding terbalik dengan orang tuaku yang acuh tak acuh pada
anak kandungnya sendiri. Lelaki itu bahkan ingat bahwa besok ada jadwal kuis salah satu mata
kuliah di kampus. Papa dan Mama? Boro-boro! Bahkan mungkin mereka tak ingat memiliki aku
sebagai anaknya. Buktinya, mereka tak pernah peduli aku berada di mana, bersama siapa dan
sedang berbuat apa. Tak seperti Daddy.
Oh, ya. Awalnya pasti kau berpikir bahwa Daddy adalah ayahku. Iya, ‘kan? Biar kuberitahu
yang sebenarnya. Daddy itu … ‘majikan’ dan aku adalah ‘peliharaannya’. Sampai sini kalian
pasti sudah paham siapa aku. Benar, aku seorang jalang. Perempuan bayaran. Pelacur.

Bukan karena kemiskinan atau himpitan ekonomi yang membuatku jadi seperti ini. Jabatan
Papa sebagai general manager di salah satu perusahaan milik negara membuat hidup kami
sekeluarga berkecukupan. Sayangnya, Papa adalah seorang workaholic. Dia terlalu
mementingkan pekerjaan. Kerja, kerja, dan kerja hingga melupakan hal lain yang lebih penting
dalam hidup ini, salah satunya adalah keluarga. Kau tahu, itu membuat keluargaku berantakan
secara perlahan.

Papa selalu memenuhi kebutuhan lahir istri dan anak-anaknya, tapi tidak dengan kebutuhan
batin. Kami kehilangan kasih sayangnya. Kemudian secara diam-diam Mama mencari perhatian
pada lelaki lain di luar rumah. Lengkaplah sudah. Aku dan adikku kehilangan sosok orang tua
yang seharusnya mengayomi, melindungi dan memberi kasih sayang serta perhatian. Mereka
sibuk sendiri. Papa sibuk bekerja, sedangkan Mama sibuk berselingkuh. Memuakkan!

Saat kelas tiga SMA aku kehilangan keperawanan. Bukan karena diperkosa tapi atas dasar
kerelaan diri sebab terbuai sentuhan dan rayuan setan bernama pacar. Sialnya, setelah cowok itu
mendapatkan apa yang diinginkan, dia mencampakkanku begitu saja bagai sampah. Brengsek,
memang.

Dalam keadaan jatuh seperti itu tak ada yang menolongku untuk bangkit. Aku frustrasi,
sendirian. Hingga akhirnya aku mencari kesenangan pada tempat-tempat seperti diskotek dan
kelab malam. Menari sesuka hati, mabuk sampai pagi. Begitu terus tiap hari.

Dunia malam dan segala kesenangannya itu berharga mahal sementara aku sudah kadung
kecanduan. Biaya masuk diskotek saja minimal dua ratus ribu, belum lagi untuk minuman yang
bisa mencapai angka satu juta bahkan bisa lebih per botol. Memang sih, biasanya aku dan teman-
teman patungan tapi tetap saja paling sedikit satu juta harus dibawa.

Uang saku jatah sebulan dari Papa habis sebelum waktunya. Uang yang seharusnya untuk
bayar kuliah pun, ludes terpakai. Tentu saja Papa menolak memberi lagi. Sementara itu aku
sudah terikat kuat dengan kehidupan malam. Satu-satunya cara mendapatkan uang banyak tanpa
harus susah payah bekerja adalah dengan … ya, menjual tubuh. Akhirnya aku memilih jalan itu.
Toh, aku sudah tidak suci, biarlah kotor sekalian.

Sudah satu tahun lebih aku menjalani profesi hina ini. Dari pengusaha, eksekutif muda hingga
aparat negara pernah menjajal jasaku untuk memuaskan nafsu birahi mereka. Beberapa di antara
mereka ada yang menyewa untuk jangka waktu tertentu, menjadikanku simpanannya. Itu lebih
menguntungkan dibanding dengan hanya sekali kencan. Jika kencan mendapat uang saja, tapi
menjadi simpanan aku mendapat lebih dari itu. Sebut saja biaya hidup, tempat tinggal dan
barang-barang mewan seperti mobil, tas, sepatu, baju, perhiasan.

Dalam waktu singkat aku menjelma menjadi gadis kaya hanya dengan bermodalkan tubuh
mulus nan indah menggoda. Maka dari itu aku selalu melakukan perawatan tubuh dari ujung
kepala hingga kaki, juga pemeriksaan kesehatan alat vital. Sebab aku sadar bahwa pekerjaan ini
beresiko membawa penyakit berbahaya.

Sekarang aku sedang menjadi simpanan Daddy. Lelaki berusia empat puluh enam tahun yang
berprofesi sebagai pengusaha batu bara. Aku dikenalkan padanya oleh salah seorang teman.
Awalnya kami hanya berkencan semalam tapi di lain waktu dia memintaku lagi untuk
menemaninya tidur lalu terus begitu hingga aku menjadi peliharaannya.

Sama seperti majikan sebelumnya, Daddy pun menyewa sebuah apartemen untuk kutinggali.
Dia lebih sering pulang ke apartemen daripada ke rumahnya untuk bertemu istri dan anaknya.
Jangan salahkan aku, ya. Sungguh, aku tidak mempengaruhinya. Dia sendiri yang ingin begitu.

Sikap Daddy berbeda dengan majikan sebelumnya. Biasanya mereka kaku, dingin dan tak
banyak bicara. Kadang manis hanya jika saat ingin dilayani saja. Tapi Daddy … dia selalu manis
padaku. Kami sering saling berbincang tentang apa saja, bercanda sampai tertawa bersama. Dia
juga ngemong dan perhatian. Karena itu aku mengubah panggilan dari ‘Bapak’ menjadi ‘Daddy’.
Aku menemukan sosok ayah yang selama ini kurindukan dalam dirinya. Lebih dari itu bahkan
kini sepertinya aku mulai mencintainya. Bukan cinta anak kepada sang ayah, melainkan cinta
seorang wanita pada seorang lelaki. Makanya tadi saat dia bilang sedang menungguku di
apartemen dan menyuruhku untuk segera pulang, aku menurut sebab aku merindukannya.

“Daddy, aku pulang.”


Dari arah pintu langkahku tergesa mencari sosoknya, ingin segera bertemu setelah seminggu
dia berada di luar kota dan harus puas bersua lewat suara atau tulisan. Memasuki ruang tengah
aku menemukan lelaki yang beberapa helai rambutnya sudah memerak itu sedang duduk santai
sambil menekuri kertas entah apa, mungkin berkas pekerjaan. Tanpa ragu aku menghambur
mendekapnya erat.

“Daddy, aku kangen.”

“Daddy juga kangen kamu, Sayang.”

Aku merenggangkan dekapan lantas mendongak untuk menatap wajah yang rahangnya
ditumbuhi bulu-bulu halus itu. Wajah itu tidak tampan, namun jelek juga tidak. Biasa saja tapi
aku menyukainya dan justru wajah itu yang selalu terbayang dalam benakku.

Mata kami saling menatap. Aku menangkup wajahnya lalu tanpa bisa dicegah bibir kami
bertemu.

***

Aku bangun di pagi hari dengan perasaan bahagia. Tentu saja itu karena di sebelah berbaring
dengan tenang dan damai seorang lelaki yang kucinta. Daddy. Tumben sekali dia masih tidur.
Biasanya dia yang bangun lebih awal. Mungkin dia kelelahan setelah menempuh perjalanan
panjang dari luar kota ditambah sesi percintaan panas yang kami lakukan semalam.

Tak ingin membuat suara yang bisa saja membangunkan Daddy, aku memilih mandi di kamar
sebelah. Setelah itu aku membuat sarapan ala kadarnya berupa roti panggang dan telur orak-arik.
Semoga Daddy suka.

Sebelum membangunkan Daddy untuk sarapan, terlebih dahulu aku membereskan barang-
barangnya yang masih berserakan di ruang tengah. Ada tas, ponsel, dan sebuah amplop coklat
juga beberapa lembar kertas di atas meja. Saat akan memasukkan kertas-kertas itu ke dalam
amplop, tak sengaja sebuah tulisan terbaca olehku. Seketika aku diserang rasa bahagia.

Ternyata kertas itu adalah surat gugatan cerai yang diajukan oleh istri Daddy, bukan berkas
pekerjaan seperti yang kuduga semalam. Ah, akhirnya aku bisa memiliki Daddy seutuhnya,
tanpa terbagi lagi.
“Santi sudah tahu tentang hubungan kita.”

Aku menoleh ke belakang lalu mendapati Daddy yang terlihat segar dan beraroma wangi.
“Daddy,” sapaku agak terkejut lalu segera memasukkan kertas-kertas itu ke dalam amplop.

“Dia ingin bercerai,” lanjutnya sambil duduk di sofa.

“Itu bagus, Dad, karena aku mencintaimu.”

Akhirnya aku mengaku sebab inilah waktu yang tepat. Dia tersenyum.

“Saya tahu, Vivian,” katanya santai. “Sayangnya, saya tidak mencintai kamu. Santi masih
menjadi satu-satunya perempuan yang saya cintai. Dia yang selalu setia mendampingi saya dari
saat saya tidak punya apa-apa sampai sukses seperti sekarang. Saya akan mempertahankan dia.
Saya tidak akan menandatangani surat gugatan cerai itu. Kamu tahu ‘kan, dari awal saya
menjalin hubungan dengan kamu hanya untuk bersenang-senang. Tidak lebih.”

Ya, aku tahu. Penolakan ini pasti terjadi. Lagipula lelaki mana yang mau mencintai
perempuan kotor sepertiku? Tiba-tiba ada nyeri yang terasa di dalam dada disusul kemudian
mataku memanas. Kemudian tubuh ini luruh ke lantai, berlutut di dekat Daddy.

“Aku rela jadi yang kedua, Daddy. Aku cinta Daddy,” ujarku dengan suara bergetar sambil
menyentuh kakinya.

Daddy menggeleng. “Tidak, Vivian. Ini akan menjadi pertemuan terakhir kita. Saya akan
memulai lembaran baru dengan Santi dan kamu ... lebih baik kamu tinggalkan pekerjaan ini.
Kamu masih muda, perjalananmu masih panjang. Kuliah yang benar dan jadilah perempuan
baik-baik.”

Tetes demi tetes air mata jatuh membasahi pipi lalu semakin deras kala Daddy menyingkirkan
tanganku dari kakinya. Dia berdiri hendak melangkah namun dengan sigap aku memeluk
kakinya.

“Jangan pergi, Daddy. Aku mohon.”

“Semoga kelak kamu mendapatkan laki-laki yang baik, Vivian.”


Setelah itu Daddy melepaskan paksa pelukanku di kakinya kemudian dia pergi
meninggalkanku sendiri dalam tangis yang tak kunjung berhenti.

***

Air comberan yang kotor, keruh dan bau bisa menjadi jernih bahkan dapat dikonsumsi setelah
melalui proses penyaringan. Begitu pula dengan manusia. Aku.

Dulu aku seorang gadis kotor tapi sejak kejadian itu, aku menuruti nasihatnya untuk berubah.
Lima tahun telah berlalu. Kini aku sudah menjadi apa yang dia inginkan. Perempuan baik-baik.

Aku mengawalinya dengan pulang ke rumah. Saat itu Papa dan Mama sudah bercerai. Mama
menikah lagi dengan selingkuhannya. Aku dan adik memilih tinggal bersama Papa. Belajar dari
kesalahan yang membuat keluarganya hancur, Papa jadi perhatian dan menyayangi kami. Hidup
kami kembali berjalan normal. Aku pun giat belajar agama dan mengamalkannya.

Seperti yang dia inginkan, aku kuliah bersungguh-sungguh kemudian lulus dengan hasil
cukup memuaskan. Lantas diterima bekerja di sebuah perusahaan advertising. Di sana aku
bertemu dengan seorang lelaki yang membuatku jatuh hati. Namanya Andi. Dia adalah bosku.

Hari ini Andi mengajakku ke rumahnya untuk bertemu dengan keluarganya. Jujur, aku
bahagia tapi gugup juga.

“Kerudung aku nggak berantakan, ‘kan?” tanyaku pada Andi sebelum kami keluar dari mobil.
Kini kami sudah berada di halaman rumah keluarga Andi.

“Enggak. Kerudung kamu rapi kok. Cantik,” jawab Andi lantas tersenyum membuat
wajahnya semakin enak dipandang. “Ayo, turun,” lanjutnya sambil membuka pintu.

Bismillahirrohmanirrohiiim

Aku keluar dari mobil. Beriringan dengan Andi berjalan menyusuri paving block yang di sisi
kanan dan kirinya berjejer tanaman bebungaan. Lalu tibalah kami di depan pintu kayu berpelitur
itu. Andi menekan bel di sisinya. Beberapa detik kemudian pintu terbuka memperlihatkan
seorang wanita berusia empat puluhan. Dari penampilannya, sepertinya dia asisten di rumah ini.
Setelah Andi mempersilakan, aku masuk lalu duduk di sofa ruang tamu. “Sebentar ya, aku
mau panggil Mama dan Papa,” pamit Andi.

Aku mengangguk.

Wanita yang membukakan pintu tadi datang membawa nampan berisi gelas-gelas minuman
dan setoples beling cantik kue kering.

“Silakan dicicipi,” kata wanita itu ramah.

“Iya.” Aku menyahut sopan.

Selanjutnya wanita itu pergi. Aku menyeruput minuman yang ternyata adalah sirup rasa
melon. Pada saat bersamaan Andi dan orang tuanya datang. Dengan gelas yang masih menempel
di bibir aku melihat mereka lalu tiba-tiba aku terbatuk.

“Vian, kamu nggak papa?” Suara Andi penuh kekhawatiran. Ia menyodorkan selembar tisu
yang langsung kuterima untuk membersihkan bibir.

“Ya, aku nggak papa.”

Aku berusaha untuk menenangkan detak jantung yang menggila. Sekali lagi menatap papa
Andi yang kini sudah duduk di sofa sebelah kiriku. Dia tersenyum. Ya, aku tak salah lihat. Dia
adalah Daddy.

***

Anda mungkin juga menyukai