Anda di halaman 1dari 6

Dear Papa

Cerpen oleh: Kartika Dwi Putri

Masih segar dalam ingatan, hari itu pukul 05.05 WIB, tanggal 16 Desember 2013. Aku

menerima telepon yang mengabarkan berita buruk, teramat buruk. Duka menyelimutiku,

menyedot habis semua rasa lain di diriku, hingga hanya menyisakan pilu. Sejak saat itu, semua

tidak lagi sama. Ada rasa kosong di hati. Ada rasa hampa di dada. Ada rasa rindu yang

membuncah di hari-hari sesudahnya.


Aku menatap sosok yang tersenyum di bingkai foto. Senyumnya elok, wajahnya bersih

memancarkan kebahagiaan. Itu foto terbaik yang pernah kulihat. Dan sosok itu adalah raja

sekaligus idolaku, orang yang selama ini memegang peranan penting dalam perjalanan hidupku.

Aku mengambil secarik kertas. Kugenggam erat sebuah pena tinta hitam. Kutuliskan isi

hatiku di sana.

Dear Papa,

Papa, apa kabar?

Aku di sini baik-baik saja. Mama, abang, dan adik juga demikian adanya. Aku harap papa pun

merasa jauh lebih bahagia di sana.

Papa, awalnya berat. Pasti berat. Papa pergi saat kami benar-benar membutuhkan papa. Papa

berpulang saat kami masih ingin mendengar suara keras papa yang khas. Papa meninggalkan

kami tanpa sempat melihat abang menikah, tanpa sempat melihatku wisuda, tanpa sempat

melihat adik lulus SMA. Tapi, Pa, tak mengapa. Aku tahu ini jalan yang telah dipilihkan-Nya

untuk papa, jalan yang terbaik untuk papa.

Pa, aku ikhlas. Kami ikhlas. Semua sudah tertulis di Lauh Mahfudz. Maka tidak ada yang harus

disesalkan. Ini semua kehendak Allah SWT.

Papaku sayang, saat menulis ini, air mataku mengalir lagi. Aku sedang merindukan papa. Aku

sedang merindukan hal-hal kecil yang selalu papa lakukan.


Biasanya, setiap subuh, saat adzan berkumandang, papa dan mama sudah bangun,

menghidupkan lampu lalu mengambil wudhu. Papa dan mama berjalan menuju mesjid bersama.

Itu pemandangan yang sangat romantis, lebih romantis dari pada pria yang memberikan seribu

bunga mawar pada wanita idamannya. Aku suka sekali melihat papa memakai baju koko, kain

sarung, dan peci. Papa gagah dan sejuk di mataku.

Pulang dari mesjid, papa menghidupkan TV dan memilih channel yang menayangkan ceramah

agama. Mama menyetrika sambil ikut menonton. Aku tidak pernah benar-benar ikut andil

memelototi TV, tapi kupingku menangkap isi ceramah yang sedikit banyaknya menyusup

kalbuku. Aku menjadi suka hal ini. Aktivitas yang diam-diam menjadi candu dalam tiap hariku.

Kadang aku iseng mengganti dengan channel gosip, tapi kemudian papa marah, dan aku cepat-

cepat mengembalikan ke channel semula. Aku bersungut-sungut kesal, tapi dalam hati aku

sunggguh memuja papa.

Pa, papa paling marah bila aku atau adik pulang lewat dari magrib. Saat papa pulang dari

mesjid, hal pertama yang papa tanyakan adalah ‘anak-anak sudah di rumah?’

Ah, papa. Aku menghafal itu. Aku akan mengebut di jalan, memperkirakan tiba di rumah

sebelum papa pulang dari mesjid, karena jujur saja, aku memang takut sekali jika papa marah.

Papa itu paling pengertian untuk urusan rumah. Papa menyimpan stock semua kebutuhan

seperti sikat gigi, pasta gigi, atau detergen. Bahkan jika garam, gula, atau bumbu dapur habis,

papa langsung membelinya tanpa mengatakan apa-apa pada mama. Tahu-tahu benda itu sudah

tertonggok saja di dapur, dan mama yang menemukannya hanya mengulum senyum.

Papa pernah bilang bahwa aku dan adik cantik seperti artis keturunan arab. Ya ampun, Pa,

waktu itu aku senang sekali. Bukan karena pujian papa, melainkan karena melihat raut wajah
papa yang sumringah saat mengatakannya. Aku selalu senang saat papa dapat membanggakan

anak-anak papa. Aku masih ingat, saat aku kelas 4 SD, kita pulang kampung ke Siantar, dan

papa mengabarkan pada sanak saudara bahwa aku tahun itu berturut-turut meraih juara 1. Aku

merasa itu berlebihan, tapi aku tetap senang melihat papa yang tersenyum lebar.

Papa, sejak penyakit jantung bersarang di tubuh papa, sampai akhirnya merenggut nyawa papa,

tak sekali pun aku mendengar papa mengeluh. Papa tidak bisa tidur nyenyak setiap malam, tapi

papa tidak pernah membangunkan mama. Kalau pun mama bangun saat melihat papa terduduk

lemah, papa selalu mengatakan tidak apa-apa dan menyuruh mama tidur lagi. Papa tidak

pernah membiarkan orang lain khawatir. Betapa baik hati papa.

Pa, meskipun waktu itu tubuh papa tidak sekuat dulu, nafas pun sering sesak, tapi papa masih

bersemangat. Papa masih pergi bekerja, papa masih ikut bergotong-royong, papa masih

mengganti bola lampu yang rusak, papa masih mengurusi semuanya. Walaupun rambut sudah

memutih, papa masih penuh kharisma. Papa tetap keren. Ya, papa selalu saja keren bagiku.

Pernah dulu papa merasa bosan karena makanan yang bisa dimakan hanya itu-itu saja. Menu

papa adalah ikan rebus, ikan kukus, atau ikan asam pedas dengan sedikit cabe saja. Papa ingin

memakan gulai, rendang, dan makanan lezat lainnya. Tapi mama melarang. Berat badan papa

tidak boleh berlebih. Demi kesehatan papa, papa menuruti kata-kata mama. Jika papa lapar dan

ingin mengemil, papa hanya makan roti gabin yang tidak ada gulanya. Bertahun-tahun papa

seperti itu. Papa terbiasa dan bahkan menikmati semuanya. Papa bilang, kita hidup harus

ikhlas. Ikhlas dengan segala keadaan yang ada. Itu salah satu pelajaran berharga yang kudapat

dari papa.
Papa, sekarang rumah terasa sepi tanpa papa. Kami tinggal berempat. Tak ada lagi yang

mengomeliku karena lupa mematikan lampu kamar, tak ada lagi yang memarahiku karena lupa

mengangkat jemuran, tak ada lagi yang menegurku karena tidur larut malam, tak ada lagi orang

pertama yang aku hubungi jika aku mendapat masalah di jalanan. Tak ada lagi papa di sini, di

sisi kami. Tapi, Pa, tidak ada yang aku persalahkan. Memang beginilah takdir dari-Nya yang

maha kuasa.

Jadi, Papa, tenang saja. Aku janji akan menjaga mama, abang, juga adik. Aku akan tetap

menjadi anak yang papa banggakan. Aku akan tetap dan selalu mendo’akan papa. Aku akan

menjadi anak yang berbakti pada orang tua.

Terima kasih, Papa, untuk semua yang telah papa berikan…

Bukan harta… Bukan tahta…

Tapi kenangan yang teramat indah, serta pendidikan yang papa perjuangkan untuk kami anak-

anak papa...

Semuanya tidak akan berhenti sampai di sini, Papa…

Kami akan melanjutkan semuanya dengan sangat baik…

Papaku yang paling hebat,

Aku tidak akan larut dalam kesedihan…


Karena memang tidak ada yang patut ditangiskan…

Kita tidak akan terpisah lama, Papa...

InsyaAllah kita akan bertemu lagi, mudah-mudahan di surga-Nya…

Aamiin… Aamiin ya Rabbal alamin…

Aku menatap lagi pada sosok yang tersenyum di bingkai foto. Aku balas tersenyum sambil

menyeka ujung mata yang basah.

Aku sayang papa…

*Teruntuk papaku yang telah tiada, papaku yang luar biasa

-TAMAT-

Anda mungkin juga menyukai