Anda di halaman 1dari 5

(By: Lukluk Auliyatul Trisna/X1 A 4)

Siluet sinarnya menyingsing lembut lewat senyuman sang mentari pagi. Yang menyapa di balik
gordyn berbalut hijau tosca. Mataku masih saja melekat satu sama lain. Sepertinya mereka tak ingin
terpisahkan. Seperti bayi kembar. Bedanya, ini sepasang mata, bukan bayi kembar. Namun, ku coba untuk
bangun, menyadarkan mereka, agar mau membuka mata.
Okey, dan disinilah aku. Di rumah sederhana yang memiliki kebun kecil, taman, dan garasi tua. Hem,
mungkin aku sudah siap untuk menyantap breakfast yummy ala mama. Setelah membantu kakek bersih bersih
di halaman belakang dan segera mandi. Hap, hap, hap, seperti angin puting beliung, aku langsung merampas
makanannya kemudian memasukannya ke lubang hitam kecilku. Glek, glek, segelas susu membuat bulan sabit
putih di sekitar bibir mungilku. Yeah, here we go! Let’s go to school!
Argh..kenapa lagi lagi bisnya belum datang?! Mana nanti ulangannya bu Pepsi lagi. Guru Bahasa
Jepangku. Yang killernya.. Duh nggak usah ditanya deh. Pokoknya killernya melebihi Lord Voldemort kalau dalam
filmya Harry Potter.
“Pasar Mbolali, Pasar ...”. Akhirnya, yang kutunggu tunggu datang juga. Ku lambaikan tangan keatas
dan kebawah bergantian. Memberi sign kepada pak sopir agar bisnya menepi ke halte bus. Aku bergegas naik,
karena jam tanganku menunjukan pukul 08.45! Padahal aku masuknya pukul 07.00! Aduh, gimana nih? Udah
telat! Nanti ulangan??! Lengkap banget apesnya!
Di tengah celotehan mengeluhku, tiba tiba ada tangan mencubit pipiku. Aku berbalik. “Hai Za! Kok
tumbenan berangkatnya gasik? Hayo, kamu belum ngerjain pr kan?” . “Ih, ngawur! Ya, nggak lah. Nanti itu
ulangannya bu Pepsi, Gea! Lagian kok kamu bilangnya gasik sih. Kan udah jam segini, jam 08.55!”.
Gea itu bisa dibilang temen yang paling akrab denganku. Selain dulu pernah se-SD, se-TK, dan se- RT.
Jadi kalo punya waktu luang kadang aku juga suka main ke rumahnya. Tapi sekarang jarang, karena ada
something.
“Loh, kok di jam tanganku masih jam 07.56 ya, Ra? Ah jam kamu salah kalik?”.”Masak Ge? Bentar, coba
tak inget inget dulu.” “20 jam kemudian..” Celotehan Gea sempat membuatku tertawa lepas, tapi gagal setelah
beberapa detik. Ketika aku ingat, kalau jamku dimajukan 1 jam oleh Nek Dewi untuk mengelabuhi Dik Tio kalau
udah saatnya tidur sore. Ya Allah?! Gimana bisa forget sih?
“Nah Ge, aku baru inget. Kalau jam tanganku dimajukan 1 jam sama Nek Dewi kemarin sore. Hehe.
Maaf.” Aku tertawa nyengir saja. Gea jadi ikut ikutan nyengir yang nggak jelas. Dasar Pelupa! Omelku dalam
hati.

-=-=-
Hari di sekolah, rumah, dan lingkungan berjalan seperti biasa. Nggak ada yang berubah. Hanya belajar,
makan, minum, dan ngobrol yang nggak penting. Mama masih sama, masih mengomeliku, layaknya aku masih
bayi. Papa sibuk dengan pekerjaannya, yang katanya segala galanya. Ucapan yang selalu diucapin papa kalo

1
Be A Good Muslim
habis pulang dari luar kota, “Za, papa ini kan bekerja untuk kalian, bukan untuk papa sendiri. Jadi, tolong papa,
jangan ganggu papa kerja.” Aku masih ingat dengan kata kata papa minggu minggu dan minggu yang lalu. Okey
Pa, urusan pekerjaan saja sampai nggak pulang ke rumah 4 bulan.
Memangnya papa ini manusia pra sejarah? Yang notabenya nomaden?! Yang harus ganti ganti rumah,
yang harus selalu tinggal di apartemen??
Dan, isu isunya papa dapet temen cewek yang nggak sengaja kepergok sama mama ada di apartemen
papa di Surabaya. Saat itu, nyaris, really nyaris, hubungan papa dan mama hampir nggak bisa dipertahanin. Alias
mau cerai.
Terus mama juga nggak mau kalah. Sekarang mama malah ikut ikutan mendua sama laki laki hidung
belang. Emang sih cakep, nggak kalah sama Daniel suaminya Dona. Tapi, dibalik itu semua aku bisa lihat ada
kerinduan akan keharmonisan rumah tangga mereka. Mama dan papa masih saling menyayangi. Lewat cara
menatap, saltingnya, dan sikap. Bicaranya juga. Semuanya bisa dibaca. Namun, ada keraguan antara mama dan
papa. Satu sama lain saling nggak mau terus terang. Papa mungkin butuh penghibur di kerjaan super sibuknya.
Sedangkan mama gengsi,dan nggak mau tersaingi sama ulah papa dengan segudang cewek ceweknya yang
tersebar luas hampir di beberapa kota di Indonesia, di luar negeri juga ada.
Yap, semuanya jadi runyam. Hubungan mama dan papa udah diujung tanduk. Ditambah lagi, kak Vey.
Yang aduh, bandelnya minta ampun. Pernah, suatu malam kak Vey dengan pedenya pulang malem sampai di
rumah jam 02.00 pagi. Saking khawatirnya, mama nunggu sampai nggak tidur demi rasa khawatirnya sama anak
pertamanya. Nah, disinilah aku, Zaza.. Memilih untuk diam dan mencoba menjalani kehidupan dengan nggak
pingin dapat masalah.
“Ting..tong...” Pasti papa.
“Assalamu’alaikum.. Hai Za. Mana kak Vey?” Aku senang papa pulang dengan wajah berseri seri gitu.
Biasanya, papa langsung tidur atau nggak, papa langsung mandi, tanpa nyapa anaknya dulu. Bisa ditebak, papa
pasti dapat project baru.
“Pa, kok Zaza lihat, ekspresi muka papa berseri seri gitu? Hayo, dapat project baru ya? Zaza beritahu
dong Pa.” “Kok tau sih Za. Ni papa bawain oleh oleh dari Singapura. Baju ungu buat Zaza, biru buat kaka Vey.
Inget warnanya ya Za. Udah papa sesuain ukurannya.” Senyum papa mengembang, tapi mereda sejenak ketika
mama lewat menyangking tas orange polkadot coklat without say something for us.
“Pa, nggak tanya gimana kabar mama? Trus oleh oleh buat mama mana Pa?” Mimik muka papa kian
lama kian meredup, wajahnya mendungkruk ke bawah. Bibirnya mau berkata, tapi sepertinya tertahan cairan di
kerongkongannya.
“Za, ” wajahnya semakin suntuk. Aku jadi nggak tega. “Mama, udah dapat yang lebih baik. Pasti mama
dapet oleh oleh juga dari someone. Yang pasti lebih spesial.” Tuh kan, papa masih sayang sama mama. “Udah
Pa. Papa itu pendamping mama yang paling the best, paling TOPBGT deh. Za yakin, suatu saat mama dan papa
bisa kayak dulu lagi. Ah daripada ngobrol terus. Za buatin air panas dulu. Kan papa capek. Oya Pa, sambil
nunggu, sholat ashar dulu ya.” “Wah, Za ini memang anak papa.” Aku mulai berjalan, kemudian berpaling ke
belakang, “Iya Pa,” “sama mama.” Setengah berbisik.
-=-=-
Panasnya mentari nggak menyurutkanku untuk memulai hari. Cuaca cerah gini paling nggak disukai
sama drakula. (trus apa hubungannya?? Hehe)

2
Be A Good Muslim
Nada nada lagu dari headphone hampir membuat telingaku tuli sebentar, gimana enggak?! Volumenya
aja full.
Entah kenapa udah 7 bulan aku aku jadi new student , tapi serasa kayak alien, yang nggak punya teman
di kelas ini. Kata Gea, emang suka gitu, katanya suka nggerombol nggerombol. Tapi juga denger denger ada anak
sini yang sebel cause papanya bangkrut gara gara kalah saing with project my papa. Itu nggak salah papa dong,
mungkin aja keberuntungan lagi di pihak papa. Atau disamping itu semua ada hikmah yang Allah siapkan untuk
papanya. Aduh, kok malah jadi aku yang dimusuhi.
Guru guru juga, pas pelajaran aku kayak dianak tirikan, gara gara apa coba?? Papanya yang tadi itu, kan
dulu suka nyumbang uang ke sekolah. Tapi karena bangkrut, papanya jadi ngadu yang enggak enggak ke para
guru, udah deh, katanya suaplah, dukunlah, sihirlah, bla bla bla..
“Fiuht, biarin aja lah Za. Semoga Allah menurunkan pintu hidayahnya serta membukakan hatinya. Biar
nggak beku kayak gini terus. Trus siapa temanku sekarang dong?? Nah, Gea!” langkah kaki kupercepat selaras
dengan detik jam. “Ge, sebentar..”.”Ada apa Za? Kok buru buru gitu?” “Di kelas, aku kayak alien Ge. Serem
banget. Udah tak coba segala cara tapi tetep nihil. Alah, udahlah,s emua aku serahin sama Allah. Yang penting
api jangan dibalas dengan api.” “Yak, betul banget Za. Laper nggak? Perutku udah meraung raung daritadi Za.
Makan batagor yuk. Lumayanlah buat ngganjel perut.” “Huuu, dasar Gea, tadi aku lihat kamu di kantin makan
bakso kan?” “Kok tau sih Za, kamu spy girl ya? Dari agen FBI? Atau CIA?” “Ye. GR. aku dari agen FBI(Fener fener
Banget pingin Ieat batagor ) haha” “Bisa aja kamu Ge! Udah yuk, langsung ke pak Lomo aja, keburu anak sini
menyerbu habis!” “Ayuuuuk, ” kami melangkah tanpa berhenti. Kemudian bercanda dan sekilas melupakan
masalah di kelas tadi. Gealah, yang jadi teman baikku. Dia nggak mandang aku dari papa. Tapi karena kita cocok
aja ngomong terus. Hehe.
-=-=-
“Assalamu’alaikum. Za pulang.” Suasana rumah sepi.
Sama seperti biasa lagi. Papa kerja, mama kerja, kak Vey kuliah, dan tinggal aku disini. Kemudian, aku
berjalan menyusuri ruang tamu, ruang keluarga, kemudian dapur. Segelas air dingin dapat mengompres segala
hal sejenak, then kuminum.
Kutuntun tas menaiki tangga hitam berbulir bunga dengan nglokro. Tiba tiba terbesit di fikiranku. Ada
hal menakjubkan! Aku harus perbaiki ini semua! Ya, harus!! Seperti kata Hal Urban dalam bukunya, ‘kita hidup
bersama pilihan, bukan dengan kesempatan’. Atau kata Henry Ward Beecher, ‘Allah tidah bertanya kepada
manusia apakah mereka mau menerima kehidupannya. Tidak ada pilihan untuk itu. Satu satunya pilihan adalah
bagaimana menjalaninya.’
“So, mari perbaiki itu semua!! Mulai dari papa, mama, kak Vey, eh nggak. Mending mulai kak Vey, papa,
mama, dan sekolah! I must have a planning. Saatnya ke markas.” Ku rebahkan tangan, aku meringis meringis
sendiri. Pensil menari nari di buku note tanpa berhenti, kecuali pas titik.
Kita yang ngrencanain, tapi Allah yang mutusin, jadi “Bismillahirrohmanirrohim, semoga lancar ya Allah.
Amin.”
-=-=-
Kak Vey pulang awal, mungkin karena jam kuliahnya tadi pagi. Dan kemudian jalan jalan sama temen
temennya dulu.
“Kak, Za boleh ngomong.” Jari tanganku reflek memegang rok putih seragam sekolah.
“Apa?!” jawabannya terkesan rada nyengak.it’s okay, no problem untuk hari pertama ini.

3
Be A Good Muslim
“Em,, kak jangan pulang sore ya, kasian mama sering nunggu sampai larut malam, kasian papa yang
udah kerja keras tapi uangnya malah dibuat foya foya.” Ku lihat kak Vey nggak really hear, dia masih aja katawa
ketiwi sama tulisan di hp BB barunya.
Kuulangi lagi tapi lebih dekat, “Kak, tolong dengerin Za. Tolong dong kak Vey ubah, demi kita kak. Demi
mama dan papa. Jangan jadi bandel Kak.”
“Apaan sih Za! Ganggu kakak BB an sama Pio aja.” Nadanya semakin lama semakin tinggi, so, nggak tak
lanjutin. Mending kapan kapan aja, suasananya nggak mendukung.
-=-=-
Aku terdiam sesaat mencoba mengalihkan everything problem. Try to calm. Saat saat favoritku adalah
ketika malam tiba, entah kenapa, bulan selalu temani diriku dalam gelapnya malam. Bersama bintang bintang
yang berserakan dan full moon. Awan kumulus masih di utara, jadi langitnya clear. Itu memberikan aku
gambaran sedikit tentang hidup, bahwa sehitam hitamnya langit masih ada cahaya bersamanya. Yang berarti
kalau ada masalah iinsyaallah akan ada jalan keluarnya. Meski kemungkinannya kecil.
Suddenly, “dorr..” bunyi pintu depan terbuka keras.
“Papa, itu yang salah, katanya kerja...” kayaknya bunyi mama bicara deh. Tapi sama siapa? Udah jam
01.00 pagi gini. Pasti sama papa. Aku bergegas turun. Tanpa memedulikan kalau jendela kamar terbuka saat itu.
“Mama lah yang salah, papa kan cari penghibur. Papa capek. Mama selalu cerewet kalau papa pulang.”
Hemm, serasa kayak pingin nangis. Nggak ngrasa kalau air mataku bercucuran jatuh. Berlomba lomba
membuat sungai bercabang di pipiku. Sejenak ku dengar “dorr” pintu terbuka lagi, pasti kak Vey.
“Ma, Pa?!! Jadi selama ini kalian bertengkar??” kak Vey bergegas ke kamar atas. Air matanya juga ikut
bercucuran. Terburu buru melewati tangga, kak Vey akhirnya terpeleset dan jatuh. Semuanya jadi hening.
Mama dan papa berhenti bertengkar. Mereka menengok ke arah kak Vey. Aliran warna merah pekat berlarian
keluar dari salah satu bagian tubuhnya. Mama dan papa bergegas ke tangga, aku juga nggak kalah. Aku langsung
keluar dari tempat persembunyian. Mama dan papa langsung menghidupkan mobil. Kak Vey masih belum sadar.
Masih di bawah alam sadarnya. Sempat terdengar suara kak Vey yang whisper tapi jelas, “Ma, Pa, jangan cerai.”
Lalu mobil menderu cepat menuju rumah sakit terdekat.
-=-=-
“Assalamu’alaikum kak Vey, Ma. Za bawain batagor. Hehe. Habis pulang sekolah, soalnya tadi laper.”
“Iya Za. Sini kak Vey mau. Kan udah lama kak Vey belum ngrasain batagor samping sekolah kak Vey yang
dulu, punya pak Lomo kan? ” kami pun makan bersma. Mama ikut mencicipi batagor kami.
“Oya kak, kak Vey nggak sakit parah kan?”
“Enggak Za, kak Vey cuma kulitnya sobek kena paku di tangga. Ya kan Ma.”
“Iya, Kak Vey.” Kami pun bercandaria tanpa dot, space, atau paragraf. Yap, suasana disini jadi hangat.
Inilah yang aku dambakan. “klekk...” suara pintu terbuka. Itu papa!
“Assalamu’alaikum. Papa bawakan martabak manis.”
“Makasih Pa. Oya, mama sama papa nggak jadi cerai kan?”
“All is okay sayang. Mama dan papa pokoknya kayak dulu lagi. Setelah tadi pagi kita kompromi. Ya kan
Pa.”

4
Be A Good Muslim
“Nah, gitu dong Pa, Ma, kak Vey. haha”
“Iya little girl.”
Kami tertawa terbahak bahak. Kak Vey aja sampai mau nangis. Aku jadi lega. Terimakasih ya Allah.
Sekarang tinggal satu! Sekolah!!
-=-=-
“Pagi Gea, kita bareng lagi ya.” Menunggu di halte bis, sama kayak yang dulu, jam 07.55.
“Iya Za. Kok ceria amat sih. Ada yang lucu dengan penampilanku?!” alisnya naik satu.
“Badut mall! Haha. Ya nggak lah, aku seneng karena keluargaku jadi lebih baik sekarang. Mulai dari kak
Vey, mama, papa. Tinggal sekolah!!”
“Sip, believe Allah ,Za. Allah akan memberikan yang terbaik untuk makhluknya.”
“Iya Ge, i agree with you. Ayo, turun keburu ketutup gerbangnya.” Kami memberikan selebaran
seribuan untuk kernet bus, yang sedari tadi menjadi TOA super untuk bis yang baru saja aku naiki bersama Gea
ini. Sesampainya dikelas, suasana tetep ramai. Nggak ada yang peduli dengan salamku ketika masuk kelas. Lebih
baik kubuka ipad ku, then play a game atau sekedar online di fb atau twitter. Aku mendengar suara derap kaki
riuh mendekat ke arah ku.
“Za, i will tell you something. Would you?” aku terkejut! Gimana enggak, ada hampir 15an orang berdiri
mengerubungiku. Dan disitu ada Sac and the gang. Cewek yang sebel banget sama aku. Yang papanya jadi
sasaran bangkrut gara gara papaku. Mau ngomong sama aku?! Ngomong apaan?
“Yes. Why not?” aku mengernyitkan alis kanan sebagai tanda kebingunganku akan perubahan tiba tiba
Sac yang mendadak jadi baik.
“Aku mau minta maaf. Ternyata bukan papa kamu yang jadi penyebab bangkrut papa. Tapi seseorang
yang jahat, udah menyabotase pekerjaan papa.” Bibirnya digigitnya pelan.
“Aku tahu, sebenarnya bukan papa yang nglakuin itu semua. Karena papa juga pernah bilang sama aku.
Okey Sac, aku maafin kok dari duluuuu banget. Nggak usah sungkan sungkan gitu ah, kalian semua juga udah tak
maafin kok tenang aja.”
Semuanya jadi manis, jadi indah, nggak tau kenapa aku jadi pingin di kelas ini terus. Ternyata, di balik ke
geng gengan mereka. Masih ada rasa kekeluargaan yang kental. Nggak seperti yang dulu sempat sekilas aku
bayangin. Mereka yang suka nindas lah, egois, sombong. Tapi hanya sekilas, dan nggak berkelanjutan.
Dari semua ini, aku belajar banyak banget. Planning kita emang nggak berjalan mulus tapi disamping itu
semua, pasti ada kejadian yang bikin semuanya jadi jelas. Setelah pahit ada manis. Semua hal yang terjadi di
dunia ini tentu ada hikmahnya. Kayak kejadian kak Vey yang jatuh dari tangga, hingga akhirnya masuk RS. Tapi
akhirnya mama dan papa berubah pikiran. Mereka cancel untuk membawa masalahnya ke dinas Agama.
Alhamdulillah. Kak Vey sekarang udah pulang maximal maghrib time, dan kami juga sering ngadain makan
bersama, entah di luar, atau di rumah. Dan Sac and the geng juga, mereka jadi temen. Tapi aku mencoba
menyatukan semua geng di kelas, dan guess what?! Berhasil!! Suasana kelas jadi bersih dari geng gengan.
Semua nyatu!
Terimakasih ya Allah, karenamu semua jadi indah di kemudian hari.

‘Terimakasih’

5
Be A Good Muslim

Anda mungkin juga menyukai