Anda di halaman 1dari 24

Baik Luar Dalam

“Ra, ada Sinta tu di depan nyariin kamu, ditemuin gih. Dah nungguin dari tadi.”
Sahut Tina pada Rara yang sedang mengerjakan tugas sekolah di rumah Rara.
“Bi, bilang aja aku gak ada, lagi diluar atau di mana gitu.” Pinta Rara pada Bi Inah
yang bekerja di rumahnya.
“Iya, Non.”
“Kenapa kamu kaya gitu sama Sinta? Dia sudah datang jauh-jauh tapi malah kamu
usir. Dia anak baik lho, Ra.”
“Iya dari luarnya memang baik, manis, ramah. Tapi apa hanya itu saja kamu
mengukur sifat seseorang? Dari luar memang manis. Tapi dalamnya pahit.”
“Pahit gimana?”
“Dia sering ngomongin keburukan temannya sendiri di belakang. Banyak
pokoknya Tin, yang tidak bisa aku jelaskan.”
“Lihatlah kamu ini. Judes, ceplas-ceplos sama aku. Tapi setidaknya hatimu tulus,
Tin, bukan baik di luar tapi dalamnya busuk. Aku gak butuh tampilan luar orang
dalam berteman.” Jelas Rara.
Scrub Gula Pasir

Di siang hari, Keke sedang berbincang – bincang dengan Rosa dengan begitu asyiknya.
“Ros, menurutmu Dion itu suka tipe cewe yang seperti apa sih?”
“Em, apa ya? Setahuku dia gak muluk-muluk sih, suka sama cewe yang alami apa adannya.”
Jelas Rosa.
“Jadi gak suka sama cewe bergincu gitu dong?” Tanya Keke.
“Ya seperti itu mungkin.”
“Lalu apa dong yang membuat bibir merah tanpa lipstik?”
“Coba saja pake scrub gula pasir setiap malam, bibir akan merah merona secara alami.”
“Oya?”
”Baiklah akan kucoba nanti malam demi mendapat cinta sang pangeran. Hahaha.”
“Seminggu lagi ada acara festival tuh di kampus, coba saja scrub-an rutin setiap malam.”
Sambung Rosa.
“Benar juga ya. Nanti harus tampil maksimal di depan sang pangeran.” Tukas Keke mengiyakan.
Beberapa hari sudah lewat. Di hari sebelum acara, Keke tampil seperti yang dikatakan Rosa.
Ketika melihat Keke, Rosa terkaget-kaget.
“Ada apa dengan bibirmu? Kenapa merah sekali? Berapa kilo gula yang kau gunakan? Itu
sensual apa bonyok ya?” Tanya Rosa terheran.
“Ini akibat gigitan semut setiap malam tau, sampai sesensual dan semerah ini, benar-benar
pengorbanan.” Jawab Keke.
“Oh My Good”.
Keutamaan Sedekah

“Bu, hari ini barang dagangan Bapak hanya sedikit yang laku. Hanya segini yang bisa Bapak
berikan pada Ibu.” Sambil memberikan uang kepada istrinnya untuk kebutuhan rumah tangga.
“Iya Pak. Nda papa yang penting Bapak sudah berusaha dan selebihnya ini adalah rejeki dari
Tuhan.”
Keesokan harinya, si suami berangkat bekerja dengan membawa barang dagangannya ke pasar.
Di perjalanan ia bertemu dengan nenek tua yang kebingungan di jalan.
“Ada apa nek?” Tanya pak Bejo menghampiri nenek tua tersebut.
“Nak, bolehkah saya meminta uang? Saya ingin pulang tapi tak ada ongkos.” Pinta nenek lirih
kepada Pak Bejo.
“Uangku juga mepet, dagangan dari kemarin gak laku, untuk makan saja kadang masih kurang,
ah tapi gak papa. Kata pak ustad sedekah bisa melancarkan rejeki, bismillah saja.” Gumamnya
dalam hati.
“Baiklah, Nek, ini ada uang segini buat naik bis nenek sampai tujuan ya. Biar saya antar sampai
terminal.” Ucapnya sambil mengantar nenek tersebut menuju terminal.
“Terima kasih nak, semoga rejekimu selalu lancar.”
“Amin, Nek”.
Setelah mengantar nenek tersebut, Pak Bejo kembali ke pasar untuk menjual dagangannya.
Sesampainya di pasar, ada seorang pembeli yang memborong dagangannya sampai habis.
“Alhamdulillah rejeki memang tak ke mana. Memang sedekah bisa melancarkan rejeki.” Gumam
Pak Bejo bersyukur.
Wirausaha

Yola adalah mahasiswi lulusan pertanian yang memilih berwirausaha daripada bekerja kantoran.
Uniknya, yang dia jual adalah produk olahannya sendiri yang dia racik dari penelitian yang dia
lakukan di kampus. Produk yang ia jual adalah sambal dengan campuran rumput laut yang
ekonomis dan sehat.
Awalnya dia memasarkan di kalangan teman kuliahnya sampai dosen dan staf kampus. Hasil
risetnya masuk dalam kategori produk riset terbaik tahun 2017. Selain hargannya yang relatif
terjangkau sesuai dengan kantong mahasiswa, produknya juga menyehatkan.
“Yol, apa sih yang membuatmu lebih suka berwirausaha? Padahal kamu termasuk mahasiswa
berprestasi loh, bisa masuk perusahaan manapun dengan mudah bahkan tanpa tes. Apalagi
produk sambalmu itu kamu jual dengan harga terjangkau, bagaimana kamu bisa meraih
keuntungan?” Tanya salah satu temannya penasaran.
“Iya memang, aku bisa saja menjual produkku ini dengan harga tinggi jika aku mau. Pasti juga
laku. Apalagi bagi orang yang paham kesehatan. Aku juga bisa saja bekerja di perusahaan
bonafit dengan gaji tinggi, bisa saja, tapi mohon maaf teman, aku kuliah tinggi- tinggi bukan
untuk uang atau balik modal dari seluruh biaya yang aku keluarkan. Aku bahagia jika
pekerjaanku bisa bermanfaat untuk orang lain baik dari segi biaya dan kesehatan mereka.” Jelas
Yola.
Mendengar penjelasan Yola, temannya langsung terdiam.
Rajin Belajar

Hari Senin yang cerah. Setelah anak-anak upacara bendera, mereka menuju kelasnya masing
masing untuk mendapat mata pelajaran dari guru. Hari ini ada mata pelajaran matematika,
Bahasa indonesia, Bahasa Jawa, dan PPKN.
Mata pelajaran pertama adalah matematika. Ibu guru menyuruh untuk mengerjakan halaman 5
sampai 6. Suasana kelas nampak hening ketika para siswa sedang mengerjakan soal. Kemudian
setelah selesai, bu guru berpesan untuk mempelajari materi perkalian dan pembagian dengan soal
cerita karena sewaktu-waktu bisa diadakan tes dadakan.
Setelah selesai mendapat pelajaran di sekolah, para siswa pulang. Tika, Dwi, dan Rima pulang
bersama jalan kaki karena jarak rumah mereka yang tak jauh dari sekolahan.
“Habis makan siang nanti kita bermain yuk. Di rumahku ada boneka baru yang dibelikan ibuku
dari Bandung.” Pinta Rima pada kedua sahabatnya.
“Asyik.” Ucap Dwi dengan penuh kegembiraan.
“Gimana, Tik, kamu bisa ikut tidak?”
“Aku tidak ikut saja. Mau belajar di rumah karena tadi kan ibu guru berpesan untuk belajar
karena siap-siap jika ada tes dadakan.” Sanjang Tika dengan polosnya.
Sesampai di rumah masing-masing, Tika langsung ganti baju, makan siang, solat, kemudian
istirahat siang sehingga malamnya dia bisa belajar dengan tenang dan konsentrasi. Sesekali dia
bertanya kepada kakaknya jika kurang paham dengan materi di buku.
Sedangkan Dwi dan Rima bermain boneka sampai larut sehingga tidak sempat mempelajari
materi. Keesokan harinnya mereka berangkat bersama dan sesampai di kelas ternyata memang
ada tes dadakan. Dwi dan Rima merasa kesulitan dalam mengerjakan soal dan akhirnya nilainya
jelek sehingga harus mengulang tes susulan.
Lain halnya dengan Tika. Dia mendapat nilai terbaik di kelas karena dia sudah belajar dengan
rajin sesuai nasehat gurunya. Ibu guru meminta agar Dwi dan Rima belajar dengan temannya,
Tika.
“Wah, Tik, selamat ya, nilaimu 10. Besok kita ikut belajar denganmu ya.” ucap Rima pada Tika.
Tak Konsisten

Suara alarm begitu keras mengusik tidur Joni yang begitu terlelap. Dia masih
mengeliat menahan rasa kantuk. Kemudian perlahan membuka matanya.
“Oh Tuhan!” Joni terkaget melihat jam ternyata pukul 7 pagi. Dia langsung
bergegas mandi dan merapikan diri lalu tancap gas untuk pergi ke kantor.
Sesampai di kantor, dia sudah telat menghadiri meeting yang diajukan dari jam
biasannya karena bosnya akan segera ke luar kota.
“Permisi, Pak. Bolehkah saya masuk?” Tanya Joni pada bosnya yang sedang
memimpin meeting.
”Silahkan duduk, Jon, tapi maaf hari ini proyekmu digantikan Hamid.”
“Tapi kenapa, Pak? Saya hanya telat sebentar.”
“Bukan masalah sebentar atau lama. Kita di sini para pekerja profesional. Project
itu sudah lama saya percayakan padamu tapi kamu ternyata tidak bisa konsisten.
Walaupun telat sebentar, ada temanmu yang bisa memberi ide bagus untuk proyek
itu. Jadi maaf, sudah bagus kamu tidak saya keluarkan dari tim.” Jelas bosnya
dengan tegas.
Langsung seketika Joni terdiam dengan wajah pucat. Setelah meeting selesai joni
pergi menuju meja kerjanya.
“Ada apa hari ini, Jon? Kamu sampai telat tak seperti biasannya.”
“Ini salahku, Mer. Aku begadang nonton bola sampai larut malam, sampai lupa
kalau ada project penting dan seharusnya menguntungkan bagiku.”
“Oalah makanya utamakan profesi dari pada hobi.” Sambung Meri sedikit
menasehati.
Trauma

Terdengar suara ketukan pintu dari luar.


“Silakan masuk.” Sambung Pak Toni dari dalam ruangan.
“Maaf, Pak Toni ada, Pak?” Tanya seorang pemuda yang dipanggil interview
panggilan pekerjaan.
“Engga, silakan keluar!“
“Baiklah.”
“Di mana Pak Toni? Kenapa OB yang berada di dalam?” Tanya pemuda itu pada
petugas di luar ruangan.
“Ya yang di dalam tadi itu Pak Toni. Dia memang begitu, suka berpura – pura
berpenampilan seperti OB untuk mengetes karyawannya.” Ia menjelaskan.
“Maksudnya?”
“Ya kamu gak lolos hari ini, memang begitu Pak Toni. Dahulu dia pernah trauma
dengan beberapa karyawannya karena materi.”
Malas Sekolah

Minggu adalah hari libur yang membuat orang malas beraktivitas. Ada yang memilih berlibur
tapi ada pula yang memilih tinggal di rumah melepas lelah setelah seminggu penuh dengan
aktivitas. Begitu pula dengan Banu, dia memilih untuk bersantai di rumahnya. Sampai-sampai
setelah hari Minggu Banu masih belum siap menghadapi aktivitas sekolah yang membosankan
baginya.
“Nu, kamu tidak berangkat sekolah? Ini sudah siang lho. Nanti telat.” Tanya ibunya.
“Banu masih capek, Bu. Bolos sehari saja gak papa. Lagian gak ada PR dan tes kok. Santai saja,
Bu.”
“ Ya jangan begitu. Kamu sekolah itu bayar. Menuntut ilmu tidak bisa disepelekan begitu saja
Nu.” Jawab ibunya menyanggah.
“Sudahlah bu, Banu masih ngantuk mau tidur lagi.”
Melihat gelagat anaknya, ibunnya menjadi geram dan menyeret anaknya ke suatu tempat.
Kemudian ibunnya mengajaknya ke panti asuhan yang dipenuhi berbagai anak dengan latar
belakang yang berbeda.
“Nah, tuh, lihat mereka. Tak punya orang tua yang membiayai sekolah padahal mereka juga
ingin sepertimu.” Jelas ibunnya memberi tahu anaknya melalui kaca dalam mobil.
Kemudian ibunya mengajaknya melihat anak-anak yang mengamen di jalanan. “Lihat anak itu,
dia mengemis mencari uang. Untuk makan saja susah apa lagi sekolah.” Jelas ibunya lagi.
Kemudian Banu sadar dan akhirnya mau berangkat sekolah walau agak terlambat. Dia diantar
ibunnya sampai ke sekolah. Di perjalanan dia melihat anak sekolah yang berjalan pincang,.
Dalam hati dia berkata “Alangkah beruntungnya aku, masih punya fisik yang sempurna tapi
malah malas sekolah. Sedangkan anak cacat saja bisa semangat seperti itu.”
PERTANYAAN MISTERIUS AYAH

Hari ini ayah tidak pergi kerja, saya pun sedang libur sekolah. Kulihat ayah sedang sibuk
membenarkan sepeda motornya. Lantas kudekati ayah, “butuh bantuan, Yah?”, tanyaku polos.

Saat itu saya masih kecil dan duduk di bangku SD. “eh, tersedia dede’ kecil. Boleh-boleh”,
jawab ayah. Kami banyak berbincang selama membenarkan sepeda motor ayah.

Ayah banyak bercerita perihal sepeda motor padaku, saya menikmatinya. “kalo dede’ udah besar
nanti sudi jadi apa?’, tanya ayah padaku. “dede’ mengidamkan jadi pembalap yah, layaknya
Valentino Rossi”, jawabku secara spontan. “oh ya?, wah hebat.

Tapi pembalap mesti mengerti anggota yang terpenting berasal dari motor, dede’ tahu?”, tanya
ayah padaku. Aku pun berfikir, apa ya yang paling penting?.

Keesokan harinya kala sarapan, saya menjawab pertanyan ayah kemarin. Bagian terpenting
berasal dari sepeda motor adalah roda, karena tanpa roda motor tidak mampu berjalan.

Mendengar jawabanku ayah berkata: “wah pintarnya, namun sayangnya bukan itu sayang”,
jawab ayah. Aku pun tidak menyerah, tiap-tiap hari saya senantiasa mencoba menjawabnya.

Mungkin jawabannya adalah kunci, karena tanpa kunci motor tidak bakal mampu menyala dan
diamankan. Tapi ayah senantiasa berkata: “smakin hari dede’ smakin pintar ya, namun
jawabannya masih belum tepat”.

Aku belum menyerah. Sampai saya duduk SMP pun, Sesekali ayah bertanya pertanyaan jaman
kecilku itu, dan tiap-tiap ku jawab pasti ayah berkata: “kamu benar-benar cerdas, namun bukan
itu jawaban yang tepat, konsisten mencoba ya”. Karena konsisten layaknya itu, lama-kelamaan
saya jadi bosan. Karena jawabanku senantiasa belum tepat.

Sejak kecil sampai sekarang, ayah tak pernah sudi memberikanku jawaban yang sebenarnya.
“jangan anda suntuk mencoba menjawabnya, karena ini pertanyaan yang benar-benar mudah,
teruslah berusaha”, kata ayah tiap-tiap kali saya mengeluh.
Menemukan Dompet

Saat jalan menuju rumah temanku, di samping jalan sedikit ujung dari trotoar, aku melihat
sebuah dompet berwarna hitam. Kuhampiri dompet itu, kubuka, dan kulihat isinya. KTP, SIM A,
beberapa surat- surat penting, tabungan yang isinya fantastis, dan sebuah kartu kredit. Dalam
pikiranku muncul suara agar aku menggunakan isi dalam dompet itu.
Tapi tidak, aku harus mengembalikan dompet ini pada pemiliknya. Tak selang berapa lama
setelah aku pulang dari rumah temanku, kukembalikan dompet itu. Bermodalkan alamat di KTP,
aku menemukan rumahnya di perumahan elit dekat dengan hotel Grand Palace. Kupencet bel dan
kemudian dibuka oleh tukang kebun yang bekerja di rumah itu.
“Permisi, Pak. Benarkah ini alamat Pak Budi?” Tanyaku.
“Iya benar. Anda siapa, ya?” Tanya tukang kebun.
“Saya Adi, ingin bertemu dengan Pak Budi. Ada urusan penting.”
“Baiklah silakan masuk, kebetulan bapak ada di dalam,” Pinta tukang kebun.
Aku masuk dengan malu-malu ke dalam rumah megah pemilik dompet yang kutemukan.
“Ada apa? Siapa Kamu?” Tanya pemilik rumah itu kepadaku.
“Saya Adi, Pak. Mohon maaf sebelumnya, saya menemukan dompet Bapak di trotoar dekat
hotel.”
“Oh, ya silakan duduk, Nak!”
Aku duduk di dekat beliau dan menyerahkan dompet yang kutemukan tersebut.
“Kau tinggal di mana, Nak? Dan bekerja di mana?” Tanyanya dengan penasaran.
“Di kompleks Asri Cempaka, Pak. Saya masih ngganggur sudah berbulan – bulan melamar tapi
belum dapat panggilan.” Tambahku.
“Kau sarjana apa?” Tanyanya.
“Ekonomi Manajemen, Pak.” Jawabku.
“Oke baiklah, Nak. Di perusahaan Bapak sedang membuthkan staff administrasi. Barangkali jika
kamu tertarik bisa ke kantor saya besok pagi jam 9. Ini kartu nama saya.” Sambung Pak Adi
sambil menyodorkan kartu namanya padaku.
“Sungguh, Pak?”
“Iya, Nak. Saya membutuhkan karyawan yang penuh dedikasi dan jujur seperti dirimu ini.”
“ Terima kasih banyak, Pak.” Kataku tidak percaya, ini seperti keajaiban.
Kartu ATM ku

“Sekarang menggunakan kartu ATM kalian!”, perintah Bu Nisa, guru Agama kami.

ATM itu singkatan dari Aku Tidak Menyontek. Untuk mendapat kartu itu kami harus mematuhi
sebuah peraturan, yaitu tidak menyontek. Kartu ATM dipakai kala ulangan dan kala latihan.
Tapi, saya tidak mempunyai kartu ATM, sebab saya orangnya tidak pandai dan malas belajar.

Akhirnya, ulangan pun dimulai. Aku mengerjakan soal-soal itu. Tapi, nomer 1, 3, 4, 7 dan 9,
saya kesulitan. Kulihat ke sampingku untuk bertanya. Sayangnya ia memakai kartu ATM.
Kulihat ke arah lain. Mereka termasuk memakai kartu ATM.

Bu Nisa tersenyum melihatku. Akhirnya, saya pun menanyakan ke Varia bersama dengan
mengancam kalau tidak jawab, ia tidak bakal boleh pulang denganku. Tapi, ia menyatakan kartu
ATMnya. Aku mulai mulai kesal. Aku pun menjawab soal itu bersama dengan asal-asal.

Saat Pulang…

Aku langsung berlari ke mobil Ayah. Aku biarkan Varia mencariku. Biarin aja dia mencariku.
Siapa suruh ia tidak memberiku jawaban. Aku pun memasuki mobil Ayah. Kak Fani, kakak
perempuanku, telah berada di dalam mobil.

“Varia mana, Len?”, tanya Ayah. “Mana saya tahu”, ucapku sambil menyaksikan ke arah Ayah.

“Kita menunggu aja, ya”, kata Ayah.


Aku benci mendengar Ayah bicara begitu. Kulihat Varia mengakses pintu mobil bersama dengan
muka pucat dan penuh bersama dengan keringat.

“Kamu kenapa tinggalin aku, Len?”, tanya Varia.

“Siapa suruh tadi kamu begitu”, ucapku bersama dengan suara sedikit kasar.

“Varia, kamu menggunakan kartu ATM juga?”, tanya Kak Fani.


“Iya, Kak”, jawab Varia. “Kakak termasuk ada”, kata Kak Fani sambil menyatakan kartu
ATMnya.

“Kartu ATM itu apa?”, tanya Ayah.

Kak Fani dan Varia mengatakan kartu ATM kepada Ayah. Aku hanya terduduk diam
memandangi jendela. Setelah selesai menjelaskan, Ayah pun mengerti.

“Wah… Helen ada?”, tanya Ayah. “Nggak ada, Yah”, jawabku menundukkan kepalaku.

“Kamu tahu, gak, Len? Kalau turut ATM, kami bakal bisa kelebihan, loh”, kata Varia sambil
menyodorkan sebuah kertas.

“Wah… Aku senang ikut, Var. Besok saya daftar, deh mirip Pak Stanlius. Kamu temeni aku, ya,
Var”, ucapku tersenyum sesudah membaca kertas itu. “Ok”, kata Varia
Takdirlah Sutradaranya

Andai kau menyatukan sepasang kasih, ga ada luka menyayat lara, ga ada puitis punya
kandungan dusta ga ada air mata terbuang percuma, ga ada hidup berakhir sia. Tidakkah kau
dengar rengkuhan doa memanggil cinta?

Takdir, kutulis kisahku menyentuh ibamu, menghendaki kau satukanku bersama dengan kasihku.

Disepertiga malam, jaman seakan berhenti. Seakan semua terkesima mendengar munajatku yang
memohon bakal cinta.
Kasihku berawal berasal dari perjumpaanku bersama dengan Rahman, saat ia jadi guru ngajiku.

Rahman istimewa. Ia tuli berasal dari konsonan kata tak bermakna, ia bisu berasal dari ucapan
kotor berasal dari bibirnya, ia lumpuh berasal dari jalur mungkar. Ia hafidz. Ia nyaris sempurna.
Namun, penglihatan diambilNya, supaya ia tak terlena oleh kegelimangan dunia fana.

Aku mencintainya.

Suatu hari, Rahman meminagku. Aku bahagia, sampai aku lelah sendiri supaya semesta tau
tentang bahagiaku.

Namun kenyataan menumbuhkan ego, saat orangtuaku menampik Rahman, bahkan mencacinya.

“Dasar orang buta! Mau kau kasih makan apa anakku. Hidupmu saja di panti asuhan. Mau kau
ajak ngemis nantinya he…”
Cinta. Aku kalap. Orang tuaku murka sampai menumbuhkan penyakit ginjal didalam diriku.

“Jika kita berjodoh, Insyaallah kita bakal bertemu sebagai pasangan yang hahal La.”
Ingin hati memeluknya. Menangis, bercerita bakal hidupku yang rapuh digerogoti asa yang
terlanjur bahagia.

“Aku mencintaimu Mas.”


“Aku pun tetap mencintaimu La. Tapi, simpanlah cinta itu untuk pasangan kita kelak.”

“Mas…” aku menunduk. Pandanganku kabur. Gelap.

Nyeri menusuk igaku. Tarikan nafas seakan mencekikku. Setelah operasi ginjal tiga hari lalu,
aku siuman.
Sebuah mukena dan tape recorder ada di sebelah daerah tidurku.

“Laila terkasih…
Telah kuterima ketulusanmu bersama dengan cintaku. Jaga ginjalku Lalila. Perkenalan
denganmu adalah bahagiaku, aku pergi bersama dengan tenang, kutunggu kau di surga, bersama
dengan kebahagiaan cinta kita. Insyaallah.”
Aku terseok mengejar saat membawa Rahman pergi. Menghampiri hujan duwit serasa menjahit
kulitku.

Kejam!! Takdir… Kemana kau bawa Rahman? Aku mendambakan kebersamaan, bukan ginjal…
Sebuah truk melaju kencang. Aku mematung di sedang jalan. Biar kuakhiri semua disini. Aku
siap. Rodanya melaju semakin dekat. Aku memejamkan mata dan… trus itu menembus tubuhku.

Tubuhku terlihat samar. Terasa mudah terangkat ke udara. “Kau tak harus melakukan itu Ukhti.”
nada Rahman lembut, selanjutnya menggandeng tanganku menuju titik terang.

Siti menangis tersedu di atas makam putrinya, Laila. Operasi yang dijalani anaknya gagal.
Penyesalannya adalah anaknya meninggal didalam suasana kecewa bakal cinta yang
ditentangnya. Ia hanya sanggup meratap penuh penyesalan.
“Maafkan ibu nak. Semoga kau suka di surga bersama dengan Rahman…” doanya.
Guru yang Pilih Kasih dalam Mendidik

Siswa peringkat satu akan selalu disanjung.

Dari luar kelas terlihat sosok siswa sedang membaca buku, sendiri, sepi, tanpa ada murit yang
lain. Memicu guru kagum dengan sikap rajinya.

Siswa yang lain iri padanya, berharap bukan hanya dia saja yang diperhatikan oleh para guru.

Seorang guru mendatanginya dan mengucapkan kata-kata pujian kepada murit tersebut.
Sedangkan yang lain sama sekali tidak diperhatikannya.

Murit tersebut juga mendapatkan hadiah yang spesial dari guru. Menjadiakan murit lain yang
melihatnya semakin iri. Sepele mungkin, tapi sangat menyayat hati para murit. Guru tersebut
seperti tak pernah menganggap murit yang lain ada.

Pernah ditanya tentang suatu soal yang sulit, tapi jawaban darinya hanyalah menyuruh seperti
murit yang rajin itu, dikiranya murit lain tidak pernah belajar.

Tapi datang kepala sekolah dan mengumpulkan kami, menasehati agar selalu belajar yang rajin
dan jangan sampai memiliki sifat sombong jika sudah menjadi tinggi.

Dari perkataan kepala sekolah tersebut juga menyatakan kalau guru tidak boleh membeda-
bedakan murit yang satu dengan murit yang lain, siswa yang pintar maupun siswa yang kurang
bisa menangkap pelajaran.

Dari situ banyak murit tumbuh semangat lagi untuk belajar dan tidak peduli lagi dengan
omongan guru yang satu itu. Meskipun dia masih tetap saja menganggap kami murit yang
dibawah peringkat satu seperti tak pernah ada.
Kehidupan yang Menyedihkan Bersama Lelaki Pecinta Burung

Perempuan itu menutup telinganya sembari menyumpah-nyumpah pada suara yang berisik yang
ada diluar rumah. Di sana terdapat seorang yang sedang bermain dengan hewan peliharaannya.
“Kau tak bisa membuatnya diam?” kata perempuan itu.

Lelaki itu menengok kepada wanita itu yang mukanya merah marah. Lalu dia melanjutkan
memberi makan burung tanpa menjawab pertanyaan dari wanita itu, istrinya.

Perempuan itu kesal, karena di harinya yang harusnya membuat dia tenang tapi gara-gara burung
suaminya yang berkicau nyaring, dia tidak bisa berfikir.

Dia tak peduli dengan semua peliharaan suaminya. Sering memaki-maki sendiri karena kotoran
yang ada pada lantai disebabkan oleh burung peliharaan suaminya.

Sudah cukup bersabar untuk suaminya, dia selalu saja tak peduli dengan ulah yang disebabkan
dirinya sendiri. Setiap hari perempuan itu harus membersihkan rumahnya yang penuh dengan
kotoran burung.

Ini rumah manusia, bukan kandang burung, gerutunya dalam hati. Tapi lelaki itu tetap saja tidak
memedulikanya meskipun pernah memohon agar burung-burung peliharaanya tidak ditaruh di
dalam ruamah.

“Lebih baik kamu buatkan tempat khusus untuk burung-burungmu” kata perempuan itu

“sudahlah sayang, tak apa.”

“tapi burung itu membuat rumah kita kotor, kau mau tinggal di rumah yang penuh dengan
kotoran burung?”

“kau kan bisa membersihkannya.” katanya suaminya acuh.Dalam hatinya dia terbebani dengan
rasa kesal dan tak bisa mengelak. Apa boleh buat, inilah kehidupan yang harus di jalani, hidup
berdua bersama dengan lelaki pecinta burung.
Keluarga yang penuh Omelan

Kehidupan keluarga memanglah rumit.

Dalam kamarnya bocah itu memakai penutup telinga yang dicolokan ke handphone mewah
milikinya. Diputar musik ber-genre metal agar sama sekali tidak terdengar keributan yang ada
diluar sana.
Diluar sana, tepatnya di dalam rumah miliknya sendiri.

Setiap hari terdengar begitu saja suara-suara yang meninggi dari dua orang yang paling dia
sayang. Saling menyahut dan menjatuhkan satu sama lain.

Di setiap pagi, di setiap roti sudah terjejer rapi di atas meja dan susu telah dituangkan di gelas
kaca yang indah, bocah kecil itu merasa kalau dirinya adalah inti permasalahan dari kedua ibu-
ayahnya.

Pernah sekali saat itu dia mengelak untuk mendengarkan ocehan dari keduanya, tapi semakin dia
melawan semakin dia kena semburan kata-kata menyakitkan dari ayahnya.

Anak itu tidak tau harus apalagi, dia sudah mematuhi semua perintah ayah-ibunya. Les privat di
mana-mana, belajar di malam hari, baca buku dan lain sebagainya sudah dia lakukan. Tapi hasil
tak seperti mereka harapkan. Itulah yang membuat pertengkarang ibu-ayahnya.

Anak itu pun menyalakan laptop dan bermain game. Dalam ruangannya, terdapat kursi hitam
merah mewah dan beberapa lampu warna indah menghiasi ruang gelapnya. Dia lebih suka
menyendiri dari pada berkumpul dengan orang tuanya, dia merasa dalam permainan lebih
membuatnya nyaman dari pada mendengar ocehan ibu-ayahnya.

Begitu saja terus kehidupan yang dialami oleh bocah tersebut.


Matilah Aku

Hari ini adalah hari terburuk bagiku. Bagaimana tidak, bos-ku yang killer itu
seakan-akan hendak memakan siapa saja yang berbuat salah di kantor hari ini.
“Alia! Kamu ini bagaimana sih, kamu kan sudah bekerja tiga tahun disini! Masa
datang ke kantor masih saja terlambat tiga menit!” bentaknya di depan mukaku
pagi ini.
Aku hanya telat tiga menit! Tapi Sang Bu Bos marah seakan-akan aku terlambat
tiga jam saja. Aku segera ambil handphone ku dan membuka aplikasi chat.
“Fin, kamu tau ga sih? Parah banget deh ibu bos, kayanya dia lagi PMS kali ya?
Atau bosen hidup melajang?” ketikku dengan berapi-api seraya mengetuk tombol
send.
Read. Pesanku telah dibaca oleh Fina.
“Terus ya, kasian banget si Budi, hari ini dapet SP cuma gara-gara salah kirim
laporan! Parah banget kan?”
Read.
“Kamu gimana, Fin? Diapain hari ini? Hahaha”.
Read.
“Fin? Kok cuma dibaca doang sih, Fin? Sehat lo?”.
Read.
“Deg. Jangan-jangan…”
Aku kembali lihat layar handphone-ku dengan tangan gemetaran untuk
memastikan. “Oh My God! Matilah aku, itu bukan Fina Astuti temanku, itu Fina
Dwiningrum, Sang Bu Bos yang sedang berapi-api!”
Kulirik kubikel Fina, ia sedang asyik main pac man di komputernya. Lalu kulirik
ke sebelah kanan dengan takut-takut, wajah Bu Fina terlihat memerah seperti
kepiting rebus. Ingin rasanya aku mengajukan resign saat itu juga.
“Matilah aku…”
Flush

“September ceria.. september ceria..”, merdu suara Vina Panduwinata mengiringi minggu
pagiku yang riang. Bagaimana tidak, di bulan September ini, aku akan pergi ke luar negeri!
Akhirnya, apa yang aku impi-impikan sejak bertahun-tahun lamanya akan segera terwujud, tepat
tiga hari dari sekarang.
“Maaa, kacamata hitam punya dede dimana yaa?” teriakku. Wah aku sibuk sekali beberapa hari
ini, pokoknya aku akan pastikan perjalanan ini sempurna dan dipenuhi kisah luar biasa untuk ku
tulis di website pribadiku.
Tujuh September, akhirnya hari ini datang juga. Berbekal koper ukuran kabin dan carrier 60 L,
aku siap menjelajah Istanbul!
Deru jantungku berpacu, perjalanan berjam-jam menuju Doha untuk transit menjadi tak terasa.
Aku sangat excited menonton di atas pesawat, duh, maklum saja, ini penerbangan pertamaku.
Akhirnya, pesawat pun mendarat di bandara Hamad International Airport, Doha, tepatnya di
negara Qatar yang kaya akan minyak itu. Dengan menggeret koper merahku, lengkap dengan
pakaian casual dan kacamata hitam kebangganku aku berjalan menuju terminal transit untuk
menunggu penerbangan berikutnya ke Istanbul, Turki. Tapi.. ups, perutku berkontraksi,
sepertinya ini gara-gara aku yang terlalu banyak makan di pesawat tadi. Dengan langkah
setengah berlari, aku hampiri petugas bandara.
“Excuse me sir, do you know where the toilet is?” tanyaku dengan terburu-buru pada petugas
bandara, perutku sudah tidak dapat menunggu lebih lama lagi.
Setelah mendapatkan jawaban tentang dimana toilet berada, aku pun segera menuju toilet dengan
setengah panik.
Tapi, masalah menghampiri lagi. Ini… kok toilet ini tak ada tombol flush ya? Setengah panik
aku meraba-raba dinding-dinding toilet, barangkali ada tombol tersembunyi. Lima belas menit
aku berusaha, tetap saja tombol flush itu tidak menampakkan diri.
Akupun berdiri, bangkit mengambil tissue di pojok toilet. “Srrrr” bunyi flush toilet terdengar. Oh
my god, ternyata seluruh toilet di bandara ini memiliki flush otomatis.
Baiklah, saatnya aku menertawakan diri sendiri.
Seperti Bunga dan Lebah

“Rif, berikan aku sebuah kisah untuk kujadikan pelajaran” ujar Risa tiba-tiba di sore hari yang
sejuk itu.
“Hmm, kisah apa ya? Aku bacakan sepenggal kisah tentang analogi Bunga dan Lebah, mau?”
jawabku yang berbalas anggukan penuh semangat dari Risa.

Seperti bunga dan lebah.


Ya, aku lebah dan ia bunganya. Atau mungkin sebaliknya. Aku tak peduli.
Simbiosis mutualisme, pikirku. Karena kami saling memberi, dan tanpa sadar saling menerima.
Lalu aku mulai meminta lebih banyak. Dan otomatis ia memberi lebih banyak.
Begitu yang kami lakukan sebagai bunga dan lebah.

Tapi aku sadar.

Mungkin aku bunganya.

Objek yang tidak akan pernah bisa berpindah tempat, hanya menunggu untuk disinggahi sesaat.

Ia lebahnya.
Hadir kala memang saatnya hadir. Pergi kala memang saatnya pergi.
Kala sang bunga menutup diri, berhenti untuk meminta, maka sunyi akan segera tercipta. Sang
lebah boleh pergi, mencari keindahan bunga yang lain.
Lalu sepi.
Risa menatapku dengan nanar, seraya berkata “Tuan Rifazi, sejak kapan kamu pandai bercerita
seperti ini?”.
“Sejak aku sadar, bahwa aku dan kamu hanya bisa sekedar menjadi teman, Nyonya Risa. Aku-
lah bunganya, dan tentu, kau lebahnya” ujarku, tentu saja hanya berani kusampaikan dalam hati.
Tentang Rahasia

Pagi ini nampak begitu cerah, Matahari mulai menampakkan sinar keemasannya.
Dua remaja tujuh belas tahunan sedang asyik bersenda gurau diatas sepeda yang
melaju kencang. Angin berhembus membuat jilbab keduanya berkibar dengan
anggunnya.
“Affa, kamu suka sama siapa sih? Kok selama kita berteman, kamu nggak pernah
ceritakan tentwang itu? Ayolah cerita Affa, aku penasaran!” sahut Putri sambil
mengayuh sepedanya.
“Duh Putri, ini sudah ke tujuh ratus tiga puluh lima kali kamu menanyakan hal ini
padaku. Sudahlah, tunggu saatnya saja, lagipula ummi bilang tidak baik
menggembar-gemborkan perasaan kita. Nanti jatuhnya bisa zinah hati tahu” jawab
Affa sambil melemparkan senyum kepada Putri.
“Yah kamu ini curang deh, selama ini aku kan selalu cerita sama kamu kalau
sedang jatuh cinta. Bahkan mungkin kamu juga masih hafal tiga belas pria yang
pernah aku sukai sejak masih TK. Affa curaaaang!” ujar Putri sambil bersungut-
sungut memperlambat kayuhan sepedanya.
“Haha, dasar Putri! Kan sudah kubilang tunggu saja nanti saatnya. Kau akan tahu
jika ada seorang pria gentle yang berani datang ke rumahku untuk menemui Abi
dan Ummi ku. Kamu tenang saja, kamu akan jadi orang pertama yang tahu tentang
itu. Percayalah padaku, Putri.” Jawab Affa dengan karakter tenangnya yang selalu
melekat pada dirinya.
“Yah, selalu saja begini. Tapi aku pegang janjimu ya Affa, awas saja kalau kamu
bohong!”
“Iya sahabatku tersayang” ujar Affa sambil menyunggingkan senyum terbaiknya.
Putri Khairunnisa dan Affa Safitri adalah pasangan sahabat sejak masih dalam
ayunan Ibunya. Ya, ibu mereka juga pasangan sahabat yang tak terpisahkan,
mereka saling mengenal sejak dunia putih-biru hingga sudah beranak dua saat ini.
Oleh karena ikatan itulah, Putri dan Affa layaknya saudara kandung, kemana-mana
selalu berdua.
Sudah tujuh belas tahun mereka bersahabat. Orang-orang di sekitarnya selalu
bingung melihat persahabatan mereka. Bagaimana tidak, Affa yang sangat anggun,
ramah dan tidak banyak berbicara bisa bersahabat dengan Putri yang urakan dan
iseng pada teman-temannya. Pernah suatu hari Putri membuat masalah besar di
kelas, lalu dengan tenangnya Affa yang membereskan semuanya. Affa selalu
menjadi malaikat penolong bagi Putri. Lalu mengapa Affa mau bersahabat dengan
Putri selama itu? Entahlah, itu tetap menjadi sebuah pertanyaan besar untuk teman-
temannya di sekolah.

“Affa, ayo cepat bereskan barang-barangmu! Ayo kita pulang, aku sudah lapar!”
teriak Putri dari luar jendela kelasnya.
“Iya Putri, sebentar. Kebiasaan deh kamu nggak sabaran kalau sudah jam pulang!”
jawab Affa seraya membereskan barang-barangnya.
Siang itu sangat terik. Para pengendara mobil dan motor rasanya sedang
berbalapan di jalan raya. Debu jalanan menghalangi pandangan mata. Affa dan
Putri menunggu bis di halte depan sekolahnya.
Affa mengambil dompetnya di dalam tas untuk menyiapkan ongkos pulang, namun
tak sengaja selembar foto terjatuh dari dompetnya dan terbawa angin terbang ke
jalan raya yang sedang ramai. Affa terkejut dan refleks berlari mengambil
selembar foto tersebut.
“BRAAKK!”
Terdengar suara tabrakan yang sangat keras.
Affa terhuyung bangkit di pinggir jalan. Orang-orang sudah mengerumuni jalan.
Affa melihat bercak darah di kaca mobil yang berhenti tepat di sebelahnya. Dan
Putri tersungkur tak berdaya di tengah jalan, darah segar terus mengalir dan
membuat jilbab putihnya berwarna merah.
Putri tertabrak mobil tepat setelah menarik Affa ke pinggir jalan.
Affa pingsan saat itu juga.

Putri tidak tahu, Affa menyimpan rahasia besar darinya.
Dia kah takdirku?

Fatimah Al-Khelaif lagi-lagi menolak laki-laki yang datang melamarnya. Ayahnya


benar-benar merasa malu akan sikap putri bungsunya yang satu ini. Sebenarnya
bukannya ia tak ingin menikah, tapi ia merasa takut mengalami hal yang serupa
yang dialami oleh kakak perempuannya. Hanya baru beberapa bulan saja mereka
menikah, tak lama kemudian mereka pun bercerai. Penyebabnya adalah sang suami
yang ringan tangan dan sering berkata-kata kasar pada istrinya. Padahal di awal
pernikahan mereka, ia begitu romantis dan sangat lembut terhadap wanita.

Kini dalam pikirannya, ia menganggap semua laki-laki sama saja. Mereka akan
berlaku manis untuk mendapatkan seorang wanita. Namun, jika ia telah
menaklukannya, wanita itu pun dicampakkan. Pikiran negatifnya akan laki-laki
semakin menguat dalam otaknya ketika dia banyak sekali mendapatkan e-mail dari
teman-temannya yang telah menikah. Mereka ternyata juga sering mendapatkan
perlakuan kasar dari suami-suami mereka. Hanya ada beberapa saja yang mengaku
bahagia dengan bahtera rumah tangganya, dan sisanya adalah keluhan dan
penyesalan.
Fatimah semakin yakin dengan pemikirannya. Ia bahkan mulai menolak untuk
bertemu jika ada laki-laki yang datang ke rumahnya untuk sekedar bersilaturahmi.
Padahal, laki-laki yang datang ke rumahnya bukanlah lelaki biasa, kebanyakan
para pejabat negara, baik dalam negeri maupun luar negeri . Ayahnya sudah kesal
bukan kepalang, tidak sedikit dari para lelaki yang datang itu marah dan
mengancam akan memutuskan hubungan kekerabatan. Saking kesalnya, Ayahnya
memutuskan untuk membiarkan Fatimah yang keras kepala, ayahnya sudah
menyerah mencarikan lelaki yang tepat untuknya.
Dalam hati Fatimah, sebenarnya ia merasa sepi. Sudah hasrat seorang wanita untuk
memiliki sosok lelaki yang melindungi. Namun ketakutannya jauh melebihi
keinginnannya sehingga ia bersikeras untuk tetap sendirian.
Suatu hari, Fatimah pergi ke suatu tempat menggunakan bis umum yang penuh
berdesakan. Fatimah mencari posisi untuk berdiri, namun sebelum ia sempat
menggerakan kakinya, seorang lelaki berbicara padanya.

“Maaf Ukhti, silahkan duduk saja di tempat saya, biar saya yang berdiri” ujarnya
sambil beranjak dari tempat duduknya dan mempersilahkan Fatimah untuk duduk.
Sepanjang jalan, Fatimah memperhatikan lelaki itu. Ia tidak duduk selama 2,5 jam
perjalanan. Sekalinya ada tempat duduk yang kosong, ia melihat-lihat dulu
sekitarnya, jika ada yang belum duduk maka ia tak akan duduk. Fatimah terpesona,
ia jarang melihat lelaki yang memiliki sikap seperti ini. Padahal di sekelilingnya
banyak lelaki muda yang pura-pura tertidur karena tak rela tempat duduknya
diambil orang lain.
“Akh, saya akan turun di halte selanjutnya, silahkan duduk saja di tempat saya”
ujar Fatimah kepada lelaki yang ia perhatikan.

“Tidak usah ukhti, saya juga akan turun di masjid depan. Sudah Adzan Ashar,
Allah sudah memanggil” ucapnya seraya berlalu, bersiap untuk turun dari bis.
Fatimah tertegun-tegun, untuk pertama kalinya ia mengagumi sosok lelaki yang
bahkan tidak ia ketahui namanya.
Hati Fatimah berdebar, ini yang pertama kalinya. “Dia kah takdirku? Lelaki
tampan nan sholih yang Allah titipkan untukku?” tanya Fatimah, berbisik dalam
hati.
Tapi sayang seribu sayang, ketika tangan kiri sang lelaki yang berhasil merebut
hati Fatimah mengangkat ranselnya, telah ada cincin perak yang melingkar di jari
manisnya.

Anda mungkin juga menyukai