Anda di halaman 1dari 3

Oke, hari ini dan kemarin berjalan biasa saja. Slow, nggak ada perubahan, dan tetep sama!

Alias monoton. Dia berjalan melewati lorong di sekolah barunya. Kini dia telah menginjak usia 16
tahun, tepatnya pada bulan Januari lalu. SMA barunya bisa dibilang SMA yang bonafit di salah satu
kota kecil di Jawa Tengah.
Tubuhnya nggak jauh beda dengan ukuran ukuran tubuh teman sebayanya. Kalau
dibandingin dengan adiknya, bisa ketahuan kalau tingginya itu menyusut perlahan. Dia paling tidak
mau kalau merepotkan orang tuanya. So, dia putuskan untuk naik kendaraan umum, meski dia tahu
if naik kendaraan umum harus oper satu kali. Itulah cikal bakal kulitnya berwarna sawo matang asli.
Dia suka nonton film action, dan kurang suka dengan film cinta cintaan. Horor juga. Why dia
kurang suka? Karena film cinta cintaan terkadang malah bikin orang yang nonton jadi terlalu
emosional. Kalau sedih bakalan sedih banget, sampai nangis malah. Kalo seneng mesti seneng
banget. Kadang, suka ngayal yang tinggi tinggi. Nah, kalo film horor, film nya itu terlalu dibuat buat.
Masak ada suster ngesot, suster keramas, nggak logis?! Besok besok mau ditambahin suster jualan
shampo, biar suster keramas yang keramas rambutnya jadi wangi. Heheh. Tapi itulah dunia
perfilman, nggak boleh diprotes. Toh juga bring negara tercinta ini, Indonesia, ke luar negeri. Kita
patut bangga dong! Tapi, kadang kalau pas ceritanya unik dan beda dia juga mau lihat ding. Buat
tombo penasaran, kalo orang jawa bilang.
Banyak orang yang says kalau dia, cewek berkerudung yang pendiem. Menurutnya, kalau
temennya udah kenal banget sama dia pasti dia tahu kalau dia itu sebenarnya nggak pendiem. Tapi
dominan kesikap cuek. And Here is.... Lia!!!
-=-=-
Udah kurang lebih, 3 bulan Lia resmi jadi murid SMA. Sekarang bulan Oktober, yap,
semuanya sibuk dengan urusannya masing masing. Sebentar lagi kan UTS, jadi wajarlah.
“Teeeet...”Yeah, bunyi bell ring menandakan kalau perutnya perlu diisi sesuatu yang
mengganjal for a moment.
Lia bergegas turun melewati tangga bersama teman temannya. Lia bercanda ria, cerita cerita
lucu, hingga nggak sadar kalau ternyata raganya udah sampai di ‘kopsis’(koperasi sekolah). Bola
mata Lia mondar mandir, bingung pilih donat yang mana?! Maklumlah, Lia ini salah satu manusia
penggemar makanan, yang ada campurannya coklat. Kalo nggak choki choki, donat, atau permen
emut, yang jadi favoritnya.
Setelah semuanya jajan, Lia kembali ke kelas. Pas perjalanan pulang, nggak sengaja Lia
berpapasan dengan gerombolan cowok di kelasnya yang nampaknya mau ke kopsis juga. Nggak
sengaja juga Lia memandang sekeliling, dan eh, ternyata daritadi ada sepasang mata yang kepergok
sedang menatap Lia dengan seksama. Alah, paling juga lihat something..
-=-=-
Setiap hari, Lia selalu bawa makanan yang dikemas rapi dalam box makanannya warna pink.
Dia punya kebiasaan unik, Lia kurang suka makan di atas, di meja. Lia nggak mau kalau makan itu di
tempat rame, (sebenarnya nggak rame sih, tapi kan punya perasaan kalau banyak tatapan mata
yang ngliatin), haduh pedenya. Dan herannya lagi, Lia jadi amsyong pas ada yang ngliatin, padahal
dia udah berusaha untuk ngindarin kalo diliatin orang. Eh, ternyata bener.
“Ngapain lihat lihat?!” Lia hanya meringis sambil cuek makan.
Laki laki itu hanya nyengir yang nggak Lia tau apa maksudnya.
-=-=-
Hari ini kebetulan pelajaran lagi padat padatnya, Lia cukup tabah dengan semua buku
bawaannya. Inilah salah satu penyebab, kenapa Lia tidak setinggi Atika Huliselan. Hmm, okey nggak
papa. Kalo pingin tinggi ya minta sama Allah dong. Heheh.
Tiba tiba, ada yang memanggilnya. Lia menoleh. Dilihatnya seorang cowok berkulit putih
yang selalu memandanginya. Ada apa ya? Apa Lia melakukan kesalahan? Hmm??
“Ehm... Lia. Aku suka sama kamu udah lama. Mau nggak jadi pacarku?” Cowok itu terlihat
memohon dengan khusyuk. Matanya tenang namun menunjukan kesungguhannya.
“Loh, apaan sih? Kok blak blakan banget. Kok bisa sih kamu suka sama aku? Kok aku bisa
nggak tau?” Lia tetap saja tidak percaya. Lia paling payah kalau urusan yang cinta cintaan kayak gini.
Lia nggak ahli.
“Udah nggak usah tanya. Mau nggak? Mau dong pastinya? Tau nggak, kamu cewek pertama
yang aku tembak. Masak nembak pertama langsung ditolak?” Lia semakin nggak tega. Lia ingin
berpegang teguh pada prinsipnya. Tapi.... Hmm.. Ini Sulit.
“Hai, jangan sedih gitu dong. Tau nggak kita bisa deket kok. Meski nggak jadi pacar. Tapi
sahabat. Sahabat itu hukumnya lebih kekal. To be your friend is like given a precious treasure.”
“Jadi, aku ditolak?” Cowok itu benar benar memohon. Lia semakin bingung. Dia bekerja
keras menyusun kata kata yang tidak membuat cowok itu sakit hati. Itu bisa fatal.
“Bukan, aku bukan nolak. Tapi nunda. ” Lia hanya tersenyum. Laki laki itu tetap terdiam. Dan
mendungkrukkan kepalanya. Lia tidak tahan dengan situasi ini. Rasanya ia ingin menghilang dan
meninggalkan moment moment seperti ini. Tapi dia tidak bisa. Ini sudah menjadi naskah Tuhan.
“So, jadi sahabatku?” Lia mengulurkan tangannya, lelaki itu tetap saja diam. Lia menjadi
takut. Akhirnya ditariknya tangan cowok tadi keluar. Dia menunjuk awan putih yang bergerombol
sambil tersenyum.
“Itu kita! Awan itu! Umpamakan awan itu adalah kita berdua. Mereka memang nggak selalu
menyatu. Tapi mereka bisa bersama. Mereka akan tetrtiup angin. Angin itu kuasa Allah, jika sudah
takdir, pasti awan itu menyatu. Jadi, maksudku adalah, kita bisa sahabatan dulu. Selanjutnya, kita
nggak tahu. Apakah kita akan menjadi satu atau hanya sebatas saling beriringan saja. Serahkan
kepada Allah.” Cowok tadi, lambat laun mengangkat kepalanya. Mencoba melihat awan yang sedang
Lia lihat. Dia hanya senyum masam. Tapi, Lia menjadi sedikit lega. Oh, syukurlah..
“Oke, aku setuju. Kita jadi sahabat. Yang forever ever after.”
“Oke, siapa takut!”
Oh, terimakasih Tuhan.
“Nah, gitu dong. Itu baru sahabatku. Sekarang udah sore, waktunya pulang. Yuk.” Lia kembali
ke kelas, diikuti cowok tadi. “Tapi, aku harus tau rumahmu. Masak saabatnya sendiri nggak tau
rumah sahabatnya? Jadi, pulangnya aku yang antar ya. Oke!”
“Siap bos!” senyum mengembang kini menghiasi wajah Lia. Dalam perjalanan pulang,
mereka tak henti hentinya cerita hingga ketawa ketiwi. Mereka seperti tidak kehabisan bahan cerita.

Thanks God!!! 

Anda mungkin juga menyukai