Anda di halaman 1dari 7

CERITA TENTANG PAPA

Oleh : Ofi Tusiana

Papaku memang ganteng. Di usianya yang menginjak 45 tahun,


Papa masih terlihat muda. Tubuh Papa tinggi, atletis. Gaya berpakaian
Papa keren, walaupun bukan tipe pria-pria metroseksual. Selera humor
Papa oke, selera musiknya juga. Pengetahuan Papa luas. Dari soal ilmu
gambar dan bangunan (tentu saja, Papaku arsitek), sejarah, politik,
hinggagadget dan sepakbola.
Pendeknya, Papa keren abis. Tak jarang, kala berbelanja sekeluarga
ke mall, aku mendapati mbak-mbak SPG berbisik-bisik sambil melirik ke
arah kami. Tepatnya ke arah Papa. Dalam hati aku sebal juga dengan
tingkah ganjen mereka.
Selain ganteng, Papa juga seru dan pandai bergaul. Temannya
banyak. Papa punya komunitas di mana-mana. Bahkan setahun ini beliau
menjadi ketua komunitas fotografi di kota kami.
Aku tahu, di antara teman-temannya yang banyak itu pasti ada
yang naksir Papa. Mbak-mbak SPG di mall aja suka ngeliatin Papa. Ah,
aku sebal kalau memikirkan soal satu ini. Sementara Mama keliatan
adem-ayem dan santai saja. Tetap tampil apa adanya dan tidak suka
dandan. Namun begitu, Mama tetap anggun dan kecantikan terpancar di
wajahnya yang teduh.
Suatu sore aku, Mama dan Papa jalan ke mall. Biasa, belanja
bulanan sambil refreshing. Pas antri di kasir, aku mengamati suasana
sekitar. Kulihat di kasir ujung, ada Tante Irma, teman kantor Papa dulu. Dia
bersama suaminya. Anehnya, sambil mengantri, pandangan mata Tante
Irma tertuju kepada Papa.
Ketika menyadari kehadiranku dan Mama, Tante Irma terlihat salah
tingkah. Menurutku itu aneh. Kenapa beliau tak menyapa kami saja?
Ketika akhirnya kami beranjak dari kasir , hatiku masih menyimpan tanya.
Ada perasaan tak nyaman menjalariku.
Besoknya, hari Minggu, aku mulai berlagak seperti detektif. Bangun
tidur, ketika Papa masih asik jogging bersama Mama, aku memeriksa
Blackberry Papa. Hmm, tak ada hal-hal aneh di sana. Siangnya Papa ada
acara bersama komunitasnya. Kali ini kesempatan buatku untuk mengexplore laptop Papa.

Deg! Jantungku serasa mau copot ketika aku menemukan file MSWords di Document tertanggal tiga tahun lalu. Surat yang ditujukan untuk
Tante Irma. Isinya semacam surat putus gitu deh. Kayak orang pacaran
saja, batinku kesal. Eh, what..? Pacaran..?? Berarti Papa...?
Darahku langsung terasa mendidih. Panas. Kuraih HP.
Rasti tau Papa udah selingkuh sama Tante Irma.
Sent.
Aku tak peduli reaksi Papa nanti ketika membaca sms-ku itu.
Ketika Papa pulang, aku heran mendapati beliau bersikap biasa saja.
Tadinya kukira Papa akan marah, apalagi sms-ku juga tidak dijawabnya.
Malam hari, ketika aku bersiap tidur, pintu kamarku diketuk.
Rupanya Papa.
Semoga Rasti mau mendengar penjelasan Papa, ujar Papa to the
point sambil mengambil tempat di ujung ranjangku. Aku diam saja.
Papa bercerita panjang lebar. Betul, surat itu memang ada, dan
akhirnya diberikan kepada Tante Irma. Juga betul, bahwa Papa pernah
terpeleset dan menjalin hubungan dengan Tante Irma. Walau cuma
sebentar. Sebelum akhirnya mereka sadar. Itulah salah satu alasan
mengapa Papa memutuskan untuk resign dari kantor dan membuka usaha
konsultan di rumah. Menjauhkan diri dari Tante Irma.
Rasti percaya Papa kan? Papa memang sempat khilaf, tapi cinta
Mama dan Rasti terlalu berarti untuk Papa sia-siakan. Maafkan Papa telah
pernah salah langkah, Papa mengakhiri kisahnya.
Mama tau semua ini Pa?
Papa memilih untuk tidak cerita kepada Mama. Tak ingin melukai
hati Mama. Yang penting Papa janji dalam hati, untuk menjaga hati Papa
dan keluarga kita agar tetap utuh.
Janji ya Pa? tegasku.
Papa mengangguk
dekapan hangatnya.

mantap,

sebelum

***

merengkuhku ke dalam

RAHASIA GERALD
Oleh : Nikmatus Solikha

Sudah seminggu ini aku menolak bicara dengan Gerald. Telpon dan SMS
darinya pun tidak pernah kubalas. Biarin aja dia tau rasa. Emang enak
dicuekin? Aku masih sebal karena dia nggak pernah ngaku apalagi minta
maaf karena sudah selingkuh dariku.
Ini bermula saat acara jalan bareng Gerald Minggu lalu. Seperti biasanya,
kami nongkrong di kafe langganan, memesan dua cangkir cappucino dan
kami akan banyak ngobrol sebelum pesanan datang. Seperti week
end sebelumnya, jalan bareng Gerald memang selalu menyenangkan, tapi
itu sebelum kejadian menyakitkan itu, saat Gerald mendadak mules dan
permisi ke toilet, meninggalkan ponselnya di meja dan aku iseng
membaca SMS-nya.
Aku nggak heran sih, kalau Gerald sampai punya yang lain, celetuk
Salmah, seperti memprofokasi. Heran, sebenarnya Salmah itu sohibku
bukan, sih?
Kok gitu?
Secara ya, Gerald itu ganteng, kaya, ketua OSIS dan jago basket. Pasti
banyak yang ngejar dia meski udah tau Gerald nggak jomlo.
Napasku tertahan di perut. Bener juga kata Salmah, Gerald memang
sangat berkilau. Mendadak aku ingin menangis sekencang-kencangnya.
Akankah ini jadi akhir hubunganku dengan Gerald yang sudah setahun
berjalan?
Mungkin Gerald udah bosen sama kamu, celetuk Salmah. Dan saat itu
aku sudah hampir meledakkan tangis, tapi urung saat kudengar sebuah

ketukan pintu di pintu kelas. Aku melihat bayang Gerald dari jendela
kelas.
Tanpa kusangka-sangka, pagi ini Gerald nekat masuk kelasku meski
pelajaran masih berlangsung.
Permisi, Pak. Gerald sudah di ambang pintu. Saya ada perlu sama
Nikita.
Di luar dugaan, Pak Gunawan yang terkenal killer itu mengijinkan. Sial.
Aku sebal setengah mati melihat Gerald melangkah ke arah bangkuku
dengan senyum berlesung kebangaannya itu.
Kita perlu bicara.
Aku tidak punya pilihan lain kecuali mengikutinya keluar kelas. Kami
berakhir
di
kantin
yang
begitu
sepi.
Gerald
membawakan
eskrim cup rasa strowberry kesukaanku, kalau tidak sedang kesal, aku
pasti langsung melahapnya dengan suka cita. Tapi kali ini, eskrim tidak
akan melelehkan hatiku yang terlanjur beku.
Dimakan dong, Nik.
Kamu salah kalau berpikir eskrim ini bisa bikin aku maafin kamu,
ketusku, sama sekali tak memandang ke larah Gerald.
Emangnya aku salah apa, sih? Gerald masih saja berlagak bodoh. Dasar
buaya. Sudah ketangkap basah, masih saja mengelak.
Kali ini pandanganku terarah pada Gerald. Kamu sudah selingkuh di
belakangku, kan? kunaikkan nada suaraku sampai ibu kantin pun ikut
terlonjak kaget.
Selingkuh? Gosip dari mana itu? kesal Gerald. Ia terdengar berdecak
beberapa kali.
Itu bukan gosip. Aku tau sendiri.
Gerald terlihat heran. Aku masih nggak ngerti sama tuduhanmu.
Aku baca SMS-mu. Dan aku sudah nggak butuh penjelasan lagi. Aku
bangkit dan nyaris meninggalkan kantin kalau saja Gerald tidak menahan
lengan kananku.
SMS yang mana? Kebetulan aku belum menghapus daftar pesanku.
Gerald
merogoh saku
celananya dengan
sebelah
tangan
dan
menyerahkan ponselnya padaku. Aku menerimanya dengan berat hati,
masih jelas dalam ingatan tiap kata-kata mesra di kotak masuk SMS
Gerald, itu cukup membuatku terluka.

Dan
sekarang
aku
harus
membukanya
lagi. Aku
membuka inbox dari Fairy dan
mambacanya
lantang,
Selamat
pagi Matahariku. Sudah sampai sekolah? Tetap jaga kesehatan ya,
Sayang. Jangan jajan sembarangan.
Aku bisa melihat Gerald menelan ludah. Huh, gimana rasanya ketahuan
hidung belang? Aku lanjutkan membaca SMS selanjutnya. Sayang,
jangan tidur kemaleman. Nanti migrennya kambuh.
Aku berdecih. Cih, sok perhatian banget. Aku baru akan membaca SMS
mesra lainnya, namun Gerald sudah berteriak, STOP! Please, jangan
keras-keras bacanya. Ntar ketahuan kalau aku anak Mami. Image-ku bisa
hancur.
Aku melongo menatapnya. Maksudnya dia bukan...
Muka Gerald memerah. Si ketua OSIS yang jago basket dan tae kwon do
itu ternyata... punya rahasia.

***

Cerpen dan Kertas Buram


Oleh : Nikmatus Solikha

Sweet moment? Ah, terlalu banyak hal manis dalam hidup ini
sebenarnya. Tinggal bagaimana kita menikmatinya saja.
Tapi, di antara yang manis pasti ada yang paling manis. Tentu saja.
Aku merasakannya belum lama ini.
Oke, aku akan menceritakan detail episode sweet moment dalam
hidupku.
Ini terjadi di sela kesibukanku sebagai pedagang sayur eit, jangan
tertawa! Bagaimana pun juga aku bangga dengan pekerjaanku lepas
shubuh, sudah bergelut dengan waktu, terburu menuju tempat dagang
dan mulai rutinitas monoton; berdebat kusir dengan puluhan ibu-ibu yang
memiliki bakat alami dalam menawar harga sayuran. Itu berlangsung

hingga pukul setengah tujuh pagi. Saat jam menunjuk waktu itu, berarti
akufree! Tinggal menunggu jemputan.
Biasanya jemputan datang sektar pukul tujuh pagi. Di sela waktu
menunggu jemputan itulah aku duduk beralaskan karung beras sambil
termenung. Melamun mengamati orang-orang berlalu lalang. Bertumpu
dagu dengan pikiran menerawang. Beberapa orang lewat meledekku
dengan senyum genit, ada juga yang sambil bersahut, Ciee... cieee...
ngelamunin siapa?
Mungkin berpikir aku tengah melamunkan si doi. Salah besar
mereka! Sebenarnya saat itu, aku tengah menggali ide. Seperti ada yang
berkelebat dalam otak, menuntut hak untuk segera dituang. Hanya saja,
saat itu aku tidak bisa melakukan apa pun. Aku tidak membawa laptop.
Hingga solusi itu muncul! Seperti ada bola lampu kasat mata yang
berbinar di atas kepala. Semangatku kontan menyala saat kuamati
tumpukan kertas buram yang biasanya kugunakan untuk membungkus
cabe. Aku meraihnya, mempertemukannya dengan pasangan layaknya;
pulpen yang memang selalu terselip di tas. Ah, aku tidak lebay jika
mengatakan bahwa ide yang berkelebat di kepala itu rasanya seperti
membuatnya hampir meledak. Untung aku menuangkannya lebih dulu.
Satu lembar poin-poin penting untuk membuat cerpen selesai beberapa
menit kemudian.
Saat sampai di rumah, tak sabar lagi rasanya bertemu dengan
belahan jiwaku; laptop. Segera saja kutulis apa yang mengganjal pikiran
saat itu.
Dan, dengan bantuan kertas buram bungkus cabe tersebut,
rasanya ringan sekali menuangkan semua ide dalam pikiran. Jari-jari
bergerak luwes selama satu jam setengah dan, selesai satu cerpen!
Kepuasan hati karena aku mendapatkan ide tersebut di tempat
dagang dan sarana yang membantuku adalah kertas buram bungkus
cabe! Hal yang benar-benar sepele!
Dan puncak dari sweet moment itu sendiri adalah ketika dua
minggu kemudian, kuketahui bahwa cerpen tersebut nampang di salah
satu majalah remaja. Astaga, aku girang tingkat dewa! Rasanya aku ingin
semua orang tahu betapa senang hatiku saat itu. Ya, itu memang
kulakukan dengan update status berisi kabar bahwa cerpenku dimuat.
Hahaha... narsis ya? Biarin! Yang penting senang.
Ya, sampai saat ini yang kuanggap merajai sweet moment dalam
hidupku adalah saat mengingat cerpenku. Hingga saat ini, ada rasa

senang jika melihat kertas buram. Rasanya aku bernafsu ingin mencoretcoret saja jika melihatnya tergeletak tanpa guna.

***

Anda mungkin juga menyukai