Anda di halaman 1dari 6

Mon Frère1

Oleh Francesca Diva Rachmaputri

Derik jangkrik bersahutan selagi aku berusaha mengintip celah kotak surat merah di
depan rumah. Aku berjengit, beberapa ekor dari mereka saling himpun pada permukaan hijau
rumput liar. Sekarang bukan musim kawin serangga―bagiku yang hobi menangkap kepik
untuk dikoleksi pasti hal itu akan cukup membuat senang, tapi ini jauh lebih penting daripada
itu. Bahkan berita bahwa ayah akan memasangkan parabola untuk disambung ke televisi
belum ada apa-apanya.

Kakakku mengirim surat balasan langsung dari Hokkaido. Sayangnya belum sampai.
Aku melongok sekali lagi. Hanya ada sarang laba-laba yang menempel disuraiku,sejenak aku
pikir rambut dipadu helaian putih seperti cewek punk-rock era Dorothy Magnolia Berjaya
atau Isabel Curvas. Aku kenal nama-nama aneh itu karena kakak menyimpan setumpuk
kepingan CD bajakan di kolong tempat tidurnya. Bila dibandingkan dengan kami sekeluarga,
selera musik kakak memang terbilang paling aneh. Orangtua kami membesarkan dia sembari
menyetel alunan seruling dengan suara nyaring Teresa Teng yang menjadi pelengkapnya.

Aku sendiri tidak punya seseorang untuk dijadikan idola. Tapi aku punya seorang
penyanyi laki-laki yang membuatku jatuh pada suaranya. Sekali, dua kali, tiga kali. Berkali-
kali hingga aku lelah dengan hitunganku namun dia selalu berhasil menciptakan sesuatu
dengan suaranya hingga mengaguminya saja belum cukup. Kakakku. Dia kerap melantunkan
lagu secara acak, entah milik siapa, lewat alat musik termahal yang ada di dunia: suaranya. Di
kamar. Di kebun belakang. Di ruang makan. Do-re-mi-fa-sol miliknya menggema di
kamarku, memantul dengan perantara dinding dan menjadi pengantar tidurku. Suaranya
adalah candu. Morfin saingannya. Nada-nadanya kadang terdengar sumbang jika flu
menyerangnya di musim dingin.

Penyanyi itu mengajariku banyak hal. Usianya sepuluh tahun saat dia memberitahuku
caranya merangkak dengan lutut dan pergelangan tangan. Saat dia berhasil lulus dari Sekolah
Menengah Atas, aku masih termenung di Sekolah Dasar. Kembali ke surat… seharusnya
surat itu datang sore ini. Kotak berwarna merah itu cuma diisi gelap, masih kosong.
Sepertinya tukang pos distrikku belum datang, aku tak mungkin memaksa Paman Gu
mengayuh pedal lebih cepat hanya demi surat itu. Paman Gu sudah semakin tua dan ringkih.

Aku telah mengantisipasi beberapa hari sebelum ini. Yang kunanti hanya secarik
surat, namun tetap sukses membuat gelisah. Peluh turun lewat celah pelipis, kepalaku
mendadak gatal. Ujung kaosku terpelintir dan lecek karena kutaut erat seperti kertas yang
diremat. Lama-lama aku jadi sebal. Kakakku bilang kali ini dia mengirim dengan jasa cepat
sebab tidak mau membuatku menunggu lama.

1
Saudaraku (bahasa Prancis)
Aku baru mau melangkahkan kakiku ke pintu untuk kembali masuk ke dalam rumah
sebelum Paman Gu dengan lantang memanggilku dengan sebutannya yang biasa, “Hei Chen
bocah layangan!” ban sepedanya berdecit dan menerbangkan sedikit debu. Awalnya aku tidak
mengerti mengapa julukan bocah layangan bisa menjadi panggilanku tapi Paman Gu malah
nyengir saat kutanya. “Itu karena dulu kamu pernah hampir terbang dibawa angin saat
bermain layangan di lapangan kampung!” ucap Paman Gu sambil tertawa puas. “Pas sekali,
Chen. Ini suratmu.” Paman Gu menyodorkan amplop putih bersih dengan perangko
bergambar pesawat di sisi kanannya. Sebelah kanan bawah terdapat pinyin2 bertuliskan
namaku: Du Zhong Chen, lengkap dengan alamat rumah. Ku lihat tangan Paman Gu
gemetaran, mungkin dia butuh istirahat setelah berkeliling kampung mengantar surat-surat.

“Terimakasih, paman.” Senyum tidak dapat dicegah dari bibirku. Lebar sekali.
Segera setelah Paman Gu pergi, raut wajahkuyang tadinya keruh seperti comberan mendadak
sebening hujan. Selebrasi! Akhirnya. Akhirnya. Akhirnya. Meski untuk orang lain ini tak
lebih dari secarik kertas, surat ini mampu melonjakkan jantungku. Pintu geser rumah kugeser
cepat, masa bodoh untuk menutupnya lagi. Biar mama saja. Aku terlalu tidak sabar ingin
membaca surat kiriman kakak.

“Sayang, apa surat nya sampai?” Suara ibu menginterupsiku. Dia mengenakan
celemek motif kembang-kembang, baru selesai menggoreng ikan dan aku tidak rela surat ini
jadi bau amis jika kena tangan mama. Jadi aku hanya meneriakkan, “Ya!” dengan keras
sambil terus berlari menuju kamar. Setiba di kamar aku langsung menyandarkan tubuh di
tembok dekat jendela. Musim panas. Surat dari kakak sudah datang. Sudah delapan tahun
sejak terakhir kali aku melihat kakak, menatap punggungnya pergi meninggalkan rumah.
Kami terus bertukar surat sejak saat itu. Surat-surat ini yang menjadi alat penghubung aku
dengan kakak.

Paru-paruku sesak saking bahagianya. Perutku melilit, sedikit mulas. Aku mengatur
napas. Dengan hati-hati kurobek tepi amplop, nanti bekas robekannya akan kusimpan baik-
baik bersama tumpukan surat yang kakak kirim sebelum-sebelumnya. Sepele, tapi mereka
bisa jadi berguna kalau aku merindukan kakak. Ada yang istimewa dari surat kakak. Setiap
surat pasti harum. Bau kayu manis yang menyejukkan kalau dihirup. Tetapi surat yang ini
memiliki wangi berbeda. Aku penasaran apakah kakak mengganti parfumnya? Maskulin, tapi
lebih cenderung manis. Aku memejamkan mata lalu kupeluk surat kakak. Aku mulai
mengeluarkan secarik kertas dari amplop. Aku menghela napas, tulisan tanganku benar-benar
buruk jika dibandingkan dengan tulisan kakak yang rapih dan ramping. Satu hal yang jangan
dilewatkan dari surat kakak adalah dia selalu memulai suratnya dengan panggilan dari nya
untukku yang cukup menggelikan.

Untuk adikku yang paling nakal dan yang paling kusayang,

Apa yang kau lakukan di musim yang terik ini? Aku penasaran apakah surat ini
sampai padamu dengan mulus, membayangkan bahwa adik kecilku menunggu dengan

2
Aksara Cina
cemas di depan kotak surat, membuatku senang. Jika tidak, hari ini tentu tidak ada
gunanya mengirimkan surat seperti ini padamu setiap tahun.

Aku justru bertanya-tanya apa dia tidak merasa aneh setelah beberapa tahun berlalu
aku masih akan sama seperti dulu. Biar pada kenyataanny aku memang selalu menunggu
suratnya sampai. Tapi, hei, aku tidak kecil lagi dan punya firasat bahwa tinggi kakak akan
terbalap olehku. Lihat saja.

Hmm, aku bingung. Apa yang harus kutulis ya? Pikiranku sedang benar-benar kosong
sekarang. Aku sedang makan semangkuk ramen kiriman dari teman sekantor. Jika ada
noda tumpahan saus muncrat dari botol, maaf ya.

Aku membolak-balikkan surat kakak. Itu dia. Ternyata ada di belakang, bekasnya
tidak terlalu besar. Hanya berupa tumpahan kecil yang membekas, samar-samar karena
sepertinya kakak langsung mengelapnya dengan tisu ketika sadar. Omong-omong soal ramen
aku jadi ingat kakak adalah pemasak ramen yang paling handal di dunia. Kakak itu lelaki tapi
pandai memasak, lidahnya termasuk lidah koki. Kakak telah jago menyulap bahan-bahan
menjadi menu makanan yang menurutku tidak kalah dibanding restoran di pusat kota. Kakak
tidak pernah ikut les, dia hanya melihat buku resep dan dengan keberaniannya yang penuh
menggerakkan tekad dalam diri. Makanan pertama yang berhasil dibuatnya adalah pudding
rumpul laut dengan lelehan coklat di atasnya.

Kakak senang sekali memasak untuk kami sekeluarga. Masakannya dapat


mengalihkan ayah dari korannya. Mama akan menyendokkan nasi ke dalam mangkukku,
kakak melakukannya untuk ayah, kemudian kami akan hening beberapa saat untuk berdoa.
Ucapan “Selamat makan!” paling keras sudah pasti dariku.

Nama nya Du Qing Zhu. Atau kerap dipanggil Zhu-ge3. Dan aku benar-benar
menyayanginya. Tiba-tiba aku teringat saat dulu kakak berkata akan segera pergi.

Aku marah besar hari itu saat kakak bilang minggu ini adalah minggu terakhirnya
berada dirumah. Dua hari lagi dia berangkat ke Jepang untuk bekerja. Sebulan lalu, dia lulus
dari sekolah menengahnya dengan hasil yang memuaskan. Seharusnya dia bisa menetap
disini, meneruskan sekolah ke universitas dengan jurusan yang dia minati. Mama
menyuruhnya masuk Universitas Nanjing, dan kemampuan kakakku tentu melampaui jika
hanya ikut ujian masuk, prestasinya selama bersekolah patut diacungi jempol. Kakak
dipanggil banyak perguruan tinggi yang berminat merekrutnya. Ayah bahkan berjanji akan
membiayainya dengan mengambil kredit pinjaman di bank tempatnya bekerja jika kakak
mengambil fakultas kedokteran di Universitas Nanjing. Namun kakak menolak tawaran-
tawaran itu dan lebih memilih mencari kerja. Kami bukan keluarga melarat tapi bukan berarti
orangtuaku kelebihan uang. Menguliahkan kakak berarti ada tanggungan tambahan; untuk
bayar sewa flatnya di kota, uang makan dan uang beli buku, dan lain-lain.

Dia paling mengerti aku. Tidak sulit untuknya menemukan tempat persembunyianku
ketika merajuk. Dia berjinjit, aku duduk membelakanginya, “aku tahu kau datang…”
3
Kakak laki-laki (bahasa Cina)
Kakak mengulum bibir bawahnya, “Padahal aku berniat mengagetkanmu. Chen
sedang apa?”

“Berhentilah berusaha mengganti topik. Mengapaa kakak harus pergi sejauh itu?”
Kami berhenti saling membelakangi walau aku masih membuang muka. Kakak tersenyum
dan menangkup wajahku dengan tangannya yang halus. “Karena jika aku tidak pergi, kasihan
adikku.”

Alisku berjengit karena tidak mampu menangkap maksud kakak. “Aku malah lebih
senang kalau kakak terus berada di rumah ini. Aku bisa bermain denganmu. Kita akan
berburu kepik di semak-semak dekat sungai, atau mencari daun maple kering di halaman
belakang.” Aku masih terus mencoba menawar.

Helaan napas. “Apa kau tahu alasanku ingin mencari kerja di luar negeri? Supaya aku
bisa dapat uang lebih banyak daripada cuma dapat honor biasa. Mereka yang lulus sekolah
tanpa kuliah pasti diremehkan. Dianggap tidak punya pengalaman. Padahal belum tentu
lulusan sarjana pun bisa bekerja kreatif,” lalu kakak terdiam. Aku bertanya lagi, “bukankah
dulu kakak pernah bilang kalau akan menjadi koki di restoran di pusat kota?”

“Memang. Tapi bayaran sebagai koki di Cina masih lebih rendah dari menjadi pekerja
di Jepang. Aku ingin punya tabungan yang banyak. Kita bisa membangun istana bawah laut
dan berkuasa seperti Poseidon, hehehe.” balas kakak separuh bercanda. Kakak memang
pemimpi besar. Aku cemberut. “Bukannya sama saja? Di Jepang nanti kakak juga tidak
kuliah.”

“Aku kuliah,” ujarnya lembut, “aku akan mencari kerja paruh waktu. Itu kerja yang
tidak memakan sepanjang hari untuk melakukannya. Kalau perlu aku keliling sana-sini. Toko
bunga, kedai minum, atau menjadi penjaga perpustakaan kota. Aku tidak yakin akan
langsung diterima, tapi aku akan berusaha. Nanti, saat uangku sudah menggunung, aku akan
mengirimkannya lewat wesel pos dan kita akan bertemu kembali sewaktu celengan babi
milikmu sudah penuh. Chen hanya perlu berdoa, ya?”

Kami sama-sama diam. Kakak pernah bilang, untuk menjadi orang hebat aku harus
sekolah dengan benar. Dia bercita-cita melihatku bahagia, untuk hidup nyaman di masa
depan. Walau dia tidak pernah mengatakannya secara blak-blakan tapi aku tahu, kakak
mengalah demi aku. Dia tidak kuliah bukan karena tidak mau; dia tidak kuliah agar ayah
tidak perlu menarik pinjaman, supaya mama tak usah mecemaskan pengeluran setiap bulan,
supaya aku bisa terus melangkah ke depan tanpa hambatan. Celengan babi yang kakak
maksud adalah guci tanah liat hasil prakaryaku semester kemarin, dan dia tahu persis aku
jarang memasukkan sisa uang jajan ke celengan itu. Malam itu aku tidur dengan bantall basah
oleh air mata.

Keesokan paginya, aku terlambat bangun. Bisa kulihat kakakku sudah berpakaian
rapih dan rambut yang ditata. Aku hanya menangis, mataku seperti keran terbuka dan
hidungku bocor dengan ingus. Mama tepat dibelakangku dan hanya bisa menatap kakak
dengan sedih. Ayah telah siap dengan mobil boks yang disewanya untuk mengangkut barang-
barang kakak. “Kalau begitu..” kucengkram rok ibu kuat-kuat, kakak tidak melepas
pandangannya dariku, “aku akan berangkat sekarang.” Aku menghambur padanya dan
memeluknya dengan sangat erat. Aku tidak mau dia pergi. “Aku akan menulis surat yang
banyak untukmu, Chen.” Kakak mengelus kepalaku, detak jantungnya dapat kurasakan saat
aku bersandar di dadanya. Dia tidak bergerak untuk menjauh meskipun aku mulai membasahi
pakaiannya.

“Chen,” dia membujukku, mengulang-ulang namaku persis kaset rusak. Bedanya,


suara kakak jauh lebih enak didengar daripada saluran radio manapun. Kakak terus mengusap
rambutku sayang dan menunggu dengan sabar hingga aku akhirnya menyerah dan
mengatakan, “baiklah.”

Aku berusia enam belas tahun. Hari ini sudah delapan tahun sejak kakak
meninggalkan rumah. Selama delapan tahun kakak telah melewatkan banyak hal terjadi di
kota kami. Dulu setiap sore aku menunggu kepulangan kakak, ada dua buah es loli
ditanganku. Sampai esku mencair seluruhnya, kakak tidak kunjung tampak. Mama hanya
berkata mungkin aku belum beruntung. Jadi aku kembali mengulangnya besok dan berhenti
menunggu saat usiaku dua belas tahun.

Ah, sudah cukup mengingat masa lalunya. Sampai dimana suratnya tadi?

Apakah masih suka mi warna-warni yang dulu sering kita makan? Kutebak kau masih
menyukainya. Chen, aku akhirnya mendapatkan proyek di lokasi baru. Dan kau tahu
dimana? Di kampung kita, Chen! Perusahaan tempatku bekerja akan membangun
beberapa bangunan disana. Memikirkan bahwa aku akan pulang membuat mataku
berkaca-kaca.

Kakak menangis? Karena dia rindu kampung halamannya? Setahuku kakak bukan
tipe yang hobi menangis, aku sendiri tidak pernah melihatnya menangis. Aneh.

Chen… Mimpiku telah menjadi nyata. Kau juga seharusnya senang.

Suratnya kubentang dengan dua tangan. Dia menulis mimpinya sudah menjadi
kenyataan. Aku tahu. Sepertinya keputusannya merantau ke negara tetangga memang bukan
sembarangan. Dia berani ambil resiko lalu pulang membawa harapan. Dia berhasil.
Karakternya yang berani dan gigih menyadarkanku. Kalau dia saja berusaha mati-matian,
tidak ada alasan aku untuk malas-malasan.

Oh ya, kau tidak perlu membalas surat ini. Aku akan membiarkanmu menyimpan
surat ini semenjak ini akan jadi yang terakhir. Aku menyukai seluruh balasan yang
kau tulis dengan hati-hati dan kau kirimkan padaku. Aku percaya kau akan baik-baik
saja bersama mama dan ayah sampai nanti kita berjumpa lagi.

―Salam sayang, Zhu-ge.

Kurasakan ada selembar kertas lagi dibelakangnya. Ini pertama kalinya surat kakak
berjumlah dua lembar. Yang ada di halaman kedua adalah sebuah foto. Jadi, begini wajah
kakakku sekarang? Ini bisa dibilang pertama kali juga aku melihatnya setelah dia pergi; dia
belum pernah memberiku fotonya. Aku mungkin harus mengubah bayangan kakakku yang
lama setelah melihat foto itu. Dia agak berbeda dari kakak delapan belas tahun dalam
ingatanku.

Tes. Tes.

Air mataku menetes lagi.

Sesuai janjinya dalam surat, malam itu kakak pulang. Dia nampak persis seperti di
foto dan terheran-heran melihatku hanya diam saja. Dan sesuai tebakan tubuhnya sekarang
jauh lebih pendek dariku. “Oh Chen, kukira kau akan menghambur padaku dan memelukku
erat-erat atau apalah. Hahah” Kakak memecah keheningan. Aku melangkah menujunya. Lalu
berhenti tepat sejengkal di depannya. “Chen, ada apa?”

Kubiarkan dia bertanya-tanya sambil aku mengerat kemejanya. Aroma yang menguar
dari kakak sama seperti bau surat yang kubaca tadi siang. Langsung kupeluk kakak erat-erat.
Tuhan, aku rindu kakak. Dia tidak langsung membalas pelukanku tapi malah tersenyum
beberapa lama. “Kau ini… sama sekali belum berubah, ya, adik kecil.”

Makan malam kali ini sedikit lebih mewah ketimbang sebelumnya.

Setelah makan malam selesai aku dan kakak menuju ke kamar tidurku. Mulai hari ini
kakak akan tidur bersamaku, dengan futon yang digelar berhimpitan satu sama lain.

“Ya ampun, ini seperti kembali ke masa lalu!” seru kakak gembira. Alas tidur, sudah.
Kipas angin tenaga alam, sudah. Kakak juga sepertinya sudah siap untuk tidur. Tapi
sepertinya ada yang kurang… Apa? Apa? Oh! Aku bangkit dengan langkah lebar.

“Hm?”

“Jangan mengintip!” kataku pada kakak yang penasaran dengan apa yag kulakukan.

Selesai. Sebentar lagi selesai.

Ku gerakkan pena di atas selembar kertas sambil berusaha untuk membuat tulisan
yang rapih. Memasukkannya ke amplop kecil tanpa perlu merekatnya dengan lem.

“I-ini” Aku berguling dan menyelimuti tubuhku rapat seperti kepompong. “Selamat
tidur, Zhu-ge.” Aku tidak tidur sama sekali, karena niatku ingin menguping. Sayangnya, aku
tidak mendengar apapun setelah dia mengeluarkan kertas itu, namun aku bisa mendengar
kekehannya setelah membaca apa yang kutulis. Biarlah ini menjadi surat balasan terakhir.

Selamat datang.

End

Anda mungkin juga menyukai