Anda di halaman 1dari 6

ORANG-ORANGAN

Cuaca cerah sore itu membuatku dan penumpang lainnya bersyukur untuk satu juta rupiah
yang sudah kami rogoh hanya demi melihat hamparan berhektar-hektar sawah dari jendela
kereta yang kami tumpangi. Bagus betul waktu yang dipilih oleh perusahaan kereta api itu
untuk mempromosikan layanan terbarunya. Hamparan padi di sisi kiri dan kanan kereta
memang sedang gemuk-gemuknya. Bernas dan kuning seperti kutu-kutu berdandan emas
yang cantik dan subur.

Orang-orang ini--yang kebanyakan berasal dari kalangan pekerja kantoran dan beberapa di
antaranya lansia yang dijanjikan lanskap matahari terbenam oleh anak atau cucunya--dipaksa
percaya bahwa kota ini menjual sepotong kedamaian dan istirahat di tengah inflasi,
persaingan, bencana alam, gelombang PHK, hutang keluarga, kriminalitas yang tinggi hingga
bahkan seks yang hambar di tempat tidur.

Jika orang lain di dalam kereta itu juga ada yang suka menuangkan pengalamannya dalam
bentuk tulisan sepertiku, aku percaya kalimat seperti yang sudah kusajikan ini merupakan
suatu pembuka yang lumrah. Sejak suka dan duka hidup serupa udara yang kita hirup, kupikir
beberapa orang memang dipakai Tuhan untuk menyuarakan ironi dengan lebih legit.

Namun, perihal sawah. Aku yakin bisa mengingatnya lebih dari seisi kereta itu atau lebih
tepatnya, aku tidak akan pernah tidak mengingatnya.

Seketika aroma roti daging yang mereka sajikan berganti menjadi aroma rumput, bau apek
kain penutup kepala dadong1, tahi kerbau, aroma tanah dan lumut tempat tumbuhnya
kangkung-kangkung liar yang juga menerima aliran air dari WC Pak Mantri. Otakku
memilah-milah bau-bauan itu--juga bau lain yang sejauh ini telah sebisa mungkin ditangkap
oleh indra penciumanku--lalu menyimpannya dalam laci yang berbeda-beda. Laci-laci itu
telah kukelompokkan menjadi dua bagian besar sejak masa kecilku. Di luarnya kutulis
'Aroma Busuk' dan satu lagi 'Aroma Sedap'.

Aku juga mengingat apa yang sudah kulihat. Tuhan mungkin terlalu jauh, tetapi orang-
orangan sawah begitu dekat dengan keseharianku hingga untuk melupakannya adalah hal
yang mustahil. Setiap siang sepulang sekolah, sekental ingatanku, tugasku adalah
mengantarkan teko berisi air minum untuk dadong, kadang juga beberapa gumpal tembakau
dan sirih untuk membuatnya lebih betah menjaga sawah. Di sampingnya tanpa mengatakan
apa pun, aku akan memperhatikan cara dadong bekerja.

1
Dadong: nenek
Biasanya, sambil memindah-mindahkan tembakau dari satu sisi mulutnya ke sisi yang lain,
dadong akan berteriak sambil menggoyang-goyangkan senar yang terhubung dengan leher
orang-orangan sawah di depan kami. Boneka kayu dari tempurung dan kain-kain perca itu
bergoyang-goyang mengusir belalang, pipit, dan tikus-tikus bengal di sekitarnya. Kadang aku
mendengar suara dadong seperti ringkih kuda yang perkasa, yang tersembunyi di balik
tulang-tulang kurusnya. Sering juga kutiru dan itu membuatnya tertawa sembari
memamerkan gusi-gusi tak bergiginya yang memerah padaku.

Oleh karena semua itu pula aku terbiasa memasangkan gambar dadong dengan sawahnya.
Pekak2 tak sempat kulihat. Mereka hanya bilang ia pria tua yang bongol3 dan humoris serta
senang menyabung ayam di ujung kampung. Selebihnya, aku percaya petak-petak sawah
yang tak sampai setengah hektar itu memang ditakdirkan untuk dadong dan demikian pula
sebaliknya. Dadong untuk sawah.

Aku boleh-boleh saja menghubungkan gambar dadong dengan rumah tempat kami tinggal,
tetapi semua rasanya kontras dan menyimpang. Hanya sawahlah yang menyambutnya tanpa
ba bi bu, jauh dari bentakan ibu yang diam-diam memarahinya saat ayah tak ada, atau
memisahkan piring dan lokasi makan dadong jauh-jauh dari kami. Jauh dari ayah yang tak
ingin repot-repot mengikutsertakan dadong di setiap acara piknik keluarga hanya karena ia
lamban dan terkadang suka mengompol.

"Dadong ndak marah sama Mamak sama Bapak?" kataku suatu hari.

Orang tua itu hanya menatapku sambil tersenyum, seolah-olah itu hanyalah pertanyaan
retorik yang dilontarkan anak kecil berbau kencur.

Jika kuingat-ingat kembali, hampir bisa kupastikan bahwa orang-orangan sawah itu dianggap
dadong sebagai representasi pekak. Pernah suatu kali hujan lebat disertai angin kencang
memorak-porandakan susunan orang-orangan itu. Keesokan paginya, dadong tergopoh-
gopoh memungut komponen demi komponennya, menyatukannya lagi sambil berbicara hal-
hal yang tak kumengerti dan seingatku--semoga aku tak salah--dadong memeluknya.

Beberapa tahun kemudian saat aku SMA, dadong meninggal di usia yang memang sangat
matang dan begitu siap untuk dipetik. Aku menangis seperti anak kecil. Namun, aku bahkan
masih sempat-sempatnya mendapati ibu yang merokok di depan kamar mandi sambil

2
Pekak: Kakek
3
mengeluhkan lelahnya menghadapi macam-macam ritual adat dalam melepas-pergikan
mertuanya itu.

Kontradiksi terjadi di beberapa tahun berikutnya saat ayah mencalonkan diri sebagai anggota
dewan dan kami sekeluarga sibuk melangsungkan ibadah di pura, mempersembahkan banten4
dan dupa lantas mengatupkan tangan, tetapi fokusku beralih kepada mereka berdua yang
begitu gigih memohon restu. Saat itu aku sudah di bangku kuliah. Dari kacamata bernama
perspektif yang berkembang dalam diriku, aku menggambarkan ibu seperti pengemis yang
minta agar dirinya dijadikan istri anggota dewan demi bisa berfoya-foya dengan teman-teman
arisannya dan ayah di sampingnya, tidak lebih baik.

Otakku memilah-milah penglihatan-penglihatan itu--juga penglihatan lain yang sejauh ini


telah sebisa mungkin ditangkap mataku--lalu menyimpannya dalam laci yang berbeda-beda.
Laci-laci itu telah kukelompokkan menjadi dua bagian besar sejak masa kecilku. Di luarnya
kutulis 'Pemandangan yang baik' dan satu lagi 'Pemandangan yang buruk'.

Saat ini, aku sudah bekerja di sebuah kantor pemerintahan di ibu kota. Gajinya lumayan besar
untuk seseorang yang hanya berpengalaman menjaga neneknya dan kasir minimarket.
Mungkin pula karena hari itu, saat kami bersama-sama mengatupkan tangan di pura, hanya
aku sendirilah yang berniat untuk terbebas dari tetek bengek kepalsuan di rumah, atau kalau
memang bangunan ini masih bisa disebut rumah. Terbebas dari anggota dan dewan dan
istrinya yang megap-megap membangun citra.

Aku melewati fase-fase kejutan budaya yang mendebarkan. Lebih dari dompetku yang
dicopet atau jembatan yang sibuk menimang sebuah kehidupan di bawah tiang-tiangnya, aku
melihat begitu banyak orang-orangan sawah.

Bosku terbiasa berkata, "Besok sama klien itu rapat di puncak jam 8. Saya enggak mau tahu.
Jam 6 harus udah start, ya?"

Atau kepada kolega wanitaku, "Kamu bisa kan, enggak kelihatan pucat gitu. Make up kamu
di-improve lah, Sel."

Paling sering adalah "Come on, guys! Think fast."

"Pak, ada proposal dari si A," kataku kira-kira seminggu lalu di dalam ruang kerja bos yang
dingin dan luas itu.
4
Banten: sesajen
"O iya, Ren. Taroh aja di meja saya, ya?" balasnya sambil sibuk memainkan gadget.

Aku bahkan masih ingat wajah dua pemuda karang taruna yang datang dengan keringat dan
kemeja flanel kotak-kotak untuk meminta sumbangan mesin pemecah bebatuan buatan
mereka. Sempat kutanyakan dan dengan menggebu mereka menceritakan cara kerja mesin itu
dengan varian istilah yang tidak kupahami.

"Siang Pak, ada lamaran dari si B," kataku di hari lainnya masih di dalam ruangan yang
sama.

"O iya, Ren. Taroh aja di meja saya, ya?"

Begitu seterusnya sampai suatu hari ia membalasku dengan bentakan "Ya ampun Ren, buang
aja udah. Pusing saya banyak banget kertas. Uang kek apa kek. Proposal lagi. Lamaran lagi."

Hari itu, kuminta Asep membuang tumpukan kertas berisi proposal, undangan, lamaran
pekerjaan dan perihal lainnya ke tempat sampah dengan penegasan tambahan bahwa semua
itu harus dibakar. Bukan ditimbang di pengumpul, atau dibagikan kepada anak-anaknya
sebagai bahan prakarya. Harus dibakar. Paling tidak wujud abu mencegah mereka untuk
mematahkan semangat dan harapan yang sudah mereka rancang di atas kertas berhari-hari
lamanya.

Jika orang-orang yang sama itu menghafal wajahku entah di rumah makan, supermarket atau
di mana pun, mereka akan menyapaku lantas berbasa-basi menanyakan perihal proposal atau
lamarannya yang mana akan selalu kujawab dengan kalimat 'masih dibaca Bapak ya,
Mas/Mbak/Pak/Bu'.

Kontradiksi juga kutemukan beberapa hari kemudian. Tidak lebih baik dari ibu dan ayahku
yang memohon restu dari arwah dadong. Di kantor, seorang gadis tiba-tiba saja diterima
bekerja. Tanpa pengalaman apa pun, kualifikasi pendidikan yang tidak sesuai, dan bahkan
resume yang jauh panggang dari api.

"Perkenalkan, ponakan saya, Amel," kata bosku di depan kami semua hari itu.
Ah. Sudah sampai di situ pun otak ini seakan tak lelah mengurai kenangan. Ia bawa aku ke
lain cerita. Kali ini tentang pacarku, Bela, yang baru beberapa hari lalu menuntut pegawai
kantoran ini mengajaknya jalan-jalan, dengan pilihan tempat makan di pusat kota yang sangat
jauh dari kata murah. Harus makanan Jepang, sebab katanya, kawan-kawannya
merekomendasikan tempat itu sebagai yang terbaik saat ini. Aku tak bisa mengelak sebab jika
demikian, disinyalir bahwa aku tidak sungguh-sungguh mencintainya dan pertanyaan-
pertanyaan melelahkan seperti biasa akan menampar telingaku. 'Kamu enggak sayang lagi
sama aku? Kamu kok gitu? Kamu udah berubah ya, Ren?' dan seterusnya, dan seterusnya.

Kereta semakin dekat dengan stasiun tujuan. Tiba-tiba, orang-orangan yang dipasang petani
di tengah persawahan itu berubah menjadi sesuatu yang kukenal. Wajah tempurungnya
berubah menjadi wajahku. Tangan dan kakiku serasa makin kecil, badanku berubah menjadi
batang padi, pakaian-pakaianku menjadi kain-kain perca yang sobek di sana-sini, dan bosku,
kolega, Bela, serta semua lomba lari ini menjelma senar yang disimpulkan di leherku.

Namun, sebelum senar itu mencekikku semakin kuat, hidup seolah-olah masih menyisakan
kendali bagi tanganku. Aku membayangkan wajah si bos yang baru beberapa hari lalu
mengetahui latar belakang keluargaku. Sejak ia tahu pesuruhnya ini anak orang penting,
bukan hanya perlakuan baik yang kuterima. Mejaku yang ogel diganti dengan yang baru
keesokan harinya. Sejak hari itu itu juga aku percaya. Kalau aku mau, senar pengekang ini
bisa dengan mudah berpindah sais.

Perlahan tapi pasti, dari jendela-jendela kereta api panoramic yang kami tumpangi di rentang
sesi promosi, senja menampakkan dirinya dengan cantik sekali. Beberapa dari mereka yang
duduk di sebelah kiri terpaksa berdiri dan mendekat ke kanan hanya demi melihat
pertunjukan matahari.

Dekat. Sangat dekat. Aku melihat dadong tersenyum. Begitu siap mengumpulkan komponen
demi komponen dalam diriku andai saja tali ini terlalu kuat. Begitu siap memeluk orang-
oranganku andai suatu hari aku jatuh ditimpa hujan dan angin kencang.

Otakku memilah-milah kenangan itu--juga kenangan lain yang sejauh ini telah sebisa
mungkin ditangkap oleh benakku--lalu menyimpannya dalam laci yang berbeda-beda. Laci-
laci itu telah kukelompokkan menjadi dua bagian besar sejak masa kecilku. Di luarnya kutulis
'Kenangan yang baik' dan satu lagi 'Kenangan yang buruk'.

Aku bernapas dengan embusan yang tidak melegakan. Kota ini memang bisa menjual apa
saja. Seks, hati, ginjal, jantung, makanan, minuman, gaya hidup, pemandangan alam, orang
dalam, apa saja, tetapi aku toh bukan lansia yang puas hanya dengan melihat matahari
terbenam dari dalam kereta.
Nama: Rosalina Adinda Mystica Lewar (Ocha Lewar)
Nomor hp: 082146902464
No/nama rekening: 761901014881539 bank BRI an. Maria Kristina Melinda
Akun media sosial: FB: Ocha Lewar IG:@ocalewar
“Selama ini banyak menulis di media sosial dan mengikuti event-event literasi di media
sosial.”

Foto:

Anda mungkin juga menyukai