Inilah suratku yang terakhir, barangkali. Terimalah dengan hati yang
terbuka. Kau masih ingat tentu, pagi terakhir ketika aku melihatmu sambal berbaring sakit di tempat tidur, aku masih sempat mengganggumu dengan memutar seutas rambutmu dari sekian banyak rambutmu yang terjurai dari bantal ke pinggir sprei. Kau memberiku beberapa utas dan aku menyimpannya baik-baik dalam tondas, yaitu semacam tas dari anyaman daun lontar, kemudian aku keluar menuju kudaku, kuda tunggangku yang menunggu di luar pagar batu yang melingkar rumahmu lalang, lalu aku pun melompat ke atas punggungnya dan kuda pun menderap laju menuju jalan berliku di atas pohon-pohon eukaliptus yang batangnya putih mulus. Sinar matahari dari timur menikam kepalaku yang berbakat botak, apalagi kalau selama ini kutu-kutu dari perpustakaan di kota menyusup lewat lensa-lensa mataku dan rame-rame mengguncangkan akar rambutku. Barangkali demikian seperti kata orang. Tapi pusing amat dengan semua itu. Ah! Tiba-tiba aku menghentikan kudaku di pagi itu karena tikaman matahari. Aku ingat bahwa ti- ilanggaku yang bergantung di kamar tidurmu tidak sempat kuambil. Aku ingat, aku sadar, bahwa seorang pemuda Rote yang menyandang tondas, memakai selimut dan ikat baju melayu, akankah lebih tampan bilamana memakai topi lebar yang disebut ti-ilangga itu. Kudaku menderap pulang ke rumahmu lalang berpagar batu. Aku masih ingat ketika itu kau kaget melihat aku pulang dan aku pun sangat kaget melihat kau sakit-sakit sekali pun masih bisa menangis sedih, menyesal, dan bergembira. Kau menyesal karena kau tidak meminta supaya aku menciummu, cium perpisahan yang mesra. Kau bergembira karena ciuman perpisahanku menghapus air matamu. Namun demikian, ketika kudaku menderap laju di atas jalan berliku yang meliuk bukit-bukit sabana hatiku sangat kecewa karena seorang mahasiswa kota telanjur bertunangan dengan seorang gadis kampung yang mengajar di sebuah sekolah dasar desa. Ketika aku berlayar dari Pulau Jawa, hatiku sangat girang karena aku mengharap selama hari-hari liburanku di kampungmu, aku sempat bercengkrama denganmu di sawah, di ladang, dan di padang sabana. Kemudian, berlari-larian menuju naungan mamar taman holtikultura kita, lalu kucemplungkan badanku sambil menarik kau ke mata air bening yang bersih dari rahang-rahang karang, lalu kita pun mandi dan minum menghilangkan dahaga yang datang dari matahari sabana. Sayang beribu sayang, demikian hatiku berceloteh ketika itu bahwa kau adalah seorang gadis desa yang sangat kolot walaupun kau seorang guru. Aku sangat kecewa ketika itu. Kau kolot benar ketika itu. Tetapi kekecewaanku segera hilang melayang ketika aku sampai ke pelabuhan Namodale menunggu kapal. Bukan karena apa, bukan karena cintaku sirna seketika itu juga, tetapi karena seorang wanita bernama Maria Mariana begitu mendadak mengubah suasana batinku. Wanita itu adalah kakak kandungku. Oh, aku sangat sedih, aku sangat malu, badan dan jiwaku menjadi ciut bilamana aku melihatnya. Mengapa? Kau sudah tahu sejak lama persoalannya. Aku sangat sedih bilamana melihat saudara kandungku yang gila itu berpidato di pelabuhan di ujung jembatan kapal, di pasar, di sekolah-sekolah, tentang apa saja terutama tentang pembangunan tanah-tanah pertanian. Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, ketika suaminya, kepala pertanian kabupaten itu membawa kakakku ke pedalaman Pulau Alor yang subur itu untuk membuka sawah, kami sangat gembira, tetapi ketika malaria sampai merusak otaknya kemudian jadi gila, maka kami seluruh keluarga tak dapat berbuat apa kecuali diam dan sedih. Kemudian, pulau kelahiranku, Rote menjadi sepi-senyap dalam hatiku, dalam hidupku. Bayangkan saja, dengan seorang kekasih, aku tidak dapat berkomunikasi karena kolotnya dalam perkara berpacaran. Dengan seorang saudara kandung, aku tak dapat membuka tabir persaudaraan karena dunia kami telah teramat sangat berbeda. Begitulah, betapa besarnya tembok pemisah antara aku dengan dua wanita yang sangat aku cintai itu. Itulah yang menyebabkan aku mengambil keputusan untuk memutuskan hubunganku dengan pulau kelahiranku. Itulah yang menyebabkan aku menulis surat menyakitkan hatimu dulu, memutuskan pertunangan kita. Ada untungnya juga bila suatu kekecewaan timbul bukan? Aku dapat bayangkan bagaimana jiwamu terpelanting ketika itu. Aku sangat merasa bersalah walaupun sebenarnya kesalahan proses batin itu sendiri. Tetapi apa mau dikata lagi? Ketika itu, mahasiswi Fakultas Pertanian itu telah menyemai bibit-bibit cinta dalam peladangan hatiku. Dia adalah harapanku untuk kubawa pulang ke pulau kecilku Rote, pulau kita. Kau tentu marah, kau tentu bangkit untuk memperhatikan diri bahwa aku pun adalah ahli waris laut yang melingkari pulau kecil kita, kau pun adalah ahli waris padang ternak sabana. Dengan ini, aku mau mengatakan bahwa paling tidak selama tujuh turunan orang-orang Rote makan protein laut ikan dan daging. Ditambah dengan gula dan nira, lontar dan sayur marungga, maka selama tujuh turunan sempurnalah gizi yang mengisi otak. Selanjutnya aku mau mengatakan bahwa dilihat dari segi gizi, maka sebagai wanita dari pulau Rote kau memang cerdas. Itulah belajar dan belajar sehingga akhirnya tibalah engkau kepada tujuanmu seperti yang baru-baru ini aku baca di koran. Hebat benar! Aku hamper tidak percaya lalu cepat-cepat aku mencari alamatmu, lalu aku pun membuat surat ini, surat yang terakhir ini sebagai tanda kebahagiaan dan ketenangan batinku. Bagaimana tuh? Kau seorang guru. Kau keluar dari pekerjaanmu. Kemudian, kau masuk SMA jurusan Pas-pal. Kemudian, kau masuk fakultas kedokteran. Begitu? Kemudian kau lulus. Apakah kau sudah punya pacar, atau suami? Apakah suamimu yang mendorongmu, membiayaimu? Sudah tentu semua biaya itu datang juga kelapa- kelapa dalam mamarmu, tetapi suatu hal yang tidak biasa dihindarkan ialah bahwa patah cinta dapat diarahkan ke jalan bersaing yang positif bukan? Heee, kau jangan marah lagi padaku. Marselina! Baru kali ini kusebut namamu dengan perasaan yang dalam bunyi yang indah. Entah mengapa. Atau bukan untuk apa-apa. Mengapa atau bukan untuk apa-apa sebab kita bukan berada di masa lampau lagi. Akan tetapi, namamu kusebut jua. Marselina! Aku hanya ingin menceritakan keadaanku, menceritakan keadaan rumah tanggaku. Aku seorang petani dan peternak totok, sekarang. Istriku adalah seorang insinyur pertanian yang sangat cinta padaku, ia menyetujui gagasanku membuka tanah pertanian atau lebih tepat semacam mix-farmingdi pedalaman Pulau Timor, di Lembah Kapan, di kaki Gunung Mutis ini. Kami pindah ke sini lima tahun yang lalu dan kini hasilnya telah mulai kami petik dari tanah seluas lima puluh hektar. Tanah kami, kami tanami dengan apel, kentang, sorgun, rumput-rumput, dan lamtoro untuk sapi-sapi kami. Kau harus berterima kasih pada istriku karena dialah yang memajukan pulau ini. Dia memperkenalkan bajak ke Lembah Kapan ini, dia yang memperkenalkan dokar dan cikar ke sini sehingga binatang sapi, kerbau, kuda, dan kambing dapat memberikan tenaganya yang selama ini terbuang di padang. Sayang sekali apel-apel di sini, tidak dapat dipasarkan sehingga kami memberinya kepada sapi dan babi, sayang sekali! Rumah kami terletak di lereng bukit dilingkari kembang bougenville. Karena udaranya dingin, maka kami mempersiapkan resorvoir air panas untuk disalurkan di kamar mandi. Apa lagi? Anak kami cuma seorang; seorang anak laki-laki yang setiap hari di atas punggung kuda dari pulang sekolah sampai sore hari. Dia seorang penembak tepat rupanya sehingga hampir setiap hari ia membawa pulang kukur untuk ibunya. Apa lagi? Oya, aku telah membuka sebuah sekolah baru yang terletak di depan sebuah kulah buatan yang airnya kami ambil dari sungai. Berbicara tentang air, aku perlu katakan di sini bahwa di lereng Gunung Mutis, kami membuat sebuah vila dan karena kesulitan air, maka kami membuat reservoir artificial yang dapat menampung air untuk dipakai selama musim kemarau. Kami menampung turis-turis dari Australia di vila itu. Mereka menemukan lingkungan yang menyenangkan di Lembah Kapan ini, udaranya, dagingnya, susunya, kentangnya, kubis dan sawi, kembang-kembang, buah-buahan terutama apel, jeruk, dan pisang. Marselina! Satu yang kurang di sini adalah dokter. Harap anda segera kawin dengan seorang dokter pula, lalu kalian berdua boleh menetap sini. Kalau demikian halnya, nanti kita bisa libur bersama ke Pulau Rote atau ke Australia. Dua-duanya dekat sekali. Atau kita berempat berburu rusa ke Lembah Bena, sebuah daratan subur berhadapan dengan Benua Australia. Ok?. Ah! Pipimu yang pernah kukeringkan itu mengganggu jalan pikiranku menyusun surat ini. Apakah iya masih penuh padat dan langsat seperti dulu? Cilaka! Aku masih seperti dulu saja. Darah remajaku tidak habis-habisnya, padahal aku telah punya anak bini. Usil benar! Oleh karena itu, aku minta kau pindah ke Lembah Kapan yang subur dan kaya ini, lalu ambillah darahku untuk PMI. Namun, di atas segala-galanya perlu aku nyatakan padamu, Marselina, bahwa surat ini hanya untukmu demi keutuhan rumah tanggamu seperti juga rumah tanggaku kecuali rambutmu yang berjurai itu, yang masih saja aku simpan sampai kini dan nanti sebagai tanda mata dari cinta pertama yang kampungan itu, kuno. Haus! Aku cengeng bukan? Barangkali juga. Barangkali tidak. Sebab aku ingat akan sebuah syair yang pernah dinyanyikan oleh seorang manhello alias penyair Rote, yaitu sebagai berikut. Meskipun laut adalah batas pisah Masih kudengar suaramu mengisah Tentang klampauan bersamamu menyeberang kemlaratan Dan denyar-denyar kecilnya sebuah alam raya Tempat percakapan tenggelam dan membinar Dalam syair perantauan Teriring salam dari istri dan anakku.