Anda di halaman 1dari 5

NAMA : UTAMI PUTRI SUGIANTO

KELAS : “O” MANAJEMEN


NO. STAMBUK : 201610282

Rambut yang Berjurai

Inilah suratku yang terakhir, barangkali. Terimalah dengan hati yang


terbuka. Kau masih ingat tentu, pagi terakhir ketika aku melihatmu sambal
berbaring sakit di tempat tidur, aku masih sempat mengganggumu dengan
memutar seutas rambutmu dari sekian banyak rambutmu yang terjurai dari
bantal ke pinggir sprei. Kau memberiku beberapa utas dan aku menyimpannya
baik-baik dalam tondas, yaitu semacam tas dari anyaman daun lontar, kemudian
aku keluar menuju kudaku, kuda tunggangku yang menunggu di luar pagar batu
yang melingkar rumahmu lalang, lalu aku pun melompat ke atas punggungnya
dan kuda pun menderap laju menuju jalan berliku di atas pohon-pohon eukaliptus
yang batangnya putih mulus.
Sinar matahari dari timur menikam kepalaku yang berbakat botak, apalagi
kalau selama ini kutu-kutu dari perpustakaan di kota menyusup lewat lensa-lensa
mataku dan rame-rame mengguncangkan akar rambutku. Barangkali demikian
seperti kata orang. Tapi pusing amat dengan semua itu. Ah! Tiba-tiba aku
menghentikan kudaku di pagi itu karena tikaman matahari. Aku ingat bahwa ti-
ilanggaku yang bergantung di kamar tidurmu tidak sempat kuambil. Aku ingat,
aku sadar, bahwa seorang pemuda Rote yang menyandang tondas, memakai
selimut dan ikat baju melayu, akankah lebih tampan bilamana memakai topi lebar
yang disebut ti-ilangga itu. Kudaku menderap pulang ke rumahmu lalang berpagar
batu. Aku masih ingat ketika itu kau kaget melihat aku pulang dan aku pun sangat
kaget melihat kau sakit-sakit sekali pun masih bisa menangis sedih, menyesal, dan
bergembira. Kau menyesal karena kau tidak meminta supaya aku menciummu,
cium perpisahan yang mesra. Kau bergembira karena ciuman perpisahanku
menghapus air matamu.
Namun demikian, ketika kudaku menderap laju di atas jalan berliku yang
meliuk bukit-bukit sabana hatiku sangat kecewa karena seorang mahasiswa kota
telanjur bertunangan dengan seorang gadis kampung yang mengajar di sebuah
sekolah dasar desa. Ketika aku berlayar dari Pulau Jawa, hatiku sangat girang
karena aku mengharap selama hari-hari liburanku di kampungmu, aku sempat
bercengkrama denganmu di sawah, di ladang, dan di padang sabana. Kemudian,
berlari-larian menuju naungan mamar taman holtikultura kita, lalu
kucemplungkan badanku sambil menarik kau ke mata air bening yang bersih dari
rahang-rahang karang, lalu kita pun mandi dan minum menghilangkan dahaga
yang datang dari matahari sabana.
Sayang beribu sayang, demikian hatiku berceloteh ketika itu bahwa kau
adalah seorang gadis desa yang sangat kolot walaupun kau seorang guru.
Aku sangat kecewa ketika itu. Kau kolot benar ketika itu. Tetapi
kekecewaanku segera hilang melayang ketika aku sampai ke pelabuhan Namodale
menunggu kapal. Bukan karena apa, bukan karena cintaku sirna seketika itu juga,
tetapi karena seorang wanita bernama Maria Mariana begitu mendadak
mengubah suasana batinku. Wanita itu adalah kakak kandungku. Oh, aku sangat
sedih, aku sangat malu, badan dan jiwaku menjadi ciut bilamana aku melihatnya.
Mengapa? Kau sudah tahu sejak lama persoalannya. Aku sangat sedih bilamana
melihat saudara kandungku yang gila itu berpidato di pelabuhan di ujung
jembatan kapal, di pasar, di sekolah-sekolah, tentang apa saja terutama tentang
pembangunan tanah-tanah pertanian. Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, ketika
suaminya, kepala pertanian kabupaten itu membawa kakakku ke pedalaman
Pulau Alor yang subur itu untuk membuka sawah, kami sangat gembira, tetapi
ketika malaria sampai merusak otaknya kemudian jadi gila, maka kami seluruh
keluarga tak dapat berbuat apa kecuali diam dan sedih.
Kemudian, pulau kelahiranku, Rote menjadi sepi-senyap dalam hatiku,
dalam hidupku. Bayangkan saja, dengan seorang kekasih, aku tidak dapat
berkomunikasi karena kolotnya dalam perkara berpacaran. Dengan seorang
saudara kandung, aku tak dapat membuka tabir persaudaraan karena dunia kami
telah teramat sangat berbeda. Begitulah, betapa besarnya tembok pemisah
antara aku dengan dua wanita yang sangat aku cintai itu.
Itulah yang menyebabkan aku mengambil keputusan untuk memutuskan
hubunganku dengan pulau kelahiranku. Itulah yang menyebabkan aku menulis
surat menyakitkan hatimu dulu, memutuskan pertunangan kita.
Ada untungnya juga bila suatu kekecewaan timbul bukan? Aku dapat
bayangkan bagaimana jiwamu terpelanting ketika itu. Aku sangat merasa bersalah
walaupun sebenarnya kesalahan proses batin itu sendiri. Tetapi apa mau dikata
lagi? Ketika itu, mahasiswi Fakultas Pertanian itu telah menyemai bibit-bibit cinta
dalam peladangan hatiku. Dia adalah harapanku untuk kubawa pulang ke pulau
kecilku Rote, pulau kita. Kau tentu marah, kau tentu bangkit untuk
memperhatikan diri bahwa aku pun adalah ahli waris laut yang melingkari pulau
kecil kita, kau pun adalah ahli waris padang ternak sabana. Dengan ini, aku mau
mengatakan bahwa paling tidak selama tujuh turunan orang-orang Rote makan
protein laut ikan dan daging. Ditambah dengan gula dan nira, lontar dan sayur
marungga, maka selama tujuh turunan sempurnalah gizi yang mengisi otak.
Selanjutnya aku mau mengatakan bahwa dilihat dari segi gizi, maka sebagai
wanita dari pulau Rote kau memang cerdas. Itulah belajar dan belajar sehingga
akhirnya tibalah engkau kepada tujuanmu seperti yang baru-baru ini aku baca di
koran.
Hebat benar! Aku hamper tidak percaya lalu cepat-cepat aku mencari
alamatmu, lalu aku pun membuat surat ini, surat yang terakhir ini sebagai tanda
kebahagiaan dan ketenangan batinku. Bagaimana tuh? Kau seorang guru. Kau
keluar dari pekerjaanmu. Kemudian, kau masuk SMA jurusan Pas-pal. Kemudian,
kau masuk fakultas kedokteran. Begitu? Kemudian kau lulus.
Apakah kau sudah punya pacar, atau suami? Apakah suamimu yang
mendorongmu, membiayaimu? Sudah tentu semua biaya itu datang juga kelapa-
kelapa dalam mamarmu, tetapi suatu hal yang tidak biasa dihindarkan ialah
bahwa patah cinta dapat diarahkan ke jalan bersaing yang positif bukan? Heee,
kau jangan marah lagi padaku.
Marselina! Baru kali ini kusebut namamu dengan perasaan yang dalam
bunyi yang indah. Entah mengapa. Atau bukan untuk apa-apa. Mengapa atau
bukan untuk apa-apa sebab kita bukan berada di masa lampau lagi. Akan tetapi,
namamu kusebut jua.
Marselina! Aku hanya ingin menceritakan keadaanku, menceritakan
keadaan rumah tanggaku. Aku seorang petani dan peternak totok, sekarang.
Istriku adalah seorang insinyur pertanian yang sangat cinta padaku, ia menyetujui
gagasanku membuka tanah pertanian atau lebih tepat semacam mix-farmingdi
pedalaman Pulau Timor, di Lembah Kapan, di kaki Gunung Mutis ini. Kami pindah
ke sini lima tahun yang lalu dan kini hasilnya telah mulai kami petik dari tanah
seluas lima puluh hektar. Tanah kami, kami tanami dengan apel, kentang, sorgun,
rumput-rumput, dan lamtoro untuk sapi-sapi kami.
Kau harus berterima kasih pada istriku karena dialah yang memajukan
pulau ini. Dia memperkenalkan bajak ke Lembah Kapan ini, dia yang
memperkenalkan dokar dan cikar ke sini sehingga binatang sapi, kerbau, kuda,
dan kambing dapat memberikan tenaganya yang selama ini terbuang di padang.
Sayang sekali apel-apel di sini, tidak dapat dipasarkan sehingga kami
memberinya kepada sapi dan babi, sayang sekali!
Rumah kami terletak di lereng bukit dilingkari kembang bougenville. Karena
udaranya dingin, maka kami mempersiapkan resorvoir air panas untuk disalurkan
di kamar mandi. Apa lagi? Anak kami cuma seorang; seorang anak laki-laki yang
setiap hari di atas punggung kuda dari pulang sekolah sampai sore hari. Dia
seorang penembak tepat rupanya sehingga hampir setiap hari ia membawa
pulang kukur untuk ibunya.
Apa lagi? Oya, aku telah membuka sebuah sekolah baru yang terletak di
depan sebuah kulah buatan yang airnya kami ambil dari sungai. Berbicara tentang
air, aku perlu katakan di sini bahwa di lereng Gunung Mutis, kami membuat
sebuah vila dan karena kesulitan air, maka kami membuat reservoir artificial yang
dapat menampung air untuk dipakai selama musim kemarau. Kami menampung
turis-turis dari Australia di vila itu. Mereka menemukan lingkungan yang
menyenangkan di Lembah Kapan ini, udaranya, dagingnya, susunya, kentangnya,
kubis dan sawi, kembang-kembang, buah-buahan terutama apel, jeruk, dan
pisang.
Marselina! Satu yang kurang di sini adalah dokter. Harap anda segera kawin
dengan seorang dokter pula, lalu kalian berdua boleh menetap sini. Kalau
demikian halnya, nanti kita bisa libur bersama ke Pulau Rote atau ke Australia.
Dua-duanya dekat sekali. Atau kita berempat berburu rusa ke Lembah Bena,
sebuah daratan subur berhadapan dengan Benua Australia. Ok?.
Ah! Pipimu yang pernah kukeringkan itu mengganggu jalan pikiranku
menyusun surat ini. Apakah iya masih penuh padat dan langsat seperti dulu?
Cilaka! Aku masih seperti dulu saja. Darah remajaku tidak habis-habisnya, padahal
aku telah punya anak bini. Usil benar! Oleh karena itu, aku minta kau pindah ke
Lembah Kapan yang subur dan kaya ini, lalu ambillah darahku untuk PMI.
Namun, di atas segala-galanya perlu aku nyatakan padamu, Marselina,
bahwa surat ini hanya untukmu demi keutuhan rumah tanggamu seperti juga
rumah tanggaku kecuali rambutmu yang berjurai itu, yang masih saja aku simpan
sampai kini dan nanti sebagai tanda mata dari cinta pertama yang kampungan itu,
kuno.
Haus! Aku cengeng bukan?
Barangkali juga.
Barangkali tidak.
Sebab aku ingat akan sebuah syair yang pernah dinyanyikan oleh seorang
manhello alias penyair Rote, yaitu sebagai berikut.
Meskipun laut adalah batas pisah
Masih kudengar suaramu mengisah
Tentang klampauan bersamamu menyeberang kemlaratan
Dan denyar-denyar kecilnya sebuah alam raya
Tempat percakapan tenggelam dan membinar
Dalam syair perantauan
Teriring salam dari istri dan anakku.

Anda mungkin juga menyukai