Anda di halaman 1dari 39

1

2
Kukira Aku Tak Sanggup Jadi Ibu
Mawar Firdausi

Linimasa Books (Penataan Letak Sementara)

Produser Buku: Nur Rahmi


Penyunting: Cantika Hana Hanifah
Pemeriksa Aksara: Kartini F. Astuti
Penata Letak: Dwi Lestari
Desainer dan Ilustrator: Hadi Wardoyo

Diterbitkan oleh:
PT Linimasa Esa Inspirasa

Kantor Redaksi:
Jl. Golf Barat Raya No. 54 Bandung
Pos-el: halo@linimasabooks.com
Web: lineas.id, books.lineas.id
Instagram: @linimasabooks

250 hlm.; 21 x 14.8 cm


3
Untuk seluruh perempuan luar biasa yang menjadi ibu …

4
Daftar Isi

Prakata

Gelombang 1: Kukira Seindah Itu


Me Against the World
Bukankah Rumah Tempat Bersandar?
Tangki Kosong yang Tak Terisi
Hatiku Terlalu Hancur, Sanggupkah Aku Jadi Ibu?

Gelombang 2: Ternyata Begini Realitas


Mendayung Perahu Tanpa Peta
Pejuang Garis Dua
Hadirnya Sang Pembeda
Mendayung Biduk di Tengah Badai
Baby Blues
Tersesat Tanpa Ilmu
Kebutuhan vs Keinginan
Tak Mau Mewariskan Luka
Ujian Bertubi-tubi
Habiburrahman
Semua Orang Punya Luka
Titik Balik
Kupeluk Mimpiku, Satu per Satu
Healing and Reparenting

Gelombang 3: Menjadi Orang Tua


Menjadi Ibu dan Menjadi Orang Tua
Selamatkan Dirimu Dahulu
Bakti atau Roti Isi?
Allah Sebaik-baiknya Tempat Kembali

5
Gelombang 4: Menjadi Ibu Penuh Cinta
Sedih Itu Boleh, Kok
Menjalin Cinta Antar-saudara
Anak, Pribadi yang Berbeda
Mulutmu Cantikmu
Mengejar Cinta Sempurna

Gelombang 5: Kita Bisa Jadi Ibu


Dia yang Terbaik
Peta Rumah Tangga
Bersama Kesulitan Ada Kemudahan
Bittersweet

6
Prakata

Apa aku nikah aja, ya, biar aku bahagia? Biar aku disayangi,
dihargai, dan dianggap ada?

Itu bisik-bisik yang ada di kepalaku saat aku ikut


memikul beban dan tanggung jawab ayahku. Aku sebagai
tulang punggung bersama ibuku yang tak berdaya melawan
tirani dan tangan besi laki-laki itu. Aku anak pertama dari
tujuh bersaudara. Usiaku saat itu mungkin sudah 20, tetapi
bisikan itu terucap dari Mawar kecil dalam jiwaku yang
kesepian, yang merasa tak pernah didengar dan dianggap ada,
yang tak pernah merasa dirinya cukup berharga untuk dicinta.

Usiaku hanya terpaut setahun lebih beberapa hari dengan


adikku. Aku sudah punya tiga adik di usia yang bahkan belum
menginjak 5 tahun. Ungkapan “anak pertama harus bisa jadi
teladan” terus digaungkan sejak itu. Aku terus diberi
tanggung jawab lebih besar daripada yang lain. Berat, tentu.
Kadang aku merasa bahwa aku tak pernah cukup dicintai
sebagai diriku sendiri.

Bukan, bukan aku ingin mengutuk ketentuan Allah dan


memprotes pola asuh ibuku. Semua hal yang terjadi kala itu
turut membangun aku tumbuh seperti ini: sebagai gadis yang
tangguh di segala medan. Aku benar-benar jadi teladan di
keluarga. Juara kelas, sekolah full beasiswa, piagam dan piala
berjajar, karier bersinar, dan bisa bantu orang tua menghidupi
keluarga. Kurang apa lagi?

Namun, tetap saja ada yang hilang di sana. Di balik fasad


yang kokoh dan memukau itu, ada jiwa kecil yang meronta
karena terlalu cepat dituntut menjadi dewasa. Tangki-tangki

7
cintaku kosong. Aku tampak tangguh di luar, tetapi hatiku
rapuh luar biasa.

Mungkin aku akan disayang kalau aku juara, maka aku


menghabiskan masa kecilku tenggelam dalam buku-buku.
Ternyata kurang. Mungkin aku akan dihargai kalau aku
menyumbang pundi-pundi rumah tangga, maka aku menghabiskan
waktuku bekerja. Fulltime sejak 9.00 pagi sampai 5.00 sore di
hari kerja, kemudian jadi guru les hingga pukul 10.00 malam,
bahkan di akhir pekan. Belum termasuk orderan terjemahan
yang kadang memaksaku begadang beberapa hari. Namun,
ternyata, semua tak cukup juga.

Lalu aku melihat orang tuaku. Ibuku sosok “sempurna”:


wanita cantik shalihah yang tangguh, yang dari rahimnya lahir
tujuh anak luar biasa. Ibuku sangat cerdas, penyabar, dan
masakannya enak sekali. Namun, keadaan memaksanya ikut
jadi tulang punggung keluarga. Dengan cadar, gamis, dan
khimar lebarnya, ibuku mendorong gerobak sayur keluar
masuk permukiman; berjualan jahe, pala, dan madu, bahkan
berlarian naik turun bukit mengejar kambing yang akan dijual
setiap menjelang Iduladha. Apa pun dilakukan ibuku demi
memenuhi kebutuhan sambil mendidik kami, tujuh putranya,
menjadi generasi unggulan.

Namun, ayahku tetap meninggalkannya.

Ini makin meyakinkanku, sesempurna apa pun, aku takkan


pernah cukup sempurna untuk dicintai.

Aku harus terus memenuhi beragam ekspektasi demi


mendapat validasi. Kuterima siapa pun laki-laki yang bisa
membuat tangki cintaku terisi. Aku tahu Allah tak suka ini,
tetapi aku tak peduli. Aku haus dan dahaga ini harus
dipenuhi.

8
Lalu hidayah itu datang, aku pun pindah haluan. Aku
harus segera menikah. Se-ce-pat-nya. Jijik sekali aku melihat
diriku mengemis cinta ke mana-mana. Setidaknya, setelah
menikah, aku akan mendapatkan cinta itu sepanjang waktu.
Akan ada orang yang selalu memujiku sehingga aku bisa
berhenti meminta validasi. Akan ada orang yang selalu
tertawa bersamaku dan memelukku di setiap tangis. Akan ada
orang di sampingku sepanjang hari, yang dengannya, aku
akan selalu merasa ada dan dihargai. Lalu kami akan bersama-
sama membangun mimpi, sederhana saja: berbincang dan nge-
teh berdua di teras sambil memandangi anak-anak kami
berlarian di tengah gerimis. Aku membayangkan saat itu
hatiku akan hangat penuh cinta, dengan luka yang tak lagi
menganga.

Namun, aku salah.

Ternyata menikah dan punya anak tidak


sesederhana itu. Suami bukan pangeran berkuda putih
yang menyelamatkan aku dari kepedihan, juga bukan
dokter cinta yang akan menyembuhkan lukaku. Pun, ada
peran dan tanggung jawab yang jauuuh lebih berat
setelahnya, sebagai ibu.

Aku tak tahu, kalau semua luka yang belum kering itu
akan merembes, menitis di setiap tutur kata dan perilakuku,
mewarnai caraku menjadi ibu, lalu kelak akan berlanjut dari
generasi ke generasi setelahku. Kalau tak diobati, anakku akan
punya luka yang sama, merasakan kesepian yang sama,
kehausan yang sama, dan akan melakukan kebodohan-
kebodohan yang sama denganku. Nggak, aku nggak mau itu.
Cukup aku saja. Jangan anakku, jangan cucuku, cicitku,
keturunanku.

9
Buku ini berisi perjalanan seorang gadis yang merasa tak
cukup berharga untuk dicintai, hingga ia menemukan cinta
terbaik dari Rabb-nya. Ia menyadari: perlu lebih dahulu
mencintai dirinya sendiri, sebelum bisa mencintai orang lain.
Ia perlu mengasuh jiwa kecilnya dahulu, sebelum bisa
mengasuh manusia-manusia kecil yang lahir dari rahimnya. Ia
perlu menyembuhkan lukanya dahulu agar bisa jadi versi
terbaik dirinya, sebagai ibu. Menjadi ibu tak hanya butuh
naluri, tetapi juga ilmu dan hati.

Di buku ini, kamu akan membersamainya tumbuh dari


gadis penuh luka. Awalnya ia mengira takkan sanggup
menjadi ibu, lalu perlahan menyembuhkan luka dan menjadi
wanita tangguh. Meski tak sempurna, ia terus berusaha
menjadi ibu terbaik bagi kelima anaknya, seraya mewujudkan
mimpi-mimpinya.

Semoga buku ini bisa menjadi temanmu jadi versi terbaik


dirimu sebagai ibu, hingga kelak saat menoleh ke belakang
kau akan berkata, “Ternyata aku bisa, ya.”

Teman berjuangmu,

Mawar Firdausi

10
11
2 | Bukankah Rumah Tempat Bersandar?
“The most important thing a father can do to his children is to love their
mother.”
—Unknown
Ayah ibuku bertemu di komunitas dakwah kampus.
Ayahku aktivis senior, sedangkan ibuku adalah mahasiswi
hijrah newbie. Sebelumnya, ibuku adalah gadis populer yang
aktif. Ibuku menggeluti banyak hal, mulai voli hingga menari.
Tarik suara sampai organisasi. Namanya terkenal di seluruh
penjuru kampus dan ibuku punya pacar kaya yang tampan
sekali.

Kemudian hidayah datang. Ibuku pun patuh. Ibu mulai


berhijab dan meninggalkan semua kegiatan yang dicintainya.
Ibu tak lagi menari dan main voli karena pakaiannya
membuka aurat. Ibu juga tak lagi menyanyi. Pacaran ia
tinggalkan.

Ibu sempat dijauhi, di-bully, diejek, dan dipanggil dengan


sebutan “Taplak” karena hijabnya. Ibu tak lagi jadi primadona
kampus. Namun, ibu tak peduli dan tetap aktif di masjid.
Hari-harinya diisi dengan kajian. “Sami’na wa atho’na,” katanya.
Apa pun yang ada di Al-Qur’an dan sunah harus dipatuhi
sepenuhnya, tanpa tetapi, tanpa nanti.

Begitu pula saat lamaran ayahku hadir. Dalam salah satu


kajian yang diikutinya, ibuku pernah mendengar hadis bahwa
kita harus menilai calon pasangan dari 4 hal: harta, keturunan,
paras, dan agama. Dari keempat kriteria itu, yang paling
utama adalah agama. Dengan dasar inilah, ibu menerima
pinangan ayah dan membawanya menemui keluarga.

12
Keluarga besar ibuku menentang habis-habisan. Selain
karena kuliah ibu belum selesai, ibu juga belum terlalu
mengenal ayah. Namun, ibuku tetap pada pendiriannya. Ia
tetap ingin menikah karena ayahku saat itu adalah calon ustaz
yang tampak saleh dan sangat memahami agama. Apalagi, ada
juga hadis yang menyebutkan keharusan menerima pinangan
pria saleh. Akhirnya pernikahan itu pun dilaksanakan.

Semua baru terungkap setelahnya. Memang ayahku


paham agama, tetapi wataknya kaku sekali dan cenderung
mau menang sendiri. Berulang kali ia mengutip dalil demi
memenuhi keuntungannya. Jangankan membantah,
berpendapat saja ibuku jarang sekali diberi kesempatan. Kata
ayah, berpendapat itu sama dengan membantah dan istri yang
menentang suami takkan mencium bau surga. Jadilah ibuku
bak burung dalam sangkar, primadona yang hilang pesona.

Wanita aktivis yang ceria itu akhirnya hanya hidup di


rumah saja, mengurus anak yang hampir setiap tahun
dilahirkannya. Ibuku tak punya siapa-siapa. Ingin pulang ke
rumah nenek pun, ayahku mengancamnya.

Sejak awal pernikahan mereka, tak jarang ayah


meninggalkan ibu sendirian mengurus anak, sementara ayah
berkelana dengan alasan dakwah. Saat itu, ayah belum punya
pekerjaan tetap dan memang fokusnya hanya dakwah. Ibuku
cuma bisa patuh.

Ibu pontang-panting mencari tambahan penghasilan


demi memenuhi kebutuhan. Semua perhiasan pemberian
nenek dijualnya, lalu ibu berjualan sayur gerobak keluar
masuk perumahan. Di dalam gerobak sayur itu ada aku yang
masih bayi, berbaur dengan sayur dan ikan-ikan. Bahkan
menjelang kelahiran adikku yang kedua, ibuku tetap berjualan
sambil menahan kontraksi melahirkan.

13
Hingga aku beranjak dewasa, ibuku masih tetap
merangkap jadi tulang punggung keluarga. Berbagai jenis
usaha dijalani. Berjualan sembako, busana muslim, jahe, pala,
bahkan dengan cadar dan gamis lebarnya, ibu naik turun
gunung mengejar kambing tiap menjelang Iduladha.

Ayah pun jadi bergantung dan cenderung kurang mau


berusaha karena urusan nafkah sudah teratasi. Ayah seolah-
olah lupa dalil kalau tanggung jawab mencari nafkah
sepenuhnya ada pada suami. Sudah kubilang, ia hanya
memilih dalil yang menguntungkan dirinya saja.

Masih jelas teringat, bagaimana ayahku setiap bulan


menggerutu saat ibuku meminta uang untuk membayar
sekolah ketujuh anaknya.

“Apa lagi? Semua sudah kugelontorkan kepadamu!” Itu


argumen andalannya setiap waktu.

Gelontor. Kata itu membuatku membayangkan gundukan


uang yang ditumpahkan dari kontainer ke tanah. BYUK.
Banyaaak sekali. Padahal penghasilan ayahku sebagai guru
kursus komputer tak seberapa. Sama sekali tak bisa
memenuhi kebutuhan kami semua. Ibu-lah yang harus
pontang-panting menutup kekurangannya.

Ibuku mengatasi hampir semua ranah yang seharusnya


dipegang laki-laki. Ibuku selalu jadi garda terdepan dan jadi
pahlawan saat anaknya dizalimi. Ibuku yang maju ke sekolah
menemui guru saat adikku dirundung karena mengenakan
seragam bercelana panjang. Ibuku yang mengambil rapor dan
memperjuangkan agar kami mendapat keringanan biaya
sekolah. Bahkan sesederhana surat kependudukan pun, ibuku
yang mengurusnya.

14
Ayahku ada, tetapi tiada. Sebagian besar memori yang
tersimpan tentangnya membangkitkan trauma.

Hingga kini, aku masih takut suara pintu. Jantungku


masih berdebar kencang dan napasku masih memburu setiap
dengar suara pintu dibuka. Aku takut. Selalu terbayang, di
balik pintu itu ada ayah yang akan datang memarahi dan
memukuliku.

Aku juga takut suara klakson motor, suara itu


mengingatkanku pada suara klakson motor ayah yang sengaja
disetel keras sekali, agar terdengar dari jauh. Setiap pulang
kerja, ayahku membunyikan klakson itu dari ujung gang,
sebagai komando bahwa kami harus segera mengangkat meja
ke sofa dan membuka pintu rumah, agar motor ayah bisa
langsung masuk ke ruang tamu. Kalau tidak, ayah bisa marah
besar.

Pernah suatu ketika, aku tertidur setelah mengerjakan


tugas bahasa Inggris di ruang tamu. Ayahku tak peduli. Pintu
ditabraknya dan ia pun masuk begitu saja. Untung saja
tubuhku tak terlindas, tetapi ada bekas roda di buku paket
yang kupinjam dari perpustakaan.

Suara klakson ini juga menandakan kalau ayah sudah ada


di seberang jalan saat menjemput kami pulang sekolah. Di
mana pun kami berada, di sudut paling belakang sekolah pun,
kami harus berlari menghampiri kalau suara itu terdengar.
Kalau kami tak ada saat klakson dibunyikan, ayah akan pergi
dan kami terpaksa pulang jalan kaki. Tak peduli hujan atau
kami belum makan, ayah akan tetap meninggalkan kami.

Kami juga harus siap dihajar sesampainya di rumah.


Gara-gara terlambat datang saat klakson berbunyi, adikku
pernah disiram air seember dan dibiarkan berdiri di pojok

15
dapur dalam keadaan basah kuyup hingga tengah malam.
Dengan alasan yang sama pula, ayahku pernah menunggu
adikku di depan sekolah, hanya demi menabraknya dengan
motor dan memukulinya di depan teman-temannya. Entah,
aku tak tahu hati ayahku terbuat dari apa. Ibuku juga pernah
masuk rumah sakit karenanya.

Aku ingat, saat itu aku masih kuliah semester dua.


Umurku 17 tahun. Ibuku tiba-tiba menjemputku di kampus
lalu mengajakku berkeliling di kompleks rumah mewah.
Sambil berboncengan, kami saling bertukar cerita,
mengomentari rumah-rumah itu, dan membicarakan impian
kami. Kemudian ibu menghentikan motornya di depan
rumah dengan halaman rumput yang luas. Ibu mengajakku
duduk lalu diam lamaaa sekali.

“Ayahmu ada perempuan lain,” katanya tiba-tiba.

Aku terkejut. Kok bisa? Bukankah ayah tahu dalil dan


hukumnya? Berdekatan saja dilarang apalagi sampai bermain
api begini. Mustahil.

Ternyata ibuku tak bercanda. Sudah berbulan-bulan


lamanya ibuku menahan diri untuk tak menceritakannya
padaku. Namun, ibu tak kuat lagi menahan rahasia ini. Kata
ibu, ayahku kena guna-guna mahasiswinya. Salah satu ustaz
kenalan ibuku meminta ibu mencari benda yang mungkin jadi
perantara sihir itu dan membakarnya.

Ibu sudah menemukannya. Buhul-buhul itu berupa bros


dan baju koko dengan aroma parfum yang sangat tajam, yang
diberikan sebagai kado ulang tahun untuk ayahku. Aneh
sekali. Ayahku adalah orang yang taat syariat dan sangat
menentang tradisi ulang tahun, tetapi kenapa mau menerima

16
kado bahkan diguyur dan disiram tepung oleh mahasiswinya?
Tampaknya dugaan guna-guna itu memang benar adanya.

Ibu mengajakku membakar semua itu keesokan harinya.


Ayah marah besar saat tahu bros dan baju koko itu tidak ada
di tempatnya. Pertengkaran mereka makin memuncak
menjelang malam. Aku tak bisa tidur karena suara mereka
terdengar dari kamarku. Seakan-akan punya firasat, sebelum
pertengkaran itu, ibu sudah menyuruhku menyimpan semua
pisau dan benda tajam yang ada di rumah.

Saat ibu berhasil meloloskan diri keluar kamar, ayahku


makin menjadi. Dilayangkannya pukulan bertubi-tubi. Ibuku
diseret, dibanting, dibenturkan. Semua terjadi di depan
mataku. Aku juga tak luput dari serangan ayah. Aku didorong
ke akuarium karena akan menelepon kakek. Kata ayah, ia ikut
menjadi saksi pernikahan ayah dengan perempuan itu.
Akuarium pecah, bajuku basah.

Lucunya, ayah menganggap ibuku kesurupan dan


berusaha menindihnya sambil membaca ayat-ayat ruqyah. Aku
berlari dan meminta pertolongan tetangga, tetapi tak ada
seorang pun yang tergerak. Mereka hanya berkerumun saja di
depan rumah, memandangi aku yang memeluk adik-adikku di
teras sambil menangis.

Beberapa saat kemudian, ustaz dan teman-teman ibuku


datang. Para akhwat menyelamatkan ibuku, menggantikan
gamis ibu yang sudah compang-camping, dan menenangkan
anak-anak. Ustaz dan teman laki-laki ayah membacakan ayat
ruqyah, sambil mengajak ayahku bicara di ruang tamu. Jangan
bayangkan adegan ruqyah penuh teriakan dan pergulatan
seperti di sinetron. Ayah sama sekali tak bersuara, berontak
pun tidak. Dari balik kelambu, kulihat ayah tersenyum, sama
sekali tak ada raut penyesalan di wajahnya.

17
Ibuku dirawat di rumah sakit, beberapa hari dalam
keadaan gegar otak dan lebam sekujur tubuh.

Ayahku sempat di-ruqyah kembali beberapa kali dan


membaik, tetapi ustaz tak menjamin kalau ayah akan sembuh
sepenuhnya.

Setelah kejadian itu, kehidupan keluarga kami berubah.


Ayah lebih jarang main tangan dan ibuku mulai bisa speak up
memperjuangkan haknya. Ibuku juga makin menyibukkan diri
dalam pekerjaannya. Saat itu, ibu menjadi leader salah satu
bisnis jejaring ternama. Hari-harinya diisi dengan mengisi
seminar dan pelatihan di seluruh penjuru Indonesia. Ibuku
kembali menjadi primadona.

Namun, pertengkaran tak bisa dihindari. Ayah dan ibu


berselisih paham hampir setiap hari. Meski fisik ayah sudah
tak pernah menyakiti, lidahnya tetap tajam dan wataknya
tetap keras seperti batu. Kalau tidak dengan ibu, ayah
bertengkar dengan kami, anak-anaknya. Rumah yang
seharusnya jadi tempat bersandar, berubah layaknya neraka.

Suatu ketika saat ibuku ke luar kota, aku bertanya pada


ayahku.

“Kenapa Ayah memilih Ibu jadi pasangan hidup?”

Ayah menjawab, “Karena ibu mau dipoligami. Kalau


ibumu tak mau, mungkin aku tak akan menikahi ibumu.
Karena itu jangan salahkan kalau ayah menikah lagi. Kan,
sudah jelas ayatnya. Nikahi dua, tiga, atau empat. Jalani dulu.
Kalau nggak bisa, baru sisakan satu.”

Astagfirullah. Jawabannya sungguh tak kusangka-sangka.


Ternyata seperti itu dia memandang ibuku, wanita yang sudah
dinikahinya 20 tahun, yang sudah mengorbankan segalanya
18
untuknya. Keluarganya, tubuhnya, bahkan diri dan nyawanya.
Pantas saja dia memperlakukan ibuku seperti itu. Kini aku
tahu mengapa tak ada penyesalan setelah dia menyakiti ibuku
di malam itu.

Baiklah. Cukup. Takkan lagi aku berharap cinta dari laki-


laki itu.

19
20
13 | Ujian Bertubi-tubi

Tidak ada seorang pun orang tua di dunia yang rela


anaknya dizalimi orang lain, apalagi menjadi korban
perundungan. Begitu juga aku. Melihat wajah Faruq
ditendang dengan sepatu, membuat hatiku tercabik-cabik. Ini
bukan pertama kalinya Faruq menjadi korban bully di sekolah
itu.

Sebelumnya aku pernah melihat Faruq disudutkan dan


dicengkeram kerah bajunya oleh seorang temannya. Hari itu
waktunya pembagian rapor. Di halaman sekolah, ada
panggung berhias balon untuk para siswa menampilkan
kebolehannya. Kelas Faruq kebagian kesempatan untuk
menari, tetapi seperti yang sudah-sudah, Faruq tak mau ikut
menari. Ia malah memainkan hiasan balon-balon di
panggung. Faruq menggoyang-goyangkan balon panjang,
menarik balon bulat, memasukkan kepalanya ke bagian putik
balon berbentuk bunga, lalu berlarian di panggung sambil
tertawa-tawa. Lucu sekali.

Di sekolahnya yang lama, saat teman-temannya menari,


Faruq hanya terdiam di pojok belakang panggung sambil
bercengkerama dengan gambar ayam dekorasi acara, dengan
bahasa yang tak kami mengerti. Sebelum kami ke psikolog
dan mengambil langkah-langkah terapi, tawa Faruq tak tahu
tempat. Ia sering tertawa sendiri tanpa alasan dan malah
melarang semua orang tertawa saat ada yang lucu. Nah, Faruq
mau maju ke panggung dan melucu sambil tertawa. Tepat
sewaktu di sekolah baru, itu adalah perkembangan baik yang
patut disyukuri dan diapresiasi.

Aku bergegas menyusul Faruq setelah turun panggung.


Aku ingin memberi apresiasi kepada Faruq karena sudah
berani berekspresi, meski tak mengikuti instruksi. Namun,
21
aku tak menemukan Faruq di mana pun. Ia menghilang
setelah digiring turun panggung, sementara gurunya sibuk
mengarahkan siswa lain yang akan tampil sesudahnya. Kucari
Faruq di segala penjuru, tetapi tak ketemu. Lalu kulihat ada
beberapa anak berkerumun di dalam salah satu kelas. Satu di
antara anak itu berteriak-teriak sambil mendesak satu yang
lain.

Astaga, yang disudutkan ternyata Faruq! Hatiku tak


karuan. Aku mempercepat langkahku selagi anak itu makin
menyudutkan Faruq. Tangannya mencengkeram kerah baju
Faruq sambil mendorongnya ke dinding. Sambil menahan
napas yang memburu, kuraih tubuh Faruq cepat-cepat.

“Ehhh, nggak boleh, ya, nyakitin temannya, yaaa!”


seruku.

Sungguh aku ingin marah sebesar-besarnya. Hatiku


terasa terbakar. Aku tak rela. Aku memang korban
perundungan, tetapi melihat Faruq yang terdesak, tanpa bisa
membela diri karena tak bisa bicara, membuatku mendidih.
Namun, ibu anak ini juga pasti tak mau kalau anaknya aku
marahi. Dengan sekuat tenaga, aku berusaha menahan emosi
dan melembutkan suara.

“Nak, kalau dibegitukan, kasihan temannya. Sakit, lho.


Jangan, ya?”

Di luar dugaan, anak itu malah melotot lalu


menghampiriku sambil berkata, “Apa? Apa?” Ah, sudahlah,
tak ada gunanya meladeni anak ini. Kugamit tangan Faruq
dan kami segera keluar dari kelas itu. Kami harus pulang!
Sekarang juga.

22
Drama belum usai. Faruq tantrum saat kami akan
menaiki taksi. Dugaanku, Faruq marah karena taksi yang
datang itu joknya bolong-bolong. Kulit Faruq sebagai ABK
dengan masalah sensori memang sesensitif itu. Sering sekali,
Faruq marah dan menangis hanya karena ada sebutir pasir di
sandalnya. Ia tak akan mau berjalan sebelum cuci kaki dan
kakinya dikeringkan kembali. Rumput juga membuatnya geli.
Bukan sekali saja, Faruq tantrum saat mendapat kursi dengan
plastik robek ketika kami makan di restoran. Faruq baru mau
diam dan ikut makan kalau kami bertukar kursi. Di
kesempatan lain, Faruq lebih memilih berdiri. Kelak, baru aku
tahu kalau tekstur tertentu membuat kulit Faruq sakit sekali.

Faruq merosot turun dari taksi dan berusaha lari. Ia sama


sekali tak mau memasuki taksi itu, apalagi duduk di joknya
yang berlubang. Sementara itu, taksi yang terlalu lama diam di
bahu jalan mulai mengundang kemacetan. Tak berhasil
melarikan diri, Faruq mulai berguling-guling di tanah sambil
berteriak-teriak. Ia marah. Aku panik.

Aku menggendong bayi Faiza di tangan kiri, sementara


tangan kananku berusaha menggapai Faruq dan
memasukkannya ke taksi. Mulutku tak berhenti sounding untuk
menenangkan Faruq, padahal hatiku kacau luar biasa.
Adrenalin yang tersisa setelah menegur teman Faruq
membuat jantungku berdebar-debar. Suara klakson motor
dan mobil yang ingin kami segera beranjak makin
membuatku gelisah.

“Nak, yuk masuk yuk, nggak apa-apa kok. Bapaknya


baik,” ujarku memelas.

“Ayo, Sayang, ditunggu Ayah di rumah.”

23
“Yuk, Nak, di belakang banyak mobil. Yuk masuk biar
taksinya cepat jalan.”

“Nak, Bunda ngerti Faruq geli. Tapi please, yuk, masuk.


Bunda pangku deh, yaaa, biar Faruq nggak kena kursinya.”

Berhasil. Ternyata dugaanku benar, kulit jok itu yang


membuatnya terganggu. Faruq pun tenang saat duduk di
pangkuanku selagi taksi itu mulai melaju.

Setelah libur semester, aku dan suamiku menemui kepala


sekolah. Kami izin untuk tidak menyekolahkan Faruq di
sekolah itu lagi. Kuceritakan juga tentang muka Faruq yang
ditendang sepatu saat pulang sekolah dan kejadian Faruq
disudutkan saat pembagian rapor. Guru itu tak menyangka,
karena memang kejadian terjadi di luar pengawasan. Sekolah
itu memang menamakan diri sebagai sekolah inklusi, tetapi
tampaknya klaim itu tak sesuai dengan kenyataan.
Perundungan masih terjadi. Tenaga gurunya juga kurang
memadai.

Beberapa kali kudapati Faruq ditinggal sendirian di


halaman, di bawah terik matahari menjelang jam pulang
sekolah. Saat kutanya gurunya, “Mengapa Faruq ditinggal
sendiri?” Mereka beralasan kalau guru kelas Faruq sedang ada
acara. Akhirnya kelas Faruq digabung dengan kelas lain,
bersama anak-anak yang lebih tua. Dua puluhan anak diampu
satu guru, wajar jika Faruq luput dari pengawasan.

Faruq juga pernah demam tinggi dan dirawat di rumah


sakit beberapa hari, gara-gara minum air dengan gelas yang
dibuatnya dari plastisin. Semua terjadi saat Faruq tak
didampingi. Di situ akhirnya jelas: mungkin memang Faruq
tak cocok sekolah di sini. Kami pun pamit. Aku memasukkan
Faruq kembali ke sekolahnya yang lama sembari terapi di

24
klinik tumbuh kembang dua kali seminggu. Paling tidak,
meski tak berbahasa Inggris, guru Faruq di sekolah lama lebih
bisa memahami dan mengarahkan Faruq dengan baik.

Tak lama setelah kejadian itu, aku hamil anak keempat.


Hasil USG menunjukkan kalau insyaallah anak keempat kami
ini laki-laki. Persis seperti hamil Faruq, aku hampir tak
merasakan gejala apa pun. Aku bisa makan apa saja. Aku juga
masih cukup bertenaga membersamai tumbuh kembang tiga
anak balita kami. Tak jarang, kami bertemu orang yang
memandang kami dengan heran. Entah takjub, entah kasihan
melihat pasangan muda dengan istri yang hamil besar
menggandeng tiga balita yang sedang aktif-aktifnya.

Masalah mulai hadir saat memasuki trimester ketiga. Aku


merasakan kontraksi hampir setiap hari. Bukan seperti
kontraksi palsu atau braxton hicks yang bisa hilang setelah
berbaring atau mengatur napas. Kontraksinya terasa seperti
kontraksi melahirkan. Penyebabnya apa lagi kalau bukan
kelelahan.

Sempat tebersit rasa khawatir kalau bayi kami akan lahir


sebelum waktunya. Cerita-cerita temanku yang anaknya lahir
prematur bikin keder juga. Ada yang bermasalah jantung,
paru, dan organ vital lainnya. Ada juga yang harus operasi di
usia beberapa hari karena retina matanya belum berkembang
sempurna. Biaya perawatan di NICU juga tidak murah. Jujur
aku takut sekali. Aku pun meminta dokter untuk memberiku
resep obat penguat agar anak keempat kami sehat dan bisa
lahir full term.

Sebenarnya, dokter menyarankan aku untuk banyak


beristirahat, tetapi rasanya mustahil. Usia Faiza saat itu 18
bulan dan sedang aktif-aktifnya. Begitu pun Filza. Aku juga
masih harus mondar-mandir mengantar Faruq terapi

25
seminggu dua kali. Belum ditambah urusan pekerjaan dan
rumah tangga. Saat itu, agensi terjemahan kami mendapat
proyek besar untuk menerjemahkan aplikasi media sosial
terbesar di dunia. Pekerjaan datang setiap hari dan aku
hampir selalu tidur larut malam untuk menanganinya.

Sebulan sebelum tanggal persalinan yang diperkirakan,


suamiku berangkat ke Baitullah bersama salah satu pegawai
kami. Memang kami punya program untuk memberi
penghargaan kepada pegawai dengan masa bakti lima tahun,
dengan cara memberangkatkan umrah atau ke negara lain
yang mereka impikan. Aku mengantar suami dengan tenang
karena biasanya hari persalinanku selalu mundur dari
perkiraan. Filza bahkan lahir di usia kehamilan hampir 10
bulan. Saat itu, usia kehamilanku belum memasuki 36
minggu.

Adikku menemaniku mengurus anak-anak selama 12 hari


suamiku di Baitullah. Ada juga asisten rumah tangga yang
datang setengah hari untuk berbenah dan cuci setrika.
Namun, tanggung jawab utama tetap ada padaku. Dengan
perutku yang buncit, aku menggendong Faruq dan Filza ke
atas toilet untuk belajar istinja. Tak jarang, pipis mereka
tercecer ke mana-mana dan aku terpaksa mengepelnya tiga
kali sambil berjongkok untuk menghilangkan najisnya.
Sesekali aku berbaring sebentar kalau kontraksi tiba,
kemudian kembali beraktivitas saat kontraksi mereda.

Ini pertama kalinya aku terpisah lama dengan suami.


Masyaallah, ternyata benar sekali ungkapan bahwa kadang
kita baru menyadari kehadiran seseorang saat ia tak ada.
Biasanya suamiku melarangku mengangkat barang berat,
termasuk mengangkat anak-anak saat belajar buang air di
toilet. Suamiku juga yang biasanya bertugas mengepel untuk
membersihkan najisnya. Suamiku memang kurang sabar

26
menghadapi anak-anak, tetapi ia selalu sabar menghadapi
emosiku yang naik turun. Ia juga selalu sabar setiap malam
memijati kakiku yang pegal setelah seharian mengurus anak-
anak. Sungguh, 12 hari itu aku baru menyadari: tanpa
suamiku, aku tak sekuat itu.

Suamiku datang di hari ke-13, disambut peluk haru


dariku dan anak-anak. Malam itu kami berlima tidur sambil
berpelukan, mensyukuri setiap detik yang Allah berikan untuk
kami kembali bersama.

Keesokan harinya kami mendapat kabar duka. Sepupuku


di Surabaya meninggal bersama bayi yang dikandungnya.
Kabarnya, sepupuku wafat karena perdarahan hebat. Bayinya
tak selamat. Kemudian ia menyusul wafat setelah sempat
kritis selama sepuluh hari. Jujur, berita duka ini membuatku
takut luar biasa. Aku juga perdarahan hebat saat melahirkan
Filza dan Faiza. Dua kali aku lolos dari maut, apakah kali ini
aku bisa lolos lagi?

27
18 | Healing and Reparenting

Secara materi, hidupku bisa dibilang cukup sempurna.


Aku punya suami yang baik, anak-anak yang lucu dan shalih,
rumah yang besar dan nyaman. Aku juga punya banyak waktu
untuk membersamai anak-anak seraya mengembangkan diri
dan usaha. Kebutuhanku tercukupi. Namun, aku masih sering
merasa kosong. Bukan tak bersyukur, melainkan aku terus
merasa perlu mencari sesuatu, entah apa.

Suamiku sudah baik, tetapi kadang hal kecil saja bisa


menyulut kemarahanku padanya. Aku sering merasa tidak
dicintai padahal dia sudah berusaha sebaik mungkin
menunjukkan cintanya. Aku sering merasa sendiri padahal dia
bersamaku hampir setiap waktu, sepanjang tahun. Aku sering
merasa harus menanggung semua beban pengasuhan, rumah
tangga, dan usaha sendirian padahal suamiku pun cukup
berperan.

Batinku berperang hampir setiap hari. Aku tahu kalau


hidup dengan bentakan itu tak enak. Aku juga sudah bertekad
untuk tak meninggalkan luka pada anak-anak. Namun, entah
mengapa, aku sering gagal. Memang aku tak pernah main
tangan, tetapi beberapa kali kubuat mereka menangis karena
ketidakmampuanku mengelola emosi. Apalagi di pagi hari,
saat aku panik karena harus menyiapkan sekolah empat anak
sekaligus dalam waktu yang sangat sempit, atau saat si bungsu
mogok tak mau makan. Begitu juga saat anakku mengulang-
ulang kesalahan atau berulah di depan umum. Masyaallah,
rasanya sulit sekali menahan diri untuk tidak mengomel dan
meninggikan suara.

Untungnya, itu tak sering terjadi. Di sebagian besar


kejadian, aku masih bisa menahan diri. Aku bisa sabar melihat
anakku mencoret-coret seluruh penjuru rumah,

28
menumpahkan cat dan meratakannya di dinding dan lantai,
memecahkan perabot, atau mengacak-acak makanan yang
kubuat dengan susah payah. Aku bisa sabar.

Namun, hatiku jadi penuh sekali. Perasaan yang tertahan


menjadikanku ibarat bom waktu yang mudah tersulut kapan
saja. Bahkan karena hal sepele.

Selama 12 tahun aku menikah, beberapa kali aku punya


pikiran gila untuk mengakhiri segalanya. Aku pernah
berpikiran lompat dari mobil yang melaju kencang, hanya
gara-gara sebal suamiku terlambat menjemputku yang
kewalahan meng-handle anak-anak di tempat umum. Aku juga
pernah mengancam akan lompat dari balkon hotel, hanya
karena suamiku malah sibuk dengan ponselnya, waktu aku
kontraksi karena kelelahan keliling mal di Jakarta saat hamil
anak keempat. Beberapa kali pula aku berpikiran ingin lari,
saking lelahnya mengurus anak, rumah tangga, dan usaha,
tetapi minim apresiasi.

Aku coba mengurai beban dengan cerita, tetapi aku


sering mendapat respons yang tak kuharapkan. Aku dibilang
kurang ibadah, kurang bersyukur, lalu dibandingkan dengan
orang lain yang lebih berat deritanya. Aku mencoba
menghindari rasa sakit dengan menenggelamkan diri dalam
pekerjaan atau bermain dengan anak-anak. Namun, rasa itu
hilang hanya sementara, lalu kembali hadir seperti ombak
yang bergulung-gulung, makin besar dan dahsyat. Menyapu
semua rasa syukur dan bahagiaku. Membuatku kembali
tenggelam dalam perasaan tak dicintai, tak berharga, dan tak
dianggap ada. Perasaan ini selalu kembali dengan gelombang
yang lebih besar, dengan luka yang makin dalam.

Aku baru tahu kalau aku butuh pertolongan setelah


berbincang dengan guru pendamping Faruq. Beliau magister

29
psikologi yang datang ke rumah kami setiap hari selama
pandemi untuk mendampingi Faruq sekolah. Semuanya
berawal dari pertanyaan sederhana, “Kapan kita perlu
bantuan psikolog?”

Menurut beliau, konsultasi dengan psikolog diperlukan


jika dirasakan ada perubahan dalam hidup. Misalnya, dari
ceria berubah jadi murung, terus-terusan merasa takut dan
khawatir, atau ada beberapa episode ledakan emosi yang tak
tertahankan. Bagi orang yang beberapa kali berpikir akan
mengakhiri hidup, ke psikolog bukan lagi sebuah kebutuhan,
melainkan keharusan yang perlu disegerakan.

Saat itu masih pandemi dan belum memungkinkan


bagiku untuk datang langsung ke psikolog, sehingga aku
mencari psikolog secara online. Qadarullah aku bertemu dengan
iklan program Cyclebreaker Class yang diadakan oleh Bu
Silmy Risman, seorang psikolog yang concern dengan psikologi
dalam pandangan Islam. Tanpa pikir panjang, aku pun
mendaftar. Durasi kelas ini satu tahun dengan materi yang
berbeda setiap bulannya. Ada latihan dan worksheet yang perlu
dikerjakan setiap hari. Tidak seperti kelas biasa, semua tugas
itu tidak dikumpulkan. Tidak juga dinilai. Namun, tugas itu
dampaknya begitu terasa bagi kesehatan mentalku.

Di kelas ini hampir semua pertanyaanku terjawab. Aku


baru tahu: ternyata aku tak harus tangguh setiap waktu.

Aku boleh capek. Aku boleh istirahat. Aku boleh


sedih. Aku boleh menangis. Aku juga boleh
menampakkannya di depan anak-anak. Agar anak-anak
belajar, capek dan sedih adalah manusiawi, mereka juga
boleh merasakannya.

30
Satu kisah yang disampaikan Bu Silmy dan begitu
membekas: tentang Rasulullah yang begitu larut dalam
kesedihan setelah beliau ditinggal Khadijah dan Abu Thalib.
Kesedihan itu begitu mendalam hingga tahun tersebut
termasyhur dengan nama ‘Aamul Huzni, artinya: tahun
kesedihan. Kemudian Allah menghibur Rasulullah dengan
peristiwa Isra Mikraj. Allah membawa Rasulullah dari
Masjidilharam ke Masjidilaqsa, kemudian ke Sidratulmuntaha
dengan buraq.

Allah begitu Pengasih. Lalu, mengapa manusia begitu


mudah menghakimi? Menyebut orang yang sedih dan terluka
sebagai orang yang kurang bersyukur dan kurang ibadah?
Mengapa jadi perempuan, terutama ibu, dipaksa untuk
tangguh setiap waktu dan dilarang menangis? Bukankah
semua emosi itu Allah yang beri? Kalau manusia tak boleh
menangis, untuk apa Allah kasih kita air mata?

Di kelas-kelas Bu Silmy itulah, aku benar-benar merasa


diterima sebagai manusia. Aku boleh marah. Aku boleh
menangis. Aku diizinkan dan berhak merasakan semua
perasaan yang ada. Menyelami semua luka, mengatur batasan,
menerima semua ketidaksempurnaanku, dan berhenti
berusaha menyenangkan semua orang.

Bu Silmy menyarankan kami untuk konseling dengan


psikolog agar sampah-sampah emosi kami terurai. Aku pun
membuat janji temu online dengan salah satu psikolog ibu
kota. Di pertemuan pertama, baru saja aku buka suara, air
mataku sudah mengalir deras tak tertahankan. Satu jam aku
menangis tanpa henti. Kepalaku pening dan mataku bengkak
karena terlalu banyak menangis, tetapi malam itu aku bisa
tidur nyenyak sekali. Ini pertama kalinya aku merasa didengar
tanpa dihakimi.

31
Di pertemuan kedua, perasaan dan lukaku mulai tergali.
Ternyata lukaku banyak sekali. Orang yang terluka cenderung
melukai. Hurt people hurt people. And all those pain can be traced
waaayyy back in my childhood.

Dari konseling psikolog itu, kutemukan luka terdalamku:


aku takut ditinggalkan, aku takut sendirian.

Aku bukan trauma suara klakson, melainkan trauma


ditinggalkan ayah yang meninggalkanku karena aku tak ada
saat klakson motor ayahku berbunyi. Aku selalu tergesa-gesa
dan panik di waktu sempit, beberapa kali aku harus mengejar
motor ayahku yang melaju meninggalkanku karena aku
lambat saat bersiap-siap ke sekolah.

Melihat ayah meninggalkan ibuku: membuatku jadi


terlalu posesif pada suami dan anak-anak. Aku bisa hancur
seketika kalau suamiku pergi jauh atau pulang terlambat tanpa
memberi kabar. Padahal bisa jadi, ia tak mengabari karena
pulsanya habis atau ponselnya mati. Aku juga bisa marah luar
biasa kalau anakku keluar rumah tanpa izin. Ada rasa
khawatir, tetapi rasa takut ditinggalkan tak kalah besarnya.
Aku takut kalau mereka pergi meninggalkanku, aku sama
siapa? Siapa lagi yang akan menyayangiku?

Terlalu banyaknya kritik dan paparan bully saat aku kecil


membuatku sulit mencintai diriku sendiri, sehingga aku selalu
menggantungkan diri pada cinta dari orang lain. Aku ambisius
mengejar harta dan prestasi agar dipuji dan dicintai. Aku
selalu berusaha tampil sempurna. Tak boleh ada kesalahan
sedikit pun. Usahaku harus maju, aku harus kaya! Aku harus
punya anak banyak! Aku harus lahiran normal dan ASI
eksklusif semua! Anakku harus juara! Suamiku harus romantis
setiap hari! Anakku harus jadi anak disiplin, santun, cerdas,

32
shalih, dan sukses dunia akhirat! Semua harus sempurna,
keluargaku harus sempurna!

Harus, harus, harus. Semua menjadikan aku orang yang


penuntut, berangan-angan tinggi, tetapi rapuh. Aku hancur
saat ternyata aku mendapat anak istimewa. Aku malu kalau
anakku berlarian. Padahal, bukankah memang fitrah anak
kecil adalah berlarian? Berada di tempat umum membuatku
selalu tersiksa karena aku takut orang melihat: kalau ternyata
aku tak sesempurna yang tampak di media sosial. Aku takut
ketidaksempurnaan itu akan membuat semua orang
meninggalkanku. Mereka takkan lagi mencintaiku,
mendengarkanku, dan menghargaiku.

Aku harus sempurna agar mereka menganggapku ada.

Dari kelas dan konseling dengan psikolog itu, ternyata


masalahnya ada padaku. Aku terlalu keras pada diriku sendiri.
Aku terlalu membenci diriku sendiri hingga selalu merasa tak
layak untuk dicintai. Aku tak menerima kekuranganku
sehingga kukira, orang lain juga takkan bisa menoleransi
kekuranganku. Bukan orang lain yang tak menghargaiku,
melainkan aku sendiri yang selalu menganggap diriku tak
berharga karena luka-luka dan ketidaksempurnaanku.

Padahal, aku berhak untuk dicintai tanpa syarat. I am


enough. Tanpa prestasi, tanpa seluruh kesuksesan ini, tanpa
perlu mengubah diri, tanpa harus jadi lebih pintar atau lebih
sukses, lebih langsing, lebih cantik … ada mereka yang
mencintaiku apa adanya. Namun, aku harus mencintai diriku
dahulu agar bisa menerima cinta orang lain. Tak perlu
menunggu tangki cintaku terisi, akulah yang harus mengisinya
lebih dahulu. Akulah orang pertama yang harus memaafkan
kesalahan dan kebodohanku, juga menerima semua takdir
Allah atasku.

33
Aku harus menerima ketidaksempurnaanku
sehingga aku pun bisa menerima bahwa orang tua,
suami, dan anak-anakku juga tak sempurna. And that’s
okay.

Di tahun ke-12 pernikahanku, di usiaku yang sudah 35


tahun, untuk pertama kalinya aku bisa berpikir jernih. Aku
baru bisa memahami: dunia tidak berputar di sekitarku saja.
Bukan cuma aku yang punya luka. Semua orang punya luka.
Begitu juga orang tuaku, suamiku, dan orang-orang yang
dahulu menzalimiku. Mereka memperlakukan aku sedemikian
rupa karena mereka pun punya lukanya sendiri.

Ayah memukuli dan meninggalkanku bukan karena ia


membenciku atau karena aku tak berharga untuk dijaga,
melainkan karena cuma itu cara yang ia tahu, dari cara
kakekku memperlakukannya. Itu di luar kendaliku. Aku tak
bisa memutar waktu lalu menyuruh ayah memperlakukanku
seperti yang kumau. Namun, aku bisa menghentikan tradisi
itu. Cukup aku saja yang merasakannya.

Aku tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas


cara ayahku jadi orang tua. Namun, caraku menjadi ibu,
sepenuhnya adalah tanggung jawabku. Aku tak bisa
memilih lahir dari orang tua mana, tetapi aku bisa
memilih: seperti apa aku akan jadi orang tua?

Akan kujadikan rumahku sebagai tempat pulang


ternyaman bagi anak-anakku setelah menghadapi kerasnya
dunia. Kuluaskan hatiku untuk memberi rida sebanyak-
banyaknya, agar memudahkan jalan anak-anakku di dunia.
Kubuka pintu maaf selebar-lebarnya, kuterima anak-anak apa
adanya.

34
Kusembuhkan lukaku agar aku bisa sebaik mungkin tak
memberi luka di hati anak-anak. Kumaafkan dan kuikhlaskan
semua yang memberiku luka, agar hatiku lebih ringan dan
semoga kelak tak membebani mereka yang menyakitiku.
Kuterima semua takdir Allah untukku. Mungkin pahit, tetapi
bukankah kadang Allah memberi yang tak kita sukai (meski
itu baik)?

Tanpa orang tuaku, aku takkan sampai di titik ini. Aku


yakin, di balik kerasnya hati dan perilaku ayah, doanya tak
henti mengalir untukku. Begitu pula ibu. Di balik
kesibukannya mengurus rumah dan memenuhi kebutuhan
rumah tangga, ibulah yang selalu ada untukku. Ibu orang
pertama yang bahagia atas hadirku, ia jadi orang pertama yang
menginginkanku bahagia.

Saat rasa sakit dan trauma itu kembali datang tiba-tiba,


kubayangkan aku memeluk anak kecil dalam diriku. Ia
menangis, sendiri, dan terabaikan di kegelapan. Pundaknya
bungkuk karena beban di pundaknya besar sekali. Kaki
mungilnya yang penuh luka berjalan terseok-seok. Jauh sekali
jarak yang ia tempuh hingga di titik ini.

Kupeluk ia erat-erat sambil kukatakan padanya:

“Hai, terima kasih sudah bertahan, ya! Kamu hebat


sekali! Jangan sedih lagi, ya, kamu nggak akan sendirian lagi.
I’m with you. Ada Allah yang sayang padamu dan begitu luas
ampunan-Nya untukmu. Ada suami dan anak-anakmu yang
mencintaimu tanpa syarat. Ayah pergi bukan salahmu. Ayah
ibu berpisah juga bukan salahmu. Kamu di-bully juga bukan
salahmu. Iparmu meninggal bukan salahmu. Semua di luar
kendalimu. Nggak apa-apa sedih. Kamu boleh sedih. Kamu
boleh nangis. Let go. Kamu nggak harus kuat terus. Kamu
boleh menjadi dirimu sendiri dan meluapkan perasaanmu,

35
tanpa merasa bersalah. Kamu orang baik, kamu cantik, kamu
pintar, kamu hebat, dan kamu layak dicintai. You deserve to be
happy, you are worth protecting. I see you, I hear you. Aku bersyukur
memilikimu. I love you. Terima kasih sudah kuat bertahan
hingga saat ini, ya!”

Perjalananku belum usai. Namun, masyaallah, dengan


luka yang terobati, aku siap menghadapi apa pun tantangan di
depanku. Mimpiku telah terwujud. Kini tugasku adalah
menemani anak-anakku merajut mimpi-mimpinya,
mendampingi suamiku menjalani perannya, hingga kelak kami
semua berkumpul kembali di surga. Aamiin yaa rabbal’aalamiin.

36
Tentang Penulis

Mawar Firdausi, ibu dari lima anak dengan jarak usia


berdekatan (dua di antaranya ADHD). Aktif berbagi
pengalaman tentang ibu, parenting, dan anak berkebutuhan
khusus di Instagram dan TikTok @mawarf6.
Lulusan Sastra Inggris, Universitas Negeri Malang. Pernah
mengikuti kelas Institut Ibu Profesional dan Cyclebreaker
Class.
Aktif sebagai pendiri Translation Linker (bersama suami),
penerjemah, penulis buku, kreator konten, dan pembicara.
Karya-karya lain bisa ditemui di buku antologi: Lovely
Birthstory, Bukan Berbeda tapi Istimewa, Mulazamah Leksikal.

37
Hai, Pengawal Buku!

Selamat, kamu sudah tiba di sini. Bersabarlah sedikit lagi.


Sebab, kamu masih harus berjalan. Di depanmu terhampar
kesempatan besar untuk mengenal dirimu lebih dalam:
seorang perempuan dengan banyak keraguan dan ketakutan.

Terima kasih sudah menapaki jalan dengan tegap dan tegar.


Meskipun diselimuti luka masa kecil, sebuah perasaan tak
cukup berharga untuk dicinta. Terima kasih karena telah
menjadi gadis dewasa yang terus belajar. Terima kasih, ya,
sudah berkenan menemani kelahiran buku ini. Semoga
beriringan dengan kesembuhan dirimu.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca beberapa bab buku


Kukira Aku Tak Sanggup Jadi Ibu? Sebuah perasaan yang lahir
dari keraguan panjang menjadi perempuan tangguh. Siapkah
kamu membaca lanjutan gelombang yang akan menyapu
ketakutanmu ... menjadi seorang ibu?

Setelah ini, kamu bisa kirimkan review berupa rating dan


feedback yang bermanfaat untuk penulis dan penerbit. Sertakan
juga namamu dan testimoni terbaik versi kamu yang akan
ditampilkan di buku.

Kamu bisa klik bit.ly/reviewkatsji untuk menuju pintu


terakhir. Kawal buku ini sampai hari Jumat, 14 Juli 2023.

Kami akan mengumumkan para pengawal terbaik pada hari


Senin, 17 Juli 2023. InsyaAllah. Para pengawal terbaik akan
38
mendapatkan buku ini secara gratis.

Selanjutnya, kamu bisa mengikuti Pre-Order bersama


@linimasabooks mulai hari Sabtu, 29 Juli 2023, pukul
17.00 WIB.

Bersamaan dengan launching Pre-Order, akan ada semacam


diskusi via Zoom, kita sama-sama mengurai keraguan untuk
menjadi seorang ibu. Ikuti terus informasinya melalui
Instagram kalau tak ingin ketinggalan.

Di halaman ini, biarkan kami memelukmu dengan doa:


semoga Tuhan menuntunmu untuk menemukan cinta terbaik
dari-Nya, membuatmu sadar bahwa kamu berharga,
menyembuhkan lukamu hingga kamu bisa menjadi versi
terbaik dirimu.

Dari kami yang ingin tumbuh bersamamu,


Mawar Firdausi & Tim Linimasa

39

Anda mungkin juga menyukai