Prolog
Perkenalan bukan pertanda kita mengenal diri kita atau mengenal orang lain,
banyak hal yang kita tutupi karena kita mungkin tidak siap untuk saling mengenal.
Kita tidak lebih dari sebuah rahasia yang kita kunci rapat rapat, seraya menunggu
seseorang membawa kunci dan membuka siapa sebenarnya diri kita.
Perkenalan mungkin bukan hal yang sulit, tapi menerima kenyataan tentang diri kita
itulah yang sulit.
Pada akhirnya, kita tetap harus saling mengenal karena itu kodrat dari Tuhan
tentang kita.
Pagi menjadi waktu yang cukup mengesalkan bagiku, badan yang masih
nyaman berpelukan dengan guling dan sandaran kasur yang empuk harus di
bangunkan oleh suara yang dalam dan nyaring. Suara itu datang dari seorang yang
jasanya dalam hidupku mungkin tidak bisa digantikan oleh apapun. Itulah bapakku
yang sering membangunkanku untuk tak lupa menunaikan kewajiban sebagai seorang
muslim, walaupun aku harus akui aku tak pernah benar-benar menuruti kemauannya
untuk bangun dan menunaikan kewajiban beribadah. Bapakku adalah orang yang
sangat taat dalam beribadah dan menurutku ia satu-satunya orang yang kulihat tak
pernah luput dalam melaksanakan kewajiban sebagai muslim. Begitupun ibuku yang
mungkin sudah didik dan mengikuti langkah ayahku. Sayangnya, itu memang belum
berdampak padaku.
Aku adalah anak Sembilan dari sepuluh bersaudara, sebuah keluarga yang
besar di era millennium ini. Orangtuaku adalah teladan bagi hampir seluruh
masyarakat di sekitar rumahku, maupun dilingkungan pasar tempat ayahku
berdagang. Bapakku bekerja sebagai penjual kopi di pasar dan ibu hanya ibu rumah
tangga pada umumnya, tapi mereka justru lebih dikenal sebagai ustadz dan ustadzah.
Semua anak-anaknya disekolahkan di lembaga pendidikan berbasis islam atau orang
lebih familiar dengan nama pesantren. Jujur, ketika aku dilahirkan dan dibesarkan
oleh orangtua yang dianggap tokoh, bagiku itu sudah menjadi beban yang besar dan
ketika aku harus menempuh sekolah di pesantren , aku merasa sangat berat hati untuk
menerimanya. Rasa resah dan gelisah menjadi bukti penolakan batin akan hal itu tapi
dari situlah perjalanan hidupku yang berkesan di mulai.
Sayangnya, kesalahan itu tak pernah benar-benar kita akui karena kita manusia yang
hanya ingin dipandang benarnya saja
Lebih banyak dari kita menyalahkan kesalahan untuk menjadi benar, dan lupa
membenarkan apa yang menjadi salah
Hidup itu untuk mencari hal- hal yang benar bukan pembenaran, apalagi merasa
benar atas kesalahan.
Namaku Muhammad Fahrizal Rabili sudah pasti nama itu penuh dengan
harapan dan tanggung jawab yang besar. Dibalik nama itu ada keinginan orangtua
agar aku menjadi tauladan seperti baginda rasulullah. Fahrizal bermakna agar aku
menjadi pemuda yang selalu bersifat muda dan Rabili diambil dari nama ulama asal
mesir begitulah kata ibuku. Ada harapan dan doa dibalik nama itu yang selalu ku
bawa, setidaknya aku baru menyadarinya hari ini setelah aku sudah tumbuh lebih
dewasa. Sewaktu kecil yang aku tau namaku selalu di daftar tengah absensi kelas dan
namaku terlalu panjang, imbasnya namaku cukup sulit untuk dikenali oleh guruku
dan namaku tak cukup untuk kertas jawaban UN. Dan lebih menyebalkannya yang
disingkat di kertas jawaban UN itu nama depanku yang cukup aku banggakan.
Walaupun namaku bagus dan penuh harapan didalamnya, temanku lebih memilih
memanggilku dengan sebutan Qubil, diambil dari nama seorang artis komedian
betawi yang menurutku tidak begitu lucu. Mau tidak mau aku harus menerima nama
panggilan itu. jika tidak, aku bisa di jauhi dalam pergaulan.
Aku ingat sekali saat aku lulus sekolah dasar nilaiku sangat memuaskan,
bahkan diluar ekspektasi orangtuaku yang biasa melihat nilai ku tahun-tahun
sebelumnya yang biasa saja. Guruku yang membimbingku sampai sejauh itu berharap
aku masuk sekolah unggulan karena baginya aku layak dan beliau dapat penghargaan
sebagai guru berprestasi yang menghantarkan banyak muridnya ke sekolah unggulan.
Harapanku untuk membuktikan aku layak pun semakin tinggi, gelora didada bahwa
aku murid berprestasi dan tak boleh di sia-sia kan, kian memuncak. Aku bahkan
bilang ke semua temanku kalau aku akan menjadi yang terbaik suatu saat nanti.
Begitulah ekspektasiku saat itu, begitu yakin sekaligus polos. Ternyata orangtuaku
punya rencana lain yang bahkan mungkin aku mengerti namun sengaja aku tak ingin
tahu akan hal itu. Dan ternyata itu benar, orangtuaku tak setuju aku belajar di sekolah
unggulan dengan alasan tak cukup pelajaran agama, beliau sangat bersikeras aku
masuk pesantren dan berharap salah satu anaknya jadi penerus aktivitas dakwahnya,
seperti bagaimana beliau beralasan pada kakak-kakak ku yg lain.
Mendengar hal itu bagiku yang masih berusia sangat muda meruntuhkan
harapan, sesaat rasa kekecewaan lebih tinggi dari pada rasa bangga pada orangtua.
Bukan aku ingin menyalahkan pesantren hanya saja bagi lingkungan pertemananku
saat itu, pesantren itu lebih di kenal sebagai tempat buangan anak nakal, kampungan
dan tidak ada yang bisa dibanggakan dalam pergaulan. Aku yang sangat suka belajar
dan membaca serasa di oyak oleh kenyataan bahwa yang aku lakukan untuk dapat
nilai tinggi adalah hal percuma.
Rasa syukur, itu yang selalu dikatakan orangtua dan kakak-kakak ku, bahwa
aku masih beruntung bisa sekolah, tapi aku kadung kecewa dan marah. Kata-kata
bijak itu seolah tak pernah masuk dalam otak apalagi hati untuk direnungi. Hari-hari
berikutnya aku tak lagi ingin berusaha belajar atau membaca karena pasti percuma,
nantinya aku hanya jadi penerus orangtua, jadi untuk apa punya harapan karena pasti
nanti hancur juga oleh keinginan orangtua.
Padahal jujur aku sangat suka membaca dan belajar hal baru, bahkan sejak
usia dini aku lebih suka ke perpustakaan daripada tempat hiburan. Aku senang
menjadi lebih tahu dan membanggakan diri dengan bangga di depan temanku. Aku
bahkan bisa membaca 5 sampai 20 halaman perhari, yang mana bagi seorang anak
kecil yang tinggal dekat persimpangan rel kereta api yang kumuh itu sangat "keren".
Hari dimana aku masuk pesantren pun berlangsung, apa yang ada dibenakku
ini hanya "tempat buangan" anak-anak nakal yang tak bisa diatur padahal tidak
sepenuhnya benar seolah membutakan mataku, jujur hari itu aku tak benar-benar
ingin berkenalan, serasa senyum pada yang lain saja berat mana mungkin aku
menyapa duluan. Aku mengenal mereka dan mereka mengenalku hanya karena
namaku yang menurut mereka bagus. Aku pun sedikit teringat tentang makna namaku
itu, seraya cukup menyesal namun itu tidak meruntuhkan rasa kecewa ku. Tiap hariku
tidak begitu baik, aku lebih memilih jadi pemalas dan menghabiskan sisa hari dengan
menghabiskan uang untuk bermain game console rental, setidaknya itu jadi pilihan
yang menenangkan daripada harus bertemu temanku dulu. Aku malu untuk menerima
aku sekolah di pesantren dan memberitahu mereka. Mereka sebenarnya tidak begitu
peduli dimana aku melanjutkan sekolah, hanya saja obrolan kami tidak akan begitu
cocok satu sama lain. Aku tidak ingin memaksakan untuk bergaul lagi dengan
mereka.
Dari rokok pula pintu pergaulan berikutnya terbuka, pergaulan genk jalanan.
Aku yang sudah ada dalam tongkrongan mencoba ranah baru yang luas, aku mulai
mengenal salah satu genk besar di jawa barat. Sejujurnya mereka yang di dalam genk
itu orang yang cukup baik dalam pertemanan hanya saja kata “anjing” dan “goblok”
menjadi imbuhan yang harus selalu ada dalam percakapan.
Dalam genk itu aku seolah dibawa kedalam masa jaman prasejarah dimana
berebut dan mempertahankan wilayah kekuasaan adalah keharusan dan hidup hanya
untuk unjuk kekuatan dan keberanian saja. Dengan penampilanku yang tidak begitu
antagonis membuatku tidak menjadi bagian tukang pukul di genk, tugasku hanya
pencari informasi di wilayah yang menurut mereka musuh. Posisiku yang hanya
pencari informasi membuatku jarang ambil bagian dalam tawuran atau perang antar
genk, seingatku aku hanya ikut sekali dengan membawa balok kayu yang tidak aku
pukulkan pada siapapun dan hanya aku gunakan untuk menggertak saja. Salah satu
hal yang menurutku menjadi racun dalam genk itu adalah ketika mereka merasa
bangga ketika sudah memukul atau menjatuhkan lawan. Perilaku bar-bar ini yang
paling ku benci, tapi mau bagaimana lagi aku sudah terlanjur basah, setidaknya aku
cukup aman ketika mereka jadi tameng bagiku.
Seiring dengan berjalannya waktu, pergaulan di genk jalanan tidak begitu
banyak di gemari. Aku yang saat itu sudah agak jenuh memulai kembali pencarian
baru dalam mengubur rasa kecewa dan penyesalan. Disaat itulah aku menemukan
musik genre punk. Punk yang tidak hanya menyuguhkan musik saja tapi juga cara
hidup membuatku sedikit tertarik. Moto anti kemapanan menjadi sesuatu yang jenius
bagiku dikala orang banyak bergantung pada kekayaan. Musik ini memiliki beat yang
kencang dan liriknya sungguh menyajikan kenyataan hidup dalam masyarakat. Dalam
pergaulan punk hidup itu tak perlu bergantung pada orang tapi bukan berarti acuh dan
abai pada oranglain. Mulai dari menyukai lagunya, menemukan orang yang sepaham
dan pandai bermain alat musik hingga akhirnya membuat sebuah grup band menjadi
pengalaman berharga. Aku mungkin di bekali suara yang cukup bagus sebagai
vokalis tapi untuk genre ini suaraku terlalu pop, menjadi bassis dan backing vocal lah
yang kupilih.
Kehidupan anak band itu tidak sepenuhnya buruk namun bukan berarti baik.
Kebanyakan anak band menjadikan malam sebagai aktivitas sedangkan siang menjadi
waktu yang tepat untuk menghabiskan mimpi yang tertunda di malam hari. Musik
memberikan warna yang berbeda tidak seperti pergaulanku sebelumnya. Aku lebih
bisa mengekspresikan diri, mencurahkan keresahan dan berjejaring yang sangat luas.
Penyesalan memang selalu datang diakhir, namun bukan berarti itu adalah akhir.
Kita tidak lebih dari kumpulan-kumpulan kesalahan masalalu yang coba kita
perbaiki
Sudah lebih dari empat tahun aku hidup dalam lingkaran kekecewaan diriku
dan kekecewaan orangtua atas diriku. Cukup banyak hal yang aku lewati, dan
mungkin aku harus berubah, tapi sayangnya itu tak semudah mulut berucap. Aku
mulai merenungi tentang apa saja yang harus aku ubah jika aku ingin lebih baik. Hal
pertama harus kulakukan adalah memilih lingkungan baru dalam pergaulan.
Awalnya semuanya berjalan normal saja, tapi ada sesuatu yang mengganjal
pikiranku. Jika aku pikirkan lebih mendalam ternyata lingkungan ini terlalu kaku
bagiku, aku merasa mereka yang didalamnya kurang dalam mengekspresikan
pemikiran mereka dan berpatok pada perkataan alumni sebelumnya. Dengan bekal
keberanian yang aku miliki, aku mencoba memasukan pola pikir yang lebih bebas
dan anti kemapanan. Pada setiap kesempatan perkumpulan, aku selalu mengkritik dan
mengungkap argumen yang kontra agar diskusi menjadi lebih hidup. Memang tidak
semudah itu, aku lebih banyak tidak disukai karena keberanianku, tapi tidak sedikit
yang ternyata sependapat denganku. Sejatinya mereka hanya tidak menyukai caraku
berpendapat yang terlalu frontal dan berantakan dalam penyampaian, aku sadar
lingkungan seperti ini yang sesuai denganku bahkan aku diarahkan dan didorong
untuk mempertajam caraku untuk berpendapat. Harus aku akui mereka lebih dulu di
organisasi jauh lebih punya banyak pengalaman dan pemikiran mereka sudah tajam
itu cukup sulit untuk dilawan namun inilah awal dari pertemuan kembali diriku
dengan buku.
Melawan arus karya Ridho Al-Hamdi menjadi buku pertama dan pembuka
yang cukup membuatku tergugah, sebuah buku refleksi yang menyajikan bagaimana
seorang aktivis berdikari dalam berpikir. Imajinasiku yang lama sedikit demi sedikit
tumbuh kembali. Buku itu sedikit banyak mengawali bagaimana aku harus sistemik
dalam berubah, membuka paradigma yang kaku agar lebih fleksibel serta bagaimana
mengolah kritik. Buku itu aku dapat secara gratis pemberian seorang teman di
organisasi, sekali lagi sungguh sangat suportif lingkungan ini, dari situ aku sadar jika
kemauanku tinggi maka segala kemewahan buku yang mahal bisa runtuh. Kini aku
punya tujuan kembali untuk membaca buku, meski buku yang kubaca kini tidak
menjadikanku pintar dan beprestasi di kelas tapi setidaknya buku yang kini kubaca
membuatku lebih cerdas, karena cerdas tidak sama dengan pintar.
Sejatinya apa yang dimau orangtuaku memang yang terbaik, hanya saja aku
dengan segala keegoisanku seolah menutup mata akan hal itu. Jujur saja guru di
pesantren itu lebih terbuka pemikirannya dan mereka lebih ikhlas dalam mengajar
dan tidak terlalu mementingkan pengakuan. Serta organisasi pelajarlah yang
membuatku kembali menemukan gairahku dalam membaca, lingkungannya yang
sangat membuatku nyaman serta yang paling aku suka mereka sangat suportif sesuatu
yang jarang di temukan di banyak lingkungan manapun. Aku dulu terlalu percaya
dengan omongan orang yang belum tentu benar, tapi setidaknya tidak terlambat
bagiku berproses karena aku menghabiskan sisa-sisa tahun yang menyenangkan di
pesantren.
Epilog
Mungkin ini hanya cerita tentang diriku yang tidak begitu beraturan, dan
mungkin tidak penting bagi orang lain, setidaknya cerita ini menjadi refleksi bagiku.
Kepuasan akan mencurahkan apa yang menjadi keresahanku sedikit tersalurkan
dalam tulisan ini. Pengalaman ini sangat berkesan bagiku, aku sampai saat ini masih
mencoba menghargai setiap apa yang orangtuaku inginkan. Itulah sekelumit kisah ku
semoga kita benar benar bisa saling mengenal satu sama lain tanpa harus menutupi
siapa sebenarnya kita. Dan aku berharap kalian yang membaca ini menjadi pembawa
kunci yang membuka rahasia tentang hidupku.