Anda di halaman 1dari 6

II4472 Komunikasi Inter Personal | Cerita Hidup | Fajar Nurhaditia P |

18212027
Singkat saja, kisah ini ditulis dalam bahasa yang
non formal, metaforis, dan ala kadarnya tanpa ada
unsur pemalsuan ataupun rekayasa.
Fajar, itulah namaku. Fajar Nurhadi adalah nama
panjangku. Nurhadi merupakan nama Ayahku,
satu-satunya. Jangan dong pak, masa nama anak
kita namanya itu banget. Kurang bagus. Ganti!
seru ibuku kepada ayahku. Akhirnya melalui
keputusan bersama kedua orang tuaku, namaku
menjadi Fajar Nurhaditia Putra. Seorang muslim
yang masih jauh dari kesempurnaan.
Ya , seperti ltulah ceritanya. Namaku Fajar, tapi aku sebenarnya lahir pada siang
hari sekitar pukul setengah satu siang tanpa kehadiran Ayahku, sedih bukan? Lahir
di Pati pada tanggal 3 Desember 1994 membuatku berumur 21 tahun sekarang. Aku
sebenarnya anak ketiga dari tiga bersaudara, namun kejadian yang tak bisa saya
ceritakan membuat kedua kakakku telah tiada di dunia ini, namun aku yakin mereka
berdua telah menunggu kami (aku dan kedua orang tuaku) di Surga, menanti
dengan sabar kedatangan kami, amin. Jadilah aku, seorang anak bungsu, yang
tunggal, yang menjadi harapan kedua orang tuaku. Oh iya, Ibuku bernama Titik
Kiswati, konon dari nama tengahku, Nurhaditia, tia diambil dari nama ibuku, itu ibuku
sendiri yang bilang.
Akan kuceritakan sekilas kepadamu tentang kota kelahiranku. Pati merupakan kota
kelahiranku, sebuah kota kecil yang terletak di pantura timur yang terkenal akan

pabrik kacangnya yaitu PT Dua Kelinci. Di sini kamu tidak akan menemukan
gemerlap kehidupan, tetapi kenyamanan dan ketenangan hidup. Tidak akan kau
temukan gedung gedung pencakar langit, hanya hamparan sawah dan rumah
minimalis di sepanjang jalan. Tak akan kau temui kemacetan, hanya ruas jalan yang
nyaris sepi dan lancar. Harap maklum karena kota pati sering disebut sebagai kota
Pensiunan, dan beberapa julukan lainnya.
Aku seorang introvert, bukan seorang party animals apalagi pecandu narkoba. Aku
memiliki banyak rahasia, seperti layaknya orang lain yang bahkan hanya Tuhanlah
yang tahu rahasia itu. Seorang pengamat, idealis, melankolis, yang lebih sering
mengalah demi kebahagiaan orang lain. Aku tak suka dimarahi, diatur-atur, dan
disuruh-suruh, jadi tolong ingat hal tersebut. Tetapi aku sangat suka membantu
orang lain, just ask me, i will help you unconditionally.
Akan kuceritakan secara singkat, padat, dan jelas 17 tahun kehidupanku di kota
kelahiranku, Pati dan 4 tahun kuliah di kota Bandung, ya kota Kembang. Kumohon,
jangan berekspektasi tinggi terhadap cerita kehidupanku, kehidupan yang normal ini.
Di usia 0-5 tahun, entah mengapa aku sungguh sama sekali tidak mengingat masa
kecilku dengan detail. Entah kenapa memori di otakku tentang masa kecilku seakanakan hilang begitu saja. Hanya testimoni testimoni dari lingkunganku yang
membantu membangun memori masa kecilku ini. Mulai dari ibu yang bilang bahwa
aku yang tak bisa ngomong sampai usiaku 2 tahun, sempat dianggap idiot(?),
kelainan hingga ada masalah dalam pertumbuhan. Banyak yang bilang bahwa aku
jarang disuh ibuku dan sering dititipkan ke adik ibuku hingga aku pun minum asi dari
berbagai orang yang berbeda, tapi masih satu keluarga. Aku yang dulu suka di bully
kakakku, namun aku sendiri lupa muka kakakku sampai aku melihat koleksi foto

keluargaku. Ya, ayahku suka mengabadikan momen masa kecil kami sehingga aku
mengetahui banyak kejadian yang tak kupahami semasa aku kecil. Usia empat
tahun, aku dimasukkan Ibuku ke TK Yaummi Fatimah. Mempelajari calistung dan
mengisi waktuku dengan bermain dengan teman sebaya layaknya bermain tanpa
mengenal waktu. Setelah menghabiskan waktu bermain-main di TK, aku
melanjutkan Sekolah Dasar yang masih satu lembaga dengan TK ku sendiri, yaitu
MIT Yaummi Fatimah lantaran usiaku yang masih 5,5 tahun sehingga Sekolah Dasar
Negeri tidak menerima diriku, daripada telah lebih baik kecepetan setengah tahun,
itu kata ibuku.
Sekolah dasar mungkin merupakan salah satu kehidupan terketat yang pernah aku
jalani di dalam kehidupanku. Waktu bermain yang sedikit, pelajaran yang jumlahnya
di atas batas normal, hingga jam pulang yang selalu sore. Berbanding jauh jika
dibandingkan dengan temanku yang di SD negeri, seakan-akan tidak ada beban.
Aku tahu tujuan dari sekolahku adalah menjadikan kami sebagai calon intelektual
muslim yang memiliki kepribadian yang baik. Terlihat dari hasil evaluasi yang
dilakukan, sekolah dasarku tidak menuntut siswa untuk pintar, tapi lebih menuntut
kepada akhlak yang baik, budi pekerti, dan taat kepada Allah SWT. Sistem yang
namanya ranking pun tidak ada di sini. Mungkin dulu terasa aneh karena nilai
seakan-akan tidak diapresiasi, namun sekarang aku mulai paham mengapa sistem
itu diberlakukan. Sempat mengikuti kompetisi olimpiade matematika Pasiad namun
hanya sampai menjadi finalis karena pada dasarnya aku tidak belajar, syukur-syukur
menjadi finalis. Yang penting bisa jalan-jalan, pikirku waktu itu.
Lanjut, di tingkat sekolah menengah, aku mengenyam pendidikan di SMP N 3 Pati
dan SMA N 1 Pati. Dua-duanya merupakan sekolah favorit di Pati. Kamu pun masih
bisa menemukan jasa pembelian bangku dari jalur belakang, ya karena butuh duit

lah pastinya sekolahnya, tapi Alhamdulillah aku diterima karena memang usahaku
dan hadiah yang diberikan oleh Allah SWT. Di SMP, aku mengikuti ekstrakurikuler
Tilawah, kenapa? Karena di situ kamu bisa bermain dengan dan meningkatkan ilmu
agama kamu. Sebenarnya sebelumnya aku mengikuti pengembangan diri fisika, tapi
aku sadar bahwa aku ternyata bukan fans berat fisika sehingga dengan lapang dada
aku mencari ekstrakurikuler yang lebih ngga mikir, ya Tilawah menjadi pilihanku. Tak
ada prestasi yang kuraih, ya karena bermain menjadi prioritas utamaku, karena
bermain lebih nikmat daripada belajar. Tanpa belajarpun aku masih bisa menjalani
kehidupan dan i feel free (quotes by syahrini). Di SMA pun aku sebenarnya
diterima sebagai tim olimpiade ekonomi, amun mentang-mentang aku bukan anak
IPS, tak diperbolehkan ikut lomba, batal sudah harapan dan aku benci dengan
guruku hingga ke urat nadiku. Lebay sih, tapi kesal saja. Aku dipindahkan di tim
olimpiade matematika tapi aku tak pernah datang bimbingan. Tak apalah toh yang
penting aku punya alasan untuk tidak mengikuti pramuka. Intermezzo saja setiap
anak yang menjadi tim olimpiade diperbolehkan tidak mengikuti ekstrakurikuler
pramuka yang wajib untuk kelas X. Enak bukan?. Aku juga ikut ekstrakurikuler
sinematografi karena waktu itu ruangannya yang ber- ac, dan dapat digunakan buat
nobar, membuatku tergiur. Iklim sekolah yang kurasakan juga berbeda dari waktu
aku sekolah dasar. Nilai di sini dijunjung berat dan menjadi tolak ukur keberhasilan.
Aku yang biasa dididik untuk tidak bersaing merasa kaget dan terpaksa mengikuti
iklim, meskipun sebenarnya aku tidak terlalu termotivasi untuk mendapatkan nilai
yang bagus. Aku memang bukan siswa terpintar di sekolah, tapi jujur kalau boleh
sombong sedikit tanpa belajar di rumah dan hanya bermodalkan pertemuan di kelas
pun aku masih dapat mengikuti ritme belajar tanpa merasa kewalahan semenjak SD
hingga SMA. Anyway, aku jadi kangen dengan masa-masa SMA ku, terlebih saat

kelas sebelas, di mana kebahagiaan itu menghabiskan waktu dengan teman dekat
dan tanpa disadari pun tiba-tiba kita sudah menginjak kelas XII.
Semuanya berubah, berubah total ketika aku menginjak kelas XII. Persaingan yang
ketat membuatku belajar mati-matian untuk dapat diterima di kampus negeri yang
favorit pula. Dengan segala usaha dan atas izin dari Allah SWT aku diterima di
ITB.Jika ditanya alasannya mengapa berubah, berubah di sini mungkin maksudnya
adalah menjadi lebih bertanggung jawab kepada Allah SWT dan orang tua. Dari
yang malas beribadah menjadi mulai lebih rajin, lebih mendengarkan orang tua,
hormat dan benar benar memiliki tekat untuk membahagiakan orang tua karena
Allah SWT semata. Rasanya aneh saja jika kesuksesan tidak didasari oleh
keinginan untuk membahagiakan orang tua. Kurang afdhol rasanya.
Sekarang pun aku sudah mencapai semester 8 dan harapannya dapat segera
keluar dari kampus gajah ini. Di sini, aku mengalami perubahan yang besar-besaran.
Ritme belajarku diubah total oleh ITB, tidak boleh lagi main-main. Meskipun begitu,
iklim berkompetisi di sini entah mengapa masih belum bisa menyulut diriku untuk
termotivasi dan berprestasi. Bahkan psikolog di sini pun pernah bilang bahwa diriku
termasuk orang sangat kekurangan motivasi, mungkin aku perlu menemukan
cause sebelum melakukan sesuatu dan membandingkan dengan nilai internal
diriku. Motivasiku kuliah ya karena orang tua, karena orang tua menurutku adalah
segalanya karena jika mengingat orang tua, aku jadi lebih semangat dan termotivasi.
Jika ditanya mimpiku, ya menjadi seorang pengajar muda Indonesia Mengajar, Pasti.
Melanjutkan studi menjadi spesialis di bidang M.Sc Business Analytics. Jika ditanya
bekerja , aku akan menjawab belum tahu, bahkan aku masih belum memiliki

pandangan jelas menjadi apa aku nantinya, biar Allah SWT yang menunjukkan
jalannya untukku.

Anda mungkin juga menyukai