Anda di halaman 1dari 1

Saat menulis jawaban ini, saya merasa sesak mengingat idul fitri yang tinggal menghitung hari.

Saya
tidak pernah menyukai hari raya (atau mungkin pernah, tapi ingatan itu sudah terkubur) karena hari itu
hanya akan mengingatkan saya tentang betapa hancurnya keadaan keluarga saya dan bagaimana saya
begitu mendambakan memiliki keluarga yang utuh dan hangat meski hanya sekejab. Ya, tidak perlu
untuk selamanya kok, sebentar saja yang penting saya bisa mengerti rasanya.

Kehidupan keluarga saya tidak begitu baik. Satu-satunya hal yang saya ingat saat kami masih utuh
sebagai sebuah keluarga adalah pertengkaran orang tua saya. Saya ingat keras kepala dan keras suara
bapak ibu saya yang saling bertanding, saya ingat bunyi nyaring piring dan gelas beling yang beradu
dengan dinding, saya juga ingat bagaimana saya meringkuk di sebelah kaki ranjang sambil menangis
sesenggukan. Yang saya lupa adalah 'apa topik pertengkaran hari itu?'. Dahulu, melewati hari-hari
sambil menyaksikan pertengkaran mereka adalah hal biasa, tapi hanya satu kejadian itu saja yang masih
terekam di otak saya. Parahnya yang membuat kejadian tersebut memorable adalah karena itu kali
pertama saya menangis tersedu-sedu, rasanya seperti campuran sesak, kejang, dan jantung berdetak
kencang.

Ibu saya beberapa kali bercerita tentang masa sebelum perceraian, juga tentang saya dan abang yang
masih polos dan baik hati, tapi ya, itu. Tidak ada yang saya ingat. Ibu bercerita, sejak ibu dan bapak
menikah, mereka tinggal di rumah nenek (dari pihak bapak), nenek adalah janda yang bekerja sebagai
penjual makanan. Saat hari minggu dan senin nenek berjualan mie kuah gulai (mirip mie aceh), lontong
sayur, dan sate di pasar. Beliau berjualan di sebuah toko kecil berdinding papan tua yang hanya muat
menampung 2-3 pelanggan pada saat yang sama. sementara di hari kamis, jumat, dan sabtu, nenek
menjajakan aneka kue yang dibawa menggunakan dua buah keranjang. Biasanya beliau berangkat
sekitar jam 7 pagi dengan berjalan kaki dan menjinjing satu keranjang kue di masing-masing tangannya.
Beliau akan langsung pulang saat dagangan habis. Namun jika mendekati jam dua belas dagangan masih
tersisa, beliau akan langsung pulang agar bisa shalat zuhur tepat waktu.

Nenek saya adalah sosok yang lembut, penyayang, dan pengasih. Beliau suka bersedekah dari hal-hal
kecil seperti memberi kue lebih kepada pembeli (meskipun yang dibeli hanya seribu rupiah), memberi
uang kepada anak yatim, dan beliau juga mengizinkan apabila ada yang meminta nangka, melinjo, atau
tanaman rimpang yang beliau tanam. Kebaikan beliau membuat anak-anak serta cucu-cucunya begitu
mencintai beliau.

Saat ibu tinggal bersama nenek, neneklah yang menjadi kepala keluarga dan menyokong perekonomian.
Sementara ibu mengambil alih segala jenis pekerjaan rumah, mencuci baju dan piring ke sungai, juga
membantu nenek membuat makanan atau kue yang akan dijual. Terkadang ibu ikut serta berjualan di
pasar bersama nenek.

Sejak awal, ayah saya bukanlah sosok yang lurus.

Chapter hidup yang

Anda mungkin juga menyukai