panggilan itu disebut. Panggilan itu begitu akrab bagi kami yang tinggal di daerah Pematansiantar, Sumatera Utara, sekitar tahun 1968 sampai 1992.
‘Mak’ adalah panggilan singkat dari penggilan
seharihari untuk mama saya. Setiap hari panggilan itu terdengar, dari keperluan apapun dari ayah, abang, adek dan saya sendiri selalu memanggilnya ‘mak’.
Prinsip hidupnya adalah bagaimana anak-
anaknya bisa sekolah, dan bisa berhasil dalam pendidikan. Semua anaknya mendapat pendidikan umum, madrasah Ibtidaiyah, kursus Bahasa Inggris, dan pengajian malam hari untuk belajar membaca Al-Qur'an.
Baginya pendidikan anak-anak lebih utama,
daripada membangun rumah yang megah dan berdandan dengan pakaian mewah. Walaupun begitu, tetap menjaga penampilannya meski sangat sederhana, kelihatan cantik, karena wajahnya yang lembut dan pandai dalam menyesuaikan warna baju dan modelnya. Saya masih ingat dengan pesannya, “Basa (panggilanku sehari-hari) anakku, jika sekolahmu tinggi, kau akan bisa pergi ke manapun, dan tetap semamgat, karena banyak orang yang tidak mendapat kesempatan untuk sekolah, apalagi perguruan tinggi. Coba lihat di sekitar tetangga, banyak yang hanya tamat SMA, bahkan tidak tamat SD. Jadi nak, belajarlah baik-baik biar cita- citamu tercapai, dan ingat bahwa mamak tidak akan memberimu harta, tapi sekolahlah baik-baik, karena dengan ilmu, kau akan bisa hidup, di manapun.”
Nasehat tersebut, belum saya pahami saat itu.
Belakangan setelah akan lanjut studi S2 pada tahun 1995, saya baru menyadarinya. Kemudian pada tahun 1999 dengan Ijazah S2 saya bisa mendaftar PNS di tahun 1999 di STAIN Palopo, Sulawesi Selatan pada bidang ilmu fikih. Alhamdulillah lulus. Pada tahun 2007 saya kuliah S3 dan mendapatkan gelar Doktor. Manfaat nasehat mamak baru bisa saya rasakan.
Nasehat dan pesan seorang ibu, sering terabaikan.
Saat setelah menikah dan menjadi seorang ibu, baru menyadari betapa pengorbanan seorang ibu begiti besar. Perannya sebagai istri, bagaimana bisa mendampingi dan memberikan pelayanan yang baik terhadap suami. Saya masih ingat, walaupun mamak sibuk, karena setiap hari berjualan, tetapi cangkir kopi ayah tetap tersedia setiap pagi, dan ayah memiliki cangkir dan piring tersendiri. Begitu juga, makanan dan keperluan anak-anaknya tetap terpenuhi. Tidak pernah ada keluhan dan penolakan saat kami memerlukan biaya sekolah dan kuliah.
Kasih sayang ibu tidak bisa diungkapkan melalui
kata-kata, karena ketulusan dan doa-doanya serta sikap perilakunya yang santun, yang tidak pernah memaki. Hanya saat marah ibu akan marah sebisanya, karena ada perilaku anak-anaknya yang harus diperbaiki. Tapi setelah marah, ibu membujuk kembali dan memandikan lalu memberi makan, seolah-olah ada penyesalan dalam dirinya. Mengapa ia harus marah. Kasih sayang dan ketulusannya begitu tampak dari sikap dan perkataan serta tanggung-jawabnya, yang tidak pernah membiarkan anak-anaknya dalam keadaan lapar dan selalu mendapat perhatian penuh, walau ada rasa lelah. Ada nasehat yang paling saya ingat, “Basa, ibu tidak memberimu harta, tetapi sekolahlah setinggi tingginya, Insya Allah kau akan berhasil”. Pembuktian dukungan terhadap keinginanan anak-anaknya sekolah, dibuktikan dengan menyiapkan segala keperluan, baik materi maupun perhatian. 10 orang anak tentu memerlukan biaya yang besar, baik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti sandang dan pangan, maupun kebutuhan pendidikan. Seingat saya, saya tidak pernah membayar uang kuliah terlambat dan begitu juga untuk menbeli buku dan diktat terpenuhi. Pakaian juga tidak kalah dengan teman-teman saat kuliah. Saat yang bersamaan kuliah ada 3 orang, saya dan 2 abang saya, kuliah di perguruan tinggi ternama di Pematangsiantar. Abang yang tertua mengambil jurusan Bahasa Inggris dan yang satunya mengambil Jurusan Hukum Pidana. Sementara adek-adek ada yang SMA, SMP dan SD. Sembilan bersaudara semua mengecap pendidikan.
Ibu selalu memenuhi kebutuhan pendidikan dan
kebutuhan lainnya. Tidak pernah ada rasa mengeluh dan capek. Pagi hari berangkat mencari nafkah, sore hari kembali ke rumah, bahkan sampai tengah malam masih mempersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan esoknya.
Nasehat utamanya selalu mengingatkan agar
shalat tetap dilaksanakan dan mengaji. Sebab itu, kami 9 bersaudara mengecap ajaran mengaji malam dan madrasah ibtidaiyah.
Ada ajaran yang paling berkesan yang saya
dapatkan, yaitu rasa persaudaraan dan mudah memaafkan. Mamak tidak segan-segan meminta maaf kepada adiknya bila merasa salah. Saat itu, saya lupa tahun berapa, mungkin sekitar tahun 80-an. Mamak sengaja memasak ikan arsik mas (khas masakan Batak) untuk dibawa ke rumah adiknya atas permintaan maaf.
Ajaran lain adalah toleransi dalam beragama dan
menghadiri setiap undangan dari saudara yang beragama Kristen. Karena, keluarga dari pihak ayah masih banyak yang beragama Kristen. Setiap undangan pasti mamak pergi, karena dalam acara pesta perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang beragama Kristen, di daerah saya disediakan makanan khusus untuk yang beragama Islam (parhobas istilahnya) yang tidak bercampur dengan makanan undangan lain. Tapi, setiap pulang acara pesta, mamak langsung mandi dan mencuci serta menjemur pakaiannya. Pernah saya tanya, “bu, kenapa, mamak setiap pulang pesta mamak mandi dan mencuci pakaiannya?”
“Ya tadi itukan bertemu dengan kerabat yang
beragama Kristen, mereka menyalami mamak, memeluk sambil menepuk tangannya ke pundak mamak, ya mereka kan memakan babi, untuk menghilangkan kecemasan mamak, apakah tadi tangan mereka bersih atau tidak, ya mamak cuci (samak)”, terang mamak pada anaknya yang masih polos.
Saya baru mengerti, mamak berusaha menjaga
persaudaraan dan membiarkan saudara-saudara yang beragama Kristen menyalaminya, memeluk, dan tidak diperlihatkan rasa khawatir dan tidak suka. Tetapi saat sudah di rumah baru disucikan. Ada peristiwa yang paling menarik dari perilaku mamak adalah saat datang ke kampung mertuanya (opung kami memanggilnya) masih beragama Kristen, karena ayah saya muallaf. Apa yang dilakukan mamak agar barang-barang atau alat masak yang di rumah opung suci, karena kekhawatiran mamak pernah dipakai memasak babi. Maka mamak membawanya ke sungai dan mensucikannya. Saat di sungai, seorang ibu berkata kepada mamak. “Eh boru Harahap (panggilan khas orang batak memanggil marga atau borunya, ketepan mamak boru Harahap) yang rajinlah kau boru Harahap. Kau cuci semua perlengkapan mertuamu.”
“Iya inang, biar bersih”, jawab mamak singkat. Si
penanya tidak perlu dijelaskan maksudnya agar tidak ada kesalahpahaman dan ketersinggungan dan misi agama berjalan, bisa hidup di tengah-tengah rumah mertua dengan aman dan suci. Padahal niat mamak membawa alat perlengkapan dapur dibersihkan dibawa ke sungai adalah untuk mensucikan, untuk menghilangkan keraguan, kalau-kalau alat dapur, seperti panci dan wajan pernah dipakai memasak atau memanaskan daging babi. Suatu hari, menurut cerita mamak, opung terlambat pulang. Binatang piaraan opung beberapa ekor babi lapar. Tanpa ada rasa jijik, mamak langsung memberi makanan ke babi-babi tersebut. Saya bertanya kepada mamak, “Kenapa mamak kasih makan, kan itu binatang yang diharamkan dalam Al-Qur'an?”.
“Iya nak, memang diharamkan untuk dimakan,
tetapi kita akan lebih berdosa bila membiarkan babi-babi mati kelaparan”, jawab mamak yang membuat saya bungkam.
Pesan singkat dari mamak tentang persaudaraan
dan kasih sayang atas sesama manusia dan hewan begitu kental dalam ingatan. Hal itulah yang membuat saya bisa hidup di daerah manapun. Saya pernah tinggal 2 tahun di Banda Aceh, 2 tahun daerah Bugis, 2 tahun di Palopo, 4 tahun di Makassar dan 18 tahun di Ternate. Mamak tidak pernah melarang kami untuk mengunjungi saudara- saudara ayah yang masih Kristen. Kalau tidak salah ingat, beberapa kali saya ikut acara kebaktian, natal dan tahun baru. Mamak tidak pernah membeda-bedakan persaudaraan seiman dan tidak seiman. Saya bangga memiliki mamak, seorang perempuan Batak yang kuat dan memiliki prinsip iman yang istiqomah. Doaku tetap untukmu ‘mamak’.