Anda di halaman 1dari 4

Sosok Ayah Tercinta

Beliau tak banyak bicara, namun jika mulai bercerita, pasti sulit menyudahinya. Wajahnya
tampak sangar, kata teman-temanku. Namun jika beliau melempar senyum, maka keramahan
yang tulus terpancar jelas di matanya. Penampilan beliau sangat necis, rapi sekali, sepatu tanpa
debu, celana panjangnya mulus selalu, seperti usai disetrika. Yah, ayah yang sangat “dekat”
denganku, sangat menjaga dan memperhatikan putra-putrinya. Salut dan bangga kami,
bersyukur padaNYA yang mengirimkan kami seorang ayah sehebat beliau.

Kalian pasti tak tau bahwa di balik penampilan necisnya, beliau sangat mandiri. Celana mulus
dan rapinya terkadang disetrika sendiri. Kemeja dan celana beliau selalu awet, tidak kusam,
tidak kusut, tampak seperti baru walaupun sudah puluhan tahun dipakai. Ayah sering
merendam pakaian sendiri, mencuci, mengangkat jemuran, menyetrika, bahkan memasak
sendiri, padahal dinas kerjanya “shift-shift-an”, kadang pagi, sore ataupun malam, pasti lelah!
Subhanalloh… Hal tersebut dilakukan beliau karena tergugah rasa hatinya untuk membantu
sang istri yang saat itu memiliki anak-anak kecil dan bayi, tiga putra-putri. Tetangga kanan kiri
terbiasa melihat beliau menyapu teras, mengelap jendela atau sepeda motornya, juga
membersihkan halaman, kadang-kadang bersama sang istri, mesra sekali bekerja sama saat
berbenah seperti itu.

Kemudian ketika anak-anak sudah lumayan besar, barulah ayah mengajarkan mereka perlahan,
Saya dan adik diajarkan menyapu, mencuci piring, menyetrika dengan baik, dan pekerjaan
rumah lainnya oleh beliau. Khususnya Saya Kakak tertua , serta dijuluki si tangan pena gara-
gara lebih rapi kalau menulis dibandingkan saat melipat pakaian atau urusan dapur, ayah
mengajarkan ilmu “nyuci-nyetrika” saat Saya mulai masuk kuliah, pertama kalinya berpisah jauh
dengan orang tua. Sejak kecil kala menerima raport dengan nilai terbaik sebagai juara, yang
mengambil raport adalah ibuku sebab ayah sedang dinas. Namun yang namanya lebih beken
adalah ayahku, sebab memang di kompleks perumahan kami, berita lebih cepat terdengar
melalui bapak-bapak, yang satu shift kerja, satu tim olahraga, atau satu tim ronda.

Saya masih ingat, ayah sering memandikan anak-anaknya, terutama sore hari, kala ibu
menyiapkan kudapan teh sore. Kemudian ketika kami satu persatu mulai lebih sibuk, saya dan
adik yang masih SD sering dijemput pulang sekolah. Ketika beliau sibuk, Saya disuruh bersepeda
ke sekolah dengan menyemangati bahwa olahraga sepeda sangat menyehatkan. Beliau
nasehati untuk bersepeda bareng dengan tetanggaku yang satu sekolah. Kalau sepeda rusak,
“mang Ade” sebagai mantan sopir beliau (yang berubah posisi menjadi pengayuh becak) akan
menjemput Saya ataupun adik lainnya. Berjalan kaki sering, terutama di siang hari. Ayah sangat
protektif terhadap anak-anaknya, terutama saya sebagai putri satu-satunya. Jika pulang les atau
ekskul namun hari menjelang maghrib, ayah dan ibu sudah menanti di depan pintu, sungguh
perhatian mereka sangat besar dan mengharukan.

Makanya saya heran dengan remaja sekarang, kenapa mudah sekali bepergian di malam hari
sendirian, dan jika orang tua menasehati, dikira “over-proteksi”. Saya pernah saling curhat
dengan guru sekolah, guruku yang ramah dan baik hati, beliau berkisah bahwa papanya selalu
mengantar-jemput sampai beliau lulus kuliah! Beliau harus melampirkan jadwal kuliah dan
jadwal harian lainnya di rumah agar papa dan mamanya tau, dan jika pulang terlambat, akan
dimarahi habis-habisan. Namun guruku ini sangat bersyukur, beliau mengerti kekhawatiran
orang tuanya, apalagi dia berada di kota yang terkenal dengan istilah umum, “ayam kampus”.
Sehingga beliau pun menasehati untuk banyak bersyukur karena memiliki orang tua yang
penuh perhatian.

Untunglah ayahku tak segarang itu, bahkan marah pun jarang. Kalau beliau marah, pasti diam.
Dan diamnya itu sangat mengerikan buat kami, seolah berkata “silakan urus diri kalian masing-
masing”. Tentulah kami menjadi sangat segan padanya, tidak ingin membuatnya marah atau
terluka.

Setiap hari pulang kerja, ayah membawa telur rebus (direbus saat senggang di kantornya) dan
susu UHT buatku dan adik. Kalau di antara kami sakit dan harus dirawat di rumah sakit, ayah
yang sibuk mondar-mandir antara rumah dan rumah sakit, beliau meminta ibuku yang menjaga
di rumah sakit, sedangkan urusan rumah, beliau yang mengambil alih, subhanalloh, rumah kami
tetap bersih dan rapi, padahal tentulah lelah usai beliau bekerja seharian.

Selanjutnya tatkala beberapa tahun lalu beliau bingung dengan kegigihanku ingin menggunakan
hijab, namun beberapa bulan sebelum awal masuk sekolah yang baru, Ayah memberikan dana
kepada ibuku, “belilah pakaian seragam baru dan kerudung seperti yang anakmu inginkan…”.
Dugaanku, sahabat-sahabat beliau memberikan saran yang baik tentang ini.

Suatu peristiwa yang membuat Ayah “mendiamkan Saya”, saat awal kuliah semester dua, Saya
malah minta izin buat ujian SPMB lagi tahun berikutnya dan untuk menikah di usia yang baginya
sangat belia. Saya dikira mengalami gangguan jiwa apalagi calon suami adalah mahasiswa
berbeda pulau, berbeda latar belakang, ‘maisyah’ seorang mahasiswa tentulah tak seberapa.
Ayah marah besar. Sikap beliau merasa seolah “ ada apa ini ? sehebat apa sih mahasiswa itu
sehingga kamu ingin menikah padahal Ayah kan memenuhi semua keperluanmu”. Benar.
Bergulirnya waktu di tahap khitbah itu, saat ayah masih syok dan belum sepenuhnya ikhlas,
malah beliau perlahan mengajariku berbagai pekerjaan rumah tangga lainnya, “sulit lho…
ngurus suami, ngurus kuliah, ngurus anak pula…”, Saya melihat sikap beliau berusaha tegar.
Dan mamandaku bercerita, “malam itu ayah menangis seraya berkata,’Saya sulit melepas anak
perempuanku’…”. Di saat super sedihnya itu, beliau masih menyiapkan bekal cincin emas buat
simpananku.

Atas kebesaran Allah SWT, Dia Sang Penjaga Hati setiap insan, selalu menjaga kemudahan dan
kelancaran rumah tangga kami, yang mana dalam hitungan satu tahun pertama adanya puncak
kesulitan mengatur emosi, memahami satu sama lain, serta menata jadwal perkuliahan dengan
urusan rumah tangga yang saat itu memiliki si sulung Azzam yang baru lahir. Tatkala awal
kelahiran si sulung, Ayah menggendongnya, seraya berbisik, “utamakan keluarga… suami dan
anak-anakmu harus didahulukan daripada kuliahmu itu,” nada suaranya menasehati bercampur
sedikit kecewa.

Namun tahun selanjutnya, semakin penuh senyum wajahnya melihat kesungguhan kami
melalui tangga-tangga kehidupan berumah tangga. Saya kembali menikmati canda dan tawa
bersama beliau, bersama motor kesayangannya, bersama menikmati pempek atau martabak
kesukaan kami, apalagi beliau makin menjadi sosok ayah yang sholeh,  dan awal tahun lalu kami
berlibur ke negara tetangga, di suatu pulau yang dikelilingi pantai seraya menyambut cucu
kedua baginya, yang baru kulahirkan. Suatu malam sebelum berangkat ke acara wisudaku,
ibuku kembali berkata, “ayah menangis… (lagi)”. Dulu tangisnya mungkin merupakan
kebingungan dan berkecamuk rasa kecewa padaku, namun tangis yang satu ini adalah tangis
kebahagiaan, serta rasa syukur kepadaNya, “ternyata kamu memang anak wanita yang tetap
ayah banggakan, pilihanmu dulu adalah jalan yang terbaik, malah merupakan petunjuk dan
pelajaran buat orang tua,” seraya beliau panjang lebar memujiku dan suamiku atas tekad dan
semangat juang dalam rumah tangga muda ini.

Suamiku yang sering menggoda, “kamu anak ayah banget…”, ternyata juga mengacungi jempol
untuk ayah, “sekarang aku malah malu sekali kalau ingat kisah dulu, aku tau banget perasaan
seorang ayah saat sekarang sudah jadi ayah. Dulu koq aku berani banget melamar kamu,
padahal masih mahasiswa, cuma jagain lab plus ngajar privat doank, ehhh…trus sok dewasa
bilang ‘atas nama Allah’ Saya akan jaga anak ayah…ckckck…untunglah punya ayah yang
pemaaf dan selalu optimis, ya mi… aku mungkin tidak sehebat ayahmu, mi… Kata ayah, semasa
anak-anaknya balita, kalau susah BAB(buang air besar), maka ayah sendiri yang melakukan
cara manual (maaf, mengisap bagian anus agar ada reaksi ingin BAB, maksudnya begitu),
kalau anak-anaknya ingusan/pilek, ayah menghisap ingus tersebut sampai benar-benar bersih,
kalau anak-anaknya terluka, ayah isap juga darah tersebut lalu beliau meludah, barulah ditutup
dengan obat luka. Kalau aku,mungkin masih merasa jijik melakukan itu, mi… sorry… “, urainya.

Duhai Ayah tercinta, terima kasih banyak atas dukunganmu di saat orang lain tidak mendukung
kami...

Dalam sebuah hadits Al-Bukhari, diriwayatkan dari Aisyah ra. : seorang ibu bersama dua orang
anak perempuannya menemuiku untuk meminta (sedekah), namun ia tidak menemukan apa
pun padaku kecuali sebuah kurma yang kuberikan kepadanya dan ia bagi dua untuk anak-
anaknya, sedangkan ia sendiri tidak memakannya, setelah itu ia pun bangun dan pergi.
Kemudian Nabi Muhammad Saw menemuiku dan kuberitahukan kejadian itu kepadanya.
Maka Nabi Muhammad Saw bersabda, “siapa pun yang diuji dengan anak-anak
perempuannya dan ia menyenangkan mereka dengan kebajikan maka anak-anak
perempuannya akan menjadi perisai mereka dari api neraka”.

Duhai ayah, saat orang lain merasakan jauh dengan orang tuanya, efek globalisasi yang
membuat hubungan orang tua dan anak merenggang, malah engkau tetap harmonis bersama
anak-anakmu, Terima kasih Ya Allah, engkau memberikan ayah terbaik buatku.

“Rasulullah SAW bersabda, ‘Barangsiapa menanggung dua anak perempuan hingga baligh, ia
akan datang pada hari kiamat bersamaku’. Rasulullah SAW lalu menyatukan jari-jari beliau.”
(HR. Muslim, no. 2631)dalam riwayat Imam Ahmad dll juga disebutkan kata “dua atau tiga anak
perempuan…” serta “atau saudara perempuan”, Semoga kami selaku anak-anak perempuan
dapat menjadi ‘simpanan akhirat’ sebagaimana sabda Rasulullah SAW tersebut.

Wallohu’alam…

( Coretan kecil teruntuk Ayah Tercinta. Selamat hari lahir Ayah kami yang bangga memiliki 1
putri dan 2 putranya, 54 tahun, iringan do'a ananda selalu, Jakarta, akhir Maret 2010)

Anda mungkin juga menyukai