Anda di halaman 1dari 29

KAJIAN MUSIK ANAK-ANAK DAN PERMASALAHANNYA

laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas

mata kuliah sejarah analisis musik Indonesia 2

Disusun oleh :

Melsya Firtikasari (0704588)

JURUSAN PENDIDIKAN SENI MUSIK

FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2010
KAJIAN MUSIK ANAK-ANAK

Prihatin Calon Generasi Muda Sekarang

Mungkin kita pernah mendengar lirik salah satu lagu hit yang dibawakan oleh Matta seperti di
bawah ini :

O oo… kamu ketahuan, pacaran lagi


Dengan dirinya, teman baikku
Tapi tak mengapa aku tak heran
Karena dirimu cinta sesaatku

Atau lirik lagu “Makhluk Tuhan Paling Sexy” dari Mulan Jameela yang sekarang lagi ngetren :

Otakmu sexy, itu terbukti


Dari caramu memikirkan aku
Matamu sexy, itu terbukti
Dari caramu menatap aku
Ah… ku seperti ada di dalam penjara cintamu

Dan masih banyak lirik lagu yang pernah ngetren yang beredar di pasaran yang tidak bisa saya
sebutkan satu-persatu karena saking banyaknya.

Saya tidak akan berbicara tentang siapa yang menciptakan lagu itu atau siapa yang menyanyikan
lagu itu karena mungkin tidak terlalu menarik bagi saya. Yang lebih menarik barangkali kalau
lagu tersebut dinyanyikan oleh seorang anak yang baru kelas 1 SD seperti tetangga sebelah
rumah saya. Anak yang baru berumur sekitar 6-7 tahunan itu sudah terbiasa menyanyikan lagu-
lagu itu. Dengan begitu entengnya dia menyuarakan lagu tersebut dengan suara lantang. Dari
awal lagu hingga dengan akhir lagu, walaupun masih dengan suara polos. Dari irama yang
dibawakannya nampaklah bahwa dia begitu hafal dengan lirik lagu itu. Hebatnya lagi, dia lebih
hafal daripada saya walaupun sebenarnya saya mantan gitaris band yang dulu sudah biasa
membawakan lagu-lagu seperti itu. Apalagi kalau ada acara musik di salah satu stasiun televisi.
Dia tidak akan pernah ketinggalan untuk menonton. Bahkan tidak jarang dia ikut bernyanyi
dengan suara yang lebih keras hingga terdengar dari rumah saya.

Yang menjadi pertanyaan, banggakah kita sebagai orang tua/pembimbing jika mempunyai anak
seperti itu? Atau justru sebaliknya? Berbagai pendapat mungkin berbeda-beda. Tapi kalau saya
lihat dari sisi yang lain, justru saya merasa prihatin dengan kemampuan anak itu. Prihatin dalam
arti, anak seusia dia sebenarnya belum pantas untuk menyanyikan lagu-lagu itu. Lagu-lagu itu
hanya pantas untuk dinyanyikan oleh anak remaja seusia anak SMA. Anak seusia dia sebenarnya
masih dalam proses pembentukan akhlak. Dia mempunyai rasa ingin tahu yang sangat besar.
Biasanya, dia ingin mempraktekkan segala sesuai yang pernah dia lihat. Seperti dalam kasus
anak kecil yang melompat dari lantai 2 karena menirukan aksi superman. Jiwa mereka masih
labil dan perlu ditanamkan budi pekerti yang luhur agar kelak menjadi generasi muda yang
berguna.

Memang tak bisa dipungkiri, bahwa anak-anak jaman dulu sangat jauh berbeda dengan anak-
anak jaman sekarang. Pada saat saya masih kelas 1 SD dulu, saya belum mengenal lagu-lagu
semacam ini. Lagu-lagu yang saya nyanyikan pun hanya sebatas lagu-lagu yang diajarkan oleh
guru-guru di sekolah, seperti lagu Garuda Pancasila, Padamu Negeri, dan lain-lain. Itu harus
dihafalkan, dan belum mengenal lagu-lagu untuk kalangan remaja. Berbeda dengan anak-anak
jaman sekarang. Mereka kurang hafal dengan lagu-lagu yang diajarkan di sekolah, tapi justru
lebih hafal dengan lagu-lagu kalangan remaja. Sungguh ironis. Terus, bagaimana dengan nasib
negara kita dalam beberapa puluh tahun lagi kalau mempunyai calon generasi muda yang seperti
ini? Bagaimana dengan sikap nasionalismenya? Apakah berani mengorbankan jiwa dan raga
demi membela nusa dan bangsa? Tentunya, waktulah kelak yang akan menjawab.
Saya yakin anda semua pernah nonton show Idola Cilik di RCTI. Sebuah ajang pencarian bakat
level anak-anak yang masih cilik-cilik banget. Walaupun masih anak-anak tapi skill dan
kemampuan mereka mampu membuat saya betah nonton acara tersebut jika secara tak sengaja
remote tivi terarahkan ke show tersebut. Hebat dan mengagumkan! Sehingga diam-diam pun
saya menjagokan salah satu dari peserta tersebut walaupun tidak rutin menyaksikan acara
tersebut.

Acara yang dipandu oleh Oky Lukman ini meniru sistem show-show pencarian bakat lainnya
yang udah lebih dulu mucul seperti AFI dan Indonesian Idol dimana setiap minggunya bakal ada
peserta yang tersingkir jika polling smsnya paling rendah daripada peserta lainnya. Sehingga ada
suasana kompetisi yang sangat bagus dimana para peserta otomatis akan selalu berusaha menarik
simpati penonton dengan tampil sebagus-bagusnya. Persaingan yang sehat tanpa harus
kehilangan rasa persahatan antar peserta. Paling tidak itu yang tergambar dilayar kaca. Sebuah
pelajaran yang bagus untuk ditanamkan sejak dini. Saya acungi jempol buat Idola Cilik!

Tapi…(ada ‘tapi’-nya nih) ada satu hal yang membuat saya miris dan tidak tega ketika anak-anak
tersebut mampu menyanyikan dengan sangat memukau lagu-lagu band-band Indonesia terkini
yang nota bene bercerita tentang percintaan muda-mudi dan sejenisnya. Lagu yang berceritakan
kehidupan manusia yang umurnya jauh di atas mereka. Kehidupan remaja dan orang dewasa.
Tak satupun peserta yang membawakan lagu-lagu anak-anak yang sesuai dengan umur mereka.
Tak satupun! Itu yang saya saksikan lo! Padahal sebenarnya stok lagu anak-anak juga banyak
dan kita tidak kekurangan. Walaupun beberapa tahun terakhir bisa dikatakan tidak ada lagi
penyanyi anak-anak yang muncul dengan album anak-anaknya. Tapi itu bukan alasan dong
mengorbankan anak-anak Indonesia dan memaksa mereka menjadi dewasa lewat lirik-lirik lagu.

Flashback, dulu, kita pernah mengenal Melissa dengan Abang Tukang Bakso-nya, Tri Kwek-
Kwek, Bondan Prakoso dengan Si Lumba-Lumba, Joshua dengan Air (Diobok-obok), Agnes
Monica dan lagu Semut yang dinyanyikan oleh Enno Lerian! Silih berganti bermunculan. Selain
itu kita juga mengenal beberapa pencipta lagu anak-anak seperti Papa T. Bob dan lainnya.
Sehingga anak-anak punya pilihan untuk mengidolakan dan menyukai musik dari penyanyi yang
seumuran Mereka tumbuh dan kembang dengan backsound yang sesuai. Lagu-lagu yang
mengajarkan tentang kebersihan, rajin belajar, persahabatan, dan lainnya.

Tapi sekarang? Kok gak ada lagi ya?

Nah! Jangan heran kalo sekarang Peterpan, Ungu, D’Masiv, Jamrud, dan sebagainya menjadi
idola anak-anak usia Sekolah Dasar. Lirik-lirik lagu percintaan band-band papan atas tersebut
akrab meluncur dari lidah adik-adik kecil kita. Bahkan lagu Aura Kasih “Mari Bercinta” pun
fasih di mulut mereka. Tragis kan?

Kembali ke Idola Cilik! Akan lebih baik lagi jika di acara yang sangat bagus itu anak-anak
diminta menampilkan kemampuan olah vokal dan seninya dengan membawakan lagu-lagu yang
sesuai dengan usia mereka. Sangat tidak bijak jika hanya untuk alasan komersil semata
memperkosa hak-hak anak untuk berkesenian dengan mencekoki mereka dengan dunia orang
dewasa. Bagaimana solusinya?
Miris, Langkanya Lagu Anak-Anak

Mantan penyanyi anak-anak di era 1970-an, Ira Maya Sopha, merasa prihatin terhadap
tidak adanya lagi produksi lagu anak-anak. Meski demikian, si pelantun "Cinderela" itu
mengaku tidak bisa berbuat apa-apa, karena itu kenyataan yang tak terhindarkan. Apalagi,
saat ini anak-anak lebih suka menyanyikan lagu-lagu orang dewasa yang temanya sangat
bertolak belakang dengan kehidupan mereka.
"Di era saya, penyanyi bisa dihitung dengan jari, artinya industri musik tak sederas
sekarang. Kemudian untuk lagu anak-anak cukup seimbang dengan penyanyi
dewasa. Jadi, mereka punya lagu yang disenangi dan punya idola yang seusia,
seperti misalnya saya mengidolakan Chicha Koeswoyo, Adi Bing Slamet, dan
lainnya," ujar Ira, yang kini akrab dipanggil Bunda dan menjadi komentator dalam
acara "Idola Cilik RCTI". Menurut Ira, tema lagu anak-anak yang menggambarkan
dunia anak-anak saat ini tidak ada yang baru. Lagu-lagu yang ada sekarang dibuat
tahun 1960-an dan 1970-an. "Zaman saya mengenal Pak Kasur dan Pak AT
Mahmud, mereka pencipta lagu anak-anak yang bagus. Kita diajari dari hal-hal yang
paling kecil, seperti bangun tidur ku terus mandi, itu dalam lingkup keluarga.
Kemudian tentang bagaimana sikap di sekolah, dan kalau malas belajar, maka ada
nilai-nilai pendidikannya. Hebatnya lagu-lagu itu cocok di telinga anak-anak," ujar
Ira yang terkenal dengan lagu "Cinderela" dan "Sepatu Kaca" tersebut. (Kartoyo DS)

Copy Right ©2000 Suara Karya Online


Purwatjaraka Miris Karena Lagu Anak

JAKARTA, RABU-Sedih dan Prihatin. Barangkali inilah perasan yang tengah mendera hati
musisi Purwatjaraka, tatkala melihat banyak anak-anak yang masih tergolong belia menyanyikan
lagu-lagu yang justru tak cocok dengan konsumsi usia mereka.

"Bisa dibayangkan ada anak berusia 14 tahun menyanyikan lagu tentang mandul, ada yang
nyanyikan lagu soal cinta dan selingkuh. Anda bayangkan jika lagu ini berkembang di kalangan
anak SD. Itu yang harus jadi pemikiran kita dan sekarang kian menggejala di masyarakat kita,"
ujar Kang Purwa, begitu ia disapa, di sela peluncuran album Idola Dangdut, yang merupakan
album kompilasi para finalis Stardut (Indosiar) di Jakarta, Rabu (26/3).

Ranah musik dangdut, kata Kang Purwa, memiliki ruang yang tergolong riskan jika dibawa
kalangan anak-anak. "Dangdut hidup dalam tatanan yang berbeda dengan pop. Di jalur pop
orang enggak penah ngomongin hal-hal seperti janda, mabuk judi, dan mandul. Tapi di dangdut
hal-hal itu justru banyak dieksplor," katanya.

Inilah yang kemudian membuat kakak penyanyi Tri Utami itu, agak kurang sreg ketika para
finalis Stardut, yang nota bene adalah penyanyi berusia antara 13-17 tahun justru menyanyikan
lagu-lagu yang tak pas dengan usia mereka. "Ini memang dilema. Tapi bahwa kontradiksi
semacam ini harus dibicarakan sehingga nantinya akan tercipta tatanan yang baik," kata Kang
Purwa.

Sebatas prihatin tentu saja tak memberi solusi apapun. Setidaknya, upaya agar anak-anak
kembali pada khitahnya, maka musisi yang juga pemilik sekolah musik yang kini mencapai 32
cabang di seluruh Indonesia itu, punya cara untuk itu."Murid-murid vokal saya di 32 cabang
dipesan agar anak-anak menyanyikan lagu sesuai dengan usia mereka. Kalau pun nyanyi lagu
bertema cinta, ya silahkan asalkan cinta yang universal, seperti lagunya Bunda, Kupu-kupu-nya
Melly Goeslaw atau Bendera masih bisa dipakai," pungkas musisi yang kini tengah
mempersiapkan pertunjukan Operet Bobo pada Juni mendatang.(EH)

Eko Hendrawan Sofyan

Sumber: Kompas.com
Ibu Soed: Menyayangkan Lagu Kanak-Kanak Sekarang Sudah Serba Komersial

Ibu Soed terlahir dengan nama Saridjah pada 26 Maret 1908. Ia putri bungsu dari dua belas
orang bersaudara keluarga Bugis yang sudah lama menetap di Sukabumi, Jawa Barat. Pada tahun
1927, Setelah menjadi Nyonya Bintang Soedibjo, ia dikenal dengan panggilan ibu soed,
singkatan dari Soedibjo.

Sejak kecil Saridjah dididik dan diaku anak oleh Prof. Dr. Mr. J.F. Kramer, pensiunan Vice
President Hoogerechtshof di Jakarta, yang waktu itu menetap di Sukabumi. Dari ayah angkatnya
inilah Saridjah mendapat pendidikan seni suara, seni musik dan belajar menggesek biola hingga
mahir. Ia lalu masuk Kweekschool di Bandung. Setelah tamat, ia mengajar di HIS. Dari sinilah
titik tolak dasar Ibu Soed mencoret-coret mengarang lagu.

Pada tahun 1954, suaminya Bintang Soedibjo ditimpa suatu musibah kecelakaan pesawat BOAC
di Singapura. Almarhum meninggalkan 3 orang putri, 7 orang cucu dan seorang cicit. Ibu Soed
dikenal sebagai tokoh musik 3 jaman (Belanda, Jepang, Indonesia). Pertama kali suaranya
berkumandang pada radio NIROM Jakarta periode 1927-1928.

Tahun 1945, Belanda melancarkan aksi pembersihan. Rumah di Jalan Maluku No. 36 Jakarta
saat itu sudah dikepung. Ketegangan mencekam penghuni rumah. Tiba-tiba muncul seorang
Belanda dari rumah sebelah, langsung menemui komandan operasi. Tuan salah sasaran, saya
tahu betul penghuni rumah itu. Suaminya pedagang, istrinya pencipta lagu. Pencipta lagu, siapa
dia? Ibu Soed. Maka terhindarlah rumah itu dari penggeledahan. Ibu Soed yang ditemani seorang
pembantu merasa lega. Meskipun sebelumnya harus dengan bersusah payah membuang
pemancar gelap ke dalam sumur.
Suatu hari, terjadi insiden penurunan Sang Merah Putih di gedung RRI. Jusuf Ronodipuro
dengan tegas menolak, sekalipun diancam moncong senapan. Mendengar peristiwa itu,
kegemasan melanda sanubari Ibu Soed. Puncak pelampiasan ini disalurkan dalam bentuk lagu
Berkibarlah Benderaku. Penekanan lagu dilimpahkan pada kalimat Siapa berani menurunkan
engkau, serentak rakyatmu membela. Lagu ini tercipta hanya dalam waktu 15 menit.

Semua lagunya dikhusukan buat anak-anak. Ia memperkirakan telah mencipta lebih dari 200
lagu. Ia hanya berhasil menyelamatkan separuhnya. Selain mencipta lagu ia juga pernah menulis
naskah sandiwara dan sekaligus mementaskannya. Operette Ballet Kanak-kanak Sumi di Gedung
Kesenian, Jakarta di tahun 1955 bersama Ny. Nani Loebis Gondosapoetro sebagai penata tari
dan R.A.J. Soedjasmin sebagai penata musiknya.

Ia pernah membentuk grup Tonil Amatir ketika menjadi anggota organisasi Indonesia Muda di
tahun 1926. Dari hasil pementasan itu mereka memperoleh sejumlah uang yang lebih dari cukup
untuk membiayai penginapan mahasiswa Club Indonesia. Selain aktif sebagai guru dan
organisasi, ia juga ikut dalam berbagai siaran radio antara tahun 1927-1962, sebagai pengasuh
siaran anak-anak.

Kemahiran mengalunkan biola dimanfaatkan pula untu mengiringi lagu Indonesia Raya yang
pertama kali didengungkan di Gedung Pemuda pad tanggal 28 Oktober 1928. Semua lagu yang
diciptakannya diilhami peristiwa yang terjadi saat itu. Ia menyayangkan lagu kanak-kanak
sekarang sudah serba komersial.

Sumber: Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982


AT Mahmud : Ekspresi Anak Tidak Lagi Alami

Sumber tulisan & foto: Tokoh Indonesia.com

Pengarang lagu anak-anak Abdullah Totong Mahmud atau dikenal dengan nama AT Mahmud
baru saja mendapat penghargaan dari Anugerah Musik Indonesia (AMI). Penghargaan yang
diterimanya adalah Life Achievement Award atas dedikasi dan sumbangsihnya yang tiada henti
dalam angka waktu sangat lama terhadap dunia musik, khususnya musik untuk anak.

AT Mahmud menekuni dunia seni musik untuk anak-anak sudah cukup lama, yaitu ketika ia
menjadi guru di Sekolah Guru TK. Sebagai guru bagi calon guru TK, ia mendapat kesulitan
mencari materi lagu yang cocok untuk diajarkan. Murid-muridnya yang akan mengajar di TK
sering minta bantuan untuk dibuatkan lagu. Akhirnya, ia mencoba-coba membuat lagu dan
ternyata berhasil. Lagu-lagu ciptaannya diterima dengan baik. Bahkan, sering ia mendengar,
murid-murid TK dan SD menyenandungkan lagu-lagu ciptaannya. Padahal, lagu-lagu itu hanya
diajarkan secara terbatas di dalam kelas, tidak ada kaset yang merekam lagu-lagunya.

Waktu terus berjalan. Hingga akhirnya datanglah pihak label yaitu Sony Musik Indonesia yang
tertarik merekam lagu-lagunya dalam bentuk kaset dan CD. AT Mahmud menyerahkan daftar
karyanya yang mencapai 230 judul lagu. Ia persilakan pihak Sony Musik untuk menyeleksi, lagu
mana saja yang akan direkam. Daftar lagu yang diserahkan itu sudah lengkap dengan partiturnya.
Hasilnya, lagu-lagu AT Mahmud meledak di pasaran. Ternyata, masyarakat masih menghargai
karya musik anak yang sejalan dengan jiwa perkembangan anak.

Terhadap perkembangan lagu anak sekarang ini, AT Mahmud merasa prihatin. Anak-anak,
menurutnya, dicekoki lagu yang bukan untuk zamannya. Lagu anak-anak saat ini terlalu dewasa
dan banyak yang kurang mendidik.

Lain lagu anak, lain pula dengan lagu dewasa. AT Mahmud memberikan apresiasi yang cukup
positif terhadap lagu-lagu dari kelompok Padi, Sheila on 7, dan Siti Nurhaliza. Menurutnya,
mereka itu sudah bermain musik dengan baik. Akan tetapi, perkembangan entertainmen di dunia
musik dangdut cukup merisaukannya. Seharusnya lagu itu diapresiasi dengan penuh perasaan.
Sedangkan yang terjadi di musik dangdut saat ini adalah harus ada goyang pinggul dengan
gerakan yang tidak ada dalam teks lagu yang dinyanyikan. Gerakannya begitu jauh melenceng
dari teks dan pesan yang ingin disampaikan.

Apakah Anda mengalami hambatan dalam menulis lagu untuk anak-anak agar sesuai dengan
bahasa yang biasa digunakan anak-anak?

Saya terus belajar dan belajar. Ketika saya menciptakan lagu anak-anak saya harus mengetahui
dahulu lagu anak-anak itu apa. Jadi buka buku, saya tanya kepada ahli-ahli psikologi. Ternyata
dalam menciptakan lagu harus memiliki 3 unsur utama yaitu, bahasa nada, bahasa emosi, dan
bahasa gerak. Bagaimana ketika anak saya menanyakan tentang pelangi dan meminta bulan, itu
adalah ungkapan pikiran dan perasaannya. Saya tambahkan nada dan saya terjemahkan dalam
lagu. Tetapi sekarang banyak pencipta lagu anak-anak tidak mengetahui konsep dalam
menciptakan lagu anak-anak yang baik.

Sama juga ketika saya mengarang lagu Islami, saya belajar dahulu, bukan karena menyebut
nama Tuhan ‘Allah’ sudah Islam, belum tentu. Saya belajar dengan membaca buku-buku,
contohnya buku dari Quraish Shihab, Nurholish Madjid dan Mustofa Bisri dan saya mencoba
menangkap dengan kemampuan saya untuk mengenal dan memahami lagu Islami. Karena ada
juga lagu-lagu Islam yang tidak Islami. Akhirnya saya memberanikan diri menciptakan lagu
Islam berdasarkan hadits Rasulullah. Dari situ saya menyimpulkan, ternyata dalam hidup ini
yang susah itu tidak ada. Syaratnya, tekun, sabar, dan belajar terus.

Apa yang menjadi inspirasi ketika Anda mencipta lagu anak-anak?


Yang menjadi dasar inspirasi untuk saya dalam menciptakan lagu anak-anak, pertama adalah
pengamatan saya terhadap anak-anak saya. Seperti lagu ‘Pelangi’ adalah ketika anak saya
melihat pelangi yang indah, kemudian ‘Main Ayunan’ juga karena ketika itu anak laki-laki saya
begitu senangnya bermain ayunan. Sumber inspirasi yang kedua adalah pengalaman masa kecil
dan saya ingin mengutarakannya dalam bahasa saya yang sederhana. Seperti lagu ‘Aku Anak
Gembala’ itu bukan sebuah mimpi tetapi pengalaman saya di kampung. Sumber inspirasi yang
ketiga adalah pesan pendidikan dari seorang guru dan seorang bapak, seperti pesan tentang
bagaimana anak-anak dapat mencintai alam sekitarnya karena alam adalah ciptaan Tuhan.

Menurut Anda, apa kriteria lagu anak-anak yang baik?


Sebuah lagu anak-anak yang baik adalah sebuah lagu yang mampu mengembangkan daya
imajinasi, daya berpikir anak, dapat menyalurkan emosinya serta kemampuan aspek sosial dan
kebudayaan (bahasa yang baik dan benar). Berbeda dengan lagu anak-anak sekarang yang lebih
cenderung menyalurkan cara berpikir dan cara berbahasa orang dewasa dan orangtua. Sebab lagu
anak-anak harus berbicara tentang pengalaman anak bukan pengalaman orangtua. Salah satu
judul sebuah lagu anak-anak “Aku cinta rupiah” siapa yang sebenarnya mengenal rupiah tentu
bukan anak-anak, tetapi orang dewasa. Jadi lagu ini tidak bisa dikategorikan sebagai lagu anak-
anak. Sebagai ujian dari lagu anak-anak yang ada sekarang adalah apakah lagu-lagu tersebut
membantu anak dalam pertumbuhan kepribadiaannya, moral dan budi pekertinya.

Salah satu dari penyebab berkurang berkualitasnya lagu anak-anak saat ini, disebabkan oleh
karena pada masa globalisasi saat ini semua orang mengejar duit, memperkaya diri sendiri dan
hidup ingin senang, memiliki mobil mewah, gedung bertingkat dan yang lain. Tetapi apakah
hidup bahagia, belum tentu.

Saya ini seorang guru, jangan dikira banyak duit. Saya mempuyai tiga anak, dan syukur
ketiganya telah menjadi orang yang berhasil, dan sudah berkeluarga semua. Semuanya dengan
perjuangan. Rumah yang saya punyai saat ini saya beli dengan halal dan saya merasakan bahwa
hidup ini begitu bahagia dan sebuah karunia Tuhan.

Saat ini hati nurani sudah banya ditinggalkan banyak orang, setiap prilaku yang ada sekarang
seakan-akan sudah tidak mendengarkan lagi hati nurani. Anak-anak SD saja sudah bisa tawuran,
melempari kaca bis, narkoba dan ada juga saya baca di salah satu surat kabar seorang siswa SD
bunuh diri.

Adakah upaya yang bapak lakukan dalam mengembalikan nilai ideal tersebut secara praktis?
Ya ada, saya berkunjung ke berbagai lembaga pendidikan mengadakan bimbingan dan
penyuluhan kepada guru-guru TK. Salah satunya saya pernah berkunjung ke Surabaya, saya
berbicara di hadapan 700 guru TK di Surabaya di bawah naungan Ikatan guru TK Indonesia.
Dari situ kita sebarkan kembali betapa pentingnya peran lagu anak-anak dalam pertumbuhan
perkembangan anak. Sekarang yang menjadi standarisasi kita adalah apa yang kita selalu lihat di
televisi.

Kegiatan saya saat ini banyak berkunjung ke daerah-daerah dan organisasi-organisasi


pendidikan. Di sana saya menjelaskan tentang karakteristik lagu anak-anak, karena masih banyak
yang tidak tahu.

Bukankah tampilnya para penyanyi anak-anak yang belakangan ini muncul sebagai sebuah
ungkapan ekspresi berkesenian?
Benar ekspresi, tetapi yang menjadi ekspresi itu bukan ekspresi anak-anak, tetapi ekspresi orang
tua. Ada penyanyi anak-anak yang berjoget bukan seperti anak-anak, tetapi ia diatur dan
dikondisikan untuk melakukan beberapa gerakan tertentu. Misalnya penyanyi Tina Toon yang
ketika bernyanyi sudah berjoged meniru gerakan penyanyi senior. Seperti yang sebelumnya saya
katakan, bahwa dalam lagu ada yang namanya unsur bahasa gerak, gerakan lagu tersebut harus
sesuai kelompok umur anak. Penyanyi anak-anak pun semakin dieksploitasi dengan panggilan
artis. Anak-anak itu menjadi kehilangan kepribadiannya, mungkin selama satu hingga dua tahun
anak itu terkenal. Tetapi setelah itu, yang dalam pikiran anak itu adalah bahwa ia merupakan
seorang artis yang terkenal. Padahal tidak demikian.
Kalau kita mau adakan pengamatan, ternyata di seluruh dunia ini tidak ada penyanyi cilik seperti
yang ada di Indonesia. Di luar negeri, anak-anak itu sudah ditangkap karena sudah dimanfaatkan
mencari duit yang dilarang menurut undang-undang perburuhan. Sedangkan kita tidak. Anak-
anak sekarang dibuat menjadi objek bukan menjadi subjek. Ia menjadi sumber orangtua mencari
uang, sumber produser mencari uang. Ini berarti yang salah adalah orangtuanya.

Apakah ada pihak ketiga yang menawari untuk mempublikasikan karya Anda?
Banyak tawaran kepada saya, meminta lagu-lagu saya di tampilkan di teve, tetapi dengan
mengubah sedikit kata-katanya. Saya bilang saya tidak mau, lebih baik saya hanya hidup dengan
berkat Tuhan sajalah.

Yang kita butuhkan saat ini adalah rasa tanggung jawab bangsa ini di dalam setiap kita kepada
anak-anak ini. Kita memang tidak bisa menghindari perkembangan teknologi informasi yang
pesat sekarang ini, sehingga yang kita butuhkan adalah sebuah filter atau saringan yang baik,
sekarang permasalahannnya kita tidak mempunyai saringan. Salah satu yang saya hargai peran
Sony Music dalam menyaring musik-musiknya dengan memiliki tim ahli yang bukan hanya ada
di Indonesia tetapi juga di Hong Kong.

Mereka yang secara ketat menyeleksi lagu anak-anak yang akan menggunakan label Sony
Music. Salah satunya adalah lagu anak-anak ciptaan saya. Saya serahkan kepada pihak Sony 230
judul lagu yang nanti akan dipilih Sony dalam album lagu anak-anak. Ketika mereka tanyakan
berapa royalty yang harus Sony bayarkan kepada saya untuk setiap lagu, saya katakan saya
membuat lagu bukan untuk dijual tetapi untuk anak-anak. Yang terjadi kemudian Sony
mengeluarkan 3 album lagu anak-anak yang dalam tempo 2,5 tahun meledak di pasaran.

Dengan ekploitasi terhadap anak dalam musik anak-anak, adakah niat Bapak atau dengan rekan-
rekan yang lain untuk membawa aspirasi ini ke DPR untuk medorong DPR menyusun undang-
undang dalam perlindungan anak?

Tidak. Saya tidak akan pergi ke DPR lalu merasa bangga sudah menginjakan kaki di Gedung
DPR. Saya menyetujui jika anak-anak nyanyi di mal, tetapi nyanyi harus baik. Sekarang yang
ditampilkan itu bukan anak-anak. Sudah rusak anak-anak itu. Anak-anak yang disebut sebagai
artis itu sudah kehilangan masa kecilnya. Saya juga menyukai artis sekarang seperti band Padi
atau Sheila on 7, mereka mengespresikan sesuai dengan umurnya. Atau seperti Siti Nurhaliza
yang bisa membuat para pendengarnya terkesima, dan tertegun ketika ia bernyanyi. Itulah fungsi
musik sesungguhnya. Tetapi ada juga musik band lain yang setiap mereka tampil di panggung
membuat orang histeris, pingsan bahkan mati. Ini bukan maksud musik yang sebenarnya.
Sedangkan musik kebudayaan kita mulai hilang seperti keroncong. Hanya dangdut yang saat ini
sedang digandrungi banyak orang, tetapi telah dirusak. Dangdut yang dahulu adalah perpaduan
antara musik melayu dan India sekarang menjadi musik erotis dan sensual.

Tiap zaman terdapat dua sumber penciptaan lagu, yang pertama adalah dorongan seni maka
hasilnya adalah seni. Yang kedua adalah dorongan komersial, yang hasilnya juga komiditi yang
dijual, menciptakan gebrakan kemudian menghilang, asal laku. Mana ada lagu anak-anak
sekarang yang menjunjung seni, kata-katanya terlalu panjang dan rumit, sehingga sedikit sekali
kata-kata yang diingat karena dalam lagu itu bukan kata-kata mereka.

Saya juga prihatin dan juga takut sekarang menonton televisi dengan acara-acara infotainment
yang mengumbar aib orang lain dan yang saya heran orang yang tampil itu mau. Sekarang hati
nurani sudah tidak lagi dipakai.

Apakah ada rencana bapak dalam membuat regenerasi dalam membuat lagu anak-anak?
Saya tidak punya murid, tapi saya didorong untuk ke arah itu. Seperti yang saya katakan hampir
tiap dua tahun saya diundang untuk menatar guru-guru TK seluruh Indonesia, saya memasukan
gagasan ini, tentang pengertian musik dan lagu anak-anak yang baik, di Surabaya, Bandung,
Yogya, Purworejo dan tersebar ke mana-mana. Dari seluruh peserta penataran yang mengikuti
penataran dari Sabang sampai Merauke tahu bagaimana memilih lagu anak-anak yang baik.

Banyak wartawan bertanya, bagaimana pendapat bapak terhadap lagu anak-anak sekarang? Tak
pernah di-ekspose bagaimana pendapat orangtua terhadap lagu anak-anak sekarang. Saya yakin
banyak yang mengatakan tidak setuju. Upaya yang saya jalankan sekarang untuk
memperkenalkan kembali musik anak-anak yang baik kepada generasi Indonesia bukanlah tugas
saya sendiri, tetapi adalah tugas bersama antara guru, orangtua dan pemerintah. Saya tahu ketika
saya terpilih dianugerahi pengharagaan dari negara saya yakin bukanlah pilih kasih tetapi
merupakan sebuah hasil penelitian yang mendalam.

Bagaimana perasaan Bapak ketika menerima penghargaan dari presiden Megawati?


Saya bersyukur, tetapi yang paling bersyukur itu bukan saya tetapi keluarga. Dua hari
sebelumnya isteri saya menerima telepon dari seketariat militer kepresidenan. Ketika mendengar
itu ia langsung keringat dingin, karena sekretaris militer, muncul pemikiran yang macam-macam,
tetapi kemudian dijelaskan maksud undangan untuk datang ke Istana Negara. Pada tanggal 13
agustus kami datang, kemudian di sana dijelaskan mengenai maksud pengharagaan itu, dan cara
pemilihan.

Ternyata sebuah proses yang panjang yang dimulai sejak 3-4 bulan yang lalu. Saya senang
karena benar-benar diteliti secara objektif bukan sekadar mengambil secarik kertas. Pertama
ditanyakan kepada departemen yang bersangkutan, dalam hal ini Departemen Pendidikan
Nasional. Ditambah dengan ada sebuah dewan ahli yang memberikan penilaian. Dalam dewan
ini saja ada dua profesor yang ditugaskan dan sejumlah menteri. Setelah ada keputusan baru
diberikan kepada presiden.

Ada rencana bapak untuk menciptakan lagu baru daam waktu dekat ini?
Saya tidak bisa menciptakan lagu yang bersifat mendadak, atau sengaja untuk menyaingi lagu
baru, semua itu harus muncul dari hati. Lagu terakhir yang saya ciptakan adalah pada bulan Juli
2003, isinya tentang kerinduan saya untuk mencintai orang yang paling saya hormati yaitu “Ibu
dan Bapak”, dan saya mau juga agar anak-anak sekarang selalu mencintai dan menghormati
orangtuanya.

Hidup kita ini adalah berkat dari Tuhan, dan sebelum berkat itu datang kepada kita, terlebih
dahulu kepada orangtua kita. Saya menjadi khawatir jika saat ini anak-anak sekarang sudah
melupakan orangtuanya.

Kemudian lagu berikutnya adalah sebuah lagu yang saya terinspirasi dari cucu saya, yaitu lagu
yang berjudul “Telepon”. Sebab, saya melihat cucu saya yang baru berusia balita sudah bisa
bertelepon dan menerima telepon. Kalau berbicara itu panjang sekali sampai berjam-jam, tidak
baik kan? Telepon digunakan seefektif mungkin. Saya buat dalam lagu, salah satu isinya
“Angkat gagangnya, bicaralah seperlunya”. Sekarang tugas saya di rumah, tukang jaga telepon.

Adakah dari anak-anak Bapak yang mengikuti jejak profesi Bapak?


Dari ketika anak saya, kalau disuruh les piano, gitar tidak mau juga, gagal, untuk nyanyi pun
suaranya sumbang. Ada salah satu anak saya sudah belajar piano selama 10 tahun, sekarang
karena sudah bekerja di Bank menjadi lupa dengan kemampuannya. Artinya saya tidak mau
menentukan pekerjaan apa yang mau dikerjakan anak. Biar mereka memilih sendiri. Sejak ia
memilih sendiri, ia bertanggung jawab. Jadi jangan anak memilih sesuatu yang dipilih orangtua.

Orangtua hanya memberikan fasilitas dan sarana, sedangkan perkembngan selanjutnya


diserahkan kepada mereka. Begitu juga dengan pengalaman saya, ketika saya menjadi guru,
orangtua saya tidak ada yang tahu, saya memilih sekolah guru, saya memilih untuk menciptakan
lagu tidak ada yang mendorong-dorong. Hidup saya, saya jalani dengan bahagia, karena hidup
yang saya jalani adalah hidup yang saya pilih.

Apakah Bapak masih memiliki impian yang masih belum tercapai?

Saya ini berprofesi sebagai guru. Sejak kecil itu senang dengan seni dan bahkan ketika masih di
SD saya senang menari, menyanyi, melukis dan saya juga senang tampil dalam pertunjukan-
pertunjukan sandiwara seperti cerita Maling Kundang, Tangkuban Perahu, dan lain-lain. Ketika
saya menjadi guru di Sekolah Guru Taman Kanak-kanak (SGTK) 1964 di sana saya mulai
menetapkan pilihan hidup saya yaitu menciptakan lagu anak-anak. Sampai hati ini tentu yang
saya perhatiakn tentu tentang perkembangan anak-anak. Karena mereka adalah masa depan kita.
Aneh jika bangsa ini sudah tidak memperhatikan terhadap anak-anak. Yang hanya diperhatikan
hanya politik dan ekonomi, sedangkan pendidikan bukan hanya ketika SD hingga SMA saja,
tetapi pendidikan adalah seumur hidup, saya sendiri masih belajar.

Sekarang apa yang dicontohkan oleh pemerintah saat ini, hanya ribut di antara sesamanya
merebut kekusaan. Di mana lagi orang-orang seperti Bung Karno, seperti Sutan Sjahrir, dan
Agus Salim. Sehingga saat ini tidak ada keteladanan. Dari menciptakan lagu anak-anak adalah
satu cara dalam mengembangkan pribadi anak. Jadi lagu anak bukan hanya sekadar agar dapat
bernyanyi gembira-gembira, tetapi terlebih lagu dapat mempengaruhi pribadi anak. Di dalam
musik anak-anak yang benar mampu mengembangkan imajinasi anak, emosi anak dan
dinyanyikan dalam gaya dan bahasa anak sendiri. Seperti pada tujuh belasan Agustus yang lalu,
televisi mana yang menyiarkan lagu-lagu nasionalisme dan patriotisme. Entah sudah ke mana
sikap patriotisme itu sekarang. Semua asyik dalam menunjukan penampilan dan sensasi, dan
yang membuat saya kecewa dan saya harapkan tidak begitu.

Saya Alhamdulillah saat ini berumur 73 tahun dan saya telah hidup melewati beberapa zaman.
Zaman Belanda, zaman Jepang, Revolusi, Orde lama dan Orde baru Soeharto dan sekarang
zaman Reformasi yang tidak tahu apa itu reformasi. Anak-anak pada zaman dahulu kalau
berkelahi itu beradu, satu lawan satu, tidak seperti sekarang anak SD sekarang saja sudah bisa
tawuran, merusak fasilitas umum dan kepentingan umum.

Pada tanggal 14 Agustus 2003 yang lalu saya menerima tanda kehormatan dari Presiden RI.
Sejak 58 tahun Indonesia merdeka, baru pertama kali seorang pencipta lagu anak-anak dihargai
secara resmi dan langsung oleh negara. Saya mungkin orang yang pertama, tetapi bukan berarti
sombong, karena saya menjadi sekarang ini bukan karena saya sendiri, tetapi berkat orang
banyak juga.
Bu Kasur : Sebuah Legenda Yang Hidup

Sumber: Intisari On the Net, November 2000

Satu-satu, aku sayang ibu

Dua-dua, juga sayang ayah

Tiga-tiga, sayang adik kakak

Satu-dua-tiga sayang semuanya

Siapa tak kenal lagu anak-anak berjudul Sayang Semua. Hampir setiap orang tua yang memiliki anak-
anak usia balita mengenalnya. Tapi tak banyak yang mengenal siapa pengarang lagu legendaris itu. Kalau
nama Bu Kasur, istri mendiang Soerjono alias Pak Kasur, disebut-sebut, orang tersadar, lagu anak-anak
itu karangannya.

Sepertinya sudah hal biasa, orang jarang mengenal atau mungkin tidak peduli siapa bidan di balik
lahirnya sebuah lagu yang begitu populer sekalipun. Buat Sandiah, nama kecil Bu Kasur, hal itu bukan
soal besar. Yang nomor satu bagi dia ialah bagaimana membuat lagu sebaik-baiknya, yang bersifat
mendidik dan menyenangkan anak-anak. Tak soal apakah lagu itu nanti bakal melegenda atau menjadi
abadi, dikenang dan dinyanyikan sepanjang masa dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Belajar sambil bermain

Tak seberapa banyak memang karya lagu ciptaan Bu Kasur dibandingkan dengan karya-karya suaminya
yang mencapai sekitar 140 lagu. "Tak sampai 20 lagu saya," kata Bu Kasur tentang jumlah karyanya.

Apalagi di usianya yang sudah kepala tujuh (lahir 16 Januari 1926 di Jakarta), ia nyaris tidak lagi
memproduksi lagu. Untuk ukuran wanita seusianya, Bu Kasur masih tergolong cukup energik; menerima
tetamunya yang hampir tiap hari mengalir ke rumahnya, terutama orang tua murid; masih giat
mengikuti pelbagai acara (seperti berdarmawisata) yang diselenggarakan oleh sejumlah Taman Kanak-
kanak di bawah Yayasan Setia Balita yang dipimpinnya. Ia juga menjadi pembicara seminar di berbagai
tempat, atau menjadi juri di pelbagai lomba kreativitas maupun menyanyi lagu anak-anak.

Senyumnya yang khas mengembang saat pikirannya menerawang ke masa hampir empat puluh tahun
lalu ketika wanita itu masih membawakan acara Taman Indria, Arena Anak-anak, dan Mengenal Tanah
Air di TVRI. "Jadi, sejak 1962 saya sudah menjadi pengasuh acara-acara itu di TVRI," kenangnya.

Bu Kasur memang dikenal karena mengasuh sejumlah acara anak-anak di televisi dan juga radio. Dunia
anak-anak sepertinya tak bisa lepas dari kehidupan Bu Kasur dan juga suaminya. Dengan penuh
kesabaran dan ketulusan, pasangan suami-istri itu membimbing anak-anak belajar sambil bermain. Juga
bernyanyi!

Belajar sambil bermain, bermain sambil belajar. Itulah kata kunci yang melandasi pola pikir dan pola
tindak yang senantiasa dihayati dan dilaksanakan hingga sekarang dalam mengelola sekolah Taman
Kanak-kanaknya. "Lagu Sayang Semua, misalnya, itu mengandung unsur pembelajaran sekaligus
pendidikan meski sederhana. Lagu itu lahir karena saya ingin mengajar anak-anak mengenali dan
menanamkan rasa cinta kepada anggota keluarga sambil memperkenalkan angka-angka," tutur Bu Kasur
sambil mengaku terkejut campur bahagia ketika pihak PT Unilever memberikan semacam royalti
kepadanya karena lagu itu dipakai sebagai jingle atau theme song dalam salah satu iklan susu mereka.

Kesederhanaan, demikian Bu Kasur, memang mutlak menjadi karakteristik lagu anak-anak. Sederhana
lagunya, sederhana syairnya. Sampai-sampai Bu Kasur berusaha sebisa mungkin menghindari pemakaian
huruf "r" pada syair-syair lagunya seperti dipesankan dan dilakukan mendiang Pak Kasur. "Alasannya,
huruf 'r' itu 'kan termasuk huruf yang relatif sulit di lidah anak-anak," terang Bu Kasur.

Semangat hidup maupun dedikasinya terhadap dunia anak-anak terus menggebu sampai pada tahun
1992 obor spirit yang menyala-nyala itu nyaris padam tak berbara ketika sang suami tercinta dipanggil
menghadap Tuhan. Wanita keturunan Jawa itu terpuruk. Setahun lamanya, nyaris tak ada yang ingin
dilakukannya. "Saya kehilangan semangat," tutur Bu Kasur.

Bahkan selama sang suami menderita sakit sebelum meninggal pun, ia sudah memutuskan berhenti dari
seluruh kegiatannya di berbagai program televisi asuhannya serta kegiatan lain. "Semua waktu, tenaga,
dan perhatian saya curahkan hanya untuk merawat Pak Kasur," ujar nenek sebelas cucu ini.

Untunglah, kelima putra-putrinya - Sursantio (lahir 1948), Suryaningdiah (1950), Suryo Prabowo (1951),
Suryo Prasojo (1958), dan Suryo Pranoto (1962) - terus memompa semangatnya untuk bangkit. Begitu
juga sobat, handai tolan, maupun para orang tua murid dan para guru sekolah TK-nya. Mereka silih
berganti mencoba membongkar kebekuan Bu Kasur agar kembali meneruskan perjuangannya yang telah
dirintis bersama Pak Kasur.

"Kamu harus bisa!"

Bu Kasur sendiri sebenarnya tak pernah bermimpi kalau sebagian hidupnya bakal tertumpah untuk
anak-anak. Sebagai anak sulung dari lima bersaudara, dia memang menerima kewajiban mengurus adik-
adiknya. "Apalagi saya ini enggak punya latar belakang disiplin ilmu tertentu. Kalau ada yang bilang saya
ini autodidak, mungkin ada benarnya, ya?" ujar wanita yang mengaku "hanya" lulusan sekolah setingkat
SMU di zaman pendudukan Jepang dulu.

Semua itu tidak lain berkat dorongan Pak Kasur, yang dia anggap guru besarnya. "Setelah menikah
dengan Pak Kasur, saya sering diajak terlibat dengan apa yang dikerjakannya. Waktu zaman Belanda, dia
seorang guru HIS. Begitu pula saat menjadi pegawai Departemen Penerangan dan Pak Kasur sering
mengumpulkan anak-anak di halaman rumah untuk siaran RRI," kata Bu Kasur yang menikah setahun
setelah Indonesia merdeka, 1946.
Mula-mula memang dirasakannya berat ketika ia "dipaksa" Pak Kasur untuk menggantikannya siaran di
RRI setiap kali suaminya sedang berhalangan, ke luar kota. "'Kamu bisa. Kamu harus bisa, sebab kamu
mesti bantu saya' kata Bapak. Memang saya sempat gemetaran, grogi, dan ngomong tersendat-sendat
waktu pertama kali siaran. Tapi syukurlah, lama-lama bisalah," kenangnya saat mengawali debutnya
sebagai pengasuh acara anak-anak di media massa elektronik itu.

Bu Kasur dulu juga bekerja. Ia bertemu dengan pemuda Soerjono ketika sama-sama menjadi pegawai di
Kantor Karesidenan Priangan, Bandung. "Tapi setelah punya anak, saya minta izin lagi untuk bekerja.
Tetapi Bapak bilang, 'Boleh, bagus itu. Cuma kalau kamu kerja, aku yang di rumah. Itu 'kan anak kamu
dan anakku, masa jadi anak simbok.' Lewat cara itu, dia melarang dengan bijaksana. Saya enggak jadi
marah karena dilarang. Maka untuk mengisi waktu, saya menulis di majalah anak-anak," cerita Bu Kasur
yang kini mengasuh salah satu rubrik di Majalah Bocil terbitan Gramedia Majalah.

Bijaksana. Itulah konon yang menjadi salah satu daya pukau pemuda Soerjono bagi pemudi Sandiah alias
Bu Kasur. Sikap itu pula yang menjadi pegangan untuk menjalankan fitrah hidupnya hingga kini,
termasuk dalam mendidik anak-anak.

"Saya mencoba meneladaninya. Kalau Bapak mengkritik atau memberi nasihat kepada siapa pun, tidak
pernah bikin orang sakit hati, menang tanpa ngasorake (maksud kesampaian tanpa merendahkan
martabat orang - Red.). Ketika mengkritik sambil menuding-nuding dengan jari telunjuk, kita sering lupa
bahwa jari tengah, jari manis, dan kelingking mengarah ke tubuh kita. Itu sebenarnya mengandung
falsafah bahwa mengkritik boleh, tapi kita harus lebih banyak mawas diri sebelum mengkritik orang
lain," kata Bu Kasur.

Satu lagi wejangan suaminya yang tak pernah ia lupakan, "Kalau manis jangan langsung ditelan, kalau
pahit jangan serta merta dimuntahkan." Maksudnya, kata Bu Kasur, kita mesti melihat proses,
melakukan analisis, membuat kesimpulan, baru kemudian menentukan sikap dan tindakan yang akan
dilakukan ketika menghadapi suatu peristiwa atau menyelesaikan persoalan.

Melahirkan orang besar


Sebagian besar hidup Bu Kasur tetap tercurah pada anak-anak meski tidak lagi tampil di berbagai
panggung acara televisi dan siaran radio, termasuk yang terakhir dalam Kuis Hip-Hip Ceria di RCTI.
Dengan lima Taman Kanak-kanak "Mini" Pak Kasur yang berlokasi di kawasan Cikini (sekaligus rumah
tinggal Bu Kasur), Cipinang Indah, Pasarminggu, Kemang Pratama di Jakarta, dan Banjar Tangerang, dia
tetap konsisten dengan jejak langkahnya. Murid TK-nya kini mencapai 350 lebih anak dengan puluhan
guru.

Sebagian alumni bahkan banyak yang sudah menjadi orang besar. Umpama saja Hayono Isman (mantan
Menpora), Ateng (pelawak), atau Guruh dan Megawati, putra-putri mantan Presiden Soekarno. "Juga
hampir seluruh cucu bahkan cicit H.M. Soeharto, mantan presiden, sekolah di TK Mini," ujar Bu Kasur.

TK Mini berdiri sejak 1965 setelah Pak Kasur bersama keluarganya boyongan ke Jakarta dari Kota
Kembang Bandung. Pada 1968 Pak Kasur purnakarya dari Depdikbud dalam kapasitasnya sebagai
anggota Badan Sensor Film (BSF), TK itu diresmikan. Semula mengambil tempat di rumahnya di Jln. H.
Agus Salim dengan Taman Kanak-kanak, Taman Putera, dan Taman Pemuda. Namun, Taman Putera dan
Taman Pemuda tidak dikembangkan, bahkan ditutup. Untuk menampung anak-anak dari berbagai
kelompok umur, TK Mini dibagi dalam tiga jenjang, yaitu "Parkit" untuk anak usia tiga tahun, "Kutilang"
untuk anak empat tahun, dan "Cendrawasih" untuk anak lima tahun.

Tidak ada kosa kata bosan dalam kamus Bu Kasur yang hampir sepanjang usianya berkecimpung dalam
dunia pendidikan dasar anak-anak. "Tidak ada tuh rasa jenuh. Ada kenikmatan tersendiri ketika
mengamati bagaimana anak-anak itu berkembang dari hari ke hari. Kelucuan, kepolosan anak-anak
membuat saya 'hidup'," ungkap Bu Kasur.

Ada dinamika yang membuat dirinya bertambah 'kaya'. Seminggu sekali diadakan semacam upacara
bendera untuk memperkenalkan anak pada lambang negara. Suatu kali ada seorang murid TK yang
terlambat mengikuti upacara. "Si anak tidak mau bergabung dan minta pulang karena terlambat. Tapi
ibunya memaksa sampai anak itu menangis. Usut punya usut ia terlambat karena mobil harus
mengantar ayahnya dulu ke kantor. Lalu saya bilang pada si ibu, sifat malu datang terlambat itu
mestinya dipelihara. Usul saya biar nanti tidak terlambat, si anak didrop lebih dulu, baru bapaknya.
Bapaknya 'kan tidak menangis kalau terlambat masuk kantor? He-he-he ...," ceritanya.
Tidak jarang Bu Kasur mendapatkan persepsi keliru dari orang tua murid tentang cara dia mengajar.
Suatu ketika, di lantai kelas ia menebarkan permen dengan perintah agar anak-anak memunguti permen
itu sebanyak-banyaknya. Anak-anak pun kontan berebut. "Tahu-tahu ada ibu yang menunggui anaknya
sekolah nyeletuk, 'Jangan ikut rebutan permen itu, nanti pulang sekolah ibu belikan coklat.'

"Waduh! Lalu saya jelaskan pada si ibu bahwa apa yang saya lakukan itu untuk melakukan observasi,
dan hasilnya nanti akan saya pakai sebagai bahan untuk mengembangkan sifat-sifat positif anak. Ketika
anak-anak mendapat perintah untuk mengumpulkan permen sebanyak-banyaknya, ada yang mengambil
satu-dua, balik lagi, ambil lagi. Tapi ada yang kerjanya efisien dengan meraup sebanyak-banyaknya, lalu
ditaruh di ujung kemejanya, baru diletakkan di meja saya. Dari situlah saya melakukan observasi," terang
Bu Kasur. Ia juga mengatakan, sistem belajar sambil bermain bisa mendeteksi secara dini kalau ada
kelainan kejiwaan seperti fobi ketinggian, fobi lingkungan, atau kelainan buta warna pada anak.

Bahasa Inggris juga diajarkan di sekolah TK Mini. Namun, itu sekadar pengenalan sifatnya. "Hanya
seminggu sekali dalam satu jam. Tujuannya agar anak terbiasa mendengar bahasa yang lain dari bahasa
ibunya. Biasanya diajarkan lewat lagu. Kalau lagunya hafal, lama-lama artinya juga. Lagu-lagu Pak Kasur
pun tetap dipakai, karena lagu-lagu Bapak berpengetahuan," kata Bu Kasur.

Penghargaan bukan segalanya

Bertumpuk penghargaan bertaraf nasional, antara lain Bintang Budaya Parama Dharma, sudah
diterimanya. Terakhir Bu Kasur juga mengantungi penghargaan sebagai pembawa acara anak-anak
legendaris di televisi. Namun, segala penghargaan itu, apa pun bentuknya, tidak lantas membuat Bu
Kasur puas dan berbangga diri, apalagi menepuk dada.

"Saya ini bukan apa-apa. Saya hanya menjalankan peran sebagai ibu dan ingin tetap dekat dengan dunia
anak. Malah saya berharap ada yang dapat melanjutkan perjuangan Pak Kasur. Sekarang orang-orang
yang seperti zaman dulu sudah langka. Mereka memang bagus-bagus, tapi terlalu berorientasi pada
komersialisme. Dulu Pak Kasur dibilang terlalu idealis," kata Bu Kasur sambil menambahkan, "Sekarang
semua lagu sudah saya daftarkan ke Yayasan Komisi Hak Cipta Indonesia (KCI)."

Ia mengaku, apa yang dia kerjakan sampai saat ini tidak berbeda dengan ketika ia mengasuh putra-
putrinya sendiri. "Anak-anak saya didik lewat lagu atau tulisan. Saya tekankan etika, estetika, etos kerja,
dan kreativitas. Kita bisa mendidik anak secara lebih mudah dengan menggugah kreativitas mereka,"
tutur Bu Kasur.

Oh, ya, bagaimana sampai Ibu lebih dikenal dengan panggilan Bu Kasur daripada nama aslinya Bu
Soerjono, misalnya? "Bapak ikut jadi anggota Pramuka yang dulu namanya Kepandoean Bangsa
Indonesia, dan dipanggil Kak Soer. Meski sudah dipanggil 'Pak' karena sudah tua, kata 'Kak' masih
disebut. Maka dipanggillah dia 'Pak Kak Soer', lama-lama jadi 'Pak Kasur', termasuk saya ikutan dipanggil
Bu Kasur," ujar wanita "berbahan baku Jawa, delivery Jakarta, dan assembling Bandung" itu sembari
tertawa.(HK)

Foto dari: Tokoh Indonesia.com


Anak Indonesia Sudah Lupa Lagu Anak-Anak

LIPUTAN KHUSUS HARI ANAK NASIONAL

Anak Indonesia Sudah Lupa Lagu Anak-anak

Surakarta-Ada suatu kejadian yang lucu, namun sebetulnya memprihatinkan dalam peringatan Hari
Anak Nasional di Kota Surakarta beberapa waktu yang lalu. Kala itu, Wali Kota Surakarta Joko Widodo
diminta memberikan kata sambutannya di depan 1.200 anak. Wali Kota Surakarta ini naik ke atas
panggung, namun dia tidak memberikan sambutan, tetapi memberikan kuis yang harus dijawab oleh
anak-anak yang hadir di Pendapo Gedhe, Balai Kota Surakarta. Tidak tanggung-tanggung, ia menyiapkan
dua hadiah sepeda.

“Anak-anak, siapa yang dapat menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kepala? Ayo, maju ke atas panggung.
Kalau benar, Bapak kasih hadiah sepeda,” ujarnya. Tidak lama muncul tiga orang anak (dua perempuan
dan satu laki-laki). Mereka menggunakan seragam kotak-kotak merah lengkap dengan rompi dan dasi
kupu-kupu motif senada dengan seragam. Sambil bergandengan tangan mereka berlari ke atas
panggung. Ketiga anak yang belakangan diketahui berasal dari salah satu taman kanak-kanak (TK) di
Kota Surakarta ini bukan menyanyikan lagu yang diminta, tetapi justru menggoyangkan badannya ke kiri
dan ke kanan sambil tersenyum malu-malu. Alhasil, tingkah polah ketiga bocah ini mengundang tawa
anak-anak dan orang tua yang ada di dalam Pendapo Gedhe. Karena malu, ketiga anak tersebut lari
turun ke samping panggung.

Spontan saja, anak-anak yang lain berbondong-bondong maju mendekati panggung. Salah seorang anak
perempuan mengenakan seragam putih merah dan topi dengan percaya dirinya maju ke atas panggung.
Belum ada aba-aba dari Wali Kota, Yovi, nama anak perempuan itu, langsung menyanyikan lagu Rayuan
Pulau Kelapa. Siswa kelas IV SD Kepatihan Surakarta ini mampu menyanyikan lagu tersebut dengan
benar. Dia berhasil menggondol sepeda pertama.

“Di sini masih ada satu sepeda lagi. Siapa yang bisa nyanyikan lagu Padamu Negeri, silakan naik ke atas
panggung,” lanjut Wali Kota Surakarta. Seorang anak perempuan naik ke atas panggung. Namun, dia
salah menyanyikan bait pertama lagu tersebut, sehingga tidak dapat hadiah. Di antara kerumunan anak
di depan panggung, ada seorang anak laki-laki mengenakan dua buah tongkat berupaya sekuat tenaga
maju ke atas panggung. Sambil tergopoh-gopoh, dia dibimbing oleh gurunya, dia berhasil naik ke atas
panggung.

Anak tersebut dapat menyanyikan lagu Padamu Negeri meski tidak sempurna benar karena dibagian
akhir bait lagu tersebut, dia lupa akan syairnya. Namun hal tersebut bisa dimaklumi oleh Sang Wali Kota
dan anak tersebut membawa pulang sepeda dari Wali Kota. Apa yang dilakukan oleh Joko Widodo
tersebut pada dasarnya untuk mengetahui sejauhmana anak-anak Indonesia mampu menyanyikan lagu-
lagu perjuangan dan mengenal budayanya.

Ketua Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Giwo Rubiyanto juga menyarankan agar kurikulum
pendidikan dasar yang mewajibkan anak-anak sekolah untuk menyanyikan lagu wajib dihidupkan
kembali. “Dulu, kita sering disuruh menyanyikan lagu wajib seperti Padamu Negeri, Satu Nusa Satu
Bangsa dan sebagainya di depan kelas. Hal seperti itu perlu dihidupkan kembali di sekolah sebab secara
tidak langsung kita telah mendidik anak sedini mungkin untuk mencintai dan memiliki rasa kebangsaan
dan memberikan motivasi yang positif pada mereka,” lanjut Giwo. Dengan mewajibkan anak-anak untuk
menyanyikan lagu wajib di depan kelas, mau tidak mau anak-anak harus mempelajari lagu-lagu tersebut.
(stevani elisabeth)

Copyright © Sinar Harapan 2003

Anda mungkin juga menyukai