Perkenalkan, aku Noor, pemudi yang tumbuh besar di Desa Tinggarjaya, desa
yang terletak di Kabupaten Banyumas dan berjarak sekitar 45 km dari Kota
Purwokerto. Pemudi yang kini mengenyam pendidikan S1 Teknik Elektro ITB.
Inilah cerita perjuanganku tatkala SMA dulu.
Karena perceraian orang tua, akhirnya sejak SMA aku tidak tinggal bersama bapak
atau ibu, namun tinggal bersama dengan nenek dari ibu. Kebetulan nenek tinggal
sendiri karena pak lik yang harusnya menemani nenek masih tinggal di toko yang
letaknya jauh dari rumah nenek. Aku tinggal di daerah yang penuh dengan
kesederhanaan dimana warganya sebagian besar bermata pencaharian sebagai
petani dan pembuat batu bata merah. Untuk memasak, nenek masih
menggunakan tungku, sehingga bila aku pulang sekolah lebih awal, aku
membantu nenek untuk mencari kayu bakar tambahan.
Ibuku adalah seorang guru SMK swasta, ibu biasanya pulang kerja sekitar pukul 3
sore. Ibu tinggal dengan kakakku yang bekerja di bengkel dan adikku yang masih
TK. Karena tidak ada yang mengurus rumah dan air sumur di rumah ibu yang
keruh, setiap pulang sekolah aku akan ke rumah ibu dan mengambil semua cucian
untuk kemudian kucuci dan kusetrika di rumah nenek. Bagian depan rumah ibu
adalah warung untuk berjualan barang-barang kelontong untuk penghasilan
tambahan. Sehingga sebelum mencuci pakaian, aku akan menjaga warung,
membersihkan rumah, dan mengerjakan PR, sampai ibu pulang dan beristirahat.
Untuk meringankan beban ibu, selama SMA aku hampir tidak pernah jajan. Uang
Rp 5.000,00 yang diberikan sebagai uang saku satu hari, yaitu untuk angkot
pulang pergi sebesar Rp 2.000,00 dan untuk penitipan sepeda Rp 500,00
kugunakan dua hari, Aku menitipkan sepedaku karena jarak rumah dengan jalan
raya sekitar dua km, sehingga untuk sampai ke sana, aku harus menggunakan
sepeda. Sepedaku merupakan keluaran lama, sehingga sepedaku sering rusak,
hampir tiap minggu kubawa ke bengkel untuk diperbaiki. Alhasil, dari 6 hari
sekolah, 3 hari di antaranya aku harus berjalan kaki menuju jalan besar, atau
membonceng teman yang kebetulan memiliki arah perjalanan yang sama. Aku
juga selalu tepat waktu datang ke sekolah (re: pukul 7 pagi) karena aku harus
menunggu masakan nenek selesai dan membungkusnya sebagai bekal sehingga
aku tidak kelaparan saat sekolah.
Akhirnya sampai kelas 3 SMA, aku masih bingung antara ingin melanjutkan ke
perguruan tinggi atau bekerja saja seperti teman-teman yang lain. Namun bila
ingin kuliah, aku masih bingung darimana aku akan mendapatkan uang
pendidikan, apalagi sekarang biaya pendidikan amatlah mahal. Seperti biasa,
murid kelas 3 SMA akan selalu kebanjiran roadshow dari berbagai perguruan
tinggi negeri, swasta, kedinasan, dan ikatan dinas. Tiap kali diterangkan, aku akan
memerhatikan dengan seksama, berapa biaya pendidikan yang harus
kukeluarkan.
Dari hampir semua presentasi, belum kutemukan titik terang mengenai biaya.
Hingga akhirnya, sampailah pada presentasi roadshow dari kakak paguyuban
GAMAS (Keluarga Mahasiswa Banyumas) ITB, yang secara terang-terangan
menyatakan bahwa ada begitu banyak beasiswa yang bisa dipakai selama masa
perkuliahan dan 0% mahasiswa drop out karena masalah biaya. Tiba-tiba
semangatku membara, kutemukan motivasi yang selama ini kucari, ya Allah inikah
jalan terbaik yang Engkau beri, pikirku dalam hati.
Sejak saat itu, aku mencari-cari info mengenai ITB, mulai dari jurusan, bagaimana
mendaftar, apa saja persyaratannya, kepada guru BK dan kakak paguyuban. Tak
lupa juga aku mendaftar beasiswa BidikMisi dengan harapan aku akan
mendapatkannya untuk memenuhi biaya kuliah. Karena aku menyukai bidang IT,
akhirnya kuputuskan untuk mencoba fakultas STEI di pilihan pertama SNMPTN
dan FMIPA sebagai pilihan kedua karena aku juga menyukai matematika. Tapi
ibuku bilang, bahwa pekerjaan di bidang pertambangan dan perminyakan
sangatlah potensial, sehingga kuubah pilihanku menjadi FTTM di pilihan pertama
dan STEI pilihan kedua walau sebenarnya niatku masih tetap STEI. Aku bukanlah
murid terpandai di SMA, apalagi waktu itu aku ditugaskan untuk menjadi pengisi
nilai rapor siswa di PDSS sehingga aku mengetahui nilai murid satu sekolah,
nyaliku menciut, nilai teman-temanku jauh lebih tinggi daripada nilaiku.
Sungguh, tidak ada mimpi yang terlalu besar, yang ada hanyalah usaha yang
terlalu kecil. Allah akan selalu memberikan jalan terbaik bagi hamba-Nya yang
memiliki niat- niat baik. Sekarang aku ingin menuntaskan studi dengan usaha yang
sebaik-baiknya, berkontribusi bagi negara yang sudah memberikan begitu banyak
fasilitas, dan mengembangkan individu-individu yang kurang beruntung di luar
sana. Bisa jadi, kita ini adalah mimpi-mimpi dan doa para pendahulu kita, yakni
doa berupa agar ada pemuda-pemudi yang lebih baik dari generasi mereka dan
memiliki cita-cita dan harapan besar bagi bangsa. Ingin menjadi apa, itu ada di
tanganmu, tidak peduli apa latar belakang dan masa lalu yang pernah kamu
punya. Jadikan perjuangan sebagai bagian dari hidupmu, karena hidup terasa
indah setelah berjuang.
Menganalisis Cerita
Tokoh : • Noor
• Ibu
• Nenek
Penokohan :
Noor -> Memiliki karakter disiplin, dan memiliki rasa berjuang yang
tinggi untuk apa yang ingin dia capai. Noor juga menjadi anak yang
berbakti kepada orang tua sekaligus pada neneknya.
Ibu -> Memiliki karakter sebagai ibu yang baik serta mengsupport sang
anak untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, karena beliau
mau sang anak bisa menjadi bermanfaat untuk banyak orang.
Nenek -> Nenek Memiliki karakter yang baik dan menjadi seseorang
yang sangat dekat dengan Noor karena mereka tinggal bersama. dan
selalu membuatkan bekal untuk Noor bawa kesekolah.
Pesan Moral : Jangan pernah takut untuk Bermimpi. karena tidak ada
mimpi yang terlalu besar, yang ada hanyalah usaha yang terlalu kecil.
Allah akan selalu memberikan jalan terbaik bagi hamba-Nya yang
memiliki niat- niat baik. Maka terus lah berjuang untuk mendapatkan
hasil yang di inginkan.