Anda di halaman 1dari 4

Dua orang baik tapi mengapa perkawinan tidak berakhir bahagia?

Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil, saya melihatnya begitu gigih menjaga
keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dini hari, memasak bubur yang panas untuk ayah, karena
lambung ayah tidak baik....., pagi hari ayah hanya bisa makan bubur.

Setelah itu, masih harus memasak sepanci nasi untuk anak-anak, karena anak-anak sedang
dalam masa pertumbuhan, perlu makan nasi....., dengan begitu baru tidak akan lapar seharian
di sekolah.

Setiap sore, ibu selalu membungkukkan badan menyikat panci. Setiap panci di rumah kami bisa
dijadikan cermin, tidak ada noda sedikitpun.

Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan lantai, mengepel seinci demi seinci, lantai di
rumah tampak lebih bersih dibanding sisi rumah orang lain, tiada debu sedikit pun meski
berjalan dengan kaki telanjang.

Ibu saya adalah seorang wanita yang sangat rajin. Namun, di mata ayahku, Ia (ibu) bukan
pasangan yang baik. Dalam proses pertumbuhan saya, tidak hanya sekali saja ayah selalu
menyatakan kesepiannya dalam perkawinan, saya tidak pernah memahaminya.

Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Ia tidak merokok, tidak minum-
minuman keras, serius dalam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat
libur juga masih mengatur jadwal sekolah anak-anak, mengatur waktu istirahat anak-anak....., Ia
adalah seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anak untuk berprestasi
dalam pelajaran.

Ia suka main catur, suka larut dalam dunia buku-buku kuno. Ayah saya adalah seorang laki-laki
yang baik, di mata anak-anak, ia maha besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan
mendidik kami.

Hanya saja, di mata ibuku, Ia juga bukan seorang pasangan yang baik, dalam proses
pertumbuhan saya, kerap kali saya melihat ibu menangis terisak secara diam diam di sudut
halaman. Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi, menyatakan
kepedihan yang dijalani dalam perkawinan.

Dalam proses pertumbuhan, aku melihat juga mendengar ketidakberdayaan dalam perkawinan
ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka, dan mereka layak mendapatkan
sebuah perkawinan yang baik.

Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan perkawinan mereka lalui
dalam kegagalan, sedangkan aku, juga tumbuh dalam kebingungan, dan aku bertanya pada
diriku sendiri, "Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia?"
PENGORBANAN YANG DIANGGAP BENAR

Setelah dewasa, saya akhirnya memasuki usia perkawinan, dan secara perlahan-lahan saya
pun mengetahui akan jawaban ini.

Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga,
menyikat panci dan membersihkan lantai, dengan sungguh-sungguh berusaha memelihara
perkawinan sendiri.

Anehnya, saya tidak merasa bahagia ; dan suamiku sendiri, sepertinya juga tidak bahagia.
Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak, lalu, dengan giat saya
membersihkan lantai lagi, dan memasak dengan sepenuh hati.

Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia..... Hingga suatu hari, ketika saya
sedang sibuk membersihkan lantai, suami saya berkata, "Istriku, temani aku sejenak
mendengar alunan musik!" Dengan mimik tidak senang saya berkata, "Apa tidak melihat masih
ada separoh lantai lagi yang belum dipel?"

Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang sangat tidak asing di telinga,
dalam perkawinan ayah dan ibu saya, ibu juga kerap berkata begitu sama ayah. Saya sedang
mempertunjukkan kembali perkawinan ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali
ketidakbahagiaan dalam perkwinan mereka. Ada beberapa kesadaran muncul dalam hati saya.

YANG KAMU INGINKAN?

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat akan ayah
saya..... Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam perkawinannya.

Waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada menemaninya. Terus menerus mengerjakan
urusan rumah tangga, adalah cara ibu dalam mempertahankan perkawinan, Ia memberi ayah
sebuah rumah yang bersih, namun, ibu jarang menemani ayah, ibu sibuk mengurus rumah, Ia
berusaha mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah
tangga.

Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku. Cara saya juga sama
seperti ibu, perkawinan saya sepertinya tengah melangkah ke dalam sebuah cerita, "Dua orang
yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia."

KESADARAN MEMBUAT SAYA MEMBUAT KEPUTUSAN (PILIHAN) YANG SAMA

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, menemaninya mendengar
musik, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel di atas lantai seperti menatapi nasib ibu.

Saya bertanya pada suamiku, "Apa yang kau butuhkan?"


"Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik, rumah kotor sedikit tidak apa-
apalah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan begitu kau bisa menemaniku!", ujar
suamiku.

Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang mencuci
pakaianmu.... dan saya mengatakan sekaligus serentetan hal-hal yang dibutuhkannya.

"Semua itu tidak penting-lah!", ujar suamiku.

"Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku."

Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar membuat saya
terkejut. Kami meneruskan menikmati kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari ternyata
dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, kami memiliki cara masing-masing
bagaimana mencintai, namun, bukannya cara yang diinginkan pasangan kita.

JALAN KEBAHAGIAAN

Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkanya di atas meja
buku. Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan sebuah daftar kebutuhanku.

Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya, waktu senggang menemani
pihak kedua mendengar musik, saling memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan
selamat jalan bila berangkat.

Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit, misalnya dengarkan
aku, jangan memberi komentar. Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia
bilang akan merasa dirinya akan tampak seperti orang bodoh. Menurutku, ini benar-benar
masalah gengsi laki-laki.

Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya pada saya, kalau tidak
saya hanya boleh mendengar dengan serius, menurut sampai tuntas, demikian juga ketika
salah jalan.

Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun, jauh lebih santai daripada
mengepel, dan dalam kepuasan kebutuhan kami ini, perkawinan yang kami jalani juga kian hari
semakin penuh daya hidup.

Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan, misalnya menyetel
musik ringan, dan kalau lagi segar bugar merancang perjalanan keluar kota. Menariknya, pergi
ke taman flora adalah hal bersama dan kebutuhan kami, setiap ada pertikaian, selalu pergi ke
taman flora, dan selalu bisa menghibur gejolak hati masing-masing.
Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan kesukaan kami pada taman
flora, lalu bersama kita menapak ke tirai merah perkawinan, kembali ke taman bisa kembali ke
dalam suasana hati yang saling mencintai bertahun-tahun silam.

Bertanya pada pasangan kita, "Apa yang kau inginkan?", kata-kata ini telah menghidupkan
sebuah jalan kebahagiaan lain dalam perkawinan. Keduanya akhirnya melangkah ke jalan
bahagia.

Kini, saya tahu kenapa perkawinan ayah ibu tidak bisa bahagia, MEREKA TERLALU
BERSIKERAS MENGGUNAKAN CARA SENDIRI DALAM MENCINTAI PASANGANNYA,
BUKAN MENCINTAI PASANGANNYA DENGAN CARA YANG DIINGINKAN PASANGAN
KITA.

Diri sendiri lelahnya setengah mati, namun....., pihak kedua tidak dapat merasakannya,
akhirnya ketika menghadapi penantian perkawinan, hati ini juga sudah kecewa dan hancur.

Karena Tuhan telah menciptakan perkawinan, maka menurut saya, SETIAP ORANG PANTAS
DAN LAYAK MEMILIKI SEBUAH PERKAWINAN YANG BAHAGIA, asalkan cara yang kita
pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan oleh pasangan kita! Bukannya memberi atas
keinginan kita sendiri.....

Perkawinan yang baik, pasti dapat diharapkan.....

By: Reza Widyaprastha

Anda mungkin juga menyukai