Anda di halaman 1dari 10

KALAU ANAK-ANAKKU PULANG

PAKANSI

Ayah : “Kalau aku mulai dengan mengatakan bahwa anakku berjumlah


sepuluh orang,
engkau mula-mula mungkin akan “kaget”, sedangkan hal
itu sebenarnya ada-
lah soal biasa. Tetapi akhirnya engkau mesti percaya, sebab
apa alasannya
engkau tidak bias mempercayainya, bukan?
Anak adalah satu-satunya harta yang tidak bias dan tidak
perlu disembunyi-
sembunyikan seperti orang menyembunyikan jumlah
kekayaan uang dan
emasnya di rumah. Cuma mungkin juga engkau masih akan
bertanya apakah
itu dari semua satu ibu? Dan aku pun memastikan itu
padamu, sebab itu pun
bukan hal yang mustahil, bukan?
Di dunia ini memang biasanya yang dicari orang ialah
kebanggaan yang berarti
kebahagiaan, dan umumnya ini ditekankan pada bentuk
benda dan uang.
Tetapi bukankah dalam pergaulan masyarakat sehari-hari,
misalnya ada dua
orang baru bertemu setelah lama berpisah, ketika
menggoncang-goncangkan
tangan masing-masing karena gembira, biasanya orang tidak
saling menanya-
kan ,”Sudah berapa jumlah uangmu dan emasmu sekarang?”
Tidak. Tapi seba-
gai adat pergaulan, orang biasanya saling bertanya, “Sudah
berapa anak seka-
rang ?”
Dan sungguh, ini merupakan satu-satunya kebanggaan bagi
orang seperti aku,
yang tidak punya kekayaan lain yang dapat dibanggakan.
Anakku yang total jendral sepuluh orang itu sangat rapat
sekali bersusun paku,
sehingga memang tepat dikatakan, keluargaku ini seperti
keluarga marmot.
Tetapi kesepuluh anak-anakku itu tidak tinggal bersamaku.
Mereka tinggal ter-
pencar-pencar. Tiga orang bersekolah di Jakarta, seorang di
Yogya, dua orang
di Bukittinggi, sedangkan selebihnya tinggal bersama kami.
Dan sekali setahun,
yakni pada masa liburan besar, semuanya berkumpul, pulang
pakansi.
Alangkah senangnya hati kami sebagai orang tua lebih-lebih
istriku. Anak-anak
kami itu pun gembira sekali. Mereka dapat mengaso di
rumahnya sendiri,
makan seskuka hati, jaln sesuka hati, minta ini dan minta itu.
Apalagi bagi
anak-anakku yang tinggal di indekos di Jakarta yang dirumah
menumpangnya
itu semua berlaku serba “zakelijk”, jadi tidak seperti di rumah
sendiri. Apalagi
anakku yang tinggal di asrama.
Biasanya beberapa bulan sebelum libur besar tiba, aku dan
istriku sudah mulai
merancang-rancang dan memikirkan soal ini.”

Ibu : “Har”, sudahkah dikirim uang untuk ongkos pulang si Tjal, si


Ben, si Ros dan si
Win? Dan bagaimana yang untuk si Ram dan si Bas di
Bukittinggi?”
(ketika sedang makan).

Ayah : “Aku masih diam saja sambil terus makan, karena aku
memang sedang mengu-
sahakannya.”

Ibu : “Mereka lama tak mengirim surat pada kita.” (dengar suami
istri berkata, lalu
ke lemari untuk mengambil segala sesuatunya untuk meja
makan).
Ayah : “Mereka tentu sedang sibuk dengan ujian-ujian kenaikan kelas.
Si Ben misal-
nya, ia tentu sibuk untuk ujian penghabisannya.”
“Aku dapat surat bahwa si Tjal tahun ini juga tak bias pulang.”
(ketika kami
sudah selesai makan dan masih duduk berbincang-bincang).

Ibu : “Kenapa? Mengapa ia tak juga mau pulang?” (katanya


mendesak)

Ayah : “Katanya ia mau berlibur ke Jawa Timur dan ke Bali.”

Ibu : “Ke? Apa kerjanya di situ? Apakah tak merasa perlu untuk
melihat orangtuanya
sendiri yang semakin tua ini?”

Ayah : “Biarlah, kan tak apa. Ia sudah dewasa, tentu ia ingin pula
melihat-lihat daerah
lain.” (aku menenangkan)
Tetapi istriku tetap menghendaki ia pulang, karena sudah lima
tahun lebih ia
tak pernah pulang. Bahkan, dahulu ia pernah dikabarkan sakit
keras lama se-
kali. Tentu istriku sangat rindu kepada anak yang sulung.
Surat Tjal aku balas dan kuminta agar ia pulang. Bahkan
kukatakan ibunya sakit
keras agar mendapat perhatiannya secara khusus. Ketika
ia mengatakan ia
akan pulang, baru kukirimi ia uang.
Lalu seakan sekaligus pula aku menerima surat dari anak-
anakku
lainnya yang di Jakarta, Yogya, dan Bukittinggi meminta uang
untuk ongkos pu-
lang. Seribu rupiah lebih aku mesti menyediakan uang untuk
itu, untuk ongkos
kapal mereka.
Hidupku sebagai pegawai menengah semata-mata tergantung
dari gaji. Hidup
sehari-hari bahkan sering gali lobang timbun lobang. Setiap
tahun aku mengha-
dapi persoalan seperti ini. Tetapi bagaimanapun aku usahakan
mencarinya ka-
rena begitu cinta dan rindu pada anak-anak sendiri. Bahkan
dua orang keme-
nakanku juga ingin berlibur di tempatku, sehingga ini pun
terpaksa harus aku
pikirkan.
Mula-mula dua orang anakku di Bukittinggi dating. Kemudian
serempak yang di
Jawa juga datang.
Kami, aku, istriku, dan anak-anakku yang lain, dating
menjemput mereka di pe-
labuhan, dengan menyewa dua taksi. Istriku sangat gembira.
Bahkan kelihatan-
nya ia tak sabar menunggu. Dari dermaga matanya tak lepas-
lepasnya meman-
dangi barisan orang-orang yang bersandaran di railing kapal.
Begitu dilihatnya anak-anaknya. Ia memekik kegirangan dan
melambai-lambai-
kan tangannya. Ketika sampai di darat, dipeluk dan diciumnya
anak-anaknya
kegirangan, sampai anak-anak yang sudah berangkat dewasa
merah muka ka-
rena ada rasa malu dilihat orang.
Tapi kami merasa heran, kemana ankku yang seorang lagi, si
Tjal? Bukankah
mestinya ia juga datang?”

Ibu : “Tjal mana? (tanyanya pada Win,Ben, dan Ros). Mereka


menceritakan, bahwa
Tjal tak mau ikut pulang, sedangkan uang yang kukirim untuk
ongkosnya pu-
lang dipakainya untuk tamasya ke Bali.”
“Anak kep…. (terhambur dari mulutnya saat itu). Sungguh tak
pantas perbua-
tannya itu.”

Ayah : “Dan dalm hatiku, aku bapaknya merasa lebih tertipu lagi
karena aku sudah pa-
yah mengusahakan uangnya kesana-kemari. Sampai terpikir
olehku saat itu
kebenaran perkataan istriku anak kalau masih kecil dekat
pada orang tuanya,
tapi setelah dewasa menjauhinya. Tetapi aku tenangkan saja
pikiranku.
“Yah, si Tjal anak muda, tentulah ia ingin jalan-jalan ke tempat
lain.”
Demikianlah pada tahun itu si Tjal yang sudah lima tahun lebih
tak berjumpa
dengan kami, tidak juga pulang.
“Naik kelas apa tidak kalian?” (tanyaku pada mereka ketika
mereka sudah tidak
letih lagi kelihatannya.
Tapi anehnya mereka semua menjawab tidak tahu.
Mereka : “Sekarang sudah peraturan baru,Yah? Sesudah liburan baru
ujian naik kelas.”

Ayah : “Jadi kalian pulang pakansi ini tanpa keputusan kalah-


menang?”

Mereka : (Tapi karena memang peraturannya demikian aku tentunya


musti menerima-
nya. Cuma aku masih tetap merasa aneh. Menurutku peraturan
demikian psiko-
logis tidak tepat seharusnya anak-anak sekolah dimasa
pakansinya benar-benar
dalam suasana liburan tanpa beban. Mungkin kelak akan
berubah lagi.)

Ayah : “Pada hari kedua anak-anakku berada di rumah, anakku Ros


mulai mengajukan
keinginannya.

Ros : “Yah, Ros minta dibelikan sepatu dong yang tinggi tumitnya
bikinan Inggris, se-
perti punya Non disebelah. Dan dulu Ayah juga janji toilettafel.
Kapan Ayah jan-
ji? (mencoba membohong dan ia pun merengek-rengek)

Ayah : “Kan katanya belum naik kelas (mencoba menyanggah). Kan


Ayah sudah janji
kalau sudah naik kelas.
Ros : “Ros pasti naik ,Yah. Lihat rapor kuartal satu dan dua, tujuh-
delapan, tujuh-dela
pan semua.” (buru-buru ke kamar mengambil dan
memperlihatkan rapornya)

Ayah : “Kulihat rapornya memang baik dan kalau terus giat dan rajin
dapat dipastikan
ia akan naik ke kelas dua es-em-a.”
“Tapi aku pura-pura juga mencoba mengganggunya dengan
membohong dan
menidak. Lama-lama kasihan pula aku melihat air mata mulai
membayang di
matanya, sehingga akhirnya aku iyakan. Lalu Ros menari-nari
seperti anak
kecil.”
“Tetapi dalam sekejap mata aku dikerumuni oleh saudara-
saudaranya yang lain.

Bas : “Yah, Ayah janji sepeda.

Ben : “Ayah janji celana wol dan raket tenis.

Win : “Sama Win Ayah janji arloji dan parker.

Ram : “Subang Ram yang hilang sebelah belum ada gantinya,Yah.

Ayah : (Bertubi-tubi mereka membanjiri dan merongrongi aku dengan


tuntutannya
masing-masing sampai memekakkan kuping. Semua dengan
bermacam-macam
cara. Mereka tentu tak sampai memikirkan bagaimana Ayahnya
bias memenuhi
semua itu. Ada yang sambil memuji-muji kebaikan aku
Ayahnya, ada yang sam-
bil merengek-rengek, ada yang sambil memberansang
setengah memaksa, dan
sebagainya. Dan semuanya pun pada memperlihatkan rapornya
masing-masing.
Juga anak-anakku yang masih duduk die s-em-pe dan sekolah
rakyat. Dan
semuanya rata-rata berangka baik pula, yang kalau giat dan
terus rajin niscaya
akan naik kelas.)
“Ayah jangan diserbu begini dong.”

Mereka : “Habis Ayah janji. Janji mesti ditepati.” (jawaban serentak


seolah-olah suara
koor)

Ayah : (Dan aku coba-coba ingat kembali apakah memang pernah aku
berjanji seperti
itu. Aku sendiri sudah agak lupa. Tapi mungkin juga secara
sepintas lalu, sebab
aku pun tahu sampai dimana kemampuanku. Tapi kalau
kutolak pasti terjadi
“insiden”. Ada aspek psikologisnya, mungkin dapat
mempengaruhi semangat
mereka untuk giat belajar selanjutnya.
Jadi aku mesti mengalah secara berangsur-angsur. Anak-
anakku sungguh tahu
kelemahanku, yaitu sukar menolak sesuatu yang mereka
minta. Apalagi mere-
ka dating sekali setahun. Dengan sendirinya, aku harus coba
memenuhinya da-
lam masa sebulan itu juga. Meskipun tentunya tidak
sepenuhnya tuntutan-
tuntutan itu dapat aku penuhi, sehingga aku terpaksa bikin
janji lagi untuk
tahun berikutnya.
Sebagai seorang Ayah aku tentunya musti bersikap adil.
Seorang dibelikan
arloji, semua mendapat arloji, seorang dibelikan baju dan
sepatu, semua dapat
baju dan sepatu. Demikian dengan sendirinya kemenakan
yang berpakansi
tahun itu kerumahku tidak selayaknya kuperlakukan lain.
Begitu pula sebagai
kelaziman aku musti menyediakan oleh-oleh untuk family-
famili yang berada
di tempat-tempat anak-anakku belajar. Karenanya aku
meneken bon-bon
utang di took-toko dengan mengernyitkan kening.
Dalam pada itu, aku dapat telegram pula dari anakku Tjal. Ia
minta segera diki-
rim wesel karena kehabisan uang. Mendengar ini, sungguh-
sungguh bangkit
amarahku.

Win : “Win minta dibelikan sepatu Barratt sepasang, gitar, kemeja


Arrow dan akhir-
nya ia minta black and white Rp900,- untuk resepsi dan pesta
dansa. Seorang
mahasiswa yang tidak punya black and white dan tak bias
dansa adalah keting-
galan zaman, Ayah.”

Ibu : “Bukan untuk itu engkau kami suruh bersekolah ke Jakarta.


Kami suruh engkau
belajar, supaya menjadi orang. Jangan seperti kami orang
tuamu yang bodoh-
bodoh dan melarat ini. Hanya itu yang penting….” (dengan
memberansang dan
marah)

Kepada Win yang sudah lebih dewasa kuceritakan bagaimana keadaan


hidupku yang sebenarnya, supaya ia mempertimbangkannya bersama
saudara-saudaranya.

Ayah: “Kalian mesti ukur tenaga Ayahmu sendiri. Jangan meniru


orang yang memang
berada. Ayahmu ini hanya dari luar saja tampaknya makmur,
padahal Ayah se-
benarnya tidak punya apa-apa. Dari dulu Cuma hidup gali
lobang timbun lo-
bang. Dan mungkin kesalahanku, dari dulu aku selalu ingin
menjajarkan kalian
dengan anak-anak orang lain, sehingga kalian terbiasa
karenanya. Engkau dan
adik-adikmu sudah dapat mempunyai beberapa stel pakaian
yang agak baik
seperti sekarang ini, itu sudah syukur. (Kepada Win yang sudah
lebih dewasa
kuceritakan bagaimana keadaan hidupku yang sebenarnya,
supaya ia
mempertimbangkannya bersama saudara-saudaranya.
Tetapi celaka, rupanya dengan diam-diam ia telah menyuruh
buatkan antara
lain satu stel black and white dan sharkskin dan gabardine
hitam pada tukang
jahit langgananku. Waktu ia sudah berangkat baru hl itu aku
ketahui. Tetapi
apa hendak dikata.
Dan setelah anak-anakku dan kemenakan-kemenakanku yang
dating berlibur
itu kembali ke tempat mereka masing-masing dalam notesku
tercatat, aku
telah membuat utang bertebaran disana-sini sampai mendekati
tiga ribu
rupiah.)
MENGUBAH CERPEN MENJADI
DRAMA

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
Nama : Gresia L Hasibuan
Kelas : IX-2

Anda mungkin juga menyukai