PAKANSI
Ayah : “Aku masih diam saja sambil terus makan, karena aku
memang sedang mengu-
sahakannya.”
Ibu : “Mereka lama tak mengirim surat pada kita.” (dengar suami
istri berkata, lalu
ke lemari untuk mengambil segala sesuatunya untuk meja
makan).
Ayah : “Mereka tentu sedang sibuk dengan ujian-ujian kenaikan kelas.
Si Ben misal-
nya, ia tentu sibuk untuk ujian penghabisannya.”
“Aku dapat surat bahwa si Tjal tahun ini juga tak bias pulang.”
(ketika kami
sudah selesai makan dan masih duduk berbincang-bincang).
Ibu : “Ke? Apa kerjanya di situ? Apakah tak merasa perlu untuk
melihat orangtuanya
sendiri yang semakin tua ini?”
Ayah : “Biarlah, kan tak apa. Ia sudah dewasa, tentu ia ingin pula
melihat-lihat daerah
lain.” (aku menenangkan)
Tetapi istriku tetap menghendaki ia pulang, karena sudah lima
tahun lebih ia
tak pernah pulang. Bahkan, dahulu ia pernah dikabarkan sakit
keras lama se-
kali. Tentu istriku sangat rindu kepada anak yang sulung.
Surat Tjal aku balas dan kuminta agar ia pulang. Bahkan
kukatakan ibunya sakit
keras agar mendapat perhatiannya secara khusus. Ketika
ia mengatakan ia
akan pulang, baru kukirimi ia uang.
Lalu seakan sekaligus pula aku menerima surat dari anak-
anakku
lainnya yang di Jakarta, Yogya, dan Bukittinggi meminta uang
untuk ongkos pu-
lang. Seribu rupiah lebih aku mesti menyediakan uang untuk
itu, untuk ongkos
kapal mereka.
Hidupku sebagai pegawai menengah semata-mata tergantung
dari gaji. Hidup
sehari-hari bahkan sering gali lobang timbun lobang. Setiap
tahun aku mengha-
dapi persoalan seperti ini. Tetapi bagaimanapun aku usahakan
mencarinya ka-
rena begitu cinta dan rindu pada anak-anak sendiri. Bahkan
dua orang keme-
nakanku juga ingin berlibur di tempatku, sehingga ini pun
terpaksa harus aku
pikirkan.
Mula-mula dua orang anakku di Bukittinggi dating. Kemudian
serempak yang di
Jawa juga datang.
Kami, aku, istriku, dan anak-anakku yang lain, dating
menjemput mereka di pe-
labuhan, dengan menyewa dua taksi. Istriku sangat gembira.
Bahkan kelihatan-
nya ia tak sabar menunggu. Dari dermaga matanya tak lepas-
lepasnya meman-
dangi barisan orang-orang yang bersandaran di railing kapal.
Begitu dilihatnya anak-anaknya. Ia memekik kegirangan dan
melambai-lambai-
kan tangannya. Ketika sampai di darat, dipeluk dan diciumnya
anak-anaknya
kegirangan, sampai anak-anak yang sudah berangkat dewasa
merah muka ka-
rena ada rasa malu dilihat orang.
Tapi kami merasa heran, kemana ankku yang seorang lagi, si
Tjal? Bukankah
mestinya ia juga datang?”
Ayah : “Dan dalm hatiku, aku bapaknya merasa lebih tertipu lagi
karena aku sudah pa-
yah mengusahakan uangnya kesana-kemari. Sampai terpikir
olehku saat itu
kebenaran perkataan istriku anak kalau masih kecil dekat
pada orang tuanya,
tapi setelah dewasa menjauhinya. Tetapi aku tenangkan saja
pikiranku.
“Yah, si Tjal anak muda, tentulah ia ingin jalan-jalan ke tempat
lain.”
Demikianlah pada tahun itu si Tjal yang sudah lima tahun lebih
tak berjumpa
dengan kami, tidak juga pulang.
“Naik kelas apa tidak kalian?” (tanyaku pada mereka ketika
mereka sudah tidak
letih lagi kelihatannya.
Tapi anehnya mereka semua menjawab tidak tahu.
Mereka : “Sekarang sudah peraturan baru,Yah? Sesudah liburan baru
ujian naik kelas.”
Ros : “Yah, Ros minta dibelikan sepatu dong yang tinggi tumitnya
bikinan Inggris, se-
perti punya Non disebelah. Dan dulu Ayah juga janji toilettafel.
Kapan Ayah jan-
ji? (mencoba membohong dan ia pun merengek-rengek)
Ayah : “Kulihat rapornya memang baik dan kalau terus giat dan rajin
dapat dipastikan
ia akan naik ke kelas dua es-em-a.”
“Tapi aku pura-pura juga mencoba mengganggunya dengan
membohong dan
menidak. Lama-lama kasihan pula aku melihat air mata mulai
membayang di
matanya, sehingga akhirnya aku iyakan. Lalu Ros menari-nari
seperti anak
kecil.”
“Tetapi dalam sekejap mata aku dikerumuni oleh saudara-
saudaranya yang lain.
Ayah : (Dan aku coba-coba ingat kembali apakah memang pernah aku
berjanji seperti
itu. Aku sendiri sudah agak lupa. Tapi mungkin juga secara
sepintas lalu, sebab
aku pun tahu sampai dimana kemampuanku. Tapi kalau
kutolak pasti terjadi
“insiden”. Ada aspek psikologisnya, mungkin dapat
mempengaruhi semangat
mereka untuk giat belajar selanjutnya.
Jadi aku mesti mengalah secara berangsur-angsur. Anak-
anakku sungguh tahu
kelemahanku, yaitu sukar menolak sesuatu yang mereka
minta. Apalagi mere-
ka dating sekali setahun. Dengan sendirinya, aku harus coba
memenuhinya da-
lam masa sebulan itu juga. Meskipun tentunya tidak
sepenuhnya tuntutan-
tuntutan itu dapat aku penuhi, sehingga aku terpaksa bikin
janji lagi untuk
tahun berikutnya.
Sebagai seorang Ayah aku tentunya musti bersikap adil.
Seorang dibelikan
arloji, semua mendapat arloji, seorang dibelikan baju dan
sepatu, semua dapat
baju dan sepatu. Demikian dengan sendirinya kemenakan
yang berpakansi
tahun itu kerumahku tidak selayaknya kuperlakukan lain.
Begitu pula sebagai
kelaziman aku musti menyediakan oleh-oleh untuk family-
famili yang berada
di tempat-tempat anak-anakku belajar. Karenanya aku
meneken bon-bon
utang di took-toko dengan mengernyitkan kening.
Dalam pada itu, aku dapat telegram pula dari anakku Tjal. Ia
minta segera diki-
rim wesel karena kehabisan uang. Mendengar ini, sungguh-
sungguh bangkit
amarahku.
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
Nama : Gresia L Hasibuan
Kelas : IX-2