Anda di halaman 1dari 25

About Author

Halo, saya Regina Patricia Christabel


Budiyono selaku penulis dari cerita ini.
Cerita ini diambil murni dari ide yang ada di
pikiran saya. Maaf jika ada kesamaan latar,
tempat, waktu, tokoh atau semacamnya
karena ketidaksengajaan. Jika cerita ini
membosankan, bisa berikan saran, ya! Jika
tertarik juga tolong beritahu, agar bisa
dikembangkan lagi. Terimakasih.
Selamat membaca!

Social Media
@deevcaz @0nlyrna

@__rcv @reg.ptrcia
Part of Content

Chapter I : Seorang Diri

Chapter II : Ayah

Chapter III : Kekuatan atau Kesialan?

Chapter IV : Terbongkar

Bonus Chapter

Genre
Drama, Horror
Chapter I
Seorang Diri

Pesan diatas berhasil membuat air


mataku seketika menetes. Ini
adalah awal diriku hancur, karena
keluargaku sendiri. Jangan
ditanya lagi bagaimana
perasaanku pada saat itu, sangat
campur aduk. Dimana ada kecewa
dan tangis yang bersamaan,
benar-benar terpukul.
Keluarga yang awalnya adalah sumber kebahagiaanku, sumber rumah
ternyamanku, yang aku kira itu akan bertahan sampai di kemudian hari,
ternyata tidak. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak tahu bagaimana
jalanku sekarang. Impianku adalah menjadi dokter psikiater, tetapi
karena kejadian barusan, mimpiku memudar. 'Memang bisa seseorang
yang depresi menjadi penyembuh orang depresi?' Aku sudah tak tahu arah,
aku bingung aku harus apa. Padahal, sebentar lagi aku akan kuliah dan
itupun kuliah ternama. 'Bagaimana nasibku nanti?' 'Apa mereka bisa
menerima kehadiranku?'
Aku mencoba untuk menutup mataku, hendak tidur agar pikiranku kembali
bekerja dan tidak banyak pikiran, namun gagal. Aku tetap tidak bisa.

Dan, akhirnya..

Mentari adalah sahabat kecilku sejak


kita berumur 5 tahun. Dia tempat
keluh kesahku yang nyata. Tidak
heran jika aku suka memalaknya
ataupun menginap, karena sudah
menjadi kebiasaan kami sejak kecil.
Dan itupun Mentari dan orangtuanya
menyetujui, mereka tidak keberatan.
Aku menganggap orangtuanya sudah
seperti keluargaku sendiri. Karena
orangtuaku sering lembur, bisa-bisa
tidak pulang sama sekali, maka dari itu
aku sering menginap.

Sesudah mengabari Mentari, aku mematikan handphoneku dan beralih ke


nomor yang lain, supaya tidak dikabari oleh siapapun. Aku memasukkan
seluruh pakaian, barang-barang penting lalu aku masukkan kedalam sebuah
koper berwarna kuning berukuran sedang. Aku berjalan menuju rumah Tari
tanpa sepengetahuan keluarga. Aku juga tidak begitu peduli, karena Ibu besok
akan pindah juga. Rumahku dengan Tari tidak begitu jauh, hanya berbeda 3
gang saja.

Tok tok tok.. "Permisi.."


"Iya, sebentar!" Terdengar suara Mentari dari kejauhan, aku merasa lega sedikit.
Ceklek.. Mentari membukakan pintu.
"Lah, bawa koper? Ngapain sih?"
"Udah izinin masuk dulu aja, aku ceritain di dalem."
"Yaudah, gih." Mentari mengizinkan masuk.

Sesudah diizinkan masuk, aku kegirangan sendiri, karena sudah lama tidak
bermain ke rumah Mentari. Mataku sedikit berkaca-kaca.

"Dih, cengeng. Kenapa coba?"


"Gapapa, biarin napa sih, btw bonekanya masih disimpen?"
"Ada noh, disono." Mentari menunjuk kearah gudang
"Lah, kok arah ke gudang?"
"Wkwk, kaga, becanda. Di kamar gue. Udah besok aja, beres-beres terus tidur."
"Yayaya, bawel."

Aku membereskan barang bawaanku dan mulai menata satu persatu. Tak
sadar waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Tetapi tetap saja, aku
masih belum ngantuk. Akhirnya aku scroll tiktok supaya cepat tertidur.

"DHARAAA! JANGAN KEBO DEH! JAM BERAPA INI?!"


Mataku masih sayup-sayup, melihat Mentari berjalan menghampiriku.
"HEH! BEGADANG KAN?"
"Iya ih galak banget, kenapa? daridulu kan gitu juga."
"UDAH BEDA, SEKARANG UDAH GAK BOLEH!"
"Ngatur, udahan marahnya tar cepet tua."
"Bodo. Btw kemarin mau cerita apaan?" Tanya Mentari ingin sekali tahu.
"Mo mandi duluuu, bye!" Aku beranjak dari tidurku dan meninggalkan
Mentari.
"LAH KOK BEGITU, YAUDAH ABIS MANDI, YA!" Teriak Mentari
keluar dari kamarku.
"GAK JANJI!!" Sahutku dengan suara samar-samar.
Sebenarnya aku mau menyembunyikan ini. Tapi, lihat saja nanti jika aku siap.
Aku baru saja selesai mandi, tetapi Mentari sudah menunggu di kasurku.

"NGAPAIN? AKU MAU GANTI BAJU!"


"Yaudah, ganti lah. Lagipula kita sama-sama cewek."
"YA KAMU NGAPAIN SIH, KAN PUNYA KAMAR!" Kataku sebal.
"Gue mau nagih cerita lo"
"Kan gak janji."
"Ya gue maunya sekarang, udah cepet!" Kata Mentari dengan nada memaksa.
"Iya ih, sabar."

Setelah aku selesai memakai pakaian, aku menceritakan semuanya, berawal


dari chattingan hingga aku mengabari Mentari malam itu.

"Lo, serius? Lo gak papa?"


"Kalo aku gak serius, ngapain aku kesini? Terus juga, kamu pikir aja, masa ada
anak yang digituin keluarganya ga nangis kejer?"
"Ya iya sih. Lagian lo dari awal dateng ga mencurigakan, gaada sedih-sedihnya.
Cuman adegan bawa koper aja, tuh, yang bikin gue bingung sendiri."
"Hehe, sorry ya."
"Btw gue ada kenalan temen, cuman gak deket sih. Dia biasa nyariin kost-an buat
anak kampus gitu. Barangkali lo minat."
"Boleh, cuman sementara gue disini aja, gak papa? Nanti kalo udah daftar aja
baru minta tolong."
"Oke sippp."
"Makasih banyak, sorry jadi ngerepotin kamu sama mama papa."
"Ah, lo mah mesti gitu. Santai aja lah, lagian kita daridulu juga gini."
"Iya sih, cuman kan kayak kebaikan keluargamu terlalu banyak."
"Yaudah sini, gue ambil lagi."
"Kebiasaan."
"Wkwkwk."
"Sekali lagi, thanks"
"Iyaaa, Dhara."
Chapter II
Ayah
Aku memang tipe orang yang sedikit pendendam. Tetapi, entah mengapa aku
selalu kepikiran dengan Ayah dan Ibuku. Aku mencoba untuk melupakan
pesan dari mereka saat itu, tetapi tetap tidak bisa. Aku tidak tahu kenapa.
Padahal posisiku juga tidak sedang bermain handphone. Aku mencoba
meringankan pikiranku agar tidak menjadi beban untuk sekarang, dengan
cara tidur siang. Mungkin setelahnya akan lebih baik.

Dhara.. bangun.
Dhara.. cek handphonemu.
"Hoaamm. Diem ah, Tari! Jangan ganggu!" Aku berkata demikian dengan
keadaan mata tertutup. Aku tidak sanggup membuka mata.

Dhara, cek handphonemu sekarang! Ayahmu..

Entah apa yang merasuki diriku, setelah ada kata-kata 'Ayah', diriku
terbangun mendadak.

"Hah? Apa? Kenapa? Ayah?" Aku berkata dengan posisi masing mematung di
kasur.
"Mentari!! Tari! Tarrr..?" Mentari tidak ada di rumah. Aku mengecek bagian
garasi rumahnya, motornya tidak ada. Tandanya Ia sedang diluar, Ia pergi.
Hah? Aku ngigo apa gimana, sih? Batinku.
Aku heran dan berjalan kesana kemari di kamar. Jika Mentari pergi, siapa
yang mengatakan demikian sedaritadi?
Aku mengabaikan panggilan misterius tadi, tetapi menanggapi perintahnya.
Aku langsung membuka handphoneku di nomor yang kini aku pakai. Tetapi
ternyata, tidak ada apa-apa. Kosong.

Apa pemanggil misterius tadi hanya makhluk halus penghuni sini, yang ingin
mengerjai aku saja, ya? Batinku.

Tetapi pasti ada maksud dibaliknya, karena makhluk itu membawa-bawa


nama Ayahku. Aku mencoba membuka nomorku yang satunya.

Aku sempat terdiam beberapa saat. Makhluk itu benar, dia tidak berusaha
untuk membohongiku. Ada notifikasi dari Ayah di nomorku yang satunya,
yang sempat aku matikan. Tetapi, apa yang aneh? Aku merasa biasa saja, tidak
ada yang mencurigakan dari itu. Ayah hanya menanyakanku, menyuruhku
pulang, dan minta maaf, kan, karena kejadian malam itu? Walaupun minta
maafnya baru pagi tadi, tetapi tidak ada yang salah sama sekali, kan?

Aku sebenarnya malu untuk membalas pesan dari Ayah, karena canggung dan
juga aku masih menaruh amarah, walau tidak banyak. Walaupun begitu juga,
Ayah dan Ibu tetap orangtua kandungku, jika mereka meninggalkanku, aku
tetap menyayangi mereka. Aku hanya sedikit kecewa.
Aku sudah lumayan bosan untuk rebahan saja di kasur sambil bermain
handphone dan menunggu Mentari pulang. Aku ingin mencoba untuk
menghibur diri dengan menonton tv saja. Dulu, channel tv favoritku adalah
Nickelodeon, antara nomor 123-125, aku sangat ingat. Nickelodeon berisi
kartun animasi, seperti stasiun tv pada umumnya, hanya saja dari luar negeri.

Tetapi, ketika aku menyalakan tv, aku agak penasaran dengan berita baru
yang heboh di beberapa media masa. Aku coba cek di handphone juga banyak,
hingga masuk trending twitter. Berita ini berisikan artikel kurang lebih
seperti ini 'Seorang pria inisial HD berumur sekitar 45 tahun menyetubuhi
dan membunuh gadis kembar yang masih di bawah umur (sekitar 2 tahun).
Korban ditemukan di semak-semak dekat lampu merah Jl. Wakatobi.' Aku
sedikit tercengang ketika membaca beritanya, karena pria itu segila dan
sekejam itu. Aku tidak habis pikir, bagaimana perasaan orangtua dari korban?
Pasti sangat terpukul. Dan juga, nama jalannya tidak asing, sepertinya aku
mengenalnya.

Aku terdiam sejenak.


Hah? Perumahanku? Batinku.

Aku tertarik dan mencari tahu lebih dalam tentang ini. Aku mencari di tiktok
dengan judul 'wajah pelaku kejadian 1 Mei 2023' dan yang aku dapati..

Ayah. Ayah pelakunya? Hah? Aku mimpi? Batinku.

Aku menampar pipiku sendiri, seolah kejadian ini adalah kebohongan media
sosial. Aku menangiss sejadi-jadinya, memastikan kebenarannya di internet.
Dan benar saja, itu wajah Ayah. Inisial namanya juga benar, nama Ayah. HD
singkatan dari 'Hafidh Devendra'.

Apa lagi ini, ya, Tuhan?


Chapter III
Kekuatan atau Kesialan?
Pagi-pagi buta, setelah kejadian mengagetkan kemarin, aku sebenarnya ingin
menceritakan itu kepada Mentari. Tetapi Ia sudah lebih dahulu tahu karena
teman-temannya yang mempertanyakan berita kemarin kepadanya. Dan
tentunya Ia tahu jika itu adalah Ayahku. Entah bagaimana perasaanku
sekarang, setelah Ibu meninggalkan rumah, Ayah jadi seperti itu. Apa ini
salahku juga? Salahku karena aku tidak menjawab chat Ayah sedari hari Sabtu
itu? Aku juga punya rasa kecewa, wajar saja. Tetapi hingga kini aku berusaha
menerima kenyataan dan diam saja, berharap semuanya diputarbalikkan
menjadi lebih baik. Tidak ada yang mustahil. Aku akan pindah besok, seperti
yang dikatakan Mentari. Aku akan kuliah. Aku juga tidak ingin berlama-lama
merepotkan keluarga Mentari, kita juga beda kampus.

"Tar!"
"Ya??"
"Chat-in temenmu yang itu, yang katanya nyalurin kost-an."
"Ohh, Jeneth namanya, bentar."
"Ho'oh, kirimin kontaknya sekalian."
"Syap nyonya."

Sesudah itu, benar saja, aku dikirimi pesan oleh nomor tak dikenal yang tidak
lain tidak bukan adalah Jeneth. Jeneth adalah teman satu kampus Mentari.
Aku tidak tahu banyak tentang dia. Namun, aku sudah mendapat kost-annya.
Di luar kota. Ya, karena kuliahku juga di luar kota. Kuliah yang akau pilih ini
baru, jadi berkesan aku sebagai orang asing. Walaupun baru-baru begitu,
tempt perkuliahannya langsung terkenal dan banyak disegani di mayarakat.

Besok adalah Hari-H, saatnya meninggalkan kota tersayang dan sahabatku.


Aku sudah ada di dalam pesawat, aku diantar sampai bandara oleh Mentari.
Bakal kangen banget, pastinya.

'Big love for you, save flight.' Aku tersenyum melihat pesan darinya, air mataku
sedikit menetes. Hingga 4 jam lamanya perjalanan, aku tertidur. Tibalah di
kota baru. Semoga disini ada hidup baru juga, yang pastinya lebih baik. Aku
turun dari pesawat dan mencari ojek untuk mengantarku ke kost-an yang
sudah dijanjikan oleh Jeneth. Suasana di kota itu sangat dingin dan juga
derajatnya lumayan berbeda jauh dengan kotaku. Di kotaku biasanya 29
derajat celcius jika panas, tetapi normalnya 27 derajat celcius. Jika di kota ini
yang panas 26 derajat celcius, dan dingin 23 derajat celcius. Terkesan tidak
terlalu dingin, tetapi untuk yang tidak terbiasa seperti diriku akan merasakan
hal yang berbeda dari biasanya.

Aku turun dari motor ojek tersebut dan membayar sesuai apa yang diminta.
Aku sampai di perjalanan baruku, aku sangat senang. Aku harap, perasaanku
yang lalu, sedih dan semacamnya memudar. Di kost-an tidak hanya aku, ada
teman yang lain yang tentunya dari berbeda-beda kampus. Kami bertukar
nama satu sama lain dan tertawa ria di hari pertama ini.

Alarm kesayanganku yang berjudul 'Rain Wet The Bird' itu, telah
membangunkanku pukul 05.00. Aku bergegas mandi dan mempersiapkan
buku-buku untuk pergi hari pertama ke tempat kuliah. Tidak sabar. Aku
segera memesan ojek supaya cepat sampai, karena jika nebeng dengan teman
se-kost-an rasanya tidak enak, karena kita belum kenal dekat, dan jalan
menuju tujuan tidak searah. Takutnya merepotkan.

Tak lama kemudian, ojekku datang. Aku berbincang-bincang sedikit dengan


beliau di jalan, tetapi menunggu sampai jam menunjukkan pukul 06.30 tidak
kunjung sampai di tujuan. Entah karena salah arah atau bagaimana, abang
gojek juga diam saja, tidak melanturkan sepatah kata apapun. Ia tetap berjalan
mengikuti rute yang ada di Google Maps.

Benar saja. Sesampainya aku disana, aku sudah terlambat. Waktu sudah
menunjukkan pukul 07.30. Sedaritadi di perjalanan, aku merasa melewati rute
yang bersamaan tiap menit. Walau aku berbincang dengan abang gojeknya,
aku tetap merasa ada yang janggal. Tetapi, aku mencoba mengabaikannya.
Hari pertama ini aku masih dibolehkan masuk karena hanya pengenalan dan
materi biasa saja, tidak ada tugas dan semacamnya. Dan pengumuman untuk
besok, diadakan pembelajaran jarak jauh atau secara daring. Jadi, aku tidak
perlu repot repot lagi untuk mempersiapkan seperti tadi pagi.

'Tadi pagi aku bangun pukul 4 subuh? Tetapi masih saja terlambat? Apa memang
kampusku saja yang jauh? Atau alarm tadi pagi rusak?' Batinku.

Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, ini waktunya untuk makan


malam setelah itu mempelajari materi esok hari. Aku makan dengan 3
temanku yang lain, tetapi yang 5 lainnya sedang ada yang makan diluar, nge-
date, dan juga belum pulang kampus. Kita makan dalam keheningan, mereka
semua terpaku dengan handphone yang ada ditangan masing-masing. Diriku
pun begitu. Karena mungkin masih sama-sama canggung dan tidak ada
kenalan dekat. Dan juga, tidak ada topik.

"Eh, maaf buka topik, kalian tahu kan yang viral kemarin? yang bapak-bapak itu?"
"Eh iya, tau-tau."
"Kejam banget gak sih? Gimana ya anaknya dia kalo tau? Kalo aku jadi anaknya
udah aku benci sih sampe tuh bapak-bapak m*ti."
"Sama sih, aku juga."
Deg.
'Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Mengapa mereka menggosipkan hal seperti itu di
depan diriku? Andai mereka tahu, aku adalah anaknya. Bagaimana tanggapan
mereka?' Batinku.

Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan sekarang, rasanya campur aduk,
seperti pertama kali aku mengetahui kebusukan keluargaku. Tetapi aku tidak
pernah sama sekali menaruh dendam. Aku berdiam diri duduk sambil
mendengar mereka menggosip. Aku tidak ingin makan, aku sudah tidak nafsu
untuk makan. Inikah yang diperbuat orangtuaku hingga sampai-sampai
membuat jati diriku pecah?

Aku beranjak dari kursiku dan masuk kedalam kamar. Aku membanting pintu
kamarku dan membuat reaksi teman-teman disana heran. Mereka
memanggil-manggil diriku dari luar, tetapi tidak aku tanggapi. Isak tangisku
bercucuran sangat deras, disambut dengan suara petir dan hujan lebat.
Rasanya benar-benar luar biasa. Aku sedikit marah dengan membuang
sebagian barang-barangku, dan berteriak layaknya seperti orang gila. Aku
sudah tidak bisa lagi mengontrol diriku.

Dubrak.. Ctar.. Bruk.. Seng..

Amarahku benar-benar mendalam, tak tahu apa alasannya.

Setelah aku seperti itu, ada gempa yang menyambar. Dipikiranku itu adalah
petir yang menyambar kost-an, tetapi tidak. Ini benar-benar gempa. Gempa
itu magnitudenya lumayan keras dan kuat, hingga lampu tidurku yang aku
simpan di tas saja pecah, LCD hpku yang aku pegang saja retak seketika.

'Hidupku disini sepertinya semakin buruk. Aku sepertinya sudah lelah dengan semua
ini, apa aku menyerah saja untuk cita-citaku?' Pikirku saat itu.
Hari-hari berikutnya. Aku masih tetap diliputi oleh kejadian-kejadian aneh.
Aku hanya butuh bantuan dari Ustadz sekitar komplek, aku tak tahan. Entah
ini kost-an horror atau bagaimana, aku juga tidak paham. Aku bergegas
menuju rumah Ustadz, tetapi ternyata tidak ada Ustadz yang tinggal disana.
Aku sedikit heran, baru desa ini yang aku ketahui tidak ada orang pintar atau
Ustadz. Hanya ada Kyai. Nama Kyainya yaitu Kyai Rahman. Aku bergegas
mengunjunginya, dan beliau ada. Beliau memperhatikanku seakan Ia telah
menunggu kehadiranku. Aku menatap bingung, 'ada apa?'.

"Assalamualaikum, Kyai. Permisi saya-"


"Iya, Dhara, duduk saja."
'Hah? Kyai mengetahui diriku? Darimana? Bisa membaca pikiran oranglain kah?'

Kyai sedaritadi hanya duduk dan menatap Dhara, hingga akhirnya memulai
pembicaraan kembali.

"Itu yang dibelakang kamu, kelihatannya ramah ya? Cantik juga."


Seketika aku menoleh ke belakang, dan bisa ditebak, kosong. Tidak ada siapa-
siapa.

"Maksud Kyai, yang dibelakang mana, ya?" Tanyaku gugup.


"Loh? Kamu belum kenal ya? Oke saya coba kenalkan. Dia perempuan cantik
bernama 'K' dia pelindungmu, dia sudah bersamamu sejak kamu kecil. Kamu
tahu kejadian waktu ada panggilan misterius? Itu dia yang memberitahumu,
bukan makhluk halus."
"Kok.. Kyai tahu?"
"Saya ini Kyai, kalau kamu lupa. Saya jelas bisa tahu banyak. Oh iya, untuk
tujuan kamu kesini, tidak usah, kamu tidak perlu diobati atau semacam di
ruqyah. Disini bukan kota horror. Hanya saya, kamu bisa tanya kebenarannya
pada saksi kejadian Ayahmu, Bapak Samsul Mahendra."
"Baik, terimakasih.. banyak.." Ucapku dengan nada bingung.
Chapter IV
Terbongkar
Aku berjalan kesana-kemari, belum juga mendapati atau bertemu dengan
seorang 'Samsul Mahendra'. 'Apa mungkin dia tidak ada di kota ini?' Batinku.

Ketika aku berjalan di sekitaran komplek, ada yang berjualan di sekitar sana.
Kebetulan aku haus, dan segera membeli 1 gelas es teh. Aku memberanikan
diri untuk bertanya ke Ibu-ibu tersebut. Barangkali kenal bapak 'Samsul
Mahendra'. Dan ternyata benar. Ibu itu tahu. Ia memberikan nomor
handphone pak Mahen kepadaku, danlangsung kuucapkan terimakasih.
Setelah itu aku pulang ke kost-anku dengan keringat yang lumayan banyak
bercucuran. Segera aku menghubungi pak Mahen. Aku mengajak beliau ke
kost-anku saja. Berharap bisa berbicara baik-baik demi penjelasan. Aku butuh
kebenaran.

Tok tok tok..


Aku bergegas keluar untuk membuka pintu. Kini, aku berhadapan dengan pak
Mahen.

"Silahkan masuk. Sudah saya buatkan teh."


"Terimakasih. Tetapi sebaiknya tidak usah merepotkan."
"Oke. Jadi, bagaimana, pak?"
"Jadi begini, saya awalnya adalah anak magang di restoran bapak dari Jeneth,
temannya sahabat kamu. Nah, tiba-tiba ekonomi saya merintis. Saya
ditawarkan jutaan uang oleh beliau. Yang memiliki syarat, harus ada satu
tumbal yang diberikan di kota ini. Saya pikir, benar kamu. Karena info dari
Mentari, teman kamu. Sebenarnya dia chat saya, bukan Jeneth. Jeneth tidak
ada sangkutpautnya sama sekali. itu hanya mengatasnamakan. Tetapi lawan
saya salah. Kamu punya pelindung, dari ber-abad-abad yang lama. Bisa
dibilang kamu adalah reinkarnasi dari putri kerajaan 'D' yang meninggal 1977
lalu. Kamu sangat mirip dengannya. Maka dari itu, pelindungmu kini menjaga
kamu baik-baik. Kamu tahu kan, setiap kamu sedih akan datang ujan dan
petir, ketika marah akan ada gempa? Itu adalah santet dari saya, yang tidak
berhasil masuk, karena kamu punya penjaga. Bersyukurlah. Aku tidak jadi
membunuhnya karena hal itu. Susah sekali mencari tumbal. Dan kejadia
ayahmu, saya tidak sengaja melihat ayahmu mabuk, dan memanggil-manggil
namamu. Aku melihat jelas kejadian itu, namun diam saja. Aku tak mau ikut
campur. Itu hanya suatu kebetulan. Maaf ya, jika terkesan sangat membuatmu
kaget. Saya minta maaf sedalam-dalamnya, berikan permohonan maaf ini juga
pada penjagamu."

'Berarti benar? Kejadian Ayah itu salahku?' Batinku.


"Baik terimakasih banyak penjelasannya. Tetapi, tolong resign ya, Pak? Saya
bisa berikan berapapun uang yang bapak minta, asal jangan menumbalkan
begini. Dosa pak, dibawa sampai ke akhirat."
"Memang, kamu sanggup? Sebanyak 1,2 M lho..?"
"Saya minta nomor rekening bapak, saya ada warisan dari nenek saya, untuk
bapak saja, yang penting tidak seperti ini caranya."
"Terimakasih banyak, maafkan saya sekali lagi. Saya peringatkan besok kamu
pulang, ya. Karena 2 hari kedepan santet itu akan terus-terusan menerormu.
Jadi, ayo cegah!"
"Iya pak, sama-sama, baiklah :)"
Bonus Chapter
Kelulusan
7 Tahun Kemudian..

Sudah 7 tahun aku di kota kesayanganku, dan berkuliah di Universitas terbaik


juga. Hidupku menjadi lebih lebih dan sangat baik dari kota sana. Disini aku
mendapati jati diriku yang sesungguhnya. Pukul 11 adalah acara kelulusanku.
Aku akan segera mendapat gelar S1. Mimpiku tercapai? Well, right.

Sebelum itu, aku ingin menanyakan kabar Ibu, dan mengajaknya kesana nanti,
kira-kira, apakah mau? Feelingku berkatatidak, karena Ibu sifatnya moody-an
dan tipe orang yang hidupnya tidak suka di usik. Tetapi coba aku tanyakan
dulu.

Sudah ku duga, beliau tidak akan mau. Ok tidak apa-apa. Ajak Mentari aja,
deh. Eh, tunggu. 'I'll, succed, do it?'
THE END
Aku tidak pernah berandai atau meminta untuk dilahirkan di
dunia ini. Sama sekali tidak. Namun, kenapa semua ini harus
menjadi kesalahanku? Kenapa harus aku yang merasakan? Apakah
dosaku dari tempat asalku, dari aku bayi, dari aku sebelum lahir,
sangatlah banyak? Sebanyak apakah?

Terkadang, maaf, tetapi setiap hari aku mengeluh karena


banyaknya masalah yang ada dalam hidupku. Aku bahkan tidak
tahu alasan jelasnya. Bahkan sampai-sampai pikiranku kosong
karena memikirkan hal ini. Ataukah aku saja yang bodoh? Aku
sama sekali tidak paham, pikiranku seperti kota mati yang dihuni
oleh jutaan zombie. Selalu ada suara yang membisikkanku entah
itu untuk nasihat, peringatan, atau semacam hal positif lainnya.

Aku tidak membenci mereka. Aku tahu, aku tahu kondisinya. Aku
sangat paham. Hanya saja aku heran, dan tentunya tidak habis
pikir, mengapa tidak jujur dari awal? Mengapa harus ketika aku
dewasa? Karena ketika dewasa aku akan lebih menderita. Tetapi
dengan semua ini, bukan berarti aku tidak bisa menyelesaikannya
secara individual, kan?

©2023
All Right Reserved

Anda mungkin juga menyukai