Anda di halaman 1dari 3

APA SALAHKU?

Oleh :Nila Iliyyatuz Zulfa

“kutunggu karangan bunga darimu

                                                _abang_”

Ini adalah kalimat terpanjang yang tiba-tiba ia kirim lewat pesan setelah hubungan kami yang
lama renggang. Pertengkarankamiyang sebabnya tak jelas apa membuat asap dapur harus
mengepul dari keringatku.

…..

Abang adalah seorang pekerja keras sehingga membuat ia sering pulang larut, entah apa yang
ia lakukan di Pabrik ayam petelur hingga pulang larut demikian malam.  Pernah kudengar
kabar dari seorang kawan kerjanya bahwa abang ditaksir oleh anak bosnya namun aku
menganggap itu sekedar kabar angin yang tak benar adanya karena aku yakin meskipun
pernikahan kami paksaan dari orang tua namun yang kurasa selama bersamanya adalah
tanggungjawab besar layaknya suami pada kebanyakan keluarga kami yang mengalami
perjodohan yang sama. Damai.

Jujur ku akui, aku menjalani pernikahan ini dengan perasaan hambar, tanpa cinta, tanpa
sayang. Aku sebenarnya sulit menerima kedatangan abang sebab hatiku saat itu telah
dipenuhi dengan harapan-harapanbesar hidup bersama dengan seseorang yang kucintai, dan
itu bukan abang. Tapi orang tua adalah segalanya, tak ada satu kata penolakan yang sanggup
terucap untuk tidak meng-iya-kan abang sebagai pendampingku. Aku berusaha sekuat tenaga
untuk melayaninya, bersikap semanis mungkin padanya karena aku sangat sadar
tanggungjawabku sebagai seorang istri memang harus demikian adanya, tidak lebih dari itu.

Sebenarya aku sangat berharap hati ini tak lagi membatu begini dan bisa mencair dengan
adanya seorang anak diantara kami. Rupanya harapanku sama dengan harapan abang.
Beberapa kali dia menanyakan tentang bagaimana siklus menstruasiku, apa aku pernah
merasa mual atau menanyakan indikasi kehamilan lain tapi hasilnya abang selalu mendapati
jawaban yang selalu sama dariku. Normal. Tidak telat. Tak ada tanda hamil. Berbagai cara
kami coba lakukan agar segera dapat momongan, suatu hari abang pernah membelikanku
ramuan cina yang kutahu harganya cukup mahal untuk ukuran ekonomi seperti kelurga kami,
namun setelah lama aku mengkonsumsi ramuan tersebut hasilnya tetap sama, aku tak
kunjung hamil pada tahun ke-5 rumah tangga kami.

Bangkai yang disembunyikan rapat suatu saat tercium baunya begitu pula dengan “bangkai“
rumah tangga kami. Abang lebih sering pulang larut dan jarang sarapan di rumah, jikapun
pulang lebih sibuk bermain Hanphone dari pada menggodaku seperti yang biasa dilakukan,
seolah ia mulai merasakan bahwa kewajiaban yang selama ini kulakukan hanya sekedar
kewajiban tanpa ada rasa cinta yang kuselipkan. Sempat beberapa hari abang tak pulang,
sedangkan aku? Entahlah, masih belum bisa kurasa kekhawatiran atasnya. Namun aku adalah
seorang istri dan berkewajiban merasa kehilangan jika suamiku tak pulang, sehingga aku
menelponnya pada hari ketiga menghilangnya ia.
“ Abang posisi dimana?” kucoba bertanya dengan nada datar seperti biasa, “ Pabrik!” katanya
dengan suara seolah menahan kesal dan kemudian menutup telponnya.

Sebenarnya sudah kuduga dari awal jawabannya, ia tak akan pergi kemana-kemana hanya
sekedar di pabrik tapi bersama ayam petelur selama 3 hari hingga membuatnya tak pulang
adalah sebuah kejanggalan. Akhirnya, abang kembali pada hari ke-7, namun ia datang dengan
amarah yang besar, mengakatakan bahwa aku adalah wanita keras kepala yang tak patuh pada
suaminya. Namun seingatku tak pernah sekalipun kulanggar apa yang menjadi
tanggungjawabku sebagai istri. Aku hanya diam dalam amarah besar yang baru pertama kali
kutahu ada padanya, karena kukira dia tak pernah bisa marah. Aku berdiam diri dalam
cercaannya, mencoba berpikir kiranya apa yang harusku lakukan agar keadaan tak panas
begini. Kemudian aku berdiri, berjalan menuju dapur tuk mengambil segelas air putih
untuknya, berharap air mampu segera redahkan amarahnya. Setelah sumpah serapah
terdengar lelah dikeluarkan atas sikapku, kusuguhkan air putih sembari kupoles wajahku
dengan senyuman karena kupikir ini akan mampu meredahkan emosinya.

“Terimakasih telah mengerti cara meredam marahku”kata abang sembari meraih gelas yang
telah aku bawakan dengan wajah yang tak bisa kuartikan mimiknya, meminumnya dengan
tergesa-gesa dan menyiram separuh sisa air kewajahku dan berkata “ yang barusan itu karena
kurangajarmu padaku selama ini”. Abang kemudian berdiri, membuka kasar pintu. “aku
pergi, mungkin lama tak kembali namun jangan pernah kau berpikir tuk menikah lagi karena
aku tak akan pernah menceraikanmu! “kata terahirnya sambil lalu.

…..

Kutekan keypad dengan banyak keraguan. Mencoba membuat kata yang berkesan rindu
untuk membalas pesan singkat darinya “ kemana saja abang pergi ?” hanya kalimat itu yang
kukira pas tuk menggambarkan rinduku. Sebenarnya aku kelimpungan memikirkan kemana
arah pembicaan kami setelah pesan ini kukirim karena aku mulai lupa bagaiman acara yang
baik melayani suami, sebab saat ini adalah tahun ke-6 menghilangnya ia yang aku sendiri pun
tak berusaha untuk mencari kemana ia pergi. “Jangan banyak tanya! Siapkan saja karangan
mawar merah untukku lalu pergilah keJogja, cari jalan xxx disitulah aku akan pindah
rumah”.  Sambil menerka kemungkinan dia akan atau sudah menikah lagi segera kubalas “
ok, selamat menempuh hidup baru bang”. Ah…ahirnya aku dimadu, sudah kuduga sedari
awal memang akan begini jadinya, tapi kenapa perasaanku biasa saja? Kali ini pun tak ada
nyeri selayaknya perasaan orang diselingkuhi. Baiklah, kuturuti saja, apasalahnya
menyenangkan hati suami.

Aku segera mencari toko bunga, membeli bunga mawar merah termahal yang mereka
punya dan menuju Jogja dengan motor pinjaman tetangga. Saat sampai, kucoba bertanya
pada kanan-kiri dimana jalan xxx yang dimaksud abang. Desa demi desa kulalui, akhirnya
atas petujuk seorang supir angkot aku menelusuri sebuah jalan yang baru kutahu pangkal
jalan xxx ini adalah sebuh komplek pemakaman. Aku mencoba selidiki sekali lagi lamat yang
di-sms-kan abang pada penduduk sekitar, ternyata memang komplek makam ini yang
dimaksud. Apakah abang sudah mati? Batinku memprediksi. Tanpa pikir 2 kali kutelusuri
makam demi makam mencoba mencari nisan yang bertulis nama abang di atasnya dengan
harapan pikiran nakal kutak diamini oleh kenyataan bahwa abang benar-benar mati.
Kehabisan tenaga, kucoba bertanya pada rumah terdekat komplek pemakaman yang
kebetulan juga petugas pemakaman. Aku coba mengkorek berita padanya tentang apakah ada
penghuni makam yang bernama sama seperti suamiku. Namun aku bersyukur sekali saat
beliau bilang tak ada nama itu di komplek pemakaman ini. Namun masih ada yang
mengganjal dalam benak, kenapa abang memberi alamat makam ini padaku? Tak mau ambil
pusing aku coba menelpon nomernya. Sebelum telpon benar-benar terangkat terdengar
sayup-sayup suara pengumuman dari mushollah desa menyebutkan nama abang setelah
kalimat ‘beritaduka innalillahi wa inna ilaihi rojiun’. Bertambah kaget bercampur bingung
saat petugas makam tadi berkata pada istrinya“ Buk, yang mencoba bunuh diri tadi pagi
akhirnya mati!”.

Anda mungkin juga menyukai