Anda di halaman 1dari 9

CORETAN KISAH REMAJAKU

Sisa gerimis masih menempel di jendela, pagi sudah beranjak pergi. Aku duduk bersandar pada dinding
bercat hijau Yang sudah sedikit usang.

Aku duduk termenung, memikirkan kilas balik yang terjadi denganku dan DIA.

Iya DIA!

Namanya Aris. Kami selalu bertukar kabar, basa basi, membicarakan hal random, dan bercanda lewat
jejaring media.

Yah, hanya akrab lewat sebuah chat. Namun, semakin hari pertemanan kami semakin dekat. Dia
terkadang ke rumahku. Membawa sesuatu untuk adikku yang aku pikir itu tidak perlu. Dia adalah laki-
laki pertama yang bisa seakrab itu dengan keluargaku.

Akupun mencoba memberanikan diri bersilaturahim ke rumahnya. Dan yah, aku sangat bersyukur
keluarganya bisa menerimaku dengan baik. Dan aku juga bisa dekat dengan keluarganya. Keluarganya
baik. Terutama ibunya. Aku mengakui itu.

Seiring berjalannya waktu, kami semakin dekat. Bahkan banyak yang menganggap kami menjalin
hubungan khusus, kata anak zaman sekarang sih "Pacaran". Tak terkecuali kedua orang tuaku. Orang
tuaku tidak marah karena bagi mereka Aris adalah lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Ah, andai
saja orang tuaku tau bahwa sebenarnya kami hanya dekat tanpa terikat hubungan apa-apa.

Aku tak mendustai bagaimana perasaanku tumbuh kepadanya. Aku jatuh hati pada sikap dan
perhatiannya. Bahkan bukan hanya aku, wanita manapun akan jatuh hati jika berada di posisiku. Dalam
sepi, pelan-pelan kudengar hatiku mengucapkan selamat datang pada namanya.

Tetapi, berbagai keposesifan selalu menjelma bagai candu di hati dan pikiranku.

"Jangan terlalu dekat dengan dia, mngkin dia hanya menganggapmu teman biasa. Mngkin bukan hanya
kamu yang di perlakukan seperti itu"

Kalimat itu seolah selalu terngiang ketika aku mencoba kagum untuk kesekian kali kepadanya.

"Kenapa kita tidak pacaran? " Suatu hari aku usil menanyainya.
Bukan mencari jawaban, tetapi aku sedang menyimpulkan seberapa besar peluang rasaku akan terbalas.

"Emangnya kamu mau pacaran sama aku?"Jawabnya.

Ah, bodoh! Kenapa dia malah bertanya balik? Tidak bisakah dia melihat cinta Yang kutujukan hanya
untuknya?

Namun, aku lebih bodoh karena aku hanya menjawab "hah."

"Bingung yah?" Katanya.

"Hah"

Lagi-lagi hanya itu yang bisa kujawab.

Entahlah, aku sendiri tidak tau apa Yang ada dipikiranku. Semuanya campur aduk.

Setiap malam aku selalu terbayang dengan pertanyaan bodohku. Kenapa aku harus menanyakan itu. Dia
pasti berpikir aku sangat ingin menjadi kekasihnya. Ah, betapa malunya. Tapi aku mencoba bersikap
biasa saja jika bertemu dia. Aku mencoba menyembunyikan perasaanku.

Keluargaku selalu menggoda menanyakan kapan pernikahanku dengannya.

"Kalian berdua kapan menikah? Sudah dilambung adek loh." Goda adik sepupuku.

"Insha Allah 5 tahun kedepan. Nanti kita kalo nikah digedung." Jawab Aris.

Entah itu bercanda atau serius yang pasti aku sangat senang dengan pernyataan itu. Tapi lagi-lagi aku
mencoba bersikap biasa saja. Aku hanya menanggapi dengan simpul senyuman. Namun, pernyataannya
yang tak ku ketahui persen keseriusannya itu dianggap serius oleh keluargaku yang juga mendengar
pernyataannya itu.
Sejujurnya aku risih selalu didesak oleh keluargaku yang memintaku agar segera dilamar olehnya.
Katanya agar aku tidak jadi perawan tua. Padahal umurku masih terbilang belia.

Begitupun dengan keluarga Aris, ibunya pernah menyanyakan perihal kesiapanku untuk menikah
dengan Aris. Bukankah pertanyaan itu terlalu jauh?

Rasanya aku ingin mengatakan pada mereka bahwa kami berdua hanya teman biasa. Aris pernah
mengatakan untuk tidak memperdulikan ucapan-ucapan mereka. Tetapi, semakin tidak diperdulikan
justru semakin banyak pertanyaan bahkan tetangga dan teman-teman ku pun ikut melontarkan
pertanyaan yang sama.

"Aku nggak punya hubungan apa-apa kali sama dia. Kita just friend" kataku pada sahabatku suatu hari.

"Bullshit banget! Nenek-nenek juga tau kali kalo kalian berdua itu pacaran." Timpal sahabatku.

"Ya Allah, ini serius. Kita cuma teman."

"Mana ada teman kaya gitu. Kalian selalu jalan bareng, dia selalu ke rumah kamu, keluarganya juga
udah akrab sama kamu. Selama kita berteman, kamu nggak pernah jalan malam sama cowo. Cuma dia
doang. Terus kamu masih mau mengelak? Itu kamu bilang teman? Teman nggak kaya gitu dodol!
Udahlah. Mending nikah aja deh" Ucap sahabatku. Yah sahabatku ini bacotnya memang kelewatan.

"Nikah. .nikah. .! Kamu pikir gampang!" Timpalku.

"Gampangin" jawabnya enteng.

Sebenarnya apa yang dikatakan temanku kubenarkan dalam hati. Selama aku berteman dengan pria,
aku tidak pernah mendapat perlakuan seperti yang kudapatkan dari Aris. Atau mngkin aku Yang terlalu
berlebihan menanggapinya? Mungkin aku yang terlalu KEPEDEAN?

Suatu malam aku menceritakan keluh kesahku pada Aris lewat sebuah chat.

"Aris"

"Iyaa"
"Aku capek tau"

"Capek kenapa? Kuliah? "Tanyanya.

"Bukan"

"Terus capek kenapa? Cerita dong"

"Capek dituduh pacaran sama kamu." Kusisipkan emoji tersenyum.

"Hahahaha..cuma itu? "Balasnya dengan emoji tertawa.

"Seriusan"

"Kenapa capek? "

"Habisnya keluargaku selalu nanya-nanya kapan kita nikah. Padahal kita kan nggak pacaran."

Sejujurnya aku mengatakan itu dengan sebuah harapan.

"Yaudahlah biarin aja mereka mau ngomong apa tentang kita."

"Tapi gimana kalo nanti keluargaku sama keluarga kamu tau kalo hubungan kita berdua ini cuma Prank
alias kita berdua nggak ada apa-apa?"

"Insha Allah ini bukan Prank kok." Balasnya.

Aku masih berpikir apa maksud perkataannya.


"Terus maksud kamu kalo bukan Prank, real gitu?"tanyaku memastikan.

"Iyalah"

"Perasaan dulu yang harus real" jawabku terkesan bercanda padahal aslinya serius.

"Perasaan kamu aja, perasaan aku sih udah real."

"Jadi kamu suka sama aku?" Tanyaku spontan. Ah memalukan!

"Iya, aku suka sama kamu." Balasnya.

Demi apapun, perasaanku benar-benar bahagia pada saat dia mengatakan itu. Aku tidak tau lagi harus
mengatakan apa. Rasanya seperti mimpi. Berarti perasaanku padanya tidak sia-sia? Tidak bertepuk
sebelah tangan? Kalaupun ini mimpi aku tidak ingin dibangunkan.

"Aku nggak tau gimana perasaan kamu ke aku,yang terpenting aku udah ngungkapin apa yang aku
rasain." Lanjutnya.

"Iyaiya" singkatku. Aku bingung harus menjawab apa.

~~

Setelah pernyataan Aris padaku, aku rasanya canggung bertemu dengannya. Seharusnya aku biasa saja
karena bukan aku yang mengungkapkan. Kami belum menjadi sepasang kekasih karena dia tidak
mengutarakan itu. Tapi itu tidak penting Yang terpenting dia sudah mengatakan bahwa dia menyukaiku.
Itu sudah cukup bagiku.
Semakin hari aku semakin dekat dengannya, dekat sekali. Aku juga terkadang mengunggah story yang
berisikan fotonya atau foto kami berdua. Dia masih seperti biasa, selalu ke rumahku dan tidak lupa
membawa sesuatu untukku atau untuk adikku yang paling bungsu. Namanya hampir setiap hari aku
sebut di depan sahabatku.

Sahabatku juga mensupport hubunganku dengannya.

Aku sangat menikmati setiap keadaan, kebersamaan dan peristiwa yang berkaitan dengannya.

"Target menikah kamu usia berapa? "Tanya Aris suatu waktu.

"Nggak tau, kalo sudah ketemu jodohnya yah nikah. " jawabku seadanya, padahal kata jodoh itu
kutujukan hanya untuknya.

"Oh gitu. "

"Kalo kamu? "Tanyaku balik.

"27 atau 28."

"Lama banget. "

"Iyalah, banyak mimpi yang harus aku capai, lagian cowo itu ada yang namanya penjajakan, memfilter,
jadi harus benar-benar ketemu yang pas, kalo udah klop baru ke jenjang pernikahan" katanya.

"Oh gitu " aku menganggukan kepala, entah harus bereaksi bagaimana.

Jujur, ada perasaan yang lain di hatiku setelah mendengar pernyataan dari mulutnya itu. Seperti sesak
rasanya.
Apa selama kami bersama ia tak cukup menjejakiku? Ataukah bukan seperti diriku yang diinginkannya?
Atau butuh waktu Lama untuk meyakinkan hatinya sendiri?

~~

Aris datang sebagai sosok yang begitu manis dan sopan yang mengetuk pintu hatiku dengan pelan. Aku
berusaha meyakinkan diri setiap hari. Semua bentuk perhatian dan dukungannya terhadapku
membuatku benar-benar yakin bahwa dia adalah lelaki yang baik dan tepat. Disaat aku terpuruk, jatuh,
sedih dia selalu datang memberiku semangat dan lagi-lagi membuatku luluh.

Sampai akhirnya hari itu tiba.

"Aku minta maaf yah? "

"Untuk? "Tanyaku.

"Selama kita dekat, aku kayak ngasih harapan gitu ke kamu. Harapan tanpa kepastian lebih jelasnya"

"Terus? " tanyaku lagi. Sungguh tidak ada kata-kata yang ingin kuucapakan.

"Sikap aku yang peduli itu bukan cuma ke kamu, tapi ke semua orang."

"Terus Yang kamu ngomong kalo kamu suka sama aku itu apa? "

"Itu cuma bercanda, karena aku pikir kita kan teman dekat, dan kamu juga baik ke aku. "

"Bercanda? Jadi karena aku baik, kamu bisa bercanda soal perasaan? Kamu pikir aku nggak punya hati? "
Aku menengadah, mencoba menyembunyikan resah. Perlahan bulir bening di pelupuk mata berjatuhan
sempurna.

"Iya, aku tau aku salah. Aku bener-bener minta maaf. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu."

Aris masih menjelaskan. Namun rasanya aku tak punya niat untuk mendengarnya.

Apa katanya? Bercanda? Apa dia pikir urusan hati sebercanda ini? Aku kecewa! Dia yang bagiku
sempurna ternyata menghancurkan semua Yang kubangun atas rasa percaya.

"Bercandamu keterlaluan"

"Iya, aku minta maaf. Intinya sekarang kamu udah tau kan. Jangan berharap lagi sama aku."

Tubuhku limbung, kakiku gemetar seolah tak kuasa menopang tubuh yang semakin melemah. Aku
mencengkram apa saja yang ada didekatku. Mencari kekuatan untuk menahan sesak yang semakin
menyeruak.

Aku sungguh tidak tau apa yang terjadi, benarkah dia hanya bercanda? Apa aku Salahmengartikan
sikapnya? Apa mungkin dalam perjalanannya menujuku dia temui rumah yang lebih nyaman?

Entahlah meski pertanyaan itu berkeliaran di pikiranku, rasanya tak mungkin kutemukan jawabannya.
Yang harus kulakukan hanya menanggung sakit sendiri. Dan mencoba mengobati luka ini sendiri.
Kubiarkan luka ini luruh seiring berjalannya waktu. Nyatanya semua tak sama seperti dulu lagi, andai
saja dia mengatakan sejak dulu sebelum perasaan dan harapanku terlalu besar padanya. Ah, sudahlah!
Tak ada gunanya mengandaikan sesuatu yang sudah terjadi. Mngkin aku saja yang terlalu ingin.

Aku memutuskan melupakan ketulusan yang pernah dia tawarkan serta luka yang sempat membuatku
berantakan. Namun, aku sangat berterima kasih, berkatnya aku memiliki kisah baru dalam hidupku.
Kisah yang tidak pernah dimulai namun sudah berakhir. Aku belum sempat memiliki, namun terpaksa
harus melepas.

Segala tentangnya kurekam baik-baik dalam kepala, menyulamnya pelan-pelan hingga berbentuk satu
simpul yang kuberi nama kenangan.

Aku tak tahu bagaimana kisah remaja orang lain di luar sana. Yang kutahu nilah kisah remajaku, sesak
dan menyedihkan.
Sepertinya ini terlalu berat bagi seorang remaja. Namun, inilah faktanya. Inilah Yang terjadi.

Nyatanya dia hanya sekedar hadir, bukan takdir!

Hanya moment, bukan komitmen!

SELESAI.

Anda mungkin juga menyukai