Anda di halaman 1dari 5

KELOMPOK : ANNISA PUTRI FEBRIANTY

ELSA SARIPA
NURUL RAMADANI
MUH.RAFLI

Sesuatu Telah Pecah di Senja Itu

Orientasi:

Mendadak semuanya menjadi begitu penting. Caranya menyingkirkan dengan sabar duri-
duri ikan di piringku, suaranya ketika melantunkan doa, wajahnya ketika diam
memikirkan sesuatu. Ah, ia selalu seperti itu. Sama dalam hal berpikir atau marah:
diam. Dengan arah mata ke bawah tertuju pada pucuk hidungnya dan kedua tangannya
bertemu di mulut, seperti tengah membungkam suara. Suatu saat ketika aku tanya
mengapa, jawabnya, “Keduanya sama, jangan tergesa-gesa supaya tidak ada yang
terluka.”

Mendadak semuanya menjadi tidak sederhana. Ia menyetrika sendiri pakaiannya, ia


juga sering memasak makanan untuk kami: dirinya, aku, dan Ratri, anak kami yang
masih bayi. Seingatku, ia tidak pernah marah dan bahkan bersuara keras padaku. Ia
selalu bisa menunda, dan membicarakannya dengan nada sareh di lain waktu. Suatu
saat ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Kanjeng Nabi tidak pernah bersuara keras
pada istrinya.”

Rangkaian Peristiwa:

Aku bisa mengingat dengan jelas bahkan, ketika kami berdua baru melangsungkan
pernikahan yang sederhana, waktu itu aku sedang haid. Sambil menunggu aku selesai
dari rutinitas perempuan itu, ia menemaniku dengan cara mutih, hanya makan nasi dan
minum air putih. Hingga tiba saat kami melakukan hubungan saresmi, laku seksual
suami-istri, ia mengajakku menundukkan kepala, berdoa. Ketika aku sudah mulai
menampakkan tanda-tanda kehamilan, semenjak itu ia melakukan puasa Daud, sehari
puasa, sehari tidak puasa, sampai Ratri lahir. Hampir sembilan bulan ia
melakukannya. Saat aku tanya mengapa, jawabnya, “Hanya ini yang bisa kulakukan
sebagai seorang calon bapak.”

Tapi tidak tepat benar kalimat itu. Ketika aku nyidham, aku menginginkan ikan kali
hasil pancingannya. Waktu itu, malam menjelang pagi, ia dengan semangat berangkat
berbekal senter, golok, dan garan pancing. Pagi ketika aku bangun, ia sudah ada di
dapur memasak ikan hasil pancingannya, menghidangkannya untukku, dan sebagaimana
biasa, menyisihkan duri-duri ikan di piringku agar aku tidak kesulitan memakannya.
Ketika kandunganku mulai membesar, ia sering mengusap kandunganku sambil nembang
lagu-lagu tentang kebajikan. Ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Ia sudah bernyawa
dan bisa merasa.”

Dan aku tidak akan melupakan peristiwa yang ini. Waktu itu kandunganku sudah sangat
tua. Soekarno datang ke daerah kami untuk kembali meneguhkan perlunya mengganyang
Malaysia. Aku dan suamiku yang merasa sebagai anak kandung revolusi datang juga.
Sebagai seorang aktivis politik yang disegani di wilayahku, seharusnya suamiku ada
di jajaran kursi depan. Tapi ia menolak. Kalau tidak karena aku hamil tua, tentu ia
sudah memilih untuk berdiri di tanah lapang bersama ribuan orang yang lain.
Akhirnya kami duduk di kursi deretan belakang. Ketika acara bubar, dan kami hendak
beranjak pulang, seseorang menghampiri suamiku, ia bertanya mengapa aku dan suamiku
tidak meminta nama untuk calon bayiku pada Bung Karno? Dengan pandangan mata
berbinar ke arahku, suamiku menjawab, “Istriku yang lebih berhak memberi nama anak
kami. Ia yang merasakan penderitaan orang mengandung.”

Aku memberi nama anakku Wangi Ratri. Malam di saat aku melahirkan, dalam impitan
pedih, dalam samar-samar wajah suamiku yang mencoba ikut menguatkanku, aku mencium
bau wangi. Sangat wangi.

Komplikasi:

Aku hanya punya satu malam dalam hidupku. Malam penuh hujan di akhir tahun.
Suamiku, dengan linang air mata, memeluk erat. Ia tidak mampu mengatakan sepatah
kata pun. Tapi gigil tubuhnya dan kabar-kabar di luar memberiku isyarat kuat. Hujan
turun di malam kepergian suamiku. Dengan masih membopong Ratri aku menutup pintu.
Hujan turun menderas di dadaku. Tapi tidak di mataku. Tidak akan kubiarkan air
mataku jatuh di wajah bayiku. Aku tidak ingin menularkan kecengengan pada kuncup
kehidupan.

Semenjak kepergian suamiku, hari-hariku adalah hari-hari penuh waswas dan


ketakutan. Di mana-mana aku mendengar kabar dan desas-desus yang membuat merinding.
Rumah-rumah dibakar, penculikan, pembunuhan yang dilakukan ramai-ramai. Pada pagi
buta kuputuskan pergi pulang ke rumah orangtuaku. Di sana kekhawatiran bukannya
mereda. Semakin banyak orang yang mati dan semakin banyak kudengar nama-nama orang
yang kukenal mati. Aku masih menahan semuanya, dan berharap tidak mendengar nama
suamiku disebut dalam kabar-kabar buruk itu.

Hingga kemudian di pagi buta, aku dibangunkan oleh bapakku. Dengan segera kubopong
Ratri menuju ruang tamu. Aku berpikir, kalaupun toh aku harus mati, aku ingin mati
di depan bayiku. Kalaupun toh aku harus ’diambil’, aku ingin anakku bisa
menyaksikan dengan mata timurnya, aku, ibunya, tidak pergi dengan tetesan air mata.

Di ruang tengah aku hanya melihat ibuku, pamanku, dan seseorang yang datang adalah
Pono, teman dekat suamiku. Di depanku dan di depan orangtuaku, dengan suara pelan,
Pono mengatakan pesan suamiku. Melalui Pono, dapat kutangkap dengan gamblang pesan
itu. Suamiku berpesan supaya aku tidak berharap ia pulang, dan ia meminta agar aku
bisa menyelamatkan hidupku dan hidup anakku. Suamiku bahkan menyarankan agar aku
menikah kembali dengan seorang sahabatnya untuk bertahan dari situasi yang sangat
sulit. Sebelum Pono pergi, aku masih sempat menghentikan langkahnya di depan pintu,
aku menanyakan kejujurannya tentang nasib suamiku, apakah ia tidak akan selamat?
Pono menggeleng kemudian bergegas pergi, menghilang. Aku merasa hidupku ambruk saat
itu, tapi air mataku tidak jatuh.

Aku dan suamiku adalah orang biasa. Bagian dari masyarakat yang saat itu dibakar
oleh semangat revolusi yang belum selesai. Suamiku hanya seorang guru yang
sederhana dan dikenal baik oleh masyarakat. Ia berteman dan bersahabat dengan
banyak orang yang bahkan berbeda pemikiran. Rumah kami, hampir tiap malam, menjadi
tempat pertemuan baik untuk kepentingan organisasi yang diikuti oleh suamiku,
maupun untuk pertemuan dengan teman-temannya yang lain. Di rumah kami yang
sederhana, sering datang seorang mantri suntik yang sangat baik dan seorang seniman
yang juga sangat baik serta halus budi bahasanya. Mereka berdua adalah orang-orang
yang satu organisasi dengan suamiku. Pak Mawardi, mantri suntik itu, kudengar mati
dibakar massa di rumahnya, rumah yang sering dipakai untuk menolong orang sakit
tanpa pamrih. Sedangkan Sunardi, seniman yang pintar menari, yang wajahnya sangat
ayu dengan kebaikan dan kehalusan hatinya, konon ditemukan tanpa kepala di sebuah
parit tidak jauh dari rumah kami dulu.

Aku sungguh tidak tahu mengapa ada pembunuhan demi pembunuhan. Ketakutan ada di
mana-mana. Semua orang seperti punya taring, semua udara seperti bertelinga. Banyak
orang hilang tanpa sebab. Desas-desus terus membadai. Malam-malam semakin terasa
mengeras. Aku mulai mendengar desas-desus tentang kematian banyak perempuan. Aku
mulai mendengar banyak perempuan yang diambil menyusul suaminya. Cerita-cerita itu,
duh….juga dilengkapi dengan perlakuan-perlakuan keji. Bu Marni boleh mengirim
makanan untuk suaminya setelah ’digilir’ para petugas. Seminggu kemudian suaminya
mati karena kelaparan dan siksaan di penjara. Mbak Rukmi menjual semua hartanya
untuk ’membayar’ agar suaminya keluar. Uang diterima petugas. Beberapa hari
kemudian, ia baru tahu suaminya sudah lenyap dari penjara itu.

Aku semakin waswas dengan keadaan diriku, terutama Ratri. Di masa-masa seperti itu,
nyawa begitu tidak berguna. Kehidupan sudah bukan lagi sesuatu yang patut dihormati
dan dihayati. Setiap orang bisa hilang dan mati kapan saja. Ia bisa mati hanya
karena pernah datang di suatu rapat. Ia bisa mati hanya karena pernah bergaul
dengan orang yang dianggap berbahaya. Ia bahkan bisa mati hanya karena sebuah suara
dan telunjuk yang secara ngawur diarahkan padanya, entah dari sudut gelap yang
mana. Berbulan-bulan aku menanggungnya. Pada malam-malam itu aku selalu menunggu
dan berharap semoga malam itu bukan malam terakhirku.

Hingga kemudian Rahmat datang. Ia datang dengan wajah serba salah dan masygul.
Rahmat adalah sahabat suamiku dan sahabat Pono. Mereka bertiga berbeda organisasi
politik, tetapi menjalin persahabatan dengan baik. Rahmat anak seorang kiai yang
cukup ternama di kecamatan lain. Orangtuanya adalah kenalan baik suamiku dan teman
baik bapakku.

Dengan ditemani kedua orangtuaku, aku menemui Rahmat. Dengan suara pelan, Rahmat
menceritakan pertemuannya dengan Pono beberapa bulan yang lalu. Pono membawa amanat
dari mendiang suamiku agar Rahmat bersedia menikahiku. “Saya tidak tahu harus
bagaimana Mbakyu. Tapi apa pun keputusan Mbakyu, saya manut.” Dan aku melihat air
mata Rahmat menggenangi kedua matanya. Mata sahabat suamiku yang santun dan saleh.

Sebelum itu semua terjadi, aku sudah memikirkannya. Mencoba memikirkan dengan
jernih. Situasi tidak kunjung membaik. Aku hidup tanpa suami dan dalam kondisi yang
memprihatinkan. Aku butuh suatu pegangan, setidaknya lepas dari impitan ketakutan,
rasa waswas, dan nasib yang tidak menentu. Aku juga memikirkan Ratri.

Tetapi ketika aku hendak memutuskan, semuanya kembali sebagai sesuatu yang sangat
sulit. Duh, Gusti, mengapa pisau uji-Mu begitu landhep, begitu tajam memangkas dan
memotong seluruh kehidupanku. “Wuk Cah Ayu, kadang kala banyak jalan hidup yang
tidak bisa kita pahami. Hidup ini bukanlah sesuatu yang bisa kita pilih. Ini bukan
masalah senang dan tidak senang. Tapi putuskanlah. Sebab hidup ini adalah sebuah
keputusan. Juga mungkin yang berhubungan dengan katresnan. Kamu tidak sedang
berhadapan dengan kehidupan yang sewajarnya. Kamu berhadapan dengan dunia
binatang.” Bapakku dengan suara groyok, seperti menahan tangis, mencoba memberi
saran.

Aku mengangguk. Demi hidup ini sendiri. Demi Ratri.

Resolusi:

Tahun-tahun awal pernikahanku dengan Rahmat adalah tahun-tahun yang paling sulit
kupahami. Semua serba canggung, di antara segala pernik kehidupan sehari-hari, dan
kesedihan yang sering menyelinap berkali-kali. Seluruh hal-hal kecil yang dulu
kuanggap biasa tiba-tiba menjadi penting. Satu kejadian kecil tiba-tiba seperti
membuka kotak ingatanku. Langkah kaki, suara orang bercakap-cakap, derit pintu,
terutama jika hujan turun.

Bertahun-tahun aku hanya bisa diam dengan hati yang sering teriris hanya karena ada
ikan kali di meja makan. Rahmat bertindak dengan bijak, ia tidak pernah mengail
ikan dan tidak pernah makan ikan kali. Bertahun-tahun aku tidak bisa menyangkal
suara-suara yang keluar dari mulut Ratri, suara anak kecil yang renyah tiba-tiba
bisa menggaungkan banyak kalimat yang diucapkan oleh bekas suamiku. Dan bertahun-
tahun itu pula, Rahmat tidak pernah menagih untuk melakukan hubungan suami-istri.
Ia sabar, banyak melayaniku, dan mungkin jauh di perasaannya, aku tetap istri
sahabat yang dihormatinya.

Berkali-kali pula aku meminta maaf pada Rahmat, mengaku berdosa sebab aku merasa
sedang tidak berbuat adil. Tapi ia tetap dengan kesabarannya yang khas, merasa
sangat mengerti apa yang aku rasakan. Menurutnya, lebih baik aku tidak berusaha
melupakan semua itu. Aku harus menerimanya, menerima seluruh hal termasuk kenangan-
kenangan yang sulit dilupakan. Sebab tanpa itu semua, aku tidak pernah sampai pada
kehidupanku yang sekarang ini. Aku tumbuh bersama seluruh peristiwa dan kenangan.
Semua itu sah sebagai bagian dalam hidupku.

Dan aku mencoba menerimanya. Menerima keadaanku, menyadari bahwa semua itu pernah
kulalui, dan itu penting dalam hidupku. Aku mulai menerima bahwa mendiang suamiku
sudah tidak ada lagi. Aku harus menjalani kehidupanku selanjutnya. Dan aku tak
hendak membuang seluruh peristiwa bersama mendiang suamiku dari kenanganku. Tapi
tentu aku tidak akan melupakan mengapa peristiwa sedih itu menimpaku. Aku tidak
tahu dosa dan kesalahanku, aku tidak tahu dosa dan kesalahan mendiang suamiku.
Seluruh peristiwa yang membuatnya pergi dariku tidak akan kulupakan dan tidak akan
kumaafkan. Aku bukan memendam dendam, aku hanya tidak memaafkan.

Apa kesalahannya? Bukankah ia hanya seorang guru yang sederhana? Bukankah ia


bermasyarakat dengan baik? Ia tidak pernah melakukan kejahatan. Ia bukan pencuri,
bukan perampok. Hampir di seluruh hidupnya bahkan digunakan buat kebaikan dan
memikirkan orang lain. Apa yang salah dari mendiang suamiku, juga Mantri Mawardi,
dan Sunardi?

Setiap kali rasa marah itu memuncak, Rahmat selalu berusaha menenangkanku. Ia
mencoba menuntunku untuk berdamai dengan masa lalu. “Percaya saja hukuman itu akan
datang, entah kapan dan datang dari mana. Tapi kalau kamu tidak mencoba berdamai
dengan masa lalumu, kamu akan rugi. Semua itu hanya akan membuat mereka terus
berteriak menyoraki kehidupanmu. Untuk yang seperti itu, aku tidak akan
merelakannya.” Sambil berkata seperti itu, Rahmat menatap tajam pada mataku. Saat
itu. Untuk kali pertama, aku memeluknya, erat. Sangat erat.

Pada akhirnya, aku bisa menerima itu semua. Bukan hanya tentang mendiang suamiku.
Tapi aku menerima Rahmat sebagai seseorang yang kupunyai dan kucintai. Jika hidup
itu sendiri adalah sebuah keputusan: diterima atau tidak, dilanjukan atau diakhiri.
Cinta tidak lebih dari itu semua. Mencintai pada akhirnya adalah sebuah keputusan.
Dan karena sebuah keputusan, maka berbagai pertimbangan sah menjadi landasannya.
Pada akhirnya, toh cinta, sebagaimana banyak hal yang lain: tidak turun dari langit
yang gaib. Ia, cinta, hanya bisa diputuskan dan dikerjakan.

Anak keduaku lahir. Seorang perempuan cantik, namanya Laila. Ia juga lahir di malam
hari. Kelahirannya membuatku semakin yakin dengan jalan hidup yang kutempuh. Kini
ada semakin banyak anak-anak harapan yang bisa kukerjakan. Kami bahagia.

Lalu datang senja itu. Beberapa hari sebelumnya, aku merasa ada yang aneh dengan
diriku. Aku sering merasa tiba-tiba ada yang mengagetkanku. Aku merasa tiba-tiba
ada mendiang suamiku di dekatku. Aku merasa tiba-tiba sering kosong, mengerjakan
sesuatu tanpa kesadaran.

Hingga benar-benar datang senja itu. Awalnya, Laila yang baru saja pulang dari
sekolah sore, memanggilku di dapur, katanya ada tamu. Aku bergegas ke depan, tapi
aku tidak mendapati apa-apa. Laila juga bingung. Aku nratab, deg-degan tak karuan,
entah kenapa. Lalu aku kembali masuk ke dalam, mencoba mempersiapkan masakan di
meja makan dengan perasaan tidak menentu. Laila lalu masuk lagi ke dapur untuk
mengabarkan bahwa ada tamu, tamu yang tadi. Dengan cepat aku keluar. Kali ini, aku
benar-benar kaget.

Duh Gusti, Pono! Ia berdiri mematung di depan pintu. Sejenak menatapku, lalu
menundukkan kepala. Aku segera menggandengnya untuk masuk ke dalam. Aku
membuatkannya teh hangat, tapi perasaanku semakin tidak karuan. Sehabis
mempersilakannya minum, pandangku kembali terhenti di depan sosok yang sudah
belasan tahun tidak hadir dalam hidupku. Ia jauh lebih tua dari usia seharusnya.
Tapi aku memakluminya. Hidup yang kejam tentu telah dilaluinya. Ia lebih banyak
diam. Setiap kali aku bertanya tentang kabarnya, ia hanya menjawab singkat dengan
kata-kata yang tidak jelas. Dan aku mencoba memakluminya. Hidup yang kejam
membuatnya tidak gampang mengeluarkan kata-kata. Ia lebih banyak melihat ruang
tamu, perkakas yang ada di sana, potret-potret di dinding. Ia seperti ingin
menanyakan sesuatu, aku menangkapnya sebagai pertanyaan terhadap Laila. “Ia anak
keduaku dengan Rahmat. Namanya Laila. Ratri, kakak Laila, sedang pergi dengan
suamiku ke rumah neneknya. Tapi ia pasti pulang malam ini. Kamu harus menunggu
mereka.”

Pono diam. Tiba-tiba ia menggeleng cepat. “Tidak, aku harus cepat pulang.”

Aku agak terkejut dengan jawabannya. Aku merasa ada sesuatu yang hendak dikatakan
padaku. Jangan-jangan…..Ah, tapi tidak. Mendiang suamiku sudah pergi. Semoga
arwahnya tenang di sisi Gusti Allah.

Pono bangkit. Dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya bisa
mengantarnya sampai pintu. Beberapa langkah dari pintu, Pono kembali menengok. Ia
seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi kemudian tetap urung. Ia kembali melangkah
pergi. Tanpa kata-kata. Ketika sampai di luar pagar rumah, Pono kembali menengok ke
belakang, ke arahku. Benar. Aku sangat yakin ada sesuatu yang ingin dikatakannya.
Agak lama ia terdiam. Dan ia benar-benar melangkah pergi. Senja membuatnya menjadi
bayang-bayang, mengabur, lalu lenyap.

Sebuah kepastian menyergapku kuat. Mendiang suamiku belum meninggal dunia! Dalam
ragu, dan rasa tak tentu, aku melangkah keluar pintu rumah. Sampai di pelataran
rumah, aku terhenti. Ada sesuatu yang membuatku berhenti mengejar Pono. Aku seperti
berada pada satu perbatasan. Batas yang sangat rumit. Dadaku sesak. Senja menggelap
di pelataran. Aku terguncang. Tangisku pecah di pelataran.

Anda mungkin juga menyukai