Anda di halaman 1dari 6

Pembunuh Suami

Cerpen AS Laksana (Koran Tempo, 16-17 Januari 2016)

MEREKA mengadiliku dengan tuduhan membunuh suami. Itu tuduhan keji.


Tuhan tahu persis apa yang kulakukan meski para hakim mungkin tidak
sanggup memahami tindakan-tindakanku. Aku hanya berniat mengantar
suamiku ke surga. Aku mencintainya dan kupikir surga lebih baik baginya
ketimbang ia tetap berada di bumi.

Aku mempercayai doa-doa dan aku berbahagia hidup bersamanya. Kadang situasiku muram dan
kadang aku sedikit putus asa meski mempercayai doa-doa, tetapi aku bersyukur memilikinya sebagai
suamiku. Ia mampu memberiku hari-hari baik yang akan kukenang selamanya. Ia memberiku, delapan
tahun lalu, hadiah terbaik yang pernah kuterima. Petang hari sepulang dari kios ia mengatakan
badannya kurang enak dan ingin tidur lebih awal. Kulihat ibu jari dan telapak tangan kanannya
dibebat kain perban, begitu juga jari-jari tangan kirinya.

“Kau tidak mengabariku kalau ada masalah, Mas,” kataku.

“Hanya kecelakaan kecil, dalam dua hari sudah akan sembuh,” katanya.

Kuharap begitu. Tukang reparasi jam tidak akan bisa bekerja jika kedua tangannya dibalut perban.

Tengah malam aku terbangun oleh sentuhan sikunya dan kudengar ia meminta tolong diantarkan ke
kamar mandi. Ia hendak kencing dan tak bisa membuka risleting celananya sendiri. Aku baru sadar,
sejak pulang kerja ia tidak mengganti pakaiannya dan masih mengenakan kemeja batik dan celana jins
yang ia pakai saat berangkat kerja. Kugandeng tangannya, tidak terlalu demam, aku agak lega.

Di kamar mandi aku membukakan risletingnya, membantunya mengeluarkan burung dari sangkar.
Dan, astaga!

Burungnya berhiaskan pita merah, seperti ular jinak berdandan dasi kupu-kupu, dan di bawahnya
menggelantung sepotong karton kecil berisi ucapan selamat ulang tahun untukku. Tak bisa kutahan
ketawaku.

“Baik sekali dia,” kataku.

“Seperti aku, ia sangat mencintaimu,” katanya.

Seandainya kami bisa meneruskannya dengan percintaan, aku yakin itu akan menjadi percintaan kami
yang paling menyenangkan, dan sekiranya benihnya berhasil membuahi telur di rahimku dan selamat
sampai kelak dilahirkan, ia pasti tumbuh menjadi anak yang memberi kami kegembiraan dalam
banyak hal, sebab aku sedang sangat berbahagia dengan kejutan yang ia berikan. Namun kami tidak
mungkin melakukannya. Dokter melarangku melakukannya sampai dua bulan ke depan. Sebulan
sebelumnya aku keguguran, itu peristiwa kedua. Yang pertama terjadi dua tahun lalu, atau satu
setengah tahun setelah hari pernikahan kami.

“Jadi ia ke salon tadi sore?” tanyaku. “Siapa yang memasangkan pita di lehernya?”

Ia tertawa dan melepas perban di kedua tangannya dan memelukku kuat-kuat di kamar mandi. Aku
selalu mengingat ciumannya di keningku.

Delapan tahun cukup lama dan itu terjadi sebelum kami mempunyai anak-anak, tetapi untuk segala
yang melekat dalam ingatan kau akan merasa seolah-olah ia baru terjadi kemarin. Sekarang kami
sudah memiliki anak-anak, semuanya masih di bawah lima tahun, dan mereka memerlukan tuntunan
untuk menjadi anak-anak yang baik. Aku menjaga mereka dari iblis yang bisa mengubah diri menjadi
apa saja. “Kalau ia mau,” kataku pada suatu malam menjelang mereka tidur, “dalam satu hari ia bisa
mengubah wujudnya menjadi kantung garam, lalu menjadi lalat, lalu menjadi kutu, lalu kutu itu
merayap ke liang telinga dan menyusupkan bisikan pada saat orang tidur lelap. Sekarang, berdoalah
sebelum aku menceritakan kisah itu.”

Suamiku tidak begitu senang jika aku terlalu sering menceritakan kepada anak-anak kisah-kisah iblis.
Tetapi aku ibu yang membesarkan mereka. Aku berhak menyampaikan apa saja yang berguna bagi
keselamatan hidup mereka. Di luar soal iblis, ia tidak pernah berkeberatan pada caraku mengasuh
anak-anak. Pada dasarnya ia menyerahkan sepenuhnya urusan anak-anak kepadaku dan aku merasa
perlu memberi tahu anak-anakku segala sesuatu tentang iblis.

PERISTIWA kantung garam, yang terjadi pada abad kesebelas, adalah peristiwa sejarah yang paling
kuingat tentang bagaimana iblis bekerja, selain kejadian yang melibatkan manusia pertama dan ular
pembujuk. Keduanya ada dalam buku Iblis dan Para Korbannya: Sejarah tentang Orang-Orang
Beriman yang Jatuh oleh Bisikan Iblis yang kubaca bertahun-tahun lalu. Sampai sekarang buku itu
masih kusimpan dan aku menyembunyikannya rapat-rapat dari suamiku agar ia tidak membakarnya.
Itu satu-satunya buku yang disusun oleh Malachi Melech, seorang rabbi yang berumur panjang dan
membaktikan umur panjangnya untuk meneliti perbedaan halus antara bisikan iblis dan suara Tuhan.
Aku menghormati penelitiannya. Menurut Melech, dalam pengantar buku itu, titik krusial yang
membuat orang-orang beriman sering tersesat adalah mereka berpikir sedang mengikuti perintah
Tuhan, padahal mereka mengikuti bisikan iblis.

Rabbi itu konon hidup sampai umur 148 tahun. Ia lahir pada 1675 dan menghilang pada umur 29, atau
dua tahun setelah menyelesaikan satu-satunya buku atas namanya, untuk memulai penelitian. Menurut
perkiraan ia mati pada 1823. Aku berharap kelak ada yang berhasil menemukan catatan-catatan
penelitian Melech dan menerbitkannya sebagai buku. Itu akan menjadi buku penting bagi kami para
ibu yang memikul tanggung jawab mengasuh dan membimbing anak-anak agar mereka tak mudah
terjerumus oleh bisikan iblis yang menyerupai suara Tuhan.

Kalian tahu sendiri iblis begitu licik. Peristiwa kantung garam memperlihatkan betapa kunyuknya
jahanam itu. Seorang imam Yahudi bernama Isaac B. Shem pulang dari perjalanan pada suatu sore
dan melihat sesuatu teronggok di tengah jalan, ternyata sekantung garam. Ia memungutnya dan
menaikkannya ke pedati dan tak menemukan benda itu saat tiba di rumah. Shem tak menyadari bahwa
sekantung garam yang ia temukan telah mengubah diri menjadi lalat dan sekarang hinggap di janggut
lebatnya yang kelabu dan saleh.

Dari rerimbun janggut, lalat itu terbang ke kepala dan mengubah diri menjadi kutu dan terus
mendekam di situ sampai malam tiba dan merambat ke telinga pada saat Isaac tidur lelap. Sang imam
yang sehari-hari khusyuk berdoa merasa mendapatkan bisikan Tuhan melalui mimpi. Keesokannya,
berkat bisikan si kutu, ia mulai mengeluarkan fatwa-fatwa yang membingungkan kaumnya dan
selanjutnya dianggap sesat dan akhirnya dianggap gila.

Keempat anakku senang mendengar cerita orang-orang zaman dulu dan aku berbahagia mengurus
mereka. Sebetulnya aku masih berharap satu anak lagi sehingga jumlah anak kami menjadi lima.
Tuhan menyukai angka ganjil dan kebanyakan ksatria berjumlah lima. Suamiku tidak berkeberatan
dan itu berarti ia harus beristri lagi. Tidak ada masalah. Ia bisa mendapatkannya cukup mudah dari
kalangan yang sekeyakinan. Cuma kuingatkan jangan mengambil perempuan yang memiliki bakat
beranak kembar seperti Rahmi, istri keduanya, yang meninggal sebulan setelah melahirkan dua putra
sulung kami.

“Kita tak bisa ikut campur soal anak,” kata suamiku. “Misalkan diberi kembar, kita tak bisa
menolaknya.”

“Karena itu harus dicari tahu riwayat orang tua dan leluhurnya,” kataku. “Kita hanya memerlukan
satu tambahan lagi. Masa harus membuang sisanya jika ia nanti melahirkan kembar dua atau tiga. Aku
tidak mau melakukan tindakan sekeji itu.”

BEBERAPA tahun lalu aku tak bisa setenang itu merestui suamiku beristri lagi. Kami menikah
karena saling mencintai dan aku merasa cocok dengannya. Aku senang berdoa dan ia orang yang
khusyuk dalam menangani arloji para pelanggannya, seperti orang sedang berdoa. Itu kesan
pertamaku saat pertama kali datang kepadanya membawa arloji ayahku yang perlu direparasi. Setelah
kami menikah, aku mengatakan ingin mempunyai lima anak. Ia tertawa. “Diberi berapa pun aku
senang,” katanya.

Namun, sampai enam tahun setelah pernikahan, kami tidak mendapatkannya. Dua kali aku keguguran.
Suamiku mengatakan jangan-jangan aku kelelahan di kantor dan ia tidak berkeberatan aku berhenti
bekerja. Kupikir sayang. Pekerjaanku di kantor tidak terlalu berat dan posisiku cukup bagus.

Aku mengajaknya ikut berdoa agar Tuhan menguatkan kandunganku. Air mataku mengalir
membentuk anak-anak sungai di kedua pipi. Suamiku, yang nyaris tidak pernah berdoa, akhirnya ikut
berdoa dan melakukannya sekhusyuk ia mereparasi arloji. Dan pada Selasa pagi ia mendatangiku di
dapur, menyampaikan kabar baik dengan suara gemetar. “Doaku dijawab, Ratri,” katanya,
“Menjelang fajar aku mendengar suara, ‘Maka ambillah satu lagi untukmu, perempuan yang dari
rahimnya akan lahir anak-anakmu.’ Semula aku mengira itu gema pikiranku sendiri, sebab tidak ada
siapa pun di sekitarku.”
Itu bukan kabar baik. Tubuhku menggigil oleh apa yang disampaikannya.

“Mungkin itu bujukan iblis?” kataku.

“Mungkin,” kata suamiku. “Kita tidak tahu.”

“Kita akan berdosa mengikutinya, jika itu bisikan iblis,” kataku.

Sebulan lebih kami melupakan pembicaraan itu, dan ia membukanya lagi pada Jumat malam dengan
menceritakan kunjungannya ke rumah seseorang dan orang itu menyarankannya mengikuti suara yang
pernah ia dengar, sebab itu suara Tuhan. Kuingatkan suamiku bahwa iblis bisa menyerupai apa saja.

Mungkin suaraku terdengar ketus. Esok harinya ia mengajakku menemui orang itu . Aku mengatakan
tidak usah, tetapi tak berdaya ketika ia terus mendesakku. Kepalaku pening ketika mendengar orang
itu mengatakan bahwa ia sudah membuat penelitian seumur hidup untuk menemukan perbedaan
antara bisikan iblis dan suara Tuhan dan ia memastikan bahwa yang didengar oleh suamiku adalah
suara Tuhan. Aku yakin ia sedang berbohong. Hanya ada satu orang di dunia ini yang melakukan
penelitian itu.

“Kupikir tidak apa-apa kalaupun sampai mati aku tidak memiliki anak,” kataku. Aku
mengucapkannya dengan suara pedih. Kami berbaring di tempat tidur, ia telentang, aku
memunggunginya. Aku memang menginginkan anak, tetapi tidak menginginkan madu. Mungkin ada
perempuan lain yang merelakan suaminya beristri dua atau tiga atau empat, aku tidak bisa seperti itu.

“Aku takut Tuhan murka pada prasangka burukmu, Ratri,” katanya. “Kita sudah berdoa dan kita
diberi jalan dan kau berpikir iblis yang menjawab doa kita?”

Bahkan kalaupun itu jalan, aku tidak ingin kami menempuh jalan itu. Suamiku, atas saran lelaki yang
ia percayai tahu apa saja yang ada di langit dan di bumi, akhirnya memilih jalan itu. Aku berdoa
setiap hari demi mendapatkan keadilan. Aku ingin memiliki anak-anak dan membesarkan mereka
sebagai ibu, tetapi aku tidak menginginkan perempuan lain ada di antara kami.

Dan Tuhan mengabulkan doa-doa.

Tiga perempuan yang ia peristri meninggal tak lama setelah mereka melahirkan. Aku sedih atas
kematian mereka sebab, bagaimanapun, mereka berhak hidup lebih lama. Tetapi mereka berada di
antara aku dan suamiku dan Tuhan mengabulkan doaku.

Mungkin Rahmi perempuan baik. Ia berusaha ramah kepadaku, aku tahu itu, tetapi ia hadir di rumah
kami sebagai pengganggu. Mataku pedih menyaksikan beberapa bulan kemudian perutnya membesar
dan suamiku kian menyayanginya ketika dokter memberi tahu bahwa Rahmi mengandung bayi
kembar. Seharusnya perutku yang membesar seperti itu, seharusnya suamiku menyayangiku.

Aku merasa ditinggalkan sendirian. Aku merasa sunyi. Aku berdoa kepada Tuhan agar suamiku
merasakan kesunyian yang kurasakan, merasakan sengsara ditinggalkan orang yang sangat ia cintai.
Dan malam itu aku mendengar suara: “Aku tidak mengabulkan doa jika kau sendiri tidak
mengerjakan apa yang seharusnya kaukerjakan.”

TERIMA KASIH, akhirnya ada keadilan di muka bumi. Tak hanya suamiku yang bisa mendengar
suara-Nya, aku juga bisa. Dunia terang seketika, seperti ada sejuta matahari terbit bersamaan pada
saat aku bangun pagi itu. Aku menyerukan nama-Nya dan mengikuti petunjuk-Nya dan mengerjakan
apa yang harus kukerjakan. Suamiku tampak terpukul oleh kematian Rahmi dan kulihat ia begitu
kesepian selama beberapa waktu. Aku memeluknya, memberinya rasa kasih yang ia perlukan, tetapi
ia tetap murung dan terlihat sengsara.

Aku menyarankannya mengambil istri lagi. Kami sudah memiliki dua anak lelaki dan aku berharap
tiga lagi agar menjadi lima. Perasaanku sudah lebih baik saat itu dan aku bisa menyampaikan saran
dengan suara tenang seorang istri yang ikhlas. Suamiku mengucapkan terima kasih, mengatakan
sungguh beruntung mendapatkan istri perempuan mulia sepertiku.

Dua perempuan berikutnya bernasib sama seperti Rahmi. Sebetulnya aku sudah tahu apa yang harus
kulakukan tanpa perlu berdoa lagi. Tetapi aku suka berdoa, dan aku mendengar lagi suara-Nya
menyampaikan jawaban yang sama.

Perempuan keempat mengalami nasib serupa dengan tiga perempuan sebelumnya. Aku berbahagia
mendapatkan anak kelima, seorang bayi lelaki, tetapi bersedih atas kematian yang menimpa
perempuan itu. Sungguh, aku tidak mendoakan kematiannya sebagaimana aku mendoakan yang lain-
lain. Suamiku mengenalkannya kepadaku sebagai gadis yatim piatu sejak kecil. Aku merasa iba
kepadanya. Itu perasaan yang tidak kumiliki terhadap para perempuan terdahulu.

Suamiku murung berkepanjangan dan tidak lagi mereparasi jam dan lebih banyak menghabiskan
waktu dengan kelompok yang telah memberinya kemudahan mendapatkan istri. Biarlah ia memilih
jalannya. Aku berbahagia jika ia berbahagia, dan aku berbahagia mengurus kelima anak kami. Aku
memiliki pekerjaan yang baik dan aku akan membesarkan mereka dengan doa-doa.

Setelah dua tahun berkhidmat dengan kelompoknya, ia mengatakan bahwa lima anak terlalu sedikit.
Aku mengingatkannya bahwa lima adalah angka yang baik. Ia menginginkan sebanyak-banyaknya.
“Kalau bisa seribu, aku ingin punya anak seribu,” katanya. Ia berlebihan. Bahkan Kurawa hanya
berjumlah seratus. Mestinya ia tahu bahwa berlebihan adalah tabiat iblis.

Hari itu ia memberiku ceramah tentang kewajiban bagi lelaki untuk memiliki keturunan sebanyak
mungkin dan tentang waktunya yang sudah banyak terbuang. Maka, demi waktu, ia bilang ia perlu
mengambil istri sebanyak mungkin dan mendapatkan anak sebanyak-banyaknya dari mereka. Demi
waktu, aku merasa yang paling mendesak saat itu adalah berdoa agar Tuhan membawanya ke surga.

“Ambillah sebanyak kau mampu,” kataku. “Silakan juga jika kau mau beristri sebulan satu. Tetapi
untuk yang pertama, izinkan aku memilihkannya untukmu. Aku istrimu. Aku akan memilihkan
perempuan terbaik untukmu.”
Ia berterima kasih dan memujiku sebagai perempuan paling mulia. Dua malam setelah itu, aku
memilih perempuan yang paling kupercaya di antara yang tersedia.

Kupeluk perempuan itu pada hari pertama ia tiba di rumah dan kucium kedua pipinya dan kuminta
anak-anakku menyayanginya seperti mereka menyayangi aku. Aku juga memintanya agar
menyayangi anak-anakku dan menganggap mereka adalah anak-anak kandungnya sendiri. Air
matanya mengalir oleh sambutanku dan ia berjanji memenuhi apa yang kuinginkan, seolah-olah itu
hari perpisahan.

Dua minggu setelah pernikahan mereka aku memutuskan mengantar suamiku ke surga—dengan
mendaraskan doa dan dengan mengerjakan apa yang seharusnya kukerjakan. Aku tidak peduli
hukuman apa yang bakal kuterima. Yang paling kusedihkan adalah aku tak akan bisa lagi mengasuh
anak-anakku, tetapi aku sudah memilihkan untuk mereka penggantiku. Perempuan itu, ia yang paling
kupercaya menjadi ibu pengasuh bagi kelima ksatriaku saat aku tak lagi bersama mereka. (*)

Anda mungkin juga menyukai