Anda di halaman 1dari 9

Sesuatu Telah Pecah di Senja Itu

Puthut EA

Mendadak semuanya menjadi begitu penting. Caranya menyingkirkan


dengan sabar duri-duri ikan di piringku, suaranya ketika melantunkan
doa, wajahnya ketika diam memikirkan sesuatu. Ah, ia selalu seperti itu.
Sama dalam hal berpikir atau marah: diam. Dengan arah mata ke bawah
tertuju pada pucuk hidungnya dan kedua tangannya bertemu di mulut,
seperti tengah membungkam suara. Suatu saat ketika aku tanya
mengapa, jawabnya, “Keduanya sama, jangan tergesa-gesa supaya tidak
ada yang terluka.”

Mendadak semuanya menjadi tidak sederhana. Ia menyetrika sendiri


pakaiannya, ia juga sering memasak makanan untuk kami: dirinya, aku,
dan Ratri, anak kami yang masih bayi. Seingatku, ia tidak pernah marah
dan bahkan bersuara keras padaku. Ia selalu bisa menunda, dan
membicarakannya dengan nada sareh di lain waktu. Suatu saat ketika
aku tanya mengapa, jawabnya, “Kanjeng Nabi tidak pernah bersuara
keras pada istrinya.”

Aku bisa mengingat dengan jelas bahkan, ketika kami berdua baru
melangsungkan pernikahan yang sederhana, waktu itu aku sedang haid.
Sambil menunggu aku selesai dari rutinitas perempuan itu, ia
menemaniku dengan cara mutih, hanya makan nasi dan minum air
putih. Hingga tiba saat kami melakukan hubungan saresmi, laku seksual
suami-istri, ia mengajakku menundukkan kepala, berdoa. Ketika aku
sudah mulai menampakkan tanda-tanda kehamilan, semenjak itu ia
melakukan puasa Daud, sehari puasa, sehari tidak puasa, sampai Ratri
lahir. Hampir sembilan bulan ia melakukannya. Saat aku tanya
mengapa, jawabnya, “Hanya ini yang bisa kulakukan sebagai seorang
calon bapak.”

Tapi tidak tepat benar kalimat itu. Ketika aku nyidham, aku
menginginkan ikan kali hasil pancingannya. Waktu itu, malam
menjelang pagi, ia dengan semangat berangkat berbekal senter, golok,
dan garan pancing. Pagi ketika aku bangun, ia sudah ada di dapur
memasak ikan hasil pancingannya, menghidangkannya untukku, dan
sebagaimana biasa, menyisihkan duri-duri ikan di piringku agar aku
tidak kesulitan memakannya. Ketika kandunganku mulai membesar, ia
sering mengusap kandunganku sambil nembang lagu-lagu tentang
kebajikan. Ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Ia sudah bernyawa
dan bisa merasa.”

Dan aku tidak akan melupakan peristiwa yang ini. Waktu itu
kandunganku sudah sangat tua. Soekarno datang ke daerah kami untuk
kembali meneguhkan perlunya mengganyang Malaysia. Aku dan
suamiku yang merasa sebagai anak kandung revolusi datang juga.
Sebagai seorang aktivis politik yang disegani di wilayahku, seharusnya
suamiku ada di jajaran kursi depan. Tapi ia menolak. Kalau tidak karena
aku hamil tua, tentu ia sudah memilih untuk berdiri di tanah lapang
bersama ribuan orang yang lain. Akhirnya kami duduk di kursi deretan
belakang. Ketika acara bubar, dan kami hendak beranjak pulang,
seseorang menghampiri suamiku, ia bertanya mengapa aku dan
suamiku tidak meminta nama untuk calon bayiku pada Bung Karno?
Dengan pandangan mata berbinar ke arahku, suamiku menjawab,
“Istriku yang lebih berhak memberi nama anak kami. Ia yang merasakan
penderitaan orang mengandung.” (Aku bisa melihat bahwa suaminya
akan melakukan hal itu)

Aku memberi nama anakku Wangi Ratri. Malam di saat aku


melahirkan, dalam impitan pedih, dalam samar-samar wajah suamiku
yang mencoba ikut menguatkanku, aku mencium bau wangi. Sangat
wangi.

Aku hanya punya satu malam dalam hidupku. Malam penuh hujan di
akhir tahun. Suamiku, dengan linang air mata, memeluk erat. Ia tidak
mampu mengatakan sepatah kata pun. Tapi gigil tubuhnya dan kabar-
kabar di luar memberiku isyarat kuat. Hujan turun di malam
kepergian suamiku. Dengan masih membopong Ratri aku menutup
pintu. Hujan turun menderas di dadaku. Tapi tidak di mataku. Tidak
akan kubiarkan air mataku jatuh di wajah bayiku. Aku tidak ingin
menularkan kecengengan pada kuncup kehidupan.
Semenjak kepergian suamiku, hari-hariku adalah hari-hari penuh
waswas dan ketakutan. Di mana-mana aku mendengar kabar dan desas-
desus yang membuat merinding. Rumah-rumah dibakar, penculikan,
pembunuhan yang dilakukan ramai-ramai. Pada pagi buta kuputuskan
pergi-pulang ke rumah orangtuaku. Di sana kekhawatiran bukannya
mereda. Semakin banyak orang yang mati dan semakin banyak
kudengar nama-nama orang yang kukenal mati. Aku masih menahan
semuanya, dan berharap tidak mendengar nama suamiku disebut dalam
kabar-kabar buruk itu.

Hingga kemudian di pagi buta, aku dibangunkan oleh bapakku. Dengan


segera kubopong Ratri menuju ruang tamu. Aku berpikir, kalaupun toh
aku harus mati, aku ingin mati di depan bayiku. Kalaupun toh aku harus
diambil, aku ingin anakku bisa menyaksikan dengan mata timurnya
bahwa aku, ibunya, tidak pergi dengan tetesan air mata.

Di ruang tengah aku hanya melihat ibuku, pamanku, dan seseorang yang
datang adalah Pono, teman dekat suamiku. Di depanku dan di depan
orangtuaku, dengan suara pelan, Pono mengatakan pesan suamiku.
Melalui Pono, dapat kutangkap dengan gamblang pesan itu. Suamiku
berpesan supaya aku tidak berharap ia pulang, dan ia meminta agar aku
bisa menyelamatkan hidupku dan hidup anakku. Suamiku bahkan
menyarankan agar aku menikah kembali dengan seorang
sahabatnya untuk bertahan dari situasi yang sangat sulit. Sebelum
Pono pergi, aku masih sempat menghentikan langkahnya di depan
pintu, aku menanyakan kejujurannya tentang nasib suamiku, apakah ia
tidak akan selamat? Pono menggeleng kemudian bergegas pergi,
menghilang. Aku merasa hidupku ambruk saat itu, tapi air mataku tidak
jatuh. (Jujurkah Pono? Pono bukan bagian dari organisasi! Terlalu
besar kemungkinan bahwa suaminya akan mati; mereka meyakini
itu)

Aku dan suamiku adalah orang biasa. Bagian dari masyarakat yang saat
itu dibakar oleh semangat revolusi yang belum selesai. Suamiku hanya
seorang guru yang sederhana dan dikenal baik oleh masyarakat. Ia
berteman dan bersahabat dengan banyak orang yang bahkan
berbeda pemikiran. Rumah kami, hampir tiap malam, menjadi tempat
pertemuan baik untuk kepentingan organisasi yang diikuti oleh
suamiku, maupun untuk pertemuan dengan teman-temannya yang lain.
Di rumah kami yang sederhana, sering datang seorang mantri suntik
yang sangat baik dan seorang seniman yang juga sangat baik serta halus
budi bahasanya. Mereka berdua adalah orang-orang yang satu
organisasi dengan suamiku. Pak Mawardi, mantri suntik itu, kudengar
mati dibakar massa di rumahnya, rumah yang sering dipakai untuk
menolong orang sakit tanpa pamrih. Sedangkan Sunardi, seniman yang
pintar menari, yang wajahnya sangat ayu dengan kebaikan dan
kehalusan hatinya, konon ditemukan tanpa kepala di sebuah parit tidak
jauh dari rumah kami dulu. (guru, mantri suntik, dan seniman;
simbol apakah ini?)

Aku sungguh tidak tahu mengapa ada pembunuhan demi pembunuhan.


Ketakutan ada di mana-mana. Semua orang seperti punya taring, semua
udara seperti bertelinga. Banyak orang hilang tanpa sebab. Desas-desus
terus membadai. Malam-malam semakin terasa mengeras. Aku mulai
mendengar desas-desus tentang kematian banyak perempuan. Aku
mulai mendengar banyak perempuan yang diambil menyusul suaminya.
Cerita-cerita itu, duh, juga dilengkapi dengan perlakuan-perlakuan keji.
Bu Marni boleh mengirim makanan untuk suaminya setelah “digilir”
para petugas. Seminggu kemudian suaminya mati karena kelaparan dan
siksaan di penjara. Mbak Rukmi menjual semua hartanya untuk
“membayar” agar suaminya keluar. Uang diterima petugas. Beberapa
hari kemudian, ia baru tahu suaminya sudah lenyap dari penjara itu.

Aku semakin waswas dengan keadaan diriku, terutama Ratri. Di masa-


masa seperti itu, nyawa begitu tidak berguna. Kehidupan sudah bukan
lagi sesuatu yang patut dihormati dan dihayati. Setiap orang bisa hilang
dan mati kapan saja. Ia bisa mati hanya karena pernah datang di suatu
rapat. Ia bisa mati hanya karena pernah bergaul dengan orang yang
dianggap berbahaya. Ia bahkan bisa mati hanya karena sebuah suara
dan telunjuk yang secara ngawur diarahkan padanya, entah dari sudut
gelap yang mana. Berbulan-bulan aku menanggungnya. Pada malam-
malam itu aku selalu menunggu dan berharap semoga malam itu bukan
malam terakhirku.
Hingga kemudian Rahmat datang. Ia datang dengan wajah serba salah
dan masygul. Rahmat adalah sahabat suamiku dan sahabat Pono.
Mereka bertiga berbeda organisasi politik, tetapi menjalin persahabatan
dengan baik. Rahmat anak seorang kiai yang cukup ternama di
kecamatan lain. Orangtuanya adalah kenalan baik suamiku dan teman
baik bapakku. (Jadi, ini kedatangan kedua Pono? Ini, hari ketika
suaminya mati!)

Dengan ditemani kedua orangtuaku, aku menemui Rahmat. Dengan


suara pelan, Rahmat menceritakan pertemuannya dengan Pono
beberapa bulan yang lalu. Pono membawa amanat dari mendiang
suamiku agar Rahmat bersedia menikahiku. “Saya tidak tahu harus
bagaimana Mbakyu. Tapi apa pun keputusan Mbakyu, saya manut.” Dan
aku melihat air mata Rahmat menggenangi kedua matanya. Mata
sahabat suamiku yang santun dan saleh. (Sepertinya Rahmat memang
orang baik.)

Sebelum itu semua terjadi, aku sudah memikirkannya. Mencoba


memikirkan dengan jernih. Situasi tidak kunjung membaik. Aku hidup
tanpa suami dan dalam kondisi yang memprihatinkan. Aku butuh suatu
pegangan, setidaknya lepas dari impitan ketakutan, rasa waswas, dan
nasib yang tidak menentu. Aku juga memikirkan Ratri.

Tetapi ketika aku hendak memutuskan, semuanya kembali sebagai


sesuatu yang sangat sulit. Duh, Gusti, mengapa pisau uji-Mu begitu
landhep, begitu tajam memangkas dan memotong seluruh kehidupanku.
“Wuk Cah Ayu, kadang kala banyak jalan hidup yang tidak bisa kita
pahami. Hidup ini bukanlah sesuatu yang bisa kita pilih. Ini bukan
masalah senang dan tidak senang. Tapi putuskanlah. Sebab hidup ini
adalah sebuah keputusan. Juga mungkin yang berhubungan dengan
katresnan. Kamu tidak sedang berhadapan dengan kehidupan yang
sewajarnya. Kamu berhadapan dengan dunia binatang.” Bapakku
dengan suara groyok, seperti menahan tangis, mencoba memberi saran.
(mereka orang Jawa)
Aku mengangguk. Demi hidup ini sendiri. Demi Ratri.

Tahun-tahun awal pernikahanku dengan Rahmat adalah tahun-tahun


yang paling sulit kupahami. Semua serba canggung, di antara segala
pernik kehidupan sehari-hari, dan kesedihan yang sering menyelinap
berkali-kali. Seluruh hal-hal kecil yang dulu kuanggap biasa tiba-tiba
menjadi penting. Satu kejadian kecil tiba-tiba seperti membuka kotak
ingatanku. Langkah kaki, suara orang bercakap-cakap, derit pintu,
terutama jika hujan turun. (Ini apa yang ingat di awal-awal cerita)

Bertahun-tahun aku hanya bisa diam dengan hati yang sering teriris
hanya karena ada ikan kali di meja makan. Rahmat bertindak dengan
bijak, ia tidak pernah mengail ikan dan tidak pernah makan ikan
kali. Bertahun-tahun aku tidak bisa menyangkal suara-suara yang
keluar dari mulut Ratri, suara anak kecil yang renyah tiba-tiba bisa
menggaungkan banyak kalimat yang diucapkan oleh bekas suamiku.
Dan bertahun-tahun itu pula, Rahmat tidak pernah menagih untuk
melakukan hubungan suami-istri. Ia sabar, banyak melayaniku, dan
mungkin jauh di perasaannya, aku tetap istri sahabat yang
dihormatinya. (tahu dari mana Rahmat?)

Berkali-kali pula aku meminta maaf pada Rahmat, mengaku berdosa


sebab aku merasa sedang tidak berbuat adil. Tapi ia tetap dengan
kesabarannya yang khas, merasa sangat mengerti apa yang aku rasakan.
Menurutnya, lebih baik aku tidak berusaha melupakan semua itu. Aku
harus menerimanya, menerima seluruh hal termasuk kenangan-
kenangan yang sulit dilupakan. Sebab tanpa itu semua, aku tidak pernah
sampai pada kehidupanku yang sekarang ini. Aku tumbuh bersama
seluruh peristiwa dan kenangan. Semua itu sah sebagai bagian dalam
hidupku.

Dan aku mencoba menerimanya. Menerima keadaanku, menyadari


bahwa semua itu pernah kulalui, dan itu penting dalam hidupku. Aku
mulai menerima bahwa mendiang suamiku sudah tidak ada lagi. Aku
harus menjalani kehidupanku selanjutnya. Dan aku tak hendak
membuang seluruh peristiwa bersama mendiang suamiku dari
kenanganku. Tapi tentu aku tidak akan melupakan mengapa peristiwa
sedih itu menimpaku. Aku tidak tahu dosa dan kesalahanku, aku tidak
tahu dosa dan kesalahan mendiang suamiku. Seluruh peristiwa yang
membuatnya pergi dariku tidak akan kulupakan dan tidak akan
kumaafkan. Aku bukan memendam dendam, aku hanya tidak
memaafkan.

Apa kesalahannya? Bukankah ia hanya seorang guru yang sederhana?


Bukankah ia bermasyarakat dengan baik? Ia tidak pernah melakukan
kejahatan. Ia bukan pencuri, bukan perampok. Hampir di seluruh
hidupnya bahkan digunakan buat kebaikan dan memikirkan orang lain.
Apa yang salah dari mendiang suamiku, juga Mantri Mawardi, dan
Sunardi?

Setiap kali rasa marah itu memuncak, Rahmat selalu berusaha


menenangkanku. Ia mencoba menuntunku untuk berdamai dengan
masa lalu. “Percaya saja hukuman itu akan datang, entah kapan dan
datang dari mana. Tapi kalau kamu tidak mencoba berdamai dengan
masa lalumu, kamu akan rugi. Semua itu hanya akan membuat mereka
terus berteriak menyoraki kehidupanmu. Untuk yang seperti itu, aku
tidak akan merelakannya.” Sambil berkata seperti itu, Rahmat menatap
tajam pada mataku. Saat itu. Untuk kali pertama, aku memeluknya, erat.
Sangat erat.

Pada akhirnya, aku bisa menerima itu semua. Bukan hanya tentang
mendiang suamiku. Tapi aku menerima Rahmat sebagai seseorang yang
kupunyai dan kucintai. Jika hidup itu sendiri adalah sebuah keputusan:
diterima atau tidak, dilanjukan atau diakhiri. Cinta tidak lebih dari itu
semua. Mencintai pada akhirnya adalah sebuah keputusan. Dan karena
sebuah keputusan, maka berbagai pertimbangan sah menjadi
landasannya. Pada akhirnya, toh cinta, sebagaimana banyak hal yang
lain: tidak turun dari langit yang gaib. Ia, cinta, hanya bisa diputuskan
dan dikerjakan.

Anak keduaku lahir. Seorang perempuan cantik, namanya Laila. Ia juga


lahir di malam hari. Kelahirannya membuatku semakin yakin dengan
jalan hidup yang kutempuh. Kini ada semakin banyak anak-anak
harapan yang bisa kukerjakan. Kami bahagia.

Lalu datang senja itu. Beberapa hari sebelumnya, aku merasa ada yang
aneh dengan diriku. Aku sering merasa tiba-tiba ada yang
mengagetkanku. Aku merasa tiba-tiba ada mendiang suamiku di
dekatku. Aku merasa tiba-tiba sering kosong, mengerjakan sesuatu
tanpa kesadaran.

Hingga benar-benar datang senja itu. Awalnya, Laila yang baru saja
pulang dari sekolah sore, memanggilku di dapur, katanya ada tamu. Aku
bergegas ke depan, tapi aku tidak mendapati apa-apa. Laila juga
bingung. Aku nratab, deg-degan tak karuan, entah kenapa. Lalu aku
kembali masuk ke dalam, mencoba mempersiapkan masakan di meja
makan dengan perasaan tidak menentu. Laila lalu masuk lagi ke dapur
untuk mengabarkan bahwa ada tamu, tamu yang tadi. Dengan cepat aku
keluar. Kali ini, aku benar-benar kaget.

Duh Gusti, Pono! Ia berdiri mematung di depan pintu. Sejenak


menatapku, lalu menundukkan kepala. Aku segera menggandengnya
untuk masuk ke dalam. Aku membuatkannya teh hangat, tapi
perasaanku semakin tidak karuan. Sehabis mempersilakannya minum,
pandangku kembali terhenti di depan sosok yang sudah belasan tahun
tidak hadir dalam hidupku. Ia jauh lebih tua dari usia seharusnya. Tapi
aku memakluminya. Hidup yang kejam tentu telah dilaluinya. Ia lebih
banyak diam. Setiap kali aku bertanya tentang kabarnya, ia hanya
menjawab singkat dengan kata-kata yang tidak jelas. Dan aku mencoba
memakluminya. Hidup yang kejam membuatnya tidak gampang
mengeluarkan kata-kata. Ia lebih banyak melihat ruang tamu, perkakas
yang ada di sana, potret-potret di dinding. Ia seperti ingin menanyakan
sesuatu, aku menangkapnya sebagai pertanyaan terhadap Laila. “Ia anak
keduaku dengan Rahmat. Namanya Laila. Ratri, kakak Laila, sedang
pergi dengan suamiku ke rumah neneknya. Tapi ia pasti pulang malam
ini. Kamu harus menunggu mereka.”
Pono diam. Tiba-tiba ia menggeleng cepat. “Tidak, aku harus cepat
pulang.”

Aku agak terkejut dengan jawabannya. Aku merasa ada sesuatu yang
hendak dikatakan padaku. Jangan-jangan …. Ah, tapi tidak. Mendiang
suamiku sudah pergi. Semoga arwahnya tenang di sisi Gusti Allah.

Pono bangkit. Dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya
bisa mengantarnya sampai pintu. Beberapa langkah dari pintu, Pono
kembali menengok. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi kemudian
tetap urung. Ia kembali melangkah pergi. Tanpa kata-kata. Ketika
sampai di luar pagar rumah, Pono kembali menengok ke belakang, ke
arahku. Benar. Aku sangat yakin ada sesuatu yang ingin dikatakannya.
Agak lama ia terdiam. Dan ia benar-benar melangkah pergi. Senja
membuatnya menjadi bayang-bayang, mengabur, lalu lenyap.

Sebuah kepastian menyergapku kuat. Mendiang suamiku belum


meninggal dunia! Dalam ragu, dan rasa tak tentu, aku melangkah keluar
pintu rumah. Sampai di pelataran rumah, aku terhenti. Ada sesuatu yang
membuatku berhenti mengejar Pono. Aku seperti berada pada satu
perbatasan. Batas yang sangat rumit. Dadaku sesak. Senja menggelap di
pelataran. Aku terguncang. Tangisku pecah di pelataran.

Anda mungkin juga menyukai