Puthut EA
Aku bisa mengingat dengan jelas bahkan, ketika kami berdua baru
melangsungkan pernikahan yang sederhana, waktu itu aku sedang haid.
Sambil menunggu aku selesai dari rutinitas perempuan itu, ia
menemaniku dengan cara mutih, hanya makan nasi dan minum air
putih. Hingga tiba saat kami melakukan hubungan saresmi, laku seksual
suami-istri, ia mengajakku menundukkan kepala, berdoa. Ketika aku
sudah mulai menampakkan tanda-tanda kehamilan, semenjak itu ia
melakukan puasa Daud, sehari puasa, sehari tidak puasa, sampai Ratri
lahir. Hampir sembilan bulan ia melakukannya. Saat aku tanya
mengapa, jawabnya, “Hanya ini yang bisa kulakukan sebagai seorang
calon bapak.”
Tapi tidak tepat benar kalimat itu. Ketika aku nyidham, aku
menginginkan ikan kali hasil pancingannya. Waktu itu, malam
menjelang pagi, ia dengan semangat berangkat berbekal senter, golok,
dan garan pancing. Pagi ketika aku bangun, ia sudah ada di dapur
memasak ikan hasil pancingannya, menghidangkannya untukku, dan
sebagaimana biasa, menyisihkan duri-duri ikan di piringku agar aku
tidak kesulitan memakannya. Ketika kandunganku mulai membesar, ia
sering mengusap kandunganku sambil nembang lagu-lagu tentang
kebajikan. Ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Ia sudah bernyawa
dan bisa merasa.”
Dan aku tidak akan melupakan peristiwa yang ini. Waktu itu
kandunganku sudah sangat tua. Soekarno datang ke daerah kami untuk
kembali meneguhkan perlunya mengganyang Malaysia. Aku dan
suamiku yang merasa sebagai anak kandung revolusi datang juga.
Sebagai seorang aktivis politik yang disegani di wilayahku, seharusnya
suamiku ada di jajaran kursi depan. Tapi ia menolak. Kalau tidak karena
aku hamil tua, tentu ia sudah memilih untuk berdiri di tanah lapang
bersama ribuan orang yang lain. Akhirnya kami duduk di kursi deretan
belakang. Ketika acara bubar, dan kami hendak beranjak pulang,
seseorang menghampiri suamiku, ia bertanya mengapa aku dan
suamiku tidak meminta nama untuk calon bayiku pada Bung Karno?
Dengan pandangan mata berbinar ke arahku, suamiku menjawab,
“Istriku yang lebih berhak memberi nama anak kami. Ia yang merasakan
penderitaan orang mengandung.” (Aku bisa melihat bahwa suaminya
akan melakukan hal itu)
Aku hanya punya satu malam dalam hidupku. Malam penuh hujan di
akhir tahun. Suamiku, dengan linang air mata, memeluk erat. Ia tidak
mampu mengatakan sepatah kata pun. Tapi gigil tubuhnya dan kabar-
kabar di luar memberiku isyarat kuat. Hujan turun di malam
kepergian suamiku. Dengan masih membopong Ratri aku menutup
pintu. Hujan turun menderas di dadaku. Tapi tidak di mataku. Tidak
akan kubiarkan air mataku jatuh di wajah bayiku. Aku tidak ingin
menularkan kecengengan pada kuncup kehidupan.
Semenjak kepergian suamiku, hari-hariku adalah hari-hari penuh
waswas dan ketakutan. Di mana-mana aku mendengar kabar dan desas-
desus yang membuat merinding. Rumah-rumah dibakar, penculikan,
pembunuhan yang dilakukan ramai-ramai. Pada pagi buta kuputuskan
pergi-pulang ke rumah orangtuaku. Di sana kekhawatiran bukannya
mereda. Semakin banyak orang yang mati dan semakin banyak
kudengar nama-nama orang yang kukenal mati. Aku masih menahan
semuanya, dan berharap tidak mendengar nama suamiku disebut dalam
kabar-kabar buruk itu.
Di ruang tengah aku hanya melihat ibuku, pamanku, dan seseorang yang
datang adalah Pono, teman dekat suamiku. Di depanku dan di depan
orangtuaku, dengan suara pelan, Pono mengatakan pesan suamiku.
Melalui Pono, dapat kutangkap dengan gamblang pesan itu. Suamiku
berpesan supaya aku tidak berharap ia pulang, dan ia meminta agar aku
bisa menyelamatkan hidupku dan hidup anakku. Suamiku bahkan
menyarankan agar aku menikah kembali dengan seorang
sahabatnya untuk bertahan dari situasi yang sangat sulit. Sebelum
Pono pergi, aku masih sempat menghentikan langkahnya di depan
pintu, aku menanyakan kejujurannya tentang nasib suamiku, apakah ia
tidak akan selamat? Pono menggeleng kemudian bergegas pergi,
menghilang. Aku merasa hidupku ambruk saat itu, tapi air mataku tidak
jatuh. (Jujurkah Pono? Pono bukan bagian dari organisasi! Terlalu
besar kemungkinan bahwa suaminya akan mati; mereka meyakini
itu)
Aku dan suamiku adalah orang biasa. Bagian dari masyarakat yang saat
itu dibakar oleh semangat revolusi yang belum selesai. Suamiku hanya
seorang guru yang sederhana dan dikenal baik oleh masyarakat. Ia
berteman dan bersahabat dengan banyak orang yang bahkan
berbeda pemikiran. Rumah kami, hampir tiap malam, menjadi tempat
pertemuan baik untuk kepentingan organisasi yang diikuti oleh
suamiku, maupun untuk pertemuan dengan teman-temannya yang lain.
Di rumah kami yang sederhana, sering datang seorang mantri suntik
yang sangat baik dan seorang seniman yang juga sangat baik serta halus
budi bahasanya. Mereka berdua adalah orang-orang yang satu
organisasi dengan suamiku. Pak Mawardi, mantri suntik itu, kudengar
mati dibakar massa di rumahnya, rumah yang sering dipakai untuk
menolong orang sakit tanpa pamrih. Sedangkan Sunardi, seniman yang
pintar menari, yang wajahnya sangat ayu dengan kebaikan dan
kehalusan hatinya, konon ditemukan tanpa kepala di sebuah parit tidak
jauh dari rumah kami dulu. (guru, mantri suntik, dan seniman;
simbol apakah ini?)
Bertahun-tahun aku hanya bisa diam dengan hati yang sering teriris
hanya karena ada ikan kali di meja makan. Rahmat bertindak dengan
bijak, ia tidak pernah mengail ikan dan tidak pernah makan ikan
kali. Bertahun-tahun aku tidak bisa menyangkal suara-suara yang
keluar dari mulut Ratri, suara anak kecil yang renyah tiba-tiba bisa
menggaungkan banyak kalimat yang diucapkan oleh bekas suamiku.
Dan bertahun-tahun itu pula, Rahmat tidak pernah menagih untuk
melakukan hubungan suami-istri. Ia sabar, banyak melayaniku, dan
mungkin jauh di perasaannya, aku tetap istri sahabat yang
dihormatinya. (tahu dari mana Rahmat?)
Pada akhirnya, aku bisa menerima itu semua. Bukan hanya tentang
mendiang suamiku. Tapi aku menerima Rahmat sebagai seseorang yang
kupunyai dan kucintai. Jika hidup itu sendiri adalah sebuah keputusan:
diterima atau tidak, dilanjukan atau diakhiri. Cinta tidak lebih dari itu
semua. Mencintai pada akhirnya adalah sebuah keputusan. Dan karena
sebuah keputusan, maka berbagai pertimbangan sah menjadi
landasannya. Pada akhirnya, toh cinta, sebagaimana banyak hal yang
lain: tidak turun dari langit yang gaib. Ia, cinta, hanya bisa diputuskan
dan dikerjakan.
Lalu datang senja itu. Beberapa hari sebelumnya, aku merasa ada yang
aneh dengan diriku. Aku sering merasa tiba-tiba ada yang
mengagetkanku. Aku merasa tiba-tiba ada mendiang suamiku di
dekatku. Aku merasa tiba-tiba sering kosong, mengerjakan sesuatu
tanpa kesadaran.
Hingga benar-benar datang senja itu. Awalnya, Laila yang baru saja
pulang dari sekolah sore, memanggilku di dapur, katanya ada tamu. Aku
bergegas ke depan, tapi aku tidak mendapati apa-apa. Laila juga
bingung. Aku nratab, deg-degan tak karuan, entah kenapa. Lalu aku
kembali masuk ke dalam, mencoba mempersiapkan masakan di meja
makan dengan perasaan tidak menentu. Laila lalu masuk lagi ke dapur
untuk mengabarkan bahwa ada tamu, tamu yang tadi. Dengan cepat aku
keluar. Kali ini, aku benar-benar kaget.
Aku agak terkejut dengan jawabannya. Aku merasa ada sesuatu yang
hendak dikatakan padaku. Jangan-jangan …. Ah, tapi tidak. Mendiang
suamiku sudah pergi. Semoga arwahnya tenang di sisi Gusti Allah.
Pono bangkit. Dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya
bisa mengantarnya sampai pintu. Beberapa langkah dari pintu, Pono
kembali menengok. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi kemudian
tetap urung. Ia kembali melangkah pergi. Tanpa kata-kata. Ketika
sampai di luar pagar rumah, Pono kembali menengok ke belakang, ke
arahku. Benar. Aku sangat yakin ada sesuatu yang ingin dikatakannya.
Agak lama ia terdiam. Dan ia benar-benar melangkah pergi. Senja
membuatnya menjadi bayang-bayang, mengabur, lalu lenyap.