Anda di halaman 1dari 6

Upaya Menulis Kiamat

Cerpen AS Laksana (Jawa Pos, 2 Februari 2014)

KAMI bertemu tiga minggu kemudian di sebuah rumah penginapan. Kulitnya


berminyak dan ia tampak kelelahan dan wajahnya seperti menahan tangis ketika
kami berjumpa. Aku menahan diri agar tidak ketawa oleh logat dan caranya
berkata-kata, dua hal yang tak akan terasa dalam tulisan ini karena aku sudah
merapikannya sebisaku. Aku tak ingin membongkar, dengan cara apa pun, dari
mana ia berasal. Kau bisa menduga-duga dari daerah mana lelaki itu dan di
mana kejadian yang dituturkannya berlangsung, tetapi aku tidak akan
menyampaikannya. Bagaimanapun, pengalaman yang dituturkannya bisa
dialami oleh siapa saja dan bisa terjadi di mana saja. Maksudku, itu bisa terjadi
juga padamu dan suatu saat mungkin akan tiba giliranmu, meskipun aku
berharap tidak.

Umurnya tiga puluh satu tahun dan ia seperti lembu, besar dan sedih, tetapi warnanya hitam.
Kawanku yang memperkenalkannya kepadaku dan memintaku menulis cerita berdasarkan apa-apa
yang dialaminya. Pukul sembilan malam aku tiba di penginapannya dan lelaki itu memulai ceritanya
dengan menyampaikan ucapan seorang peramal yang ia dengar di masa kecil. Katanya:

“Ia datang ke rumah kami malam hari dan bicara pelan-pelan kepada ayahku, namun aku ada di antara
mereka dan ikut mendengar apa yang disampaikannya. Ia bilang, ‘Kelak, setelah matahari terbenam,
orang-orang akan mengamuk dan menggorok leher orang-orang Islam. Jika mereka menemukanmu,
lehermu akan digorok juga meski tak ada kesalahanmu pada mereka. Mereka melakukannya semata-
mata karena kau Islam.’

“Aku merapat ke lambung ayah dan sesekali mencuri pandang ke arah lelaki itu sebab tidak berani
memandang langsung peramal yang sedang bicara itu. Ia sangat tua, lebih tua dari semua kakek di
kampung kami, dan malam itu ia seperti penyihir yang sedang meramalkan hari akhir. Sembilan belas
tahun kemudian, ketika pecah perang di kampung kami, aku ingat lagi ucapan itu.”

Semula aku malas ketika kawanku meminta, sedikit mendesak, agar aku menemuinya. Ia belum lama
pulang dari penelitian dan kembali ke Jakarta membawa seorang kenalan, penduduk setempat yang
menemaninya selama ia mengerjakan urusannya di sana. Aku memiliki pandangan agak buruk tentang
kawanku ini. Dari kawan-kawanku yang lain, aku mendengar bahwa ia melakukan penelitian sambil
mengeduk keuntungan dengan menyalurkan keping-keping DVD film porno, yang ia jual tiga kali
lebih mahal ketimbang harga pasaran di Jakarta. “Mereka yang berperang sangat memerlukan
hiburan,” katanya.
Aku tak mendengar sendiri ia mengatakan itu. Semua hal buruk tentangnya kudengar dari kawan-
kawanku yang lain. Ketika kami bertemu, sesungguhnya ingin kutanyakan soal bisnis itu kepadanya,
tetapi mulutku tak sanggup mengeluarkan pertanyaan macam itu. Dan karena tidak bisa bertanya, aku
hanya membayangkan perangai busuknya saat ia meyakinkanku untuk bertemu dengan seseorang.

“Riwayat hidupnya luar biasa, pasti menarik kalau dibikin cerita,” katanya. Itu pernyataan klise.
Orang-orang sering menceritakan pengalaman mereka atau pengalaman seseorang yang mereka kenal
dan mengatakan bahwa itu menarik ditulis sebagai cerita. Mereka menganggap sebuah pengalaman
akan menarik dijadikan cerita hanya karena ia benar-benar terjadi.

“Apa istimewanya kenalanmu?” tanyaku.

“Ia kehilangan keluarga dan orang yang ia cintai,” kata kawanku.

“Banyak orang seperti itu.”

“Yang ini beda,” katanya. “Ayah dan dua saudaranya mati, kekasihnya mati, dan sekarang ia tinggal
memiliki ibu yang sudah renta. Kalau aku bisa menulis cerita, pasti kutulis sendiri dan tidak perlu aku
memintamu.”

Aku membalas dalam hati: Jika kampungmu terbelah dan orang-orang saling berhadapan dan mereka
dikuasai hasrat untuk menggorok leher lawan yang semula kawan, maka akan banyak orang memiliki
pengalaman seperti itu. Ia bukan kasus istimewa dan bukan satu-satunya.

Tanpa pernah menanyakan sendiri kepadanya, aku sudah menganggap kawanku ini sebagai penyalur
film porno. Dan kupikir ia sedang memperdayaku untuk terlibat di dalam bisnisnya. Atau entah apa.
Orang-orang yang licik tak pernah bisa kau duga isi pikirannya, bahkan ketika ia tampak baik
kepadamu.

“Setidaknya temui dia sekali saja,” katanya. “Jika kau tak tertarik, tak usah lagi menemuinya dan tak
perlu lagi mendengarkan apa pun yang ia sampaikan.”

Akhirnya aku mengalah.

“Baiklah,” kataku. Namun diam-diam aku menyiapkan alasan untuk tidak menulis apa-apa.

“Oya, tolong kau hitung biaya penulisanmu, aku yang bayar,” katanya.

“Tak usah begitu,” kataku.

“Harus begitu,” katanya, “sebab aku ingin royalti buku itu buat dia, agar sedikit meringankan
hidupnya. Kita ke penginapannya lusa?”
Telingaku mendengar suara air yang terus menetes di kamar mandi. Penginapan ini rapi dan bersih
dan kran airnya bocor. Kami berdua saja malam itu karena kawanku ternyata tak bisa datang. Ia
menelepon saat aku dalam perjalanan ke rumah pengingapan. “Ada keperluan mendadak,” katanya.
Aku tak percaya.

Jadi, begitulah, aku menemui orang yang tak kukenal dengan sedikit kecurigaan bahwa kawanku
sedang ingin menjerumuskanku ke dalam bisnis terkutuk yang dijalankannya. Dan aku memasang
sikap hati-hati sampai akhirnya ia menceritakan pengalamannya bertahun-tahun lalu dan memulainya
dengan ramalan yang ia dengar di masa kecil.

Lewat tengah malam aku pamit pulang dan berjanji untuk ketemu dua hari lagi. Sepanjang perjalanan
pulang aku membayangkan adegan pertemuan malam hari dengan si peramal. Kupikir adegan tentang
si peramal, seorang lelaki keriput dan menakutkan di mata kanak-kanak, akan sangat bagus digunakan
untuk membuka cerita. Ia akan menjadi pembuka yang mengantarkan pembaca kepada kejadian-
kejadian selanjutnya yang menyebabkan hilangnya sebuah desa. Namun kemudian kudebat sendiri
pikiranku.

Jika aku mengutip ucapan peramal itu apa adanya, pasti akan ada orang-orang yang tidak bisa terima
dan merasa aku telah menyudutkan mereka dengan pembukaan seperti itu, meski yang kusampaikan
adalah kisah nyata. Selain itu, pembukaan tersebut juga akan membahayakan orang-orang Kristen di
tempat-tempat lain. Mereka bisa menjadi sasaran kemarahan orang-orang Islam. Misalnya, seorang
penjual rempah-rempah di pasar bisa mati diamuk oleh segerombolan orang hanya karena pemilik
kios sebelah melaporkan bahwa ia Kristen dan layak dijadikan sasaran balas dendam.

Kawanku meneleponku dan menanyakan apakah aku tertarik melanjutkan pertemuan dengannya. Aku
mengatakan bahwa kami sudah merancang pertemuan berikutnya. Kusampaikan juga kepadanya
tentang pembukaan yang menarik tetapi mungkin terlalu berisiko. Ia menyarankan kemungkinan lain,
misalnya dengan membolak-balik sedemikian rupa sehingga pengalaman kenalannya itu menjadi
cerita yang mengharukan dan membuat para pembaca menaruh simpati kepada para korban, apa pun
agama mereka. “Cobalah,” katanya.

Kalau sekadar membolak-balik, itu soal gampang, kataku. Aku hanya perlu mengganti kata Islam
dengan Kristen. Jadi peramal itu akan mengatakan begini: “Kelak, setelah matahari terbenam, orang-
orang akan mengamuk dan menggorok leher orang-orang Kristen. Jika mereka menemukanmu,
lehermu akan digorok juga meski tak ada kesalahanmu pada mereka. Mereka melakukannya semata-
mata karena kau Kristen.”

Kau tahu, sungguh tak ada masalah untuk mengganti Islam dengan Kristen. Keduanya bisa sama
menariknya sebagai pembuka cerita. Namun aku tetap menghadapi masalah yang sama: akan ada
orang-orang yang merasa terganggu dengan pembukaan semacam itu dan menganggapku telah
menyudutkan mereka. Kawanku berkeberatan jika aku sekadar mengganti Islam dengan Kristen.

“Kau perlu mencoba cara lain,” katanya.

Mengikuti permintaannya, aku mencoba pembukaan lain yang tidak menyebut-nyebut agama. Jadi
tidak lagi kugunakan Kristen atau Islam, tetapi pedalaman. Dan dengan orang pedalaman sebagai
korban, kupikir pembukaannya harus berubah. Ucapan peramal itu tentu masih bisa dipakai dan masih
menarik sebagai pembukaan: “Kelak, setelah matahari terbenam, orang-orang akan mengamuk dan
menggorok leher orang-orang pedalaman. Jika mereka menemukanmu, lehermu akan digorok juga
meski tak ada kesalahanmu pada mereka. Mereka melakukannya semata-mata karena kau orang
pedalaman.”

Lagi-lagi masalahnya ada pada reaksi orang terhadap pembukaan seperti itu. Para pembela kaum
pedalaman akan marah besar dan mengamuk karena pembantaian dilakukan terhadap orang
pedalaman semata-mata karena mereka orang pedalaman. Maka, semenarik apa pun pembukaan itu
menurutku, aku perlu mengubahnya atau melupakannya sama sekali.

Beberapa hari memikirkan pembukaan tentang orang pedalaman, aku menemukannya sebagai berikut:

Ia dua belas tahun saat itu. Anak perempuan yang mengikutinya berusia sama. Mereka menyelinap ke
belakang rumah seusai makan malam, ketika para orang tua sudah mulai berkunang-kunang karena
mabuk. Mereka berkumpul di rumah tetua—ayah anak lelaki itu—setelah matahari surut. Di hadapan
orang-orang, sang tetua seperti ingin menyampaikan sesuatu, sebuah wangsit yang menyusup ke
dalam batok kepalanya, tetapi sampai mereka semua tertidur, sang tetua tidak menyampaikan apa pun
kecuali memperlihatkan paras wajah murung. Ia baru bisa membuka mulut ketika tak ada satu orang
pun yang bisa mendengarkan suaranya.

Si anak menyelinap keluar rumah pada saat semua orang tua tertidur dan berjingkat-jingkat menemui
anak perempuan yang menunggu kedatangannya. Cahaya bulan menerangi gerumbul semak dan
setapak yang dilalui kedua anak itu. Ada suara jangkrik, dengkung kodok, gericik air sungai di
sebelah sana, dan segala bebunyian malam mengepung mereka.

“Aku takut ada ular besar menyembul dari semak-semak dan melilitku,” kata si anak perempuan.

“Kau tidak boleh menyebut namanya pada malam hari,” kata si bocah lelaki. “Kau harus
menyebutnya tali.”

“Ya, aku takut tali itu muncul dari semak-semak dan melilit leherku,” kata si anak perempuan.

“Jangan memikirkannya,” kata si anak laki-laki. “Ia akan datang kalau kau terus memikirkannya.”

“Aku tidak bisa memikirkan yang lain kecuali tali di semak-semak.”

“Kalau begitu lihatlah bulan di langit dan pikirkan saja bulan itu.”

Perkampungan makin jauh di belakang mereka. Hutan yang mereka masuki makin lama makin lebat
dan penerangan mereka hanya bulan di langit. Beberapa waktu berjalan, mereka tiba di tepi sungai
yang membelah hutan. Kini mereka berjalan menyusuri tepian sungai ke arah hulu dan berhenti di
sebuah batu sebesar kambing. Di situ mereka duduk, dan menanti.

Dari kejauhan terdengar jerit monyet.


“Ia datang,” bisik si anak lelaki. Lalu ia mengeluarkan jerit monyet yang sama.

Tak berapa lama kemudian seorang lelaki muncul di hadapan mereka, tubuhnya kecil dan umurnya
sangat tua. Menurut orang-orang kampung, ia berumur dua ratus tahun lebih. Si anak lelaki ingat
ucapan ibunya tentang umur lelaki itu: “Ia sudah setua itu saat kakekmu kanak-kanak.”

Lelaki itu berdiri beberapa langkah di hadapan mereka, membelakangi bulan di langit. Wajahnya
tidak terlihat jelas. Si anak perempuan membayangkan bahwa lelaki itu pasti sudah kehilangan semua
gigi di mulutnya, tetapi ternyata suaranya masih terdengar jelas.

“Kelak, ketika matahari terbenam, mereka akan memusuhi kalian,” katanya. “Sebab kalian
menyembah ular dan mereka akan menggorok leher orang-orang pedalaman yang menyembah ular.”

Udara gerah malam itu. Aku bangkit dari kursiku dan mengambil air putih di dapur dan meneguk
habis secangkir besar dengan perasaan agak lega. Adegan pertemuan dua anak kecil dan lelaki amat
tua di hutan kurasa cukup memuaskan meskipun, apa boleh buat, cerita yang kutulis akan melenceng
dari pengalaman yang disampaikan oleh kenalan kawanku.

Sayup-sayup kudengar suara serak burung gagak. Nenekku meyakini bahwa suara gagak adalah
pertanda kematian. Mungkin karena aku sudah mendengar banyak tentang pengalaman hidupnya, dan
benakku dipenuhi adegan-adegan peperangan di kampungnya, saat itu juga ingatanku terbang ke
lelaki yang menuturkan kisah hidupnya kepadaku. “Sejak saat itu, aku merasa kematian selalu
memburuku,” katanya pada pertemuan kedua.

Aku bangun siang karena sulit tidur semalaman dan segera kutelepon orang itu tetapi gagal.
Teleponnya tidak bisa kuhubungi. Lalu aku menelepon kawanku. Tak bisa juga. Baru pada malam
hari aku berhasil menghubunginya.

“Mungkin ia sedang di pesawat ketika kau meneleponnya,” kata kawanku.

“Ke mana dia?” tanyaku.

“Ke kampungnya,” katanya, “bekas kampungnya.”

“Ia pernah bilang selalu terancam. Kenapa kau tak mencegahnya?”

“Hmm… Aku yang memintanya. Ada barang yang harus ia antarkan ke sana.”

“Kau melibatkannya dalam bisnismu?”

“Itu cara yang paling bisa kulakukan untuk membantunya,” kata kawanku. “Bagaimanapun ia harus
menghidupi dirinya sendiri dan ibunya.”

“Jadi…,” kata-kataku terhenti beberapa saat. “Kau menjadikannya penyalur film porno?”
Ia lama tidak menjawab. Kami sama diam.

“Kau menganggapku seburuk itu?” akhirnya ia bersuara. Nadanya melemah.

“Bukankah itu benar?” desakku.

Ia diam lagi, lebih lama.

“Tidak!” katanya.

Aku tidak percaya. Aku tidak tahu apakah harus percaya atau tidak kepadanya. Dan aku tak pernah
ketemu lagi dengannya sejak itu, juga dengan lelaki kenalannya. [*]

Anda mungkin juga menyukai