Anda di halaman 1dari 4

LELAKI YANG MENGANDUNG HALILINTAR

Kau pernah mendengar orang yang mengutuk cinta? Rasa yang menjadikan manusia menjadi gila,
dengan menunggu yang dicintai berkenan bersama atau banyak kisah tentang bunuh diri karena cinta
yang tidak kesampaian.

Ketika rintik hujan membasahi daerah desaku, ada seorang paruh baya dengan pakaian kuyup mampir di
warung kopi yang ku bangun dua tahun lalu. Ia mengenakan flanel panjang, dengan celana kakis, sepatu
penuh bercak cokelat tanah. Ia memesan segelas teh hangat bukan manis, tapi dengan sedikit garam.

Aku mengulang pintanya beberapa kali memastikan, ia tidak bercanda. Beberapa kali pengunjung
mengganti pesanan berulang-ulang. Tapi ku lihat lelaki yang masih berdiri di depan meja kasir mantap
dengan pilihan yang dibuatnya.

Aku tidak berani membayangkan betapa anehnya rasa teh yang menggunakan garam, aku belum
menanyakan alasannya atau tidak akan bertanya jika akan mengganggu ketenangannya. Karena tujuanku
membuat warung ini untuk tempat mereka yang tidak nyaman dengan hidup yang mereka jalani, bukan
untuk mendakwa atau mencerca pilihan mereka. Iya, aku mengingat-ingat itu.

Lelaki itu sudah memilih tempat, di samping jendela bambu. Matanya terus dilempar jauh keluar,
mengamati jalanan becek yang belum diaspal. Dari balik dapur yang tidak tersekat penuh, aku dapat
mengamati setiap gerak-geriknya. Bukan karena curiga, tapi aku memang suka mengamati setiap
pengunjung warung, dengan segala ke"istimewaan" mereka.

Teh sudah ku antarkan, dengan sepintas, senyumnya mengembang. Lalu melanjutkan mengorek isi tas
cangklongnya dari kulit berwarna cokelat tua. Langkahku sudah menjauh darinya beberapa langkah,
dalam pendengaranku terdengar suara lelaki itu memanggil, reflek kepalaku menoleh. Ia menunjukkan
sebuah cincin emas padaku, dengan tangan mengayun memanggil.

"Ada apa pak?" Tanya ku bingung.

"Kamu mau jika cincin ini ku kasihkan padamu, gratis"

"Maulah pak, siapa yang tidak mau diberi perhiasan tanpa harus mengeluarkan sepersenpun uang."
Jawabku dengan tertawa. Aku membatin lelaki ini tak mungkin memberikan sesuatu berharga tanpa
harus dibayar harga, pasti ada sesuatu kepentingan yang disimpannya, sebelum ia mengungkapkan,
tanpa aku bisa mengelak lagi. Sudah pasti manusia akan memberikan sesuatu dengan bayaran sesuatu
pula, seperti hikayat di negeri seberang, setiap sebelum pemilihan calom pemimpin akan membagikan
uang untuk memilihnya lantas setelah ia menjadi pemimpin hidup rakyat yang memilihnya
mengenaskan, kekayaan dijarah habis-habisan, rakyat di tenan tak karuan.

"Aku membeli ini dua puluh tahun lalu, untuk seseorang, hingga kini masih ku simpan, tapi tidak berguna
apa-apa, dari pada aku was-was, mending ku berikan pada seseorang."
"Tapi untuk apa pak?"

"Terserah saja, mau kamu simpan atau dikasih orang, bisa juga dijual. Aku hanya ingin sedikit bebanku
terkurangi."

"Bukannya itu sesuatu yang kecil, tidak begitu memberatkan bapak, tapi kenapa seakan-akan itu begitu
berat bagi bapak?"

Lelaki itu menghela napas panjang. "Menurutku benda itu begitu berat, bukan karena fisiknya tapi...ah,
pokoknya aku mau memberikan ini pada seseorang. Titik. Jika tidak mau, akan ku larung saja di kali."

"Saya berkenan menerima itu, tapi aku harus tahu alasan kenapa bapak memberikan itu pada saya, agar
saya pun dapat mempertimbangkan apa yang harus saya lakukan dengan cincin pemberian bapak
tersebut."

Lalaki itu terdiam kembali. Ia merangkai ingatannya kembali. Merasakan sesuatu yang tajam menusuk
dadanya begitu saja. Bles. Ia merasakan dadanya ngilu, tak berdarah.

Rintik-rintik dua puluh tahun lalu kembali dirasakan Firman, tetes demi tetes menyusup dalam tubuhnya,
dingin menjalar. Ia melihat kembali sosok Rara di depan matanya. Gadis lugu lulusan SMEA. Ia merasakan
tubuhnya bersandar di sebuah sofa, abu-abu. Rara duduk di sampingnya: menyisakan jarak dua meter.

"Kau mau menjadi pendamping hidupku Ra?" Tanya Firman tanpa menggebu.

"Aku mau mas, tapi tidak sekarang." Jawab Rara tanpa memandang kearah Firman.

Tangan lelaki masih sibuk menimang-nimang cincin di genggamannya. Ia tampak merasakan sesuatu
dalam. Dengan suara lemah ia berujar "Aku membenci cinta, cinta yang merubah hidupku tanpa
keinginanku, tanpa kesadaranku, yang menjadikan aku seperti orang gila yang tak tahu apa yang ku
perbuat. Aku tidak menginginkan itu terus ada dalam diriku."

"Maaf pak, kenapa harus membenci cinta? Cinta menurutku hanya sebuah rasa, tak beda dengan rasa
asin, manis, pahit, panas, dingin. Kenapa harus membenci hal itu?"

"Karena menikmati rasa begitu dalam akan menjadikan candu, dan menjadi penyakit. Banyak orang
terkena gula karena mereka terlalu asik dengan rasa manis. Aku telah merasakan diriku terjangkit sakit
akut. Aku sadar, aku pun ingin menyudahi rasa itu, dengan mengganti dengan rasa lain. Walaupun akan
membuat perutku mual, aku tetap ingin melawan rasa manis. Mulai dari teh yang ku pesan, atau yang
lainnya."

"Bukankah itu konyol?"

"Aku tahu itu konyol, tapi bukankah sama saja kekonyolanku dengan kekonyolan orang-orang yang rela
memberikan apapun demi cinta?"

Lelaki itu terdiam kembali, nyaring rintik hujan di luar ruangan tak mampu menutupi suara Rara semakin
kencang di telinganya.
"Maaf mas, aku sudah berusaha mencintaimu, tapi aku tidak pernah bisa. Aku minta maaf mas, aku ingin
kita selesai mas"

Pernikahan mereka tinggal hitungan jari, tapi Rara memutuskan untuk membatalkan semua persiapan
yang sudah direncanakan. Rencana seperti sebuah jalan memang, boleh berhasi dan boleh juga gagal.
Nasib buruk sedang menggelayut di punggung Firman, hatinya remuk redam, tetapi bagaimana pun ia
adalah lelaki. Ia tidak boleh memperlihatkan kegamangannya, kesedihannya pada khalayak, walaupun itu
memang haknya. Tapi Firman memperlihatkan wajah teguh, kokoh bagaikan karang yang dihempas
gelombang.

"Jika memang itu keputusanmu Ra, aku ikut. Aku tidak mau hubungan kita apalagi pernikahan kita hanya
menjadi bui bagimu. Aku ingin cinta membebaskan. Hari ini, jam ini, menit ini dan detik ini, aku
melepasmu. Aku membebaskanmu. Aku bahagia melihat kau bahagia Ra. Terimakasih Ra untuk hari-hari
yang telah kau habiskan dengan keterpaksaan. Maafkan aku tidak pernah peka dengan perasaan yang
kau rasakan."

"Kau menyerah pak?" Aku tak tahan lagi menahan gemuruh dalam dadaku. Aku memuntahkannya begitu
saja melihat lelaki itu dengan entengnya melepaskan kekasihnya seakan tanpa beban.

"Aku tidak menyerah, tapi aku tidak ingin membelenggunya."

"Kenapa tidak diperjuangkan pak?"

"Aku tahu, cinta harus diperjuangkan, tapi aku pun sadar cintaku akan merantainya jika aku mengikuti
egoku. Aku hanya ingin mencintainya dengan melihatnya bahagia..."

"Tapi bapak kan tidak merasakan kebahagiaan itu?"

Lelaki itu tersenyum melihat aku terus memberondongnya dengan tanya. Tangannya menggeletakkan
cincin di atas meja. Ia menyesap teh perlahan. Matanya terpejam. Aku sudah tidak sabar ingin mengejar
lelaki itu, bukan untuk menghukumnya tetapi ingin menyadarkannya. Aku tidak ingin ia begitu saja
melepaskan kekasihnya, melepas cintanya seakan hanya kalah yang dapat ia pilih.

Firman tidak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri. Ia terus saja merasakan kepergian Rara murni
kesalahannya, ia tidak pernah bisa menjadi lelaki yang diharapkan Rara, ia pun tak pernah tahu apa yang
diinginkan Rara, tetapi selalu saja ia gagal membangun persepsi tentangnya. Bertahun-tahun ia terus
menjalani hidupnya tanpa kawan. Berpindah dari satu kota ke kota lain. Hanya untuk mengubur
kenangan Rara dan mengalihkan pikirannya dari waktu yang memaksakan dadanya dipenuhi dengan
sosok perempuan yang tak jadi pendamping hidupnya.

Selama dua puluh tahun, ia terus mengajar, mengandung anak ideologis, melahirkan mereka agar tak
sepertinya. Firman ingin melepaskan rasanya pada Rara dengan terus memcintai siapa saja yang ia
temui. Berbulan ia menetapi sebuah daerah hingga banyak yang ingin menimba kebijaksanaan padanya.
Hingga malam ini, ia tertahan di warung ini, untuk melepaskan rasanya pada seorang perempuan yang
seusia anaknya jika menikah. Ia melihat ketegaran Rara dalam mata perempuan di depannya. Wajahnya
begitu mirip Rara, ia ingin menumpahkan semuanya pada perempuan itu, walaupun ia bukan Rara. Ia
berharap kematiannya tidak lagi menanggung kisah tak tuntas, yang masih dikandung dadanya. Ia ingin
menuntaskannya kini.

"Rin". Wanita seusianya memasuki warung, memanggil perempuan di hadapannya. Wajahnya begitu
teduh, tanpa gurat menampakkan kegarangan. Suaranya menyejukkan.

Wanita itu mendekati meja di hadapan mereka berdua. Matanya tampak fokus pada Firman, seakan
menemukan sesuatu yang telah hilang bertahun-tahun. Air matanya mengalir tak bisa dibendung.
Perempuan yang dipanggil Rin menatap perempuan setengah baya dengan banyak tanya. Mulutnya
tampak ternganga.

Firman tiba-tiba berdiri, meletakkan beberapa lembar uang di atas meja. Mendekati wanita seusianya.
Meletakkan cincin di telapak tangan wanita itu. Tanpa kata-kata Firman menjauh dan menghilang dalam
gelap. Halilintar semakin kencang menyambar. Seakan ingin menutupi langkah lelaki itu.

"Maaaaasss......."

Anda mungkin juga menyukai