Anda di halaman 1dari 85

SI LEMBUT HATI

Pendahuluan dari Pengarang

Saya minta maaf kepada para pembaca, karena


sekali ini saya tidak menghidangkan “Buku Catatan”
sebagaimana biasa, tetapi sebuah cerita. Dalam sebulan
ini, sebagian besar dari waktu saya habis untuk
menyusun cerita ini saja. Saya harap pembaca tidak akan
berkeberatan memaafkan.
Sekarang tentang cerita ini sendiri, saya namakan
cerita “fantastis”, meskipun saya memandangnya sebagai
suatu hal yang nyata. Tetapi ia sungguh fantastis,
terutama mengenai bentuknya. Hal ini rasanya perlu saya
beri penjelasan.
Yang sebenarnya, ini bukan cerita, juga bukan
sebagaian dari buku catatan. Cobalah tuan bayangkan
dalam pikiran tuan, seorang laki-laki: bininya sudah
membunuh diri, dengan terjun dari jendela dua jam yang
lewat, dan kini sedang terbaring di atas meja. Laki-laki
ini kehilangan akal sama sekali. Ia tidak sempat
menyadari keadaan dirinya. Ia berjalan mondar-mandir
dalam kamarnya. Dicobanya dengan sekuat ingatannya
menggambarkan sejelas-jelasnya dalam pikirannya
semua apa yang sudah terjadi, “memusatkan pikirannya
kepada suatu hal saja.” Apalagi ia masuk golongan orang
yang lekas murung, yang selalu berkata-kata dengan diri
sendiri.
Begitulah laki-laki ini menceritakan kepada
dirinya, semua apa yang sudah terjadi, di mana yang
dirasanya kurang jelas, diterangkannya kepada dirinya
sendiri. Walaupun perkataannya itu beraturan

1
tampaknya, tetapi kerap kali ia membantah perkataannya
sendiri, dan banyak pula terdapat pertentangan dalam
logika dan perasaannya. Dibenarkannya perbuatannya
dan kadang-kadang disambilkannya memberi keterangan
lain-lain; dan di samping kekerasan dalam hati dan
kepalanya, juga diperlihatkannya perasaan yang mesra.
Lama-kelamaan teranglah pikirannya melihat
soal yang sangat menyiksanya, dan dapatlah ia
“memutuskan pikirannya kepada suatu hal saja.”
Pelbagai kenang-kenangan yang tadinya kacau balau
timbul dalam pikirannya, dengan kekuatan yang tak
tertahan, akhirnya dapat mendorongnya kepada
kebenaran, dan kebenaran inilah yang mengangkat
sukma dan kalbunya. Tambahan lagi, bertambah dekat
ceritanya kepada bagian penghabisan, semakin jernihlah
jalan pikirannya, tidak kacau seperti permulaannya tadi,
dan gayanya pun berubah dan bertambah tenang. Lama-
kelamaan kebenaran makin nyata kelihatan oleh orang
yang malang itu, nyata sampai kepada garis-garisnya,
pendeknya nyata bagi dirinya sendiri.
Lama bercerita ada beberapa jam, dan tentu saja
kerapkali terputus-putus dan hilang hubungan yang
sudah diceritakan dengan lanjutannya, dan bentuknya
terlalu kacau, sebab sebentar ia berbicara dengan diri
sendiri, sebentar seperti terhadap seorang pendengar
yang gaib, seperti kepada seorang hakim.
Pada hakekatnya dalam kehidupan sehari-hari
selalu terdapat yang begitu. Seandainya sorang penulis
cepat mendengarkannya berkata-kata, dan segera
menuliskan perkataannya, agaknya akan kurang halus
dan teratur daripada yang saya tuliskan ini, tetapi saya
percaya, susunan psikologisnya akan tetap serupa. Yang

2
saya katakan fantastis dalam cerita ini, ialah, saya
misalkan kata-kata orang malang itu dituliskan oleh
seorang penulis cepat, dan kemudian saya salin dengan
tulisan yang dapat dibaca oleh orang lain.
Yang serupa ini kerapkali dilakukan orang dalam
kesenian, umpamanya oleh Victor Hugo dalam ceritanya
yang terbagus “Hari Penghabisan bagi Orang yang
Dihukum Mati.” Victor Hugo telah mempergunakan alat
serupa ini. Betul ia bukan seorang penulis cepat, tetapi
dilakukannya sesuatu hal yang agak mustahil, sebab
diumpamakannya seorang yang dihukum mati sanggup
[dan mempunyai waktu] untuk menuliskan apa-apa yang
dipikirkannya; bukan saja selama hari penghabisan itu,
tetapi juga buah pikirannya pada yang penghabisan, ya,
malahan pada menit yang penghabisan. Jika Victor Hugo
tidak memperturutkan fantasinya ini, tentulah bukunya
yang sangat hakiki, yang sangat dekat kepada kebenaran
daripada bukunya yang lain-lain, tidak akan dilahirkan di
dunia ini…

Dostojewski

3
BAGIAN PERTAMA

Siapa saya dan siapa dia

...Selama dia terbaring di sini, semua beres, tiap


saat saya dapat menengoknya; tetapi bila besok dia
diusung orang ke luar, bagimanakah saya dapat tinggal
sendirian? Kini dia terbaring dalam ruang tengah, di atas
dua buah meja yang dirapatkan tadi oleh orang yang
membawanya ke dalam; tetapi besok mereka akan
membawa sebuah keranda, peti mati putih, yang
diselubungi dengan Gros de Naples yang putih. Dalam
pada itu, tentang ini jangan dulu...
Saya masih mondar-mandir di kamar ini, dan
saya hendak menjelaskan semuanya dalam pikiran saya.
Sampai saat ini telah enam jam saya mencari kejelasan,
tetapi pikiran saya belum juga dapat saya pusatkan.
Perkara ini sebenarnya, ah, saya masih terus juga
mondar-mandir, dengan tidak berhenti-hentinya.
Sebenarnya begini… baiklah semuanya saya ceritakan
menurut suatu susunan yang rapi. (Susun!).
Tuan-tuan, saya sama sekali bukan pujangga,
tuan sendiri tentu maklum; tetapi tidak apa, biarlah saya
ceritakan seperti yang saya pahamkan sendiri. Ah, itu
pula yang mengerikan, saya dapat memahamkan
semuanya!
Duduk perkara itu begini: saya terangkan kepada
tuan, jika tuan hendak tahu dari permulaannya. Istri saya
ini, sebelum kawin dengan saya, dia datang, ya seperti
orang-orang lain, dia datang menggadaikan barangnya
kepada saya. Uang itu akan dipergunakannya pembayar
iklan dalam “Suara,” yang menerangkan seorang gadis

4
bersedia menjadi guru, atau jadi pengasuh anak-anak
yang orang tuanya pergi ke udik, dan lain-lain
sebagainya. Inilah permulaannya, dan pada waktu itu
sudah tentu saya tidak membedakannya dengan orang
lain-lain; ia datang sebagai orang lain yang
menggadaikan barang-barangnya, ya, tidak ada bedanya.
Tetapi kemudian saya lihat suatu perbedaan.
Badannya ramping, rambutnya pirang, tingginya sedang,
dan ketika bercakap-cakap dengan saya dia selalu
canggung, agak kemalu-maluan. (Saya percaya, terhadap
orang lain dia juga pemalu begitu; dan saya tidak
dipedulikannya seperti orang lain-lain, artinya bukan
sebagai seorang pemegang gadai, melainkan sebagai
seorang laki-laki).
Baru saja uang diterimanya, dia segera berpaling
dan pergi. Dan tidak berbicara sepatah kata juga.
Perempuan-perempuan lain biasanya membantah,
meminta lebih banyak, dan mendesak; tetapi dia tidak
pernah berlaku begitu, apa yang saya berikan,
diambilnya sambil berdiam diri.
Saya percaya, barang apa saja yang
digadaikannya, saya terima dengan tidak berpikir
panjang lagi. Ya, pertama-tama saya tertarik oleh barang-
barang yang dibawanya, seperti subang perak disepuh
emas atau seuntai kalung; semuanya barang yang sudah
usang, yang tidak sampai sekopek harganya. Dia sendiri
tahu betul, bahwa barang-barang itu murah gadaiannya,
tetapi pada mukanya dapat saya lihat, bahwa subang dan
kalung itu sangat berharga baginya; dan kemudian hari
baru saya ketahui bahwa semua itu barang pusaka yang
diwarisinya dari ibu bapanya.

5
Hanya sekali saya berlaku tidak senonoh, yaitu
mengejekkan barang-barang yang digadaikannya. Tuan
tahu, terus terang saya katakan, saya belum pernah
berlaku tidak senonoh; saya selalu sebagai seorang
‘gentleman’ dalam pergaulan dengan publik: sedikit
bicara, sopan dan keras adat. Ya, keras, keras, dan sekali
lagi keras.
Tetapi sekali dia telah berani datang
menggadaikan sisa (ya, betul-betul sisa) sehelai baju
yang dibuat dari kulit kelinci. Ketika itu tak tertahan lagi
nafsu saya hendak menertawakannya, dan sekonyong-
konyong saya ucapkan sepatah kata, yang kira-kira
seperti mengejekkan. Astaga, bukan kepalang marahnya.
Matanya yang besar, biru dan seperti bermimpi itu…
memancarkan api kegusaran. Tetapi dia tidak berkata
apa-apa, sisa baju itu diambilnya lagi, lalu pergi.
Sekali itulah saya mula-mula memperhatikannya
dengan minat istimewa, sampai lama saya memikirkan
dirinya cara istimewa. Dan masih teringat pula oleh saya
kesan lain, bahkan boleh saya namakan kesan yang
paling utama, satu sintese dari kesan-kesan yang
berbagai macam. Saya mendapat kesan, bahwa dia masih
muda sekali, sangat muda, sehingga orang akan
menduga umurnya belum lebih dari empat belas tahun.
Padahal tiga bulan lagi umurnya akan cukup enam belas
tahun. Tetapi, sebenarnya ini tak perlu saya katakan,
sintese itu sekali-sekali bukan di sana letaknya.
Keesokannya dia datang lagi. Kemudian baru
saya tahu bahwa pada hari itu juga dia telah pergi
menggadaikan baju usangnya itu kepada Donbronwarow
dan kemudian kepada Mozer, tetapi karena kedua orang
itu hanya menerima barang-barang emas belaka, bajunya

6
itu tidak laku. Ya, teringat pula oleh saya, bahwa dulu
saya pernah menerima sebutir batu akik yang buruk
(juga sebuah benda yang tidak berharga) dari dia, dan
ketika saya pikirkan hal itu, saya sendiri jadi heran,
mengapa batu saya terima, sedang saya telah mengambil
keputusan akan menerima barang-barang dari emas dan
perak belaka. Jadi dengan ini sudah dua kali saya
memikirkan dirinya; dan ini masih teringat oleh saya.
Sekali ini—sesudah pergi kepada Mozer tadi—
dia membawa sebuah pipa rokok dari batu ambar, benda
yang tidak buruk bagi orang yang suka merokok, tetapi
bagi saya tidak laku, sebab yang saya terima hanya
barang-barang emas. Dan karena dia datang lagi sesudah
kemarin terjadi perselisihan, saya bersikap keras
kepadanya. Keras ini bagi saya berupa kelakukan. Saya
beri juga dia dua rubel. Tetapi hati saya yang mengkal
tidak dapat ditahan lagi, lalu saya berkata kepadanya,
“Saya mau berbuat begini karena untuk nona; Mozer
sudah pasti tidak mau menerimanya.”
Ketika mengucapkan kata ‘untuk nona’ suara
saya tekan dengan tegas, dan tekanan suara ini saya
lakukan ‘dengan cara yang asli’.
Saya lihat ia sangat marah. Dan darahnya naik
pula, ketika didengarnya perkataan ‘untuk nona’ itu,
tetapi tidak dijawabnya, uang itu tidak pula
dilemparkannya ke muka saya, melainkan diambilnya
dan dia pun pergi, o, kemiskinan! Tetapi alangkah merah
mukanya karena marah! Saya tahu, bahwa saya telah
menusuk jantungnya. Tatkala dia sudah pergi,
sekonyong-konyong saya bertanya ke diri saya sendiri,
“Cukuplah dua rubel harganya kemenangan atas dia
itu?” Hai, ha, ha. Saya masih ingat; dua kali saya

7
bertanya ke hati sendiri, “Betulkah berfaedah
memanaskan hatinya, bertulkah berfaedah memanaskan
hatinya?
Dan sambil tertawa itu, saya mendapat jawab,
bahwa betul berfaedah. Saya memang girang dapat
memanaskan hatinya. Tetapi ini bukan satu perasaan
rendah; saya melakukan ini dengan satu maksud, ya
dengan maksud yang diinsafi; saya mau mengujinya,
sebab beberapa pikiran yang berhubungan dengan dia,
timbul sekonyong-konyong dalam diri saya. Dengan ini
jadi sudah tiga kali saya memikirkannya…
Nah, sejak waktu inilah saya hendak merapatkan
perhubungan dengan dia. Sudah tentulah dengan segera
saya berikhtiar, melalui berbagai jalan, mencari
keterangan lebih lanjut tentang nona ini; dan saya mulai
tidak sabar lagi menunggu kedatangannya. Saya dapat
merasakan, bahwa dua tiga hari lagi tentu dia datang
pula. Tatkala dia datang, saya mulai percakapkan dengan
hormat dan ramah sekali. Pendidikan saya dulunya tidak
begitu buruk dan tatakrama yang baik ada saya ketahui.
Hem, pada saat itu saya lihat, bahwa nona ini memang
baik dan lembut hatinya.
Orang yang baik dan lembut hati tidak begitu
sukar diajak bercakap-cakap, dan walaupun mereka
sekali-kali tidak bersedia mencurahkan isi kalbunya, tapi
mereka tidak pula hendak mengelakkan sesuatu
percakapan; walaupun mereka menjawab dengan kalimat
pendek-pendek, tapi pertanyaan itu tidak ada yang tidak
dijawabnya. Makin lama kita bercakap-cakap, makin
banyak jawabnya. Hanya janganlah lekas jemu bercakap-
cakap dengan mereka, apabila orang ingin
mendengarkan jawab mereka.

8
Sudah tentu sekali ini dia belum memberikan
keterangan yang memuaskan kepada saya. Tentang iklan
dalam ‘Suara’ dan lain-lainnya kemudian hari saya
dengar. Semua uangnya pada waktu itu dibelanjakannya
untuk memasang iklan. Pada awalnya tentulah dengan
cara yang agak sombong. “Seorang guru, mencari
pekerjaan, juga sedia pergi ke udik. Syarat-syaratnya
dalam sampul tertutup.” Tetapi kemudian berbunyi.
“Suka mengerjakan apa saja, sebagai guru, sebagai nona
pelayan, untuk menyelenggarakan rumah tangga, atau
merawat orang sakit, pandai menjahit dan sebagainya.”
Ini sudah biasa! Karena belum ada yang menerima
tawarannya, berangsur-angsur ditambahnya lagi daftar
pekerjaannya dalam iklan berbunyi, “tidak usah digaji,
asal dapat makan.” Tetapi, pekerjaannya itu tidak
kunjung diperolehnya. Lalu timbul keinginan saya
hendak mengujinya untuk penghabisan kali. Ketika dia
datang, saya ambil ‘Suara’ yang terbit hari itu, dan saya
perlihatkan kepadanya iklan, “Seorang nona muda, piatu,
mencari pekerjaan sebagai guru, lebih baik bagi kanak-
kanak dari seorang duda yang setengah tua. Juga dapat
membantu urusan rumahtangga.”
“Nona lihat, iklan ini, dimuat oleh seorang nona
pagi tadi, dan petang ini juga pastilah dia akan mendapat
pekerjaan. Begitu hendaknya orang memasang iklan.”
Darahnya naik lagi, matanya berapi-api, dia
berpaling dan membelakang kepada saya, lalu pergi.
Senang saya melihatnya gusar begitu. Saya ketika itu
tahu pasti, tidak kuatir, karena tidak seorang juga yang
mau menerima pipa rokoknya itu. Tambahan lagi
terpaksa menggadaikannya.

9
Demikian, dua hari kemudian dia datang lagi,
mukanya pucat dan seperti orang sedang gusar. Saya
mengerti, tentu ini disebabkan oleh sesuatu percekcokan
di rumah; persangkaan ini memang benar. Semua yang
terjadi akan segera saya ceritakan; hanya sekarang saya
hendak memperingatkan, bagaimana saya tahu
mengambil sikap yang pantas terhadap nona ini,
sehingga kehormatan saya bertambah tinggi pada
pandangannya. Keputusan ini tiba-tiba saja timbulnya.
Perkara itu begini, sekali dia membawa sebuah patung
suci, (dia tetap akan menggadaikan benda suci ini.) Tuan
dengarkanlah, ya dengarkan baik-baik, sebab baru kini
saya mulai menceritakan yang pentingnya; selama ini
saya bercerita serampangan saja. Mulai saat ini saya
hendak mengingat dan menceritakan tiap-tiap hal, walau
yang kecil sekali pun; saya mau coba membongkar
semua yang terpendam dalam kenang-kenangan saya,
dan memandangnya dalam keseluruhannya.
Saya mau memusatkan semua pikiran saya
kepada satu hal saja, tetapi… ini mustahil, sebab
mungkinkah teringat semua garisnya yang kecil-kecil?

Dia datang menggadaikan sebuah patung Bunda
Yezus Kristus, satu patung Maryam dengan Puteranya,
sebuah benda pusaka lama, yang diwariskan turun-
temurun dalam keluarganya, dengan perhiasan perak
yang disepuh emas. Berapakah nilainya? Saya mau
hanya enam rubel. Saya tahu, bahwa patung itu berharga
sekali baginya, dan dia mau menggadaikannya dengan
perhiasannya sekali. Saya berkata kepadanya, “Lebih
baik perhiasannya saja nona gadaikan, patung itu nona

10
bawa kembali, sebab menggadaikan sebuah patung
suci…”
“Terlarang?”
“Bukan, bukan terlarang, tetapi saya kira patung
suci itu bagi nona sendiri…”
“Tuan ungkai sajalah perhiasannya itu…”
“Tidak baikkah begini, nona? Perhiasannya tidak
saya ungkai, tetapi patung suci ini saya taruh di atas
meja pemujaan saya,” kata saya kepadanya setelah
berpikir sebentar. “Saya taruh di samping patung-patung
lain di bawah lampu (saya selalu memasang lampu di
depan patung-patung suci, baru saja toko saya buka)
“dan nona terimalah sepuluh rubel dari saya.”
“Saya tidak perlu sepuluh, tuan berilah saya lima
rubel; patung ini akan segera saya tebus lagi.”
“Nona tidak mau menerima sepuluh rubel?
Patung ini memang sebegitu nilainya,” kata saya
kepadanya, ketika saya lihat matanya mulai bersinar-
sinar.
Dia tidak menyahut, dan saya beri lima rubel.
“Nona, kita jangan lekas menghinakan orang
lain; saya sendiri juga hidup dalam kemelaratan, bahkan
lebih melarat daripada orang lain, dan jika nona melihat
saya dalam pekerjaan ini, jangan disangka, bahwa ini
bukan bukan dari apa yang saya alami…”
“Jadi tuan mau membalas dendam kepada
masyarakat, bukan?” katanya sekonyong-konyong
memutuskan pembicaraan saya, dengan sikap
mencemoohkan, tetapi niatnya tidak hendak
menyakitkan hati saya (artinya cemoohnya tidak khusus
terhadap diri saya sendiri, karena pada waktu itu dia

11
belum membedakan saya pada orang lain, hingga
perkataannya tidak menyinggung perasaan saya.)
“Aha,” pikir saya, “jadi engkau seorang yang lain
dari yang lain; telah menunjukkan pekerti sendiri, dan
mengikuti aliran baru.”
“Nona lihat,” jawab saya setengah bersenda
gurau dan setengah mengandung rahasia, “saya sebagian
dari bagian ummat manusia yang berniat jahat, tetapi
melakukan yang baik…”
Dengan cepat dia memandang kepada saya,
sebagai hendak mengajuk hati saya, dan sikapnya ini
betul seperti anak kecil yang belum berdosa.
“Tunggu sebentar… pikiran apakah itu! Dari
manakah tuan mendapat pikiran serupa itu? Saya pernah
mendengarnya…”
“Tidak usah nona berpayah-payah mengingatnya,
dengan perkataan inilah Mephistopheles
memperkenalkan dirinya kepada Faust. Pernahkah nona
membaca Faust?”
“Sudah… tetapi tidak dengan penuh perhatian!”
“Ini berarti, bahwa nona belum membacanya
sama sekali. Nona harus membacanya. Tetapi janganlah
nona memandang saya dengan agak mengejek itu.
Jangan nona sangka karena hendak memperbagus
kedudukan pemegang gadai, saya memperkenalkan diri
sebagai orang yang mengenal Mephisto. Seorang
pemegang gadai tetap pemegang gadai. Kita semua
sudah tahu.”
“Tuan seorang yang aneh, walaupun saya tidak
hendak mengatakan…”
Dia sebenarnya ingin mengatakan, “Saya tidak
menyangka, bahwa tuan seorang yang terpelajar tinggi,”

12
tetapi dia tidak mau mengatakannya. Saya tahu betul,
bahwa memang begitu pikirannya. Kentara betul, bahwa
saya sangat disukainya.
“Nona lihat,” kata saya selanjutnya. “Orang dapat
melakukan kebaikan di lapangan apa saja. Sudah tentu
saya tidak berbicara tentang diri sendiri. Marilah kita
umpamakan, tidak lain yang saya lakukan kecuali
kejahatan, tetapi…”
“Sudah tentu orang dapat melakukan kebaikan di
tiap lapangan,” katanya sambil menghujamkan
pandangan yang tajam kepada saya, “dan di tiap tempat,”
katanya sekonyong-konyong menambah yang tadi.
O, teringat oleh saya, terang teringat saat-saat
pelik. Perlu saya tambahkan di sini, bahwa bila gadis
muda, gadis manis ini hendak mengatakan sesuatu yang
bijaksana, sesuatu yang penting, air mukanya
membayangkan kejujuran dan kebersihan hatinya,
hingga pada mukanya dapat dilihat, “Tuan tahu, saya
sudah berpaham dan penting yang saya katakan.” Dia
berlaku begini bukan karena gila hormat seperti saya,
tetapi kita lihat, semua apa yang dikatakannya, sangat
dihargakannya tinggi, dan dia percaya kepada apa yang
diucapkannya, besar sekali artinya bagi dia, dan dia
menyangka, bahwa kita memandang besar pula artinya.
O, kejujuran! Dengan inilah dia meyakinkan yang
dikatakannya kepada kita. Dan semua ini sangat
menyenangkannya!
Semuanya masih teringat oleh saya, tidak ada
yang lupa! Tatkala dia sudah pergi, saya lalu mengambil
keputusan. Hari itu juga saya pergi mencari keterangan
lebih lanjut tentang dia. Dan saya ketahui hal-ihwal
penghidupannya sekarang; hal ihwal penghidupan yang

13
dulu-dulu sesudah saya dengar dari Lukerya, yang
bekerja sebagai babunya, sesudah dua hari yang lalu saya
suap, supaya mau berbicara kepada saya. Hidupnya
sungguh sangat sengsara, hingga saya tidak mengerti
sama sekali, mengapa dia dapat juga tertawa, seperti dia
tertawa tadi, mengapa dia masih menikmati perkataan
Mephisto, sedang pengalamannya sehari-hari sangat
pahit, dan hidup dalam lingkungan yang melarat. Tetapi,
—dia masih muda! Ya, karena itulah maka saya
mengenangkannya pada masa itu dengan suka cita dan
bangga, sebab di dalam kemudaan itulah letaknya
kebesaran jiwa: “Lihatlah, biarpun saya berdiri di pinggir
ngarai, perkataan Goethe yang mulia masih tetap
bersinar-sinar.” Pemuda selalu mempunyai kebesaran
jiwa, walaupun sedikit, dan agak mencong. Saya mau
mengatakan, nona ini yang berjiwa besar, dia sendiri.
Dan, yang terutama, ketika itu dia saya pandang seperti
kepunyaan saya, saya tidak sangsi lagi. Tuan lihat,
pikiran ini sudah bercampur dengan syahwat, kalau
orang tidak sangsi lagi…
Tetapi ah, apa yang saya obrolkan ini! Jika saya
terus-menerus berbicara begini, bilakah saya akan
sampai kepada soal yang sebenarnya? Cepat, cepat, itu
bukan pokok soalnya, Allah tobat!

14
Pinangan

“Hal ihwal” penghidupannya yang dapat saya


dengar, akan saya terangkan sekedarnya di sini. Ibu
bapanya tidak ada lagi, telah meninggal dunia tiga tahun
yang lampau, dan sekarang dia menumpang di rumah
dua orang bibinya, sepasang perempuan yang sangat
tidak sopan. Tetapi perkataan “tidak sopan” sebenarnya
ini masih terlalu lunak. Bibinya yang pertama seorang
janda yang punya enam orang anak yang masih kecil-
kecil, dan bibi yang seorang lagi adalah gadis tua yang
menjijikan. Kedua-duanya sama menjijikkan.
Bapanya dulu menjadi pegawai negeri, yang
mulai bekerja sebagai kerani, tukang menyalin surat-
surat, dan gelar kebangsawanan yang diberikan
kepadanya adalah suatu anugerah belakangan, bukan
asli, —pendeknya kalau diperbandingkan dengan saya,
martabat saya lebih tinggi. Saya berasal dari lapisan atas,
karena bukanlah saya dulu kapitan dalam satu resimen
yang gilang gemilang; saya keturunan bangsawan dan
bergelar; saya hidup merdeka; dan jika bibi-bibinya tahu
berapa jumlah uang saya dalam bank, tentu mereka akan
menengadah kepada saya dengan khidmatnya.
Nona itu sudah tiga tahun hidup sebagai budak
belian di rumah bibinya, tetapi meskipun dia harus
bekerja berat tiap hari, sampai jauh malam, dia tahu
mempergunakan waktu yang terluang dan lulus juga
dalam salah satu ujian. Dan ini menunjukkan, bahwa
pada pihaknya ada hasrat hendak mencapai yang
tertinggi, dan yang termulia. Dan, mengapakah saya mau
mengawininya? Namun pribadi saya sendiri tidak begitu
penting untuk disebut, nanti ada waktunya… Seolah-

15
olah diri saya sangat penting! Dia mengajar anak-anak
bibinya, dia menjahit dan menambal pakaian orang di
rumah itu, dia mencuci pakaian kotor yang bertimbun-
timbun; dan bukan itu saja, dia, dengan dadanya yang
lemah itu, harus pula mengepel lantai. Sebentar-sebentar
dia dipukul oleh bibinya, dimaki-maki dan diumpat-
umpat sepotong roti yang dimakannya. Dan puncak
perlakuan bibi-bibi yang menjijikan itu, ialah mereka
hendak menjual nona ini. Cis, hal-ihwal yang keji itu
tidak usahlah saya ceritakan. Semua hal itu
diceritakannya kepada saya kemudian.
Semua hal itu setahun lamanya diperhatikan oleh
seorang tauke gemuk, yang diam di sebelah rumah
bibinya. Tauke ini bukan seorang tuan toko biasa saja,
melainkan seorang hartawan kikir, yang mempunyai dua
toko bahan makanan. Bininya sudah dua yang
diantarkannya ke kubur, dan sekarang ia sedang mencari
yang ketiga.
Tatkala tauke tersebut melihat nona itu sengsara,
timbul pikirannya, “Nona itu pendiam, dia dibesarkan
dalam kemiskinan; alangkah baiknya jika jadi bini saya.
Apalagi saya perlu seorang perempuan yang akan
mengasuh anak-anak saya yang tak beribu lagi.”
Ia mulai mengintai dan mulai berunding dengan
bibi nona itu, tetapi… ia sudah lima puluh tahun. Dan
nona itu sangat terperanjat. Tepat pada waktu itu dia
kerapkali datang menggadaikan barang-barangnya
kepada saya, untuk pembayar iklan dalam ‘Suara’.
Akhirnya dia meminta kepada bibinya, supaya dia diberi
waktu sebentar untuk mempertimbangkan pinangan
tauke ini. Dia diberi waktu berpikir sebentar, tidak boleh
lama-lama. “Kami tidak tahu bagaimana harus mencuri

16
sesayat roti untuk kami sendiri, apalagi ditambah dengan
mulutmu,” kata bibinya dengan pedasnya.
Semua ini sudah saya ketahui, tatkala saya
mengambil keputusan sehabis peristiwa pagi tadi yang
saya ceritakan.
Malam itu tauke tadi datang ke rumah bibi nona
itu, dengan membawa buah tangan, gula-gula seharga
setengah rubel. Nona itu duduk di sampingnya.
Sementara itu saya panggil Lukerya yang sedang bekerja
di dapur, saya suruh dia membisikkan ke telinga nona
majikannya, bahwa saya menunggu dekat gerbang, dan
hendak membicarakan sesuatu yang penting dengan dia.
Saya puas sekali dengan diri saya, ya, pada umumnya
sepanjang hari itu saya sangat puas dengan diri saya
sendiri.
Nona itu datang menemui saya, di dekat gerbang,
sangat tercengang melihat saya datang ke rumahnya
malam itu. Ketika itu saya katakan kepadanya (Lukerya
juga mendengarkan) pertama, bahwa kedatangannya
saya pandang sebagai satu keberuntungan, dan sebagai
satu kehormatan…
Dan kedua, dia hendaknya janganlah tercengang
melihat cara saya bertindak, dan berunding dekat
gerbang ini… karena saya memang seorang jantan, yang
bersikap ‘terbujur lalu terbelintang patah’, dan keadaan
itu sudah saya pelajari betul-betul. Saya tidak berdusta,
ketika saya berkata, bahwa saya bersikap ‘terbujur lalu
terbelintang patah’. Ah, perkara ini sama sekali tidak
perlu dihiraukannya. Saya berkata-kata dengan dia bukan
saja dengan cara yang sopan, artinya, menurut cara yang
pantas dilakukan oleh seorang laki-laki yang mendapat

17
pendidikan baik, tetapi juga cara saya itu memang sangat
asli. Dan inilah yang sangat penting.
Apakah gerangan berdosa, bila saya akui
keagungan saya itu? Saya mau mengukur pribadi sendiri,
dan sekarang memang saya lakukan. Saya mesti
menerangkan pro dan kontra, dan memang saya lakukan.
Dan kemudian, bila saya mengenangkan hal ini, saya
merasa puas, walaupun sikap saya itu boleh dianggap
orang pandir. Kepada nona itu saya katakan terus terang,
supaya dia jangan keliru nanti, bahwa pertama-tama,
kepandaian istimewa saya tidak punya, saya tidak begitu
pintar dan barangkali juga pekerti saya tidak begitu baik,
dan saya pada azasnya seorang yang serakah (perkataan
ini masih teringat oleh saya, muncul dalam pikiran saya
sewaktu lagi dalam perjalanan ke rumah nona itu, dan
saya puas benar dengan ilham baru ini). Selanjutnya saya
katakan, bahwa sangat boleh jadi masih ada perangai-
perangai saya yang buruk, dan tak menyenangkan orang
lain. Semua itu saya katakan dengan semacam
kesombongan, —ya semua kita tentu maklum, betapa
kita menceritakan yang buruk-buruk tentang diri sendiri,
tetapi hati kecil kita sebenarnya memuji.
Saya tentu cukup pandai pula untuk tidak
menyebut sifat-sifat yang baik, sesudah menceritakan
satu persatu kekurangan dan cacat saya. Tidak ke luar
dari mulut saya perkataan, “Tetapi di samping perangai
buruk itu ada sifat yang…” Kentara, bahwa nona itu
masih sangat takut, tapi saya tidak mau mundur karena
itu. Sebaliknya, ketika tampak dia takut, saya ucapkan
kata-kata yang tegas, saya katakan dengan dada terbuka
kepadanya, bahwa bila dia jadi isteri saya, dia akan
kenyang makan, tetapi tidak akan boleh berpakaian

18
bagus, menonton dan mengunjungi pesta dansa, kecuali
bila di belakang hari tujuan saya sudah tercapai. Saya
sendiri sampai terseret oleh uraian saya yang keras dan
tegas ini. Dan selanjutnya saya katakan kepadanya
(seberapa mungkin saya sambilkan) bahwa saya
membuka perusahaan gadai itu, hanya karena didorong
oleh satu cita-cita, dan lagi sesuatu keadaan istimewa…
Sungguh, saya berhak berkata begitu, saya betul-
betul mempunyai satu tujuan, dan memang ada satu
keadaan istimewa yang bersangkutan dengan pekerjaan
itu. Tuan-tuan tunggulah sebentar; selama hidup saya
sendiri sangat benci kepada rumah gadai ini, bahkan
lebih benci daripada siapa saja di dunia ini. Meskipun
sangat mengaibkan berbicara tentang diri sendiri, dan
dengan kata-kata yang penuh rahasia pula, betul dan
sungguh dapat saya katakan, bahwa saya ‘membalas
dendam kepada masyarakat’.
Sindiran nona itu yang tajam pagi tadi tentang
‘pembalasan dendam’, dipandang dari sudut lain, tidak
beralasan. Tuan-tuan tentu tahu, bahwa seandainya saya
katakan kepada nona itu dengan terus terang, “Saya mau
membalas dendam kepada masyarakat,” dia pastilah
akan menertawakan saya seperti dilakukannya pagi tadi,
dan kelakuan saya itulah yang sungguh mengaibkan.
Tetapi dengan sindiran yang agak gelap artinya, dengan
melantingkan perkataan penuh rahasia, rupanya sikap
saya mulai mempengaruhi angan-angannya.
Tambahan lagi saya tak usah kuatir; karena saya
tahu, bagi nona ini tauke gemuk tersebut dalam segala
hal lebih menjijikan daripada saya, dan saya yang berdiri
dekat gerbang, baginya adalah seorang pahlawan yang
melepaskannya dari cengkeraman kesengsaraan. Ya, saya

19
mengerti betul. Oh, manusia mengerti betul kerendahan
dalam dirinya! Tetapi apakah itu satu kerendahan? Tidak
bolehkah manusia berbuat ke arah itu? Apakah saya
tidak cinta kepadanya?
Tunggulah sebentar: saya tentulah tidak mau
mengucapkan kepadanya sepatah kata yang
menunjukkan, bahwa saya yang berbuat baik terhadap
dirinya. Hanya sebaliknya, ya sebaliknya “sayalah yang
nona limpahi dengan kebaikan, bukan nona yang
dilimpahi.”
Kalimat itu saya ucapkan, karena tidak tahan lagi
oleh keinginan saya hendak mengatakannya, dan
bunyinya mungkin seperti perkataan orang pandir, sebab
dia mengerutkan keningnya, saya lihat. Tetapi umumnya,
saya menang dalam ini. Tunggulah sebentar saya
ceritakan: bila saya telah mulai menceritakan kekejian,
saya ingin pula memperingatkan kebinatangan saya;
yakin sementara saya berhadapan dengan nona itu,
timbul satu pikiran dalam kepala saya, dan saya berkata
kepada diri sendiri, “Badanmu tinggi lampai, dan
tampan, berpendidikan baik, dan dengan tidak hendak
menyombongkan diri engkau sama sekali tidak buruk.”
Pikiran mengagumi diri inilah yang bekerja di dalam
kepala saya.
Tidak perlu saya katakan lagi, bahwa dia
menerima pinangan saya dekat gerbang itu. Tetapi…
tetapi perlu saya tambahkan, dia lama betul bermenung
di dekat gerbang itu, sebelum dia mengucapkan jawaban,
“Ya”. Dia lama betul berpikir, mengherankan lamanya,
hingga gatal lidah saya hendak bertanya, “Bagaimanakah
pendapat nona?” Ya, sungguh tidak dapat menahan

20
keinginan ini, dan lalu dengan gaya yang pantas sekali
saya bertanya, “Bagaimanakah pendapat nona?”
“Tunggulah sebentar, hendak saya pikirkan
dulu.”
Ketika itu dia termenung sebentar, berpikir keras
sekali, dan hampir dapat saya baca semua yang
dipikirkannya. Perasaan saya tersinggung oleh pikiran,
“Apakah sukar baginya memilih antara saya dan tauke
itu?” O, saya belum mengerti. Ketika itu saya belum
mengerti. Saya masih ingat, betapa Lukerya menyusul
saya, “Tuhan akan membalas kebaikan tuan, yang telah
sudi mengambil nona kami yang manis jadi isteri tuan.
Tetapi jangan katakan kepadanya nanti, dia sangat
congkak.”
“O, dia congkak! Saya sendiri suka gadis-gadis
yang congkak,” pikir saya. Orang congkak itu sangat
menggirangkan, bila… ya, apabila kita tidak sangsi akan
kekuasaan sendiri untuk menundukkannya. Bukankah
begitu? O, si pandir hina saya ini, jika tidak begitu!
Tetapi, bukankah tercapai idaman saya? Tuan
lihat, tatkala dia lama berdiri di dekat gerbang, bimbang
apakah pinangan saya akan diterimanya atau tidak, serta
saya tercengang memandangnya, tuan tahu, sesuatu
pikiran mungkin terpencar dalam kepalanya, “Jika di sini
melarat di sana celaka, apakah tidak lebih baik, segera
saya pilih yang seburuk-buruknya, yaitu saya jadi bini
tauke gemuk itu, supaya lekas mati dipukulinya bila ia
mabuk!”
Bagaimanakah pendapat tuan, apakah mungkin
timbul pikiran begini dalam kepalanya?
Sungguh, saya belum mengerti; masih gelap,
gelap semuanya. Baru ini saya berkata, bahwa mungkin

21
ada pikirannya begini, “antara dua kejahatan, lebih baik
saya ambil yang sebesar-besarnya, yakni saya kawin
dengan tauke itu.” Tetapi siapakah yang terjahat menurut
pendapatnya, sayakah atau tauke itukah?
Tauke gemuk atau pemegang gadai yang
mengutip perkataan Goethe? Ini masih jadi satu
pertanyaan! Alangkah sulitnya pertanyaan ini! Meskipun
begitu engkau masih tidak mengerti; jawabnya sudah
terbaring di atas meja, dan engkau berkata, “ini masih
jadi pertanyaan!”
Biarkah saya mampus dicekik setan! Perkara ini
sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan saya.
Tetapi apakah pedulinya bagi saya, bersangkut paut atau
tidak dengan urusan saya? Inilah pula tidak dapat saya
pecahkan? Rupanya lebih baik saya pergi tidur. Kepala
saya mulai sakit…

22
Saya Seorang Muliawan, tetapi Saya Sendiri Tidak
Percaya

Mata saya tidak mau dipejamkan; susah betul


tidur sekali ini. Ah, mengapa dalam kepala saya terus-
menerus ada bunyi berdentang-dentang, seolah-olah otak
saya dipukuli dengan martil? Saya mau mengingat
semuanya, semua kehinaan itu! O, kehinaan! Dari jurang
kehinaan yang dalam dia saya angkat! Dia pun mesti
mengerti, dia mesti menghargakan tinggi perbuatan saya!
Saya juga merasa senang, oleh berbagai pikiran lain,
misalnya, saya sudah empat puluh satu tahun, dan dia
enam belas tahun lebih sedikit.
Pikiran itu memukau saya, perasaan bahwa saya
tidak sama dengan dia, sangat membahagiakan, dan enak
bila dipikirkan.
Saya mau kawin secara Inggeris, misalnya; hanya
kami berdua, dengan dua saksi lagi, dan seorang dari
saksi itu hendaklah Lukerya. Sehabis perjamuan
sekedarnya, terus naik kereta api, umpamanya ke
Moskow (sambil membereskan urusan di sana); dan di
sana tinggal di hotel dua minggu lamanya. Tetapi dia
membantah, dia tidak mau upacara perkawinan
sesederhana itu; katanya saya mesti pergi kepada
bibinya, saya harus memperlakukan kedua bibinya itu
dengan segala hormat, seperti kepada mentua sendiri,
sebab saya mengambil dia dari bibinya. Saya mengalah,
saya berikan kepada bibinya, apa yang harus mereka
terima. Malahan makhluk tak sopan itu masing-masing
saya beri seratus rubel, dan saya berjanji pula akan
memberinya lebih banyak; tetapi sudah tentu tidak saya
katakan kepada mereka, sebab mungkin perkataan saya

23
itu akan menginsafkan mereka kepada kemiskinannya.
Melihat uang saya, kedua bibinya itu, berubah manis
seperti madu.
Waktu itu timbul percekcokan tentang pakaian
kawin, dia tidak punya apa-apa, dan dia tidak mau pula
mempunyai apa-apa. Tetapi akhirnya saya beruntung
dapat memberinya keinsafan, bahwa mereka melanggar
adat jika kawin tidak ada pakaian kawin. Dan soal
pakaian kawin itu saya bereskan sendiri, sebab siapakah
yang akan membereskan jika bukan saya? Tetapi,
sungguh mati, dari pihak saya sudah cukup rasanya!
Setengah dari pikirannya, dapat saya jelaskan kepadanya
pada waktu itu, jadi sedikitnya dia tahu, apa yang harus
jadi pegangannya. Barangkali saya terlalu tergesa-gesa
dengan berlaku begini.
Tetapi yang pelik: dari awalnya, dia kerap kali
berlari menemui saya dengan segala kegirangannya dan
cinta—merebahkan dirinya dengan penuh kasih ke
dalam pelukan saya, bila saya kembali di rumah malam
hari, dan dengan riang diceritakannya kepada saya
(seperti ocehan anak kecil yang menarik hati)
kehidupannya semasa kecil, sewaktu tinggal di rumah
orang tuanya, tentang kehidupan bapa dan ibunya.
Tetapi nyala kegembiraan ini segera saya sirami
dengan air dingin. Ini memang maksud saya dari tadi.
Kegirangannya saya balas dengan berdiam diri, sudah
tentu tidak seperti orang marah, tapi dia lekas mengerti,
bahwa antara kami ada perbedaan, dan bahwa saya…
satu teka-teki. Lakimu satu teka-teki… itulah yang selalu
saya pahatkan di kepalanya. Barangkali karena hendak
menjadi teka-teki inilah saya telah bersalah melakukan
kebodohan yang sebesar-besarnya!

24
Pertama-tama adat saya keras, dan dengan
kekerasan adat inilah dia saya bimbing masuk ke rumah
saya.
Pendek kata, pada waktu saya bergelandangan ke
sana ke mari dan merasa puas dengan keadaan sendiri,
saya sudah membuat suatu cara bekerja yang sempurna.
Dan ini ke luar sendirinya, dengan tidak usah memeras
otak dulu. Ya, jalan lain tidak ada lagi. Oleh sesuatu
sebab yang tak terelakkan, saya harus mempunyai satu
cara bekerja; mengapa saya akan memfitnahkan diri
sendiri? Cara bekerja itu memang asli. Ya, tuan-tuan
dengarlah, jika tuan hendak mengeluarkan anggapan
tentang orang lain, tuan harus menganggapnya telah
mengetahui segala sesuatu tentang perkara itu.
Dengarkanlah…
Bagaimana saya harus mulai? Sebab bagian ini
sangat sukar. Apabila orang mulai membenarkan
perbuatannya, —datanglah kesukaran merintanginya.
Tuan tahu, perempuan muda menghinakan uang,
umpamanya; tetapi saya menghargakan uang setinggi-
tingginya. Makin lama makin menyolok mata sikap saya
yang memuliakan uang, dan sebaliknya dia makin lama
semakin pendiam. Matanya makin lama semakin
membelalak melihat saya, apa kata saya didengarkannya
dengan herannya, dan sambil berdiam diri saya
dipandangnya. Tuan tahu, orang muda biasanya mulia
hati; yang saya maksud: anak muda yang baik, dia mulia
hati dan lekas bergelora semangatnya. Tetapi tidak begitu
sabar; sedikit saja kita lakukan apa yang tidak
disetujuinya, dia sudah sedia dengan hinaannya. Tetapi
saya ingin isteri saya harus sabar, saya mau lekas
mencurahkan air kesabaran yang sejuk ke dalam

25
kalbunya, dan saya mau, dia hendaklah biasa
memandangi sesuatu dengan pengertian yang lapang.
Bukankah sudah terang, apa yang saya maksud?
Saya ambil contoh yang kasar saja:
bagaimanakah saya harus menerangkan segala sesuatu
mengenai rumah gadai saya kepada orang yang
berpekerti serupa itu? Saya sudah tentu tidak harus
berkata terus terang keadaannya, dengan menelanjangi
isi dada saya, sebab dengan berkata terus terang, saya
samalah memohonkan maaf kepadanya, bahwa saya
mempunyai sebuah rumah gadai. Dan saya, boleh
dikatakan, dari awalnya bekerja dengan keangkuhan, dan
berdiam diri. Saya seorang ahli dalam berbicara dengan
tidak mengeluarkan kata-kata; selama hidup memang itu
saya praktekkan dan dalam berdiam diri itu banyaklah
tragedi yang saya alami.
Karena dulu saya juga selalu malang! Saya
dijauhi oleh semua orang, dipencilkan dan dilupakan,
tetapi tidak seorang pun, ya, belum seorang pun yang
tahu. Dan sekarang, gadis yang baru enam belas tahun
ini sudah banyak mendengar hal-ihwal kehidupan saya
sediakala dari cerita orang yang busuk hati; dan kini dia
percaya, bahwa dia mengetahui semua rahasia saya,
padahal yang paling berharga tetap tersimpan dalam
dada saya ini!
Saya senantiasa diam, dan terutama, diam
terhadap isteri saya ini, ya, terutama terhadap dia, sampai
kemarin pun saya diam. Mengapa saya berdiam diri?
Karena saya seorang yang sombong. Saya ingin dia
sendiri, dengan tidak saya ceritakan, juga dengan tidak
mendengarkan fitnah bajingan-bajingan tadi, dia sendiri
harus menerka siapa saya, dan harus mengerti saya.

26
Tatkala dia masuk rumah saya, sangat ingin saya
dia akan menghormati saya setinggi-tingginya. Saya
mau, dia sujud di depan saya, menghormati semua
penderitaan saya yang sudah saya tanggung; sebab
penderitaan patut dihormati. O, saya selalu sombong,
dan selalu saya ingin mempunyai semua atau selalu tidak
sama sekali! Karena saya tidak mau bahagia separo,
tetapi seluruhnya, maka saya terpaksa berlaku begitu
kepadanya. Ini berarti, “Cari sendiri jawab teka-teki ini,
dan belajarlah menghormati saya!”
Sebab tuan-tuan tentu sependapat dengan saya,
bahwa jika saya sendiri yang menguraikan semuanya
kepada nona muda ini, jika saya membungkuk di
hadapannya, dan jika saya meminta supaya
dihormatinya, ini berarti saya mengemis-ngemis
kepadanya. Tetapi… mengapa saya berbicara tentang
ini?
Perbuatan itu pandir, pandir sangat pandir. Pada
waktu itu terus terang, dan dengan tiada kasihan (saya
tegaskan saya berbuat begini dengan tidak menaruh
kasihan) saya uraikan kepadanya, bahwa kemuliaan hati
orang muda memang indah, tetapi harganya tidak ada.
Mengapa tidak? Karena kemuliaan itu dipungut dari
pinggir jalan, bukan dari pengalaman hidup berpuluh
tahun, melainkan ia boleh dikatakan “kesan pertama dari
hidup ini.” Marilah kita perhatikan kamu lagi bekerja.
Kemuliaan hati semurah itu tidak sukar memperolehnya,
dan pengurbanan hidup pun sangat murah, sebab darah
sudah mendidih di dalam surat-surat nadinya, orang
merasa kekuatan hidup yang melimpah-limpah, dan
orang bernafsu besar mencintai keindahan! Tetapi,
marilah kita ambil suatu perbuatan mulia yang sukar,

27
sunyi, tidak dikenal orang, tidak gilang gemilang,
bahkan senantiasa digelapkan pula oleh fitnah busuk.
Untuk itu orang harus mengurbankan segala-galanya,
dan tidak memperoleh kecemerlangan sedikit pun; dalam
keadaan begitu tuan sebagai seorang maunsia utama dan
jujur, akan dianggap oleh tiap orang sebagai bajingan,
barulah saya ingin tahu tuan ke luar dengan kemuliaan
hati itu. Saya kira tuan akan mengundurkan diri! Saya
sebaliknya—saya selama hidup menanggung kehinaan
itu. Selama hidup saya bersikap seperti pahlawan.
Mula-mula apa saja kata saya dibantahnya, dan
caranya? Tetapi lambat laun dia semakin diam, dan
akhirnya membisu sama sekali. Hanya belalakan
matanya yang makin besar, apabila mendengarkan saya
berkata-kata, matanya besar, besar sekali, memandangi
saya dengan penuh perhatian. Dan… saya lihat dia
sekonyong-konyong tersenyum, senyuman yang diam-
diam mencurigakan, senyuman yang menjadikan sesuatu
hal yang tidak baik. Dan senyuman serupa itulah yang
bermain di mukanya ketika dia saya bimbing masuk ke
dalam rumah saya. Betul ke mana dia akan pergi lagi…

28
Rancangan, Selalu Rancangan Saja

Siapakah di antara kami berdua yang memulai


dulu?
Tiada seorang pun; pertikaian ini memang sejak
hari pertama. Tadi saya berkata, bahwa dia dengan
kekerasan saya bimbing masuk ke rumah saya; tetapi
pada langkah pertama saya mulai lunak. Sebelum kami
kawin, sudah saya terangkan kepadanya, bahwa dia
harus membantu saya menerima gadaian dan
membayarkan uangnya, tetapi perkataan saya ini tidak
dijawabnya; (tuan ingat baik-baik: tidak dijawabnya).
Ya, dia bekerja keras, rajin dan memberikan segenap
tenaganya kepada pegadaian saya. Rumah dan perabot
saya—semuanya sudah tentu tinggal seperti sediakala.
Kediaman saya terjadi dari dua kamar, sebuah ruang
besar yang sebagainya saya pakai untuk pegadaian, dan
kamar sebuah lagi untuk kami duduk-duduk dan tidur.
Perabot rumah saya sudah usang, tetapi perabot
bibinya lebih bagus lagi dari itu. Pemujaan saya, tempat
menaruhkan patung-patung suci, beserta lampunya, saya
gantungkan di tengah ruang tempat saya bekerja. Di
kamar dalam ada sebuah lemari dengan beberapa buku,
sebuah kopor, yang kuncinya selalu saya bawa; dan
selanjutnya ada sebuah ranjang dan beberapa buah meja
dan kursi. Sewaktu kami bertunangan sudah saya
katakan kepadanya, bahwa untuk belanja sehari-hari,
yakni untuk makan dan minum saya, dia dan Lukerya,
yang juga mengikut kami, setiap hari tidak boleh lebih
dari serubel, tidak boleh lebih sekopek pun. “Saya mau
menyimpan uang tiga puluh ribu rubel dalam tiga tahun

29
ini; jika belanja banyak, tentu simpanan kita nanti tidak
sampai sekian.”
Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk
membantunya, tetapi dengan kehendaknya sendiri
belanja setiap hari berjumlah serubel tambah tiga puluh
kopek. Begitu pula dengan tontonan. Sebelum kami
kawin saya katakan kepadanya, bahwa dia tidak boleh
menonton sandiwara, tetapi kemudian saya tetapkan
bahwa sekali dalam sebulan kami boleh pergi menonton,
tapi harus duduk di tingkat yang rendah yakni stalles.
Sudah tiga kali kami bersama pergi ke gedung komidi.
Kami pernah menonton “Memburu Bahagia,” “Unggas
Bernyanyi,” jika saya tidak khilaf. Ah, itu tidak perlu
diceritakan, ya, tidak diceritakanpun tidak apa.
Kami pergi ke sana dengan berdiam diri, dan
ketika pulang tidak pula bercakap-cakap. Mengapa, ya,
mengapa kami berdiam diri sejak mulanya? Pada
permulaannya kami tidak pernah bertengkar, tetapi kami
tetap diam. Saya masih ingat, dia selalu melirikkan
matanya kepada saya dengan diam-diam, dan baru saja
kelihatan oleh saya, mulut saya makin keras saya
katupkan, dan terus diam. Sungguh, saya memulai diam,
bukan dia. Pada pihaknya ada dua kali meluap
keberanian. Dia merebahkan dirinya kepada saya, dan
dirangkulnya leher saya, tetapi karena perbuatannya ini
disebabkan oleh penyakit berahi yang sekonyong-
konyong menyerangnya, semua tingkahnya itu saya
terima dengan hati dingin. Sebab saya menghendaki
bahagia yang kekal, yaitu dia harus menunjukkan
khidmatnya kepada saya. Dan ternyata pendirian saya
yang benar, sebab tiap kali dia diserang penyakit berahi
itu, keesokannya kami berselisih dan cekcok.

30
Maksud saya, cekcok yang sebenarnya juga
tidak. Kami hanya berdiam diri dan dia pada pihaknya
selalu memandangi saya dengan sikap melawan.
“Berontak dan merdeka”, itulah maksudnya, tetapi dia
tidak pandai menunjukkannya. Ya, gadis yang lembut
dulu itu makin lama makin menentang.
Akan percayakah tuan, bila saya katakan, bahwa
dia mulai jijik melihat saya? Perubahan batinnya
memang saya pelajari baik-baik. Dan tidak dapat
disangsikan lagi, bahwa dia kadang-kadang lupa daratan.
Bagaimanakah dia tidak akan berlaku begitu? Dia baru
saja ke luar dari kemelaratan yang keji, kemelaratan
yang memaksanya harus mengepel lantai. Bagaimanakah
dia akan mencemoohkan kemiskinan saya? Sebab tuan
tahu, sebenarnya saya bukan miskin, melainkan hemat;
dan barang-barang yang diperlukan selalu ada, misalnya
banyak sprei, kelambu dan selimut yang bersih dan
banyak pakaian bersih. Dulu saya selalu menyangka,
bahwa perempuan tertarik oleh laki-laki yang periang.
Dan lagi, bukan kemiskinan kami yang menjijikan, tetapi
kekikiran dan itulah yang dilawannya. “Suamiku ini
hanya mempunyai sebuah tujuan, dan tabiatnya sangat
keras.”
Sekonyong-konyong dia enggan menonton lagi.
Pandangannya makin kerap mengejekkan; dan saya
pihak yang merasa tidak dihormati, makin keras kepala,
dan berkeras tidak mau bicara.
Bukankah saya tidak hendak membela pendirian
saya? Rumah gadai itulah pokok persoalan.
Dengarkanlah keterangan saya sebentar: saya tahu,
bahwa seorang perempuan dan terutama seorang gadis
yang baru enam belas tahun umurnya, harus tunduk

31
dengan seluruh badan dan jiwanya kepada seorang laki-
laki. Dalam diri perempuan tidak ada keaslian; ini satu
aksioma, malahan sekarang, ya, pada saat ini bagi saya
adalah satu aksioma. Apakah sekarang yang terbaring di
atas meja itu: kenyataan, sekali kenyataan tetap
kenyataan, malahan Stuarts Mill sendiri tidak sanggup
mengubahnya! Dan seorang perempuan yang mencintai!
O, seorang perempuan yang mencintai, memuja-muja,
malahan cacat dan kejahatan laki-laki yang dicintainya.
Laki-laki itu sendiri tidak berhasil dalam usaha
membenarkan kejahatannya, tetapi perempuan dapat
membela dan membenarkan kejahatan kekasihnya. Dia
betul mulia hati, tetapi tidak asli. Dan karena tidak ada
keaslian inilah maka perempuan celaka. Dan mengapa,
saya ulangi lagi, mengapa tuan menunjukkan kepada
saya meja itu? Apakah bukti keaslian gerangan yang
terbaring di atas meja itu? O… O…
Dengarkanlah, pada waktu itu teguh keyakinan
saya, bahwa dia cinta kepada saya. Bukankah dia
kerapkali bergantung ke leher saya? Dia cinta kepada
saya, atau lebih tepat, dia ingin cinta kepada saya; dan
dia berusaha sedapat-dapatnya ke arah ini. Tetapi yang
utama, pada saya tidak dapat ditunjukkan sesuatu
kejahatan, yang harus dibenarkan dan dibelanya. Tuan
akan berkata, “ya, apakah pegadaian itu bukan
kejahatan?” Semua orang berpendapat begitu.
Tetapi apakah salahnya pegadaian itu? Sudah
tentu ada sebabnya maka manusia yang semulia-
mulianya di dunia ini, mau menjadi pemegang gadai.
Tuan-tuan tahu, bahwa ada beberapa buah pikiran… ada
buah pikiran, yang bilamana dinyatakan, dan dibungkus
dengan perkataan, akan seperti pikiran orang pandir

32
bunyinya. Ya, sangat pandir hingga orang yang
menyatakannya tercengang dan malu. Dan mengapa? Ini
tidak mudah diterangkan. Karena kita semuanya bodoh
seperti binatang, karena kita tidak kuat mendengarkan
kebenaran, dan sebab yang lain tidak akan dapat saya
unjukkan. Tapi saya berkata “manusia yang semulia-
mulianya di dunia.” Bunyinya sangat menertawakan,
tetapi pada hakekatnya, memang begitu.
Ya, ini satu kebenaran, kebenaran yang paling
benar dari semua yang terdapat di dunia ini. Ya, saya
pada waktu itu berhak akan membebaskan saya dari
kesusahan, dan membuka perusahaan gadai itu. “Kamu
manusia, kamu sekalian telah membuang saya dari
pergaulanmu, kamu dengan diam yang mengejekkan itu
telah mengusir saya dari lingkunganmu. Hasrat saya
yang berkobar-kobar hendak meneguhkan tali
persaudaraan dengan kamu, kamu balas dengan suatu
cara, yang selama hidup saya akan tetap menghinakan.
Dan sebab itu, saya berhak akan mendirikan dinding
tinggi yang akan memisahkan kamu dari saya, dan saya
berhak menyimpan uang tiga puluh ribu rubel, dan hidup
berbahagia sendiri kelak di Krim misalnya, di pantai
Laut Hitam, di tengah pegunungan dan kebun anggur,
diam di tanah saya sendiri, yang dapat saya beli dengan
uang tiga puluh ribu rubel itu. Dan yang paling utama,
saya akan jauh dari kamu semuanya, hidup dengan tidak
menaruh benci kepadamu, dengan satu cita-cita dalam
kalbu saya, hendak hidup di samping isteri yang saya
cintai, dilingkungi anak-anak saya—jika dianugerahi
Tuhan—sedang tani-tani yang diam di sekeliling saya,
seberapa dapat saya akan bantu.”

33
Sudah tentu tidak janggal bunyinya bila saya
berjanji dengan diri lebih dulu, tetapi apakah saya tidak
pandir, jika pada masa itu saya curahkan semua isi dada
saya kepada isteri yang belia itu? Itulah sebabnya maka
saya selalu angkuh dan pendiam, dan mengapa kami
duduk bersama tetapi tidak bercakap-cakap. Sebab,
apakah dia gerangan akan mengerti, jika saya terangkan?
Apakah gadis yang baru enam belas tahun, yang masih
muda sekali, dapat memahamkan pembelaan saya, dan
menghargakan penderitaan saya?
Semua itu tidak lain dari kejujuran yang berlebih-
lebihan, kebodohan tentang seluk-beluk hidup,
keyakinan anak muda yang murah, gampang luntur,
kebutaan melihat “hati yang sebenarnya utama,” sedang
di pihak saya hanya sebuah pegadaian.
(Apakah saya kadang-kadang berlaku seperti
bajingan dalam pegadaian saya? Apakah dia tidak pernah
melihat saya bekerja; apakah saya pernah mengambil
barang orang secara tidak sah?).
O, alangkah menakutkan kebenaran itu di dunia
ini! Kesayangan itu, kesayangan lembut, yang seperti
bidadari… Dia tidak lain dari seorang kejam, kejam tak
terderitakan seorang yang senantiasa menyiksa jiwa
saya! Ini perlu dikatakan, jika tidak, saya menipu diri.
Tuan tentu menyangka, bahwa saya tidak cinta
kepadanya? Siapakah yang berani mengatakan, bahwa
saya tidak mencintainya? Tuan tahu, ini suatu ejekan,
ejekan jahat dari nasib dan dunia. Kita jauh dari bahagia,
dan kehidupan manusia umumnya tidak lain dari
kutukan! (apalagi hidup saya). Saya cukup insaf, bahwa
saya telah melakukan beberapa kesalahan! Sesuatu yang
buruk akibatnya. Semua sudah nyata, rancangan saya

34
sudah terang, seperti langit yang cerah. “Keras,
sombong, hiburan tidak perlu, semua penderitaan
ditanggung dengan berdiam diri.” Begitulah keadaan
sebenarnya, saya tidak berdusta, sungguh, saya tidak
berdusta!
“Dia sendiri nanti tentu akan melihat, bahwa
kemuliaan itu betul-betul mendorong segala perbuatan
saya, tetapi pada waktu itu matanya tidak cukup tajam
untuk melihat kemuliaan hati ini. Jika dapat dilihatnya
sekali, dia pasti akan menghargakan sepuluh ganda, dia
akan berlutut di tanah, dan dengan memperkatubkan
tangannya dia akan menyembah saya.” Ini rancangan
saya dulunya. Tetapi saya lupa sesuatu hal, dan yang
tidak boleh dilupakan ini luput dari pandangan saya. Ada
sesuatu, yang tidak dapat saya jalankan.
Tetapi cukup, cukup. Kepada siapakah saya mesti
minta maaf? Ah, bubur tak dapat dijadikan nasi lagi.
Manusia, engkau, harus nekat dan sombong.
Engkau tidak bersalah.
Baiklah, akan saya katakan sebenarnya, saya
tidak takut berhadapan dengan kebenaran. Dia yang
salah, dia yang salah.

35
Si Lembut Hati Melawan

Pertengkaran mulai, ketika sekonyong-konyong


timbul dalam kepalanya pikiran hendak menaksir
barang-barang gadaian menurut caranya sendiri, lebih
tinggi daripada nilai semestinya. Malahan sekali dua dia
mau bertengkar dengan saya tentang ini. Semua yang
dikatakannya tidak saya benarkan. Dan sekali datang
janda seorang kapiten.
Janda tua itu datang menggadaikan sebuah
medalyun, pemberian dari almarhum suaminya atau
“tanda mata.” Saya bayar tiga puluh rubel. Janda itu
mulai mengeluh. Dan dimintanya saya akan menyimpan
barang itu. Sudah tentu tidak akan saya jual. Pendek
kata, lima hari kemudian dia datang lagi, dan meminta
supaya saya mau menukar medalyun itu dengan sebuah
gelang, yang nilainya kurang dari delapan rubel. Saya
tentu tidak setuju. Barangkali ketika itu dapat dilihatnya
sinar kasihan memancar dari mata isteri saya, sebab
kemudian, sewaktu saya tidak di rumah, dia datang; dan
isteri saya menukar medalyun itu dengan gelang.
Tatkala saya mendengar pada hari itu juga, saya
tegur isteri saya dengan ramah, tetapi tegas. Dia sedang
duduk di ranjang, dan memandang ke lantai. Kakinya
yang kanan diayun-ayunnya di atas permadani (ini suatu
kebiasaan yang tidak dapat diubah), dan bibirnya
bermain senyuman jahat. Saya terangkan, dengan tidak
mengeraskan suara, dan dengan segala ketenangan,
bahwa yang dibayarkannya itu uang saya, bahwa saya
berhak memandang kehidupan ini dengan mata saya
sendiri, bahwa semua itu tidak saya sembunyikan, ketika
dia saya bawa ke rumah saya.

36
Tiba-tiba dia melonjak berdiri, sekujur badannya
gemetar, dia mulai—tuan tidak akan percaya—
menendang saya, dia menjadi seekor binatang, serangan
ini disebabkan oleh mata gelap, dan dia seekor binatang
yang lagi mata gelap. Badan saya kaku karena terkejut,
perempuan menendang laki-laki, tindakan luar biasa ini
tidak saya sangka sama sekali. Tetapi saya tidak
kehilangan akal, saya tetap tabah, dan dengan suara
tenang serta terus terang saya katakan kepadanya, bahwa
mulai saat itu dia tidak membantu saya lagi. Mendengar
itu dia menertawakan saya sekeras-kerasnya, dan pergi
ke luar, entah ke mana.
Nah, kehormatan saya terlanggar lagi: dia tidak
berhak meninggalkan rumah saya.
Dia tidak boleh ke luar rumah jika tidak dengan
saya; sewaktu lagi bertunangan kami sudah berjanji.
Hampir malam barulah ia kembali, tidak saya tegur.
Keesokan harinya, pagi benar dia pergi lagi,
entah ke mana, lusanya begitu pula. Pegadaian segera
saya tutup; saya pergi ke rumah bibinya. Sejak hari
kawin perhubungan dengan bibinya saya putuskan,
mereka tidak datang bertandang ke rumah kami, kami
pun tidak pula mengunjunginya. Dan ternyata, bahwa dia
tidak lari ke rumah bibinya. Dengan penuh perhatian
mereka mendengarkan cerita saya, dan saya
ditertawakan.
“Ini memang sudah kami sangka dari tadinya.”
Ejekan mereka telah saya sangka dari tadi.
Bibinya yang muda, yang belum kawin itu, saya suap
seratus rubel dan saya beri panjar dua puluh lima rubel.
Dua hari kemudian dia datang mengabarkan kepada
saya, “Dalam perkara ini campur tangan seorang opsir,

37
letnan Yefimowitsy, seorang temanmu dari resimen
dulu.”
Saya sangat tercengang, Yefimowitsy ini telah
banyak benar merugikan saya dalam resimen, dan kini
selama bulan yang lampau dua kali bangsat tidak tahu
malu ini datang ke pegadaian saya. Ia datang ke sana
dengan dalih akan meminjam uang sedikit, tetapi saya
masih ingat benar, datangnya semata-mata akan
mengobrol dengan isteri saya. Saya segera datang
mendekatinya, dan saya beritahukan bahwa berhubung
dengan buruknya perhubungan kami di masa yang lalu,
janganlah hendak dicobanya lagi memperbaharui
persahabatannya dengan saya. Tetapi ketika itu belum
timbul kecurigaan lain. Saya selama ini hanya
menganggapnya sebagai bangsat yang kurang ajar.
Tetapi sekarang bibi itu sekonyong-konyong
mengabarkan, bahwa isteri saya menunjukkan satu
tempat pertempuan kepadanya, yaitu di rumah seorang
kenalan bibi itu, Yulia Samsonowna, janda tuan kolonel;
dan janda itu pulalah yang memupuk-mupuk api
percintaan antara Yefimowitsy dan isteri saya. “Binimu
setiap hari datang di rumah janda ini.”
Baiklah saya ceritakan dengan pendek. Perkara
ini memakan ongkos tidak kurang dari tiga ratus rubel
semuanya; untuk menyuap di sana dan menyuap di sini;
tetapi dalam dua hari berhasillah ikhtiar saya, hingga
sewaktu isteri saya dan Yafimowitsy bertemu, saya akan
dapat mendengarkan percakapannya di kamar sebelah
dari lubang kunci. Sambil menunggu-nunggu apa yang
akan terjadi keesokannya, malam sebelumnya saya
bertengkar pula sebentar dengan dia, tetapi pertengkaran
yang sangat penting bagi saya.

38
Hari itu hampir malam dia kembali di rumah. Dia
duduk di ranjang, dan memandangi saya sambil
mengejek, serta memulai mengayun-ngayunkan kakinya,
dan menyapu-nyapu permadani dengan kakinya.
Sementara memperhatikan kelakuannya itu, sekonyong-
konyong terpancarlah suatu pikiran dalam kepala saya,
bahwa selama bulan terakhir, atau lebih tepat dikatakan,
selama dua minggu yang akhir itu, dia sudah jauh
berubah dari yang dulu, ya boleh saya katakan dia
berubah jadi makhluk yang pekertinya bertentangan
sekali dengan yang sudah-sudah. Dia sekarang jadi liar,
ganas, dan saya belum mau mengatakan tidak bermalu,
tetapi meskipun begitu dia telah menjadi makhluk yang
tak terkendalikan seperti banjir yang tidak dapat
dibendung lagi. Rupanya dia mau bertengkar. Ya, dia giat
mencari-cari jalan untuk bercekcok. Hanya kelembutan
hatinya yang sangat merintanginya pada ketika itu.
Tetapi apabila seorang perempuan yang lembut hati
berontak, orang tentu akan melihat—walaupun dia sudah
melampaui batas—bahwa sukar sekali baginya akan
memaksa dirinya ganas, dan mustahil baginya akan
melemparkan begitu saja kebersihan dan kesopanan yang
memang sudah jadi tabiatnya semenjak lahir. Dan itulah
sebabnya, maka orang yang bertabiat serupa itu, bila
meletus, kadang-kadang melanggar batas apa saja,
hingga orang yang melihatnya tidak percaya kepada
mata dan telinganya lagi. Dan orang yang memang
sudah rusak jiwanya, sebaliknya, akan tahu menahan
kemarahannya; walaupun perbuatannya akan keji nanti,
tetapi ini akan dilakukannya dengan bertopeng
kesopanan dan adab, dan dia akan melagak, bahwa dia
jauh lebih tinggi daripada kita.

39
“Benarkah engkau diusir dari resimen, karena
engkau takut main anggar?” tanyanya sekonyong-
konyong—saya sama sekali tidak menyangka akan
digempur begini—sedang matanya mulai berapi-api.
“Benar, memang sesudah opsir-opsir bermufakat,
saya diminta meninggalkan resimen, meskipun sebelum
itu saya dengan kehendak sendiri sudah minta berhenti
dari dinas.”
“Jadi engkau diusir sebagai pengecut?”
“Benar! Mereka menghukum saya katanya
karena saya pengecut. Tetapi saya menolak main anggar
itu bukan karena takut, saya hanya tidak mau tunduk ke
bawah keputusan mereka yang lalim, yaitu mengirimkan
surat tantangan kepada seseorang untuk main anggar,
sedang saya sama sekali tidak merasa dihinakan. Engkau
tahu, —saya tidak dapat menahan kemarahan saya lagi—
engkau tahu, jika orang hendak melawan kelaliman
serupa itu dengan perbuatan, dan orang mau memikul
semua akibat perbuatannya, ini menunjukkan bahwa
keberaniannya jauh lebih besar daripada berani main
anggar.”
Kesabaran saya mulai sampai dibatasnya, dan
dengan kalimat penghabisan ini saya mau membela diri;
tetapi memang itu yang dikehendaki isteri saya, dia mau
melihat kerendahan saya sekali lagi. Dia mulai tertawa,
digerakkan oleh hatinya yang mulai jahat.
“Dan benarkah pula, bahwa selama tiga tahun
sesudah itu engkau bergelandangan di jalan-jalan besar
dalam kota Petrograd, sebagai perisau engkau
mengemis-ngemis uang sepeser, dan tidur di rumah
bola?”

40
“Bukan itu saja, malahan beberapa malam saya
tidur di rumah Wyazewski di Siena. Ya, sesudah ke luar
dari resimen hidup saya penuh dengan kemelaratan dan
kehinaan, tetapi bukanlah kerendahan budi. Sebab saya
sendiri lebih jijik melihat perbuatan saya. Ini disebabkan
bukan oleh budi saya yang rendah, hanya oleh kehinaan
dalam kemauan dan akal saya, dan ini disebabkan pula
oleh keadaan hidup saya yang melarat. Tetapi sekarang
sudah lewat…”
“O ya, sekarang engkau orang bergengsi…
seorang yang kaya raya…”
Sindiran tajam itu terhadap pegadaian saya.
Tetapi saya masih dapat menahan amarah yang meluap.
Saya mengerti, bahwa dia ingin mendengarkan uraian
yang akan merendahkan saya, tetapi saya tidak mau
memenuhi keinginannya. Untunglah ada orang mengetuk
pintu, seorang langganan, lalu saya pergi mendapatkan.
Sejam kemudian, dia mengenakan pakaian akan pergi ke
luar; sebelum pergi dia berdiri di depan saya dan berkata,
“Sebelum kita kawin engkau tidak pernah menceritakan
hal itu kepada saya, betul atau tidak?”
Saya tidak menjawab, dan dia lalu pergi.
Keesokan harinya, di rumah janda Yulia
Yamsonowna saya berdiri di kamar sebelah di belakang
pintu, dan saya dengarkan, bagaimana nasib saya
ditentukan; di dalam kantung saya ada sebuah pistol. Dia
duduk dekat sebuah meja, berpakaian pantas sekali,
sedang Yefomowitsy berdiri di depannya, mengucapkan
perbagai kata yang manis-manis untuk membujuknya.
Kemudian… terjadilah (boleh saya katakan untuk
kehormatan saya), terjadilah sesuatu yang sesuai dengan
yang tergerak di hati saya dan yang saya sangkakan,

41
meskipun saya tidak sedar, bahwa gerak rasa itu timbul
dalam sanubari saya. Entahlah, apa keterangan saya ini
dapat dipahamkan orang.
Kejadian itu seperti berikut: Saya dengarkan,
sampai sejam lamanya, pertengkaran antara seorang
perempuan muliawan dan tinggi budinya dengan seorang
makhluk yang rusak batinnya, yang dungu, seorang
pahlawan salon yang berjiwa hina, menjilat. “Bagaimana
mungkin,” tanya saya ke hati sendiri dengan terharu,
perempuan yang lembut hati, pendiam dan sederhana itu
mempunyai pengetahuan sebanyak itu untuk
mematahkan tiap-tiap dalil laki-laki yang sedang
membujuknya? Seorang pengarang yang terpandai
melukiskan pelbagai kelakuan manusia dalam
pergaulannya, belum akan dapat membuat tamasya
serupa itu, yang penuh ejekan, diramaikan oleh gelak
terbahak-bahak yang ke luar dari jiwa sederhana, dan
penghinaan suci dari kebajikan terhadap kenakalan.
Alangkah gilang gemilang kalimat dan kata-katanya,
terang serta tegas, dan alangkah benar dan kuat
pendapat-pendapat yang diucapkannya! Tetapi semua
perkataannya sederhana seperti biasanya dari mulut
gadis! Keterangan Yefomowitsy yang mengatakan cinta
kepadanya, gerakan badan dan usul-usul laki-laki itu
ditertawakan dan diejekkannya. Yefomowitsy
sebenarnya datang sekali ini akan memaksa perempuan
itu menyerahkan diri kepadanya. Tetapi belum lama
berdebat, ia bingung, tidak disangkanya bujukannya
akan dicemoohkan, dan permintaannya akan ditolak.
Pada mulanya saya sangka, penolakan isteri saya
itu satu kegenitan belaka, “kegenitan seorang makhluk
yang rusak pekertinya, yang gemar berkelakar, supaya

42
orang semakin berahi melihatnya.” Tetapi, …kebenaran
memancar-mancar seperti sinar matahari, dan tidak
tersangsikan lagi. Hanya karena benci kepada saya, yang
berkobar-kobar di dalam dadanya, maka perempuan
yang tidak berpengalaman ini mengambil keputusan
akan mengadakan perhubungan baru dengan laki-laki
lain. Tetapi baru saja dilihatnya kenyataan yang mentah,
matanya segera terbuka. Dia mau berbuat begini, semata-
mata hendak menyakitkan hati saya dengan salah satu
cara; tetapi baru saja dilihatnya kekotoran laki-laki itu,
dia tidak kuat menderitanya lagi. Bagaimana
Yefomowitsy, atau makhluk halus apa saja dari
kayangan, dapat memperdayakan seorang dewi tidak
bersalah, yang berjiwa murni, bercita-cita tinggi dalam
sanubarinya?
Sebaliknya, kelakuan laki-laki itu hanya
membangkitkan nafsunya hendak mengejekkan.
Kebencian yang disimpannya selama ini
dihamburkannya deras-deras ke luar dan kegusaran
melahirkan kepandaiannya menyindir. Saya ulangi lagi:
durjana itu akhirnya kehilangan akal, ia duduk dengan
geram dan muka bengis, dan hampir tidak menjawab,
hingga timbul kekuatiran saya, kalau karena hendak
membalas dendam, isteri saya mungkin disiksanya. Saya
ulangi sekali lagi, saya (untuk kehormatan saya), hampir
tidak tercengang mendengarkan pertengkaran ini. Saya
merasa, bahwa saya akan mengalami apa-apa yang
agaknya sudah saya kenal. Seolah-olah saya pergi ke luar
akan menjumpai kenalan lama. Tatkala saya berangkat
dari rumah tadi, tidak ada tuduhan-tuduhan cemburu
yang saya percayai, walaupun saya memasukkan pistol
ke dalam kantung celana saya. Inilah kebenaran

43
seluruhnya! Akan dapatkah saya membuat tanggapan
lain dari itu tentang isteri saya? Jika tidak begitu,
mengapa saya cinta kepadanya, mengapa saya
menghormatinya, mengapa saya kawin dengan dia? O,
sudah tentu saya mengerti betul ketika itu, betapa dia
benci kepada saya, saya mengerti betul, bahwa memang
budinya belum rusak lagi.
Saya habiskan pertengkaran itu, dengan segera
membuka pintu dan masuk ke kamar itu.
Yefomowitsy terlonjak berdiri, saya ambil tangan
isteri saya, dan saya minta dia ikut pulang. Kebingungan
Yefomowitsy lenyap, ia tertawa keras-keras dan
berteriak, “O jika begitu saya tidak berani melanggar
hak-hak yang suci dari seorang suami. Bawalah dia
pulang, bawalah segera pulang. Dan tuan tahu,”
teriaknya dari belakang, “meskipun seorang yang sopan
tentu akan main anggar dengan tuan karena menghormati
Nyonya, saya persilahkan tuan membawanya lagi. Jika
tuan cukup berani…”
“Adakah engkau dengar apa katanya?” tanya
saya kepada isteri saya, sambil dia saya suruh berhenti
sejenak di ambang pintu.
Dalam perjalanan pulang kami tidak berkata
sepatah pun. Saya pimpin tangannya, dia tidak melawan.
Sebaliknya, hatinya sangat terharu, sampai di rumah pun
belum juga tenang. Dia terus duduk di sebelah kursi, dan
lama menatap saya. Mukanya luar biasa pucatnya,
bibirnya digulungnya untuk mengejekkan saya, tetapi
pada air mukanya kelihatan cahaya kemenangan, sinar
matanya membayangkan kebanggaan, dan dia yakin
benar, dia akan segera saya tembak dengan pistol. Pistol
itu saya ambil dari kantong celana saya, dan saya

44
letakkan di meja! Sebentar dia melihat kepada saya, dan
kemudian kepada pistol, sudah itu kepada saya, dengan
matanya yang mengandung pertanyaan. (Maukah tuan
mengingat keadaan yang berikut ini? Pistol itu sudah
dikenalnya. Saya beli, sewaktu saya membuka
perusahaan gadai, dan selalu berisi. Ketika saya membeli
perusahaan itu, saya tidak mau memelihara anjing besar-
besar untuk menjaganya, juga tidak akan memelihara
bujang kuat, seperti yang dilakukan Mozer. Jika
langganan datang, koki saya yang membukakan pintu.
Tetapi orang yang memegang rumah gadai harus
mempunyai alat untuk pembela diri. Sebab itulah maka
di dekat saya selalu sedia sebuah pistol berisi. Sejak dia
mulai menginjak rumah saya pada hari pertama, besar
betul minatnya kepada pistol itu. Saya terangkan tehnik
pistol itu selengkapnya, serta saya ajarkan pula, betapa
cara orang memakainya dan saya harapkan pula, dia
suatu kali akan menembak tepat mengenai sasarannya.
Hal ikhwal itu terutama jangan tuan lupakan!)
Dengan tidak mempedulikan pandangnya yang
sedang cemas itu, separo berpakaian saya pergi
berbaring di ranjang. Saya sangat letih, ketika itu sudah
hampir pukul sebelas. Dia masih duduk juga di kursi itu,
sejam lamanya, diam tidak bergerak-gerak. Kemudian
lampu dipadamkannya dan dengan tidak menanggalkan
pakaiannya, dia pergi tidur di dipan dekat dinding. Baru
sekali inilah dia tidak tidur di samping saya. Maukah
tuan-tuan memperhatikan kejadian ini?

Kenang-kenangan yang Mengerikan

Kini kenang-kenangan yang mengerikan itu…

45
Pagi saya bangun. Agaknya waktu hampir pukul
delapan, sebab kamar sudah terang. Saya terbangun dan
segera sadar, dan langsung membuka mata. Isteri saya
berdiri dekat meja, sedang memegang pistol itu. Dia
tidak melihat, bahwa saya sudah bangun dan menengok
kepadanya. Tetapi sekonyong-konyong saya lihat dia
datang mendekati saya dengan pistol di tangannya.
Dengan cepat saya tutup mata saya. Saya berbuat seolah-
olah saya sedang tidur.
Dia mendekati ranjang saya, membungkukkan
badannya. Semuanya saya dengar, pada saat itu seluruh
kamar bukan main sunyinya, tetapi kesunyian itu
kedengaran oleh saya. Badan saya kaku, terasa suatu
gerak dingin di sekujur badan saya, dan dengan hasrat
yang tak tertahan, malahan berlawanan dengan kemauan,
saya buka mata saya. Dia melihat ke mata saya dengan
tajamnya, dan mulut pistol itu sudah di pelipis saya.
Pandang kami bertemu. Tetapi tidak lebih dari sekejap
mata. Kemudian dengan segenap kekuatan yang ada
dalam diri saya, saya pejamkan lagi mata saya. Pada saat
itu dengan segala kekuatan, saya mencoba tidak akan
bergerak-gerak, dan tidak akan membuka mata lagi,
walaupun apa juga bakal terjadi atas diri saya.
Kadang-kadang terjadi, seseorang yang lagi tidur
nyenyak sekali, tiba-tiba tersentak dan membukakan
matanya, malahan beberapa detik mengangkatkan
kepalanya, dan menengok ke sekitarnya, kemudian
segera pula lenyap kesadarannya, dan menjatuhkan
kepalanya lagi ke bantal, serta tertidur lagi, dengan tidak
mengingat apa yang terjadi.
Tatkala pandang kami bertemu dan saya merasa
mulut pistol itu di pelipis saya, tatkala saya memejamkan

46
mata dengan tidak bergerak sedikit pun, seolah-olah saya
sedang nyenyk sekali tidur, dia tentu menyangka, bahwa
saya betul-betul tidur, dan semua yang saya lihat tidak
saya sadari; apalagi dia tentu percaya, bahwa orang yang
sudah melihat, apa yang saya lihat tadi, tidak akan
mungkin berani memejamkan matanya lagi, pada saat
yang berbahaya itu.
Ya, tidak boleh jadi. Tetapi dia tentu dapat
menerka yang sebenarnya, dan pikiran ini pun
sekonyong-konyong terpancar pada saat itu dalam kepala
saya.
O, takkan terperikan badai pikiran dan perasaan
yang menghantu dalam kepala saya, dalam waktu yang
kurang dari sedetik, yang semuanya disebabkan oleh
elektrisitet dalam pikiran manusia.
Dalam hal ini (demikianlah terasa oleh saya), jika
dia tahu bahwa saya tidak tidur nyenyak, jika dapat
diterkanya apa yang bergolak dalam pikiran saya,
tentulah tidak sampai hatinya membunuh saya, melihat
kerelaan saya menghadapi mati, dan sampai sekarang
pun tangannya akan gemetar.
Ketetapan hatinya tadi dipatahkan oleh kesan
yang baru diperolehnya. Orang ada berkata, bahwa pada
saat genting itu, ia merasa berdiri di puncak bukit, dan
diseret ke bawah, ke dalam sebuah jurang yang dalam.
Saya percaya, bahwa banyak orang membunuh diri atau
membunuh orang lain, hanya karena tangan orang
tersebut sudah memegang pistol. Dan jurang dalam
itulah, atau tebing yang empat puluh lima derajat
miringnya itulah, yang menjerumuskan orang ke bawah,
dan seakan-akan ada pula suatu surat walaupun tuan
tidak mengerti yang mengajak Tuan supaya menarik

47
candit pistol itu. Tapi keinsafan bahwa saya melihat
semuanya, bahwa saya sambil berdiam diri tawakal
menerima mati ditembaknya, inilah yang memberinya
kekuatan untuk berdiri di tebing curam itu.
Kamar itu terus sunyi, senyap sekali, dan
sekonyong-konyong terasa oleh pelipis saya, besi mulut
pistol yang dingin itu. Tuan akan bertanya barangkali,
apakah saya masih selalu mengharap, akan ada sesuatu
hal yang menolong saya? Saya katakan terus terang
kepada tuan, seolah-olah saya berbicara dengan Tuhan,
bahwa harapan saya tidak ada sama sekali, kecuali satu
harapan di tengah seratus bahaya maut. Mengapa saya
mau menerima mati secara itu? Saya sendiri bertanya,
apakah harganya lagi hidup ini bagi saya, sesudah nona
pujaan saya ini membidikkan pistolnya kepada saya?
Tambahan lagi saya tahu, dengan segenap pengetahuan
yang ada pada saya, bahwa pada detik itu telah terjadi
perjuangan hebat, mati-matian, yang memutuskan setiap
harapan, perjuangan melawan si pengecut dulu yang
karena kurang berani diusir oleh teman-temannya dari
resimen. Saya tahu, dan dia tahu pula, jika dia menerka
yang sebenarnya, yaitu saya tidak tidur.
Barangkali semuanya itu tidak begitu, barangkali
pada waktu tersebut persangkaan saya juga tidak begitu,
tetapi semua hal itu menurut logika tentu begitu,
walaupun tidak timbul persangkaan demikian dalam
pikiran saya, sebab selanjutnya tidak lain yang saya
lakukan, hanyalah saya memikirkan tiap-tiap jam dari
jalan kehidupan saya.
Tuan agaknya akan bertanya lagi mengapa tidak
saya cegah dia melakukan kejahatan? Ya, saya sendiri
belakangan lebih dari seribu kali menghadapkan

48
pertanyaan itu ke hati saya, tiap kali saya teringat saat
itu, kalau saya rasakan getaran dingin menjalar di
punggung saya. Tetapi waktu itu pikiran saya sangat
gelap dan putus asa sekali, saya binasa, ya, saya sendiri
binasa. Bagaimanakah saya akan bangun seperti seorang
juru selamat, sedang saya sendiri di mulut kebinasaan?
Dan bagaimanakah tuan tahu, bahwa saya ingin
menolong orang lain ketika itu? Siapakah yang sanggup
mengetahui, proses apa yang berlaku dalam jiwa saya
pada detik itu?
Tetapi keinsafan saya mulai bergerak-gerak,
detik-detik krisis meluncur seperti biasa, kamar itu sunyi
sekali, dan isteri saya masih selalu membungkuk di
dekat saya. Sekonyong-konyong bergetarlah suatu sinar
harapan dalam diri saya. Dengan cepat saya buka mata
saya. Isteri saya tidak di kamar itu lagi. Saya menang.
Dia kalah selama-lamanya.
Saya bangun, terus pergi ke kamar lain, akan
minum dari samowar yang selalu terletak di kamar
depan. Sebagaimana biasanya isteri saya sudah
menuangkan teh. Dengan tidak berkata apa-apa saya
duduk dekat meja, saya ambil teh segelas yang
disuguhkannya. Kira-kira lima menit kemudian saya
memandang kepadanya. Dia sangat pucat, lebih pucat
daripada kemarin, dan dia memandang pula kepada saya.
Dan sekonyong-konyong tersenyum letihlah bibirnya
yang tak berdarah lagi, dan pada matanya terbayang
pertanyaan bimbang. Jadi dia masih selalu sangsi, dia
masih bertanya ke dirinya sendiri, tahukah suami saya
atau tidak? Dilihat suami sayakah semua yang terjadi
tadi ataukah tidak dilihatnya? Dengan tidak peduli saya
palingkan mata saya dari padanya.

49
Sesudah sarapan, pegadaian saya tutup dan pergi
ke pasar, di sana saya beli sebuah ranjang besi dan
sebuah sampiran. Sekembalinya di rumah ranjang dan
sampiran itu saya suruh pasang di depan, dalam ruangan
besar. Ranjang ini saya beli untuknya, tetapi saya tidak
berkata apa-apa kepadanya. Walau saya tidak
mengucapkan kata sepatahpun, melihat ranjang itu dia
mengerti bahwa saya tadi “melihat dan mengetahui
semuanya.” Tidak usah dia sangsi lagi.
Malam itu, sebelum tidur saya taruh lagi pistol
itu, seperti biasa saya lakukan, di atas meja. Dan larut
malam, sambil berdiam diri dan bermuram durja dia
pergi berbaring ke ranjangnya yang baru: tali perkawinan
kami telah putus, dia mendapat pukulan keras, tetapi
tidak mendapat ampun. Malam itu dia mulai mengigau,
dan keesokannya diserang demam pula. Enam minggu
lamanya dia sakit, tidak bangkit-bangkit dari ranjangnya.

BAGIAN KEDUA

Mimpi yang Membanggakan Hati

Lukerya memberitahukan kepada saya sebentar,


bahwa dia tidak betah tinggal lebih lama di rumah saya,

50
dan setelah nyonya selesai dimakamkan, dia akan segera
pergi dari sini.
Saya sudah lima menit berlutut sembahyang,
sebenarnya saya mau sejam lamnya sembahyang, tetapi
saya selalu berpikir, dan saya sebagai dipaksa berpikir,
dan di dalam kepala saya yang sakit tidak lain yang ada
hanyalah pikiran yang sakit; apakah yang mesti saya
sembahyangkan—tentu akan jadi dosa juga. Sungguh
aneh, saya tidak ingin tidur, ketika dilanggar oleh
dukacita besar, yang terlalu besar ini; sedang orang yang
dilanggar kesedihan, biasanya pada guncangan pertama
ingin tidur. Kata orang, malahan orang yang besoknya
akan digantung, pada malam penghabisannya dia tidur
nyenyak sekali. Tidur itu juga perlu, ya, sudah
sewajarnya, sebab jika tidak begitu, kekuatannya tidak
akan sanggup menahan. Saya pergi berbaring di dipan,
tetapi saya tidak juga tertidur…
Selama dia sakit enam minggu, siang dan malam
dia kami rawat: saya, Lukerya dan seorang jururawat
berpengalaman yang saya sewa dari rumah sakit. Saya
tidak sayang mengeluarkan uang, malahan saya ingin
membelanjakan uang banyak-banyak asal untuknya.
Saya panggil dokter Skhoder, dan setiap kali datang saya
bayar sepuluh rubel. Tatkala dia siuman lagi, saya
berikhtiar sedapat-dapatnya supaya jangan terlalu kerap
melihatnya. Tetapi, sebenarnya, apa perlunya hal itu saya
ceritakan? Tatkala dia sudah kuat berjalan lagi, dengan
diam dan tidak berkata apa-apa, dia masuk ke kamar
saya dan duduk di meja terpisah, yang pada waktu itu
sengaja saya beli untuknya.
Benar, kami tidak berbicara sama sekali, artinya,
dalam waktu yang akhir kami mulai juga bercakap-

51
cakap, tetapi tentang hal-ikhwal sehari-hari yang tidak
penting. Saya sudah tentu berdaya upaya sekerasnya
supaya berbicara sedikit sekali, tetapi saya lihat, dia juga
girang apabila dia tidak usah mengatakan yang tidak
perlu. Kelakuannya ini memang sewajarnya, saya
mengerti. “Dia sangat turkucak, dia baru menderita
kekalahan besar,” begitulah pikir saya, “sudah tentu saya
harus memberinya kelapangan untuk melupakan, dan
membiasakan dirinya kepada keadaan baru.”
Demikianlah kami berdiam diri, tetapi setiap saat
saya mengadakan persediaan untuk masa datang. Saya
pikir, dia juga bersedia-sedia untuk masa datang, dan
soal inilah yang selalu memusingkan saya; saya ingin
tahu, apakah yang dipikirkannya pada saat-saat itu.
Sekali lagi saya katakan, bahwa tidak seorang
pun dapat menggambarkan dalam pikirannya, betapa
pedihnya penderitaan saya, sewaktu duduk merintih-
rintih di dekatnya selama dia sakit.
Tetapi begitulah lunak rintihan itu, hingga hanya
saya sendiri yang mendengarnya, malahan saya tahan
bila Lukerya datang. Saya tidak dapat membayangkan
dalam pikiran saya, malahan semenit pun saya tidak
percaya, bahwa dia akan meninggal dunia, sebelum dia
mendengarkan semuanya. Tatkala bahaya sudah
tersingkir, dan dia mulai sembuh, hati saya pun—terang
teringat oleh saya—mulai reda. Malahan lebih lagi. Saya
mengambil keputusan akan menangguhkan masa datang
kami sejauh-jauhnya, dan untuk sementara semuanya
akan dibiarkan seperti sediakala. Ya, pada ketika itu
terjadilah sesuatu hal yang ganjil dengan diri saya—
tidak dapat oleh saya perkatakan lain untuk
pernyatakannya—saya merasa mendapat kejayaan, dan

52
keinsafan sudah mendapat kemenangan ini saja, sudah
sangat memuaskan saya.
Demikianlah terus-menerus selama musim
dingin. O, saya sangat puas, saya belum pernah sepuas
ini, dan musim dingin ini boleh dikatakan musim
kepuasan bagi saya.
Tuan tahu, dalam hidup saya ada sesuatu keadaan
yang menyengsarakan, datang dari luar, yang sampai
waktu terjadi malapetaka dengan isteri saya, setiap hari
dan setiap jam menindas saya. Yang saya maksud ialah
kesialan, kehilangan nama baik, dan harus meminta
berhenti dari resimen. Jika dinyatakan dengan dua
perkataan saja, saya sudah menderita “kekejaman
sewenang-wenang.”
Benar, bahwa teman-teman saya tidak suka
kepada saya, karena perangai-perangai saya yang tengik,
ya barangkali juga karena sifat yang patut diejekkan;
walaupun kerapkali terjadi, apa yang sangat dihargakan
oleh seseorang, yang dipandangnya sangat suci, oleh
kebanyakan temannya dianggap layak menjadi bahan
ejekkan. O, belum pernah orang suka kepada saya,
malahan di sekolah pun murid-murid teman saya, selalu
menjauhi saya. Ya, belum pernah orang cinta kepada
saya. Bahkan Lukerya tidak tertarik hatinya kepada saya.
Bencana yang menimpa saya dalam resimen itu,
walaupun suatu suatu akibat dari antipati umum terhadap
saya, pastilah kejadian itu berlaku karena kebetulan. Dan
ini perlu saya katakan, karena tidak ada sesuatu yang
lebih menyakitkan hati dan lebih tak terderitakan
daripada dicelakakan oleh sesuatu yang kebetulan, oleh
sesuatu yang mungkin terjadi dan mungkin tidak terjadi,
oleh sesuatu pertemuan antara dua kejadian yang

53
mencelakakan, yang dapat melancarkan sesukanya
seperti awan di langit.
Dan ini, sangat merendahkan bagi seorang
makhluk yang pintar. Peristiwa itu berlaku seperti ini:
Suatu malam saya menonton di gedung opera.
Sewaktu beristirahat antara dua babak, saya pergi ke
bupet. Sekonyong-konyong datang pula A, seorang opsir
kavaleri, yang sedang bercakap keras-keras dengan dua
orang huzar yang lain—hingga kedengaran oleh semua
opsir dan publik yang ada di situ—ia mengatakan,
bahwa kapiten resimen kami, Bezuntsew namanya,
sebentar ini melakukan suatu perbuatan aib di koridor,
dan “bahwa dia barangkali mabuk.” Percakapannya
terputus, sebenarnya ia terkhilaf dalam hal ini. Sebab
kapitan Bezuntsew tidak mabuk, dan juga tidak ada
keaiban yang terjadi. Huzar yang tiga tadi mulai
mempercakapkan hal lain dan habislah perkara itu.
Tetapi keesokan harinya tersiarlah cerita peristiwa
malam tadi dalam resimen kami, dan orang segera
menyalahkan saya, karena dari resimen sayalah satu-
satunya yang berdiri di dekat bupet pada ketika huzar A.
menghina kapitan. Saya disalahkan karena abai pergi
mendapatkan opsir huzar itu, dan mencegahnya
menghina kapitan kami selanjutnya.
Mengapa saya mesti berbuat begitu? Kalau ia
benci kepada Bezuntsew, itu urusannya sendiri; mengapa
saya akan campur tangan? Tetapi semua opsir
beranggapan bahwa ini bukan urusan partikulir, tetapi
langsung mengenai resimen; dan karena saya satu-
satunya opsir dari resimen kami berdiri dekat bupet, saya
telah menunjukkan kepada opsir-opsir yang hadir di
sana, dan kepada publik, bahwa ada dalam resimen kami

54
opsir yang tidak mengacuhkan kehormatan teman-teman
dan resimennya.
Saya tidak setuju dengan anggapan begitu.
Mereka mengatakan kepada saya, bahwa masih ada
waktu bagi saya—walaupun sudah terlambat—untuk
memperbaiki kesalahan saya, dengan cara resmi
memanggil opsir A. untuk bertanggungjawab atas
penghinaannya. Tetapi saya tidak mau berbuat begitu,
dan saya begitu gusar, sampai cara saya menolak agak
kasar terhadap mereka. Tidak lama kemudian saya minta
berhenti.
Begitulah sejarahnya. Resimen itu lalu saya
tinggalkan dengan sikap gagah, walaupun hati saya
hancur. Kemauan dan jiwa saya pecah sebagai kaca jatuh
ke batu. Kecelakaan yang menimpa saya ditambah lagi
oleh kelakuan ipar saya yang menghabiskan harta orang
tua saya di Moskow, tandas sama sekali hingga saya
melarat, tidak punya uang lagi. Sebenarnya saya dapat
bekerja pada jawatan kereta api, tetapi saya enggan
menukar uniform saya yang gilang gemilang dengan
pakaian preman. Jika saya akan celaka, hendaklah celaka
sebesar-besarnya; jika saya mesti hina, hendaklah hina
sekeji-kejinya; jika saya mesti jatuh hendaklah jatuh ke
jurang yang sedalam-dalamnya, makin hebat makin baik,
jangan tanggung-tanggung demikianlah keinginan saya.
Begitulah saya tiga tahun lamanya bergelandangan di
jalan-jalan raya, melarat, hina dan berbintang gelap,
malahan saya sampai tinggal di rumah penampungan
Wyazemski.
Setahun setengah kemudian meninggal dunialah
di Moskow seorang perempuan tua yang kaya, bibi
angkat saya, yang dengan sekonyong-konyong dalam

55
surat wasiatnya meninggalkan uang tiga ribu rubel untuk
saya. Saya lalu berpikir sebentar dan kemudian saya
mengambil tindakan yang tetap. Saya buka sebuah
pegadaian, saya tidak usah lagi meminta maaf atau uang
kepada orang lain; saya akan hidup berumah sendiri dan
memulai hidup baru, jauh dari kenang-kenangan yang
lama; itulah niat saya. Tetapi meskipun begitu, tiap jam,
tiap menit teringat oleh saya masa dahulu yang gelap,
dan saya selalu disiksa oleh perbuatan yang
mencemarkan kehormatan dan nama baik saya selama-
lamanya.
Pada waktu itu saya kawin—kebetulankah atau
tidak—tidak dapat saya pastikan. Tetapi ketika dia saya
bimbing masuk rumah saya, saya sangka, saya
membawa seorang sahabat, yang betul-betul saya
perlukan pada waktu itu. Tetapi kemudian ternyata oleh
saya, bahwa pertama-tama saya harus mendidiknya dulu
dan menyiapkan, agar nanti cakap menjadi sahabat saya,
dan saya harus mengalahkan dia dulu. Sebab,
bagaimanakah saya akan dapat menguraikan semuanya
kepada gadis berumur enam belas tahun ini, yang penuh
dengan purbasangka? Bagaimanakah saya, misalnya
dapat membuktikan kepadanya, bahwa saya bukan
seorang pengecut, jika tidak terjadi peristiwa dengan
pistol itu; dan bahwa tuduhan teman-teman saya dalam
resimen dulu, yang mengatkan saya pengecut, tidak
beralasan sama sekali?
Tetapi kecelakaan itu terjadi tepat pada
waktunya. Dengan sikap tidak mau bergerak, tatkala
saya rasa mulut pistol sudah di pelipis, saya sekaligus
menghapuskan kegelapan masa yang lampau seluruhnya,
dan walaupun orang lain tidak tahu, tetpi dia sedikitnya

56
tentu tahu. Dan ini sudah cukup bagi saya, sebab dia bagi
saya sendiri sudah sebagai dunia ini seluruhnya, dialah
yang selalu saya mimpikan dan dialah harapan sepenuh-
penuhnya di zaman depan.
Dialah satu-satunya manusia, yang saya didik
untuk saya sendiri, saya tidak perlu kepada orang lain,
dan sekarang dia tahu semuanya, dia sedikitnya
mendapat keyakinan, bahwa curang benar tindakannya,
yang mengadakan komplot dengan musuh-musuh saya.
Pikiran ini sangat nikmat bagi saya.
Pada pandangannya saya bukanlah lagi seorang
manusia yang kurang harganya, setinggi-tingginya saya
dipandangnya sebagai seorang manusia aneh, dan pikiran
ini, sangat menyenangkan saya, sebagai balasan atas
kecelakaan yang menimpa saya. Menjadi orang aneh
bukannya satu keaiban, malahan sebaliknya, menjadi
sifat yang kadang-kadang menarik hati perempuan.
Pendeknya: dengan sengaja saya tangguhkan lagi waktu
untuk menyelesaikan perkara yang sudah terjadi itu, dan
untuk sementara cukup waktu beristirahat bagi saya.
Banyaklah khayal dan bahan yang boleh saya pakai
untuk menggembirakan angan-angan saya. Di sinilah
letaknya kelicikan saya, yaitu saya seorang pengelamun,
dan bahan-bahan sudah cukup, untuk dilamunkan,
sedang isteri saya biarlah menunggu dulu.
Demikianlah keadaan kami selama musim
dingin, dengan pengharapan akan terjadi sesuatu
keajaiban. Saya senang sekali mengerling kepadanya,
kalau dia duduk di dekat meja, sebagaimana biasa. Dia
selalu asyik menjahit, atau menambal bajunya, dan
malam kadang-kadang dibacanya sebuah buku, yang
diambilnya dari lemari saya.

57
Bila dilihatnya buku-buku di lemari itu, tentu dia
kagum, betapa pandainya saya memilih buku, betapa
tinggi citarasa saya. Dia hampir tidak pernah lagi pergi
ke luar. Setiap hari sebelum matahari terbenam kami
pergi berjalan-jalan sebentar, untuk menggerakkan
badan, tetapi selama berjalan-jalan itu kami berdiam diri
seperti dulu. Saya berdaya-upaya seberapa dapat berlaku
seolah-olah kami tidak berdiam diri, tetapi sepakat,
walaupun dengan tidak mengucapkan sepatah kata pun;
kami seolah-olah tidak mau mengeluarkan kata-kata
yang tidak berfaedah.
Seperti saya ceritakan tadi, saya berlaku begini
dengan sengaja, dan menurut pendapat saya, perlu untuk
“memberinya waktu.” Sungguh aneh, tidak kelihatan
oleh saya, malahan sampai ke akhir musim dingin,
bahwa sementara saya suka melirik kepadanya, selama
waktu itu dia tidak pernah melayangkan pandangnya
kepada saya. Saya sangka, dia malu kepada saya. Dan
lagi sesudah sakit itu, dia menjadi sangat pemalu, sangat
lembut hati, dan sangat lemah badannya. “Ya, barangkali
lebih baik engkau tunggu dulu,” kata saya dalam kepala,
sendiri, “dia sekonyong-konyong akan datang sendiri
kepadamu.”
Pikiran begini terus menerus mengenakan saya.
Perlu saya tambah lagi dengan keterangan lain, bahwa
yang kadang-kadang dengan sengaja menghasut-hasut
diri sendiri, hingga jiwa dan kalbu saya tinggi dan halus
sekali, sampai akhirnya saya merasa kehormatan saya
dilanggarnya. Perasaan begini lama juga, tetapi tidaklah
matang sampai menjadi kebencian, dan tidaklah berurat
dalam kalbu saya. Saya merasa sendiri, bahwa hal itu
hanya semacam permainan belaka.

58
Pada waktu itu, —meskipun tali perkawinan
kami sudah putus dan saya membeli ranjang dan
sampiran—saya belum pernah, dan tidak akan pernah
memandangnya sebagai penjahat. Ini bukan karena
kejahatannya saya pandang enteng, tetapi karena saya
menyimpan maksud akan memberinya ampun sepenuh-
penuhnya, saya hendak memaafkannya sejak hari
pertama, ya malahan sebelum saya pergi membeli
ranjang. Pendek kata, pada diri saya, inilah suatu
keanehan, saya berpendirian keras dalam kesusilaan.
Sebaliknya, pada pandangan saya, dia jatuh seperti kena
pukul, terhina dan sangat sedih, sehingga saya kerapkali
merasa kasihan melihat kemalangannya, hingga saya ikut
pula bersedih hati, walaupun sebaliknya saya merasa
beruntung melihat dia dalam kemalangan. Pikiran yang
menunjukkan, bahwa kami tidak dapat disamakan, yang
sangat menarik saya…
Selama musim dingin saya sengaja melakukan
perbuatan baik. Dua orang penggadai saya bebaskan dari
utangnya, dan seorang perempuan tua saya beri uang,
dengan tidak usah menggadaikan barangnya. Perbuatan
baik ini tidak saya ceritakan kepada isteri saya, dan saya
berbuat baik begitu bukan supaya diketahuinya; tetapi
perempuan malang yang saya tolong itu datang lagi
untuk mengucapkan terima kasih, ya malahan dia hendak
berlutut di depan saya. Dengan kejadian ini, tahu juga
isteri saya, dan saya mendapat kesan, bahwa pertolongan
saya kepada nenek malang itu memuaskan hatinya.
Musim semi sudah dekat, kami sudah di
pertengahan April; jendela-jendela untuk musim dingin
sudah disingkirkan, dan matahari mulai memancarkan
sinarnya yang terang benderang ke dalam kamar kami

59
yang sunyi. Tetapi masih ada juga selubung di depan
mata saya, dan inilah yang masih membutakan rohani
saya. Selubung celaka yang mengerikan! Apakah
sebabnya, maka selubung itu sekonyong-konyong jatuh,
hingga saya melihat semua dan mengerti semua? Apakah
ini satu kebetulan, atau memang sudah datang harinya
cahaya matahari akan menembusi jiwa saya yang buntu,
untuk memperterang pikiran dan memberi jawaban atas
teka-teki yang selalu menyiksa saya?
Bukan, ini bukan pikiran yang terang, bukan
jawab teka teki, tetapi kini sehelai senar, yang kaku
selama ini sekonyong-konyong mulai menggetar dan
memukul-mukul, mulai hidup lagi, hingga pecah jiwa
saya yang buntu beku, dan kena pukullah ketinggian hati
yang saya pusakai dari setan. Saya terkejut dan terlonjak,
betul-betul terlonjak dari tempat duduk saya. Ya,
sekonyong-konyong terjadinya, tidak saya sangka
sedikitpun. Ini terjadi pada suatu petang, hampir pukul
lima, sesudah makan siang…

Sekonyong-konyong Cadar Jatuh

Sepatah kata sebelum peristiwa itu. Telah sebulan


saya perhatikan, isteri saya itu selalu duduk termenung
aneh sekali; dan bukan saja berdiam diri, tetapi
memikirkan masalah yang dalam sekali. Untunglah lekas
menjadi sasaran perhatian saya. Sekali dia duduk

60
menekur menghadapi jahitannya, dan tidak tahu bahwa
saya memandanginya. Badannya semakin kurus dan
kecil kelihatannya, mukanya pucat, bibirnya tidak
berdarah; semua itu sangat mengharukan saya.
Sudah lama pula saya dengar dia batuk kering,
terutama malam. Mendengar dia batuk kering, saya
segera berdiri, dan tidak berkata apa-apa kepadanya saya
pergi memanggil dokter Skhroder.
Keesokan harinya baru dokter datang. Isteri saya
sangat tercengang: sebentar dia melihat kepada
Skhroder, kemudian menengok kepada saya.
“Saya sehat, sungguh!” katanya dengan senyum
yang mengandung arti.
Skhroder, lalu memeriksa badan isteri saya, tetapi
tidak begitu teliti (para dokter kerapkali kurang hati-hati
karena keangkuhannya), dan dikatakannya kepada saya
di kamar belakang, bahwa batuknya ini akibat penyakit
dulu, dan tidak begitu berbahaya; dan jika tidak mungkin
isteri saya pergi ke laut selama musim semi, baiklah dia
tinggal beristirahat di udik. Pendek kata, dokter
mengatakan penyakit itu tidak lain dari kelemahan atau
yang serupa dengan itu.
Tatkala dokter sudah pergi, isteri saya yang
tercengang melihat saya, mengulang perkataannya lagi,
“Saya sungguh sehat, sama sekali sehat.”
Tetapi ketika dia mengucapkan perkataannya ini,
mukanya sekonyong-konyong merah padam. Ini nyata
disebabkan oleh malu. Ya, karena dia malu. O, sekarang
saya mengerti, dia merasa malu, karena saya masih
suaminya yang memeliharanya, dan semua apa untuk
kebaikannya saya lakukan, seolah-olah saya masih

61
belum mengerti, dan saya sangka mukanya merah karena
kesayuan. (Cadar itu masih di depan mata saya).
Dan demikianlah halnya sebulan kemudian, pada
suatu petang yang cerah dalam bulan April, kira-kira
pukul lima saya sedang duduk membuat surat-surat
tagihan dekat kassa saya. Tiba-tiba saya dengar, dia yang
sedang duduk di kamar kami, di belakang menghadapi
jahitannya, mulai bernyanyi… lunak dan perlahan-lahan
sekali. Nyanyian yang tidak disangka-sangka ini
membingungkan saya, dan mendatangkan kesan dalam
kalbu saya, yang sampai saat ini tidak dapat saya kupas.
Dulu hampir belum pernah saya mendengar dia
bernyanyi, kecuali pada hari-hari pertama, sesudah dia
saya bawa tinggal di rumah saya, ketika kami masih
bersukaria, dan ketika kami masih belajar membidik
dengan pistol.
Pada waktu itu suaranya masih keras dan
nyaring, dan walaupun nyanyiannya tidak sangat merdu,
kerongkongannya luar biasa sehat dan menyenangkan.
Tetapi nyanyian sekali ini sangat lemah, o, walaupun
tidak begitu memilukan (dia menyanyikan salah satu
romansa), kedengarannya seolah-olah ada sesuatu yang
meletus atau pecah dalam suaranya, seolah-olah
suaranya yang kecil itu tidak dapat diperbaiki lagi,
seolah-olah lagu itu sendiri yang sakit. Dia bernyanyi
dengan suara digumam, tetapi sewaktu dia hendak
meninggikan suaranya, suaranya tersekat, ah, suara yang
malang, sangat mengibakan sewaktu terhenti.
Dia batuk sebentar, dan kemudian bersenandung
perlahan-lahan, lunak sekali hingga hampir tidak
kedengaran.

62
Agaknya orang akan menertawakan kegugupan
saya, tetapi tidak seorang juga yang akan mengerti,
mengapa saya segugup itu. Bukan, waktu itu saya belum
menaruh kasihan kepadanya, ada sesuatu hal lain yang
menggugupkan saya.
Pada awalnya, pendeknya pada saat-saat
permulaan dalam diri saya, datanglah kegugupan, dan
kemudian keheranan. Ya, keheranan yang menakutkan,
ganjil, sakit, bahkan keheranan yang bercampur dengan
dendam, “dia bernyanyi, dan sewaktu saya ada!”
Lupakah dia kepada saya sama sekali?
Saya nanar benar, tidak keruan dan kacau pikiran
saya sewaktu duduk mendengarkan dia bernyanyi itu.
Saya tiba-tiba berdiri, mengambil topi, lalu pergi; saya
sendiri tidak tahu yang saya lakukan. Sedikit pun saya
tidak tahu, mengapa saya lari dan ke mana akan pergi.
Lukerya mengunjukkan jas saya.
“Dia bernyanyi, he?” tanya saya tidak peduli
kepada Lukerya. Dia tidak mengerti apa yang saya
maksud. Dia lama menatapi saya dengan tidak tahu
apakah yang dilihatnya. Saya sendiri tidak pula dapat
dipahamkan orang.
“Baru sekali itu dia bernyanyi?”
“Tidak. Jika tuan tidak ada, dia kerapkali
bernyanyi,” jawab Lukerya.
Semua hal itu masih teringat oleh saya. Saya lalu
turun tangga, pergi ke jalan raya, dan berjalan ke mana
saja dibawa kaki. Saya sampai di ujung sebuah jalan dan
melihat ke depan, dengan tidak tahu apa yang akan saya
tengok. Banyak orang yang lewat dekat saya, malahan
ada yang melanda, tetapi saya tidak peduli. Akhirnya
saya panggil seorang kusir, hendak menyewa keretanya,

63
dan membawa saya ke Jembatan Polisi. Tetapi tidak
lama kemudian dia saya suruh berhenti, saya tidak jadi
pergi, dan saya beri uang seketip.
“Ini uang untukmu, karena saya telah
mengganggumu,” kata saya, dan tertawa kepadanya,
gelak yang tiada artinya. Tetapi dalam kalbu saya
sekonyong-konyong timbul kenikmatan yang tiada
terpahamkan.
Saya pulang ke rumah, dan mempercepat langkah
saya. Suara yang pecah, bagaikan menyayat jantung,
bunyi yang ke luar dari badan malang itu, sekonyong-
konyong bergema lagi dalam jiwa saya. Napas saya
sesak. Cadar jatuh, ya jatuh dari mata saya! Jika dia
mulai bernyanyi dekat saya, ini disebabkan oleh karena
dia melupakan saya—sekarang nyata betul, dan inilah
yang menakutkan saya pula.
Saya merasa takut. Tetapi nikmat mulai bersinar
dalam jiwa saya, dan disinarinya ketakutan saya.
O, sindiran nasib yang buruk. Selama musim
dingin dalam jiwa saya tidak lain dari nikmat itu, dan
lagi tidak mungkin lain dari nikmat yang akan mengisi
jiwa saya; tetapi di manakah saya selama musim dingin
itu? Saya, bergegas-gegas naik tangga; malukah saya
masuk ke dalam, entahlah. Yang masih teringat oleh
saya, ialah kepala pusing, lantai rumah seolah-olah laut
yang bergelombang besar-besar. Saya merasa, seolah-
olah saya sedang terkatung-katung di sebuah sungai
besar. Ketika saya masuk kamar, dia masih duduk
menjahit di kursinya tadi. Dia menekurkan kepalanya ke
atas jahitannya, tetapi tidak bernyanyi lagi. Dia
menengok sepintas kepada saya, tetapi seperti tidak
peduli; pandangan itu tidak disengaja, seperti menengok

64
sebentar, atau menggerakkan kepala, bilamana ada orang
masuk kamar.
Saya segera pergi mendapatkannya, dan sebagai
seorang gila saya duduk di sebuah kursi di sebelahnya.
Dia melihat selayang pandang kepada saya, seolah-olah
dia terperanjat. Saya ambil dan pegang tangannya; saya
tidak ingat lagi apa yang saya katakan, atau lebih tepat
apa yang hendak saya katakan kepadanya, sebab saya
tidak dapat mencari kata-kata yang tepat untuk
menyatakan perasaan saya ketika itu. Suara saya
tertahan-tahan tiap saat, dan saya tidak dapat berbuat
sesuka saya dengan suara saya, itu. Saya juga tidak tahu,
apa yang akan saya katakan, saya hanya duduk
merenungnya.
“Marilah kita berbicara lagi… engkau tahu…
katakanlah sesuatu kepadaku, barang sepatah,” kata saya
sekonyong-konyong dengan gagap dan pandir sekali.
Tidak dapatkah lagi saya mengucapkan kata-kata
bijaksana? Badannya mulai gemetar, dengan terkejut
tangannya dia tarik, dan saya selalu dipandanginya—
tetapi sekonyong-konyong terpancarlah sinar kekerasan
dan keheranan dari matanya. Ya, sinar keheranan dan
kekerasan. Dia membelalakkan matanya menatapi saya.
Kekerasan dan keheranannya yang keras itu menggasak
saya dengan sekali pukul.
“Jadi engkau masih meminta cinta, cinta?”
seperti itulah pertanyaan yang ditujukan oleh sinar
keheranannya, meskipun dia tetap berdiam diri. Tetapi
saya lihat semuanya, ya semua yang terjadi dalam
batinnya. Badan saya mulai gemetar pula sekujurnya dan
saya bersimpuh di kakinya. Ya, sungguh saya bersimpuh

65
di kakinya. Dia segera melompat berdiri, tetapi saya
tahan dengan segala kekuatan tangan saya.
Saya mengerti benar mengapa saya putus asa
begitu: o ya, saya mengerti! Tetapi akan percayakah
tuan, bahwa nikmat itu bernyala-nyala dalam kalbu saya,
dan panasnya tak tertahankan, hingga saya menyangka,
saya akan mati olehnya.
Karena mabuk bahagia kakinya saya cium. Ya,
saya cium dengan rasa bahagia yang tiada batasnya,
sedang saya insyaf, betapa luas keputusasaan saya pada
ketika itu. Saya menangis, saya coba berkata dua patah,
tetapi perkataan itu tidak ke luar dari bibir saya.
Kekagetan dan keheranannya tiba-tiba menimbulkan
pikiran cemas, sebagai menghadapi suatu soal yang
menakutkan; dipandanginya saya dengan matanya yang
ganjil dan liar, dia mau lekas menyelesaikan soal itu
dalam pikirannya, dan akhirnya ia tersenyum.
Dia sangat malu karena kakinya saya cium,
kakinya itu segera ditariknya, tetapi saya cium lantai
yang diinjak kakinya tadi. Perbuatan saya dilihatnya, dan
dia mulai tertawa karena malu (tuan tentu tahu betapa
orang tertawa, apabila ia malu). Saya lihat dia hampir
pingsan, tangannya gemetar, tetapi tidak mengubah niat
saya. Ke telinganya selalu saya bisikkan, bahwa saya
cinta kepadanya, bahwa saya tidak akan berdiri.
“Biarkanlah aku mencium gaunmu… biarlah hidupku
seluruhnya menyembahmu”… Saya tidak tahu, saya
tidak ingat lagi—tetapi sekonyong-konyong dia
menangis tersedu-sedu, sekujur badannya gemetar, dia
mulai tidak sadarkan diri lagi. Saya mulai cemas melihat
keadaannya.

66
Dia lalu saya gendong ke ranjangnya. Sesudah
dia siuman lagi, dia duduk lurus di atas ranjangnya. Dia
kelihatannya sangat sangsi, tangan saya digenggamnya
kuat-kuat dan dimintainya supaya tinggal tenang.
“Diamlah, janganlah engkau menyiksa dirimu seperti itu,
tenanglah.” Dia lalu menangis lagi. Semalaman itu saya
tidak mau pergi dari sisinya. Saya katakan kepadanya,
bahwa dia akan saya bawa ke Boulogne, …nanti boleh
mandi di laut, …dua minggu lagi pasti kami berangkat
ke sana. Saya katakan kepadanya bahwa, suaranya agak
garau, saya dengar tadi, dan saya hendak menjual
pegadaian saya, akan saya jual kepada Dobronwarow.
Kami akan memulai hidup baru, baru sekali, kalau sudah
sampai di Boulogne, setelah menetap di Boulogne.
Apa yang saya katakan didengarnya, tetapi dia
masih selalu takut. Makin lama dia semakin takut. Tetapi
bagi saya ketakutan ini tidak menjadi alangan. Saya
selalu dibakar oleh keinginan yang tak tertahan, hendak
bersimpuh di kakinya, dan mencium lantai yang diinjak
kakinya itu, dan akan menyembahnya. “Aku tidak ingin
apa-apa dari padamu, tidak ingin apa-apa,” kata saya
berulang-ulang, “janganlah jawab perkataanku,
janganlah pedulikan daku, biarkanlah aku menengokmu
dari sebuah sudut, perlakukanlah aku sebagai barang,
sebagai seekor anjing.” Dia menangis.
“Dan aku sangka, engkau akan membiarkan saja
begitu,” katanya tiba-tiba, dengan tidak disengajanya,
barangkali dia tidak insaf sama sekali apa yang
dikatakannya. Tetapi bagi saya, inilah perkataan paling
penting, yang sangat mencelakakan, yang sangat
dipahami, yang diucapkannya pada malam itu. Perkataan
itu seperti sekin tajam menusuk jantung saya. Perkataan

67
ini menerangkan semuanya kepada saya, semuanya;
tetapi selama dia duduk di samping saya, selama dia
duduk di depan mata saya, harapan saya tidak hilang
sesaat juga, bahagia saya tidak dapat saya berikan.
O, alangkah letihnya badan saya malam itu, saya
sendiri mengerti, tetapi saya masih selalu menyangka,
bahwa semuanya akan dapat saya perbaiki segera.
Akhirnya, hampir tengah malam, kekuatannya habis; lalu
dia saya nasehati supaya pergi tidur, yang segera
diturutnya dan tidak lama ia pun tertidur dengan
nyenyaknya. Saya sangka tentu dia akan mengigau,
persangkaan saya tidak meleset, hanya igauannya tidak
banyak.
Malam itu saya sebentar berdiri, lalu tidur,
kemudian berdiri lagi, demikian terus-menerus. Dengan
berkasut saya perlahan-lahan pergi ke ranjangnya, akan
melihat dia sebentar. Saya remas-remas tangan saya
karena putus asa, jika saya melihat makhluk yang sakit
itu, terbaring di ranjangnya yang buruk, yang saya beli
tiga rubel untuknya. Saya berlutut lagi di samping
ranjangnya, tetapi saya tidak berani mencium kakinya,
sementara dia tidur (dengan tidak diketahuinya)! Saya
mulai sembahyang, tetapi segera berdiri lagi. Lukerya
memandang saya dengan penuh perhatian; dia sudah
lama ke luar dari dapur. Saya pergi mendapatkannya,
saya katakan bahwa dia harus tidur, bahwa besok akan
dimulai “hidup yang baru sama sekali.”
O, saya sendiri percaya dengan membuta tuli,
dengan tidak berpikir panjang, dengan kepercayaan
teguh. O, nikmat, ya nikmat itulah yang menyeret saya!
Saya hanya menunggu hari besok. Tetapi yang terutama,
saya tidak percaya bahwa akan terjadi sesuatu

68
kecelakaan, walaupun ada tanda-tandanya. Keinsyafan
saya belum kembali sama sekali, walaupun candar-
candar tadi sudah jatuh. O, akan lama candar itu tidak
akan kembali lagi, lama benar, sampai hari ini, ya sampai
saat ini. Dan bagaimana dia akan kembali pada saat itu;
isteri saya masih hidup pada waktu itu, dia tidur di depan
saya, dan saya masih duduk di dekatnya.
“Besok pagi dia akan bangun, semua akan saya
ceritakan kepadanya, dan dia akan memaklumi
semuanya.”
Inilah pikiran saya pada saat itu, pikiran
sederhana dan jernih, dan karena itu saya dilamun
nikmatnya! Yang terutama ialah perjalanan ke Boulogne!
Dengan salah satu alasan saya percaya, bahwa, Boulogne
besar sekali artinya, bahwa di sanalah letaknya
pertolongan. “Ke Boulogne, ke Boulogne.” Dan saya
seperti orang gila menunggu matahari terbit.

Saya Mengerti Betul

69
Semua hal itu terjadi beberapa hari yang lalu,
hanya lima hari, tidak lebih dari lima hari, yakni hari
Selasa yang baru lalu. Amboi, jika dia mau menunggu
beberapa waktu, ya, biarpun sebentar, sebentar saja,
semua kegelapan tentu dapat saya singkirkan. Apakah
dia sama sekali belum mendapat ketenangan? Keesokan
harinya dia masih tersenyum mendengarkan uraian saya,
walaupun pikirannya agak kusut… Itulah yang
merintangi. Selama waktu itu, selama lima hari dia agak
bingung, atau merasa malu. Dia juga takut, ya, sangat
takut. Saya tidak menyangkalnya, saya tidak akan gila
untuk membantahnya; memang ada ketakutan dalam
dirinya. Tetapi bagaimanakah dia tidak akan takut? Kami
sudah lama hidup seperti orang asing, kami merasa
terasing seorang dari lainnya, dan sekonyong-konyong
semua ini… Tetapi ketakutannya tidak saya perhatikan.
Yang baru bukankah sedang menyinari…? Betul, tidak
terbantah, bahwa saya telah melakukan satu kesalahan.
Ya, barangkali banyak kesalahan.
Baru saja kami bangun keesokan paginya (hari
Rabu), saya melakukan kesalahan lagi. Saya ingin
dengan segera menjadikannya seorang sahabat saya.
Saya tergesa-gesa, sangat tergesa-gesa
mengerjakan yang terniat oleh saya, tetapi pengakuan
dosa perlu sekali, tidak dapat dihindarkan—apa? tetapi
ini lebih daripada pengakuan dosa.
Saya bongkar semua yang terpendam dalam dada
saya selama ini, malahan tidak saya sembunyikan lagi,
semua rahasia yang saya simpan selama hidup saya.
Terus terang saya ceritakan kepadanya, apa yang semata-
mata jadi pikiran saya selama musim dingin, yakni saya
memikirkan cintanya kepada saya. Saya uraikan

70
kepadanya bahwa pegadaian itu tidak lain dari akibat
kemauan dan akal saya yang patah, satu gambaran
pikiran sendiri tentang cara menyiksa dan memuliakan
diri.
Saya uraikan kepadanya, bahwa saya memang
seorang pengecut sewaktu berdiri dekat bupet, pekerti
dan sifat saya yang gampang tersinggung menyebabkan
saya bersikap begitu dan lingkungan serta bupet itu telah
mempengaruhi saya, sehingga dalam kekalutan pikiran
saya bertanya ke hati sendiri, apakah jika saya
sekonyong-konyong bertindak demikian tidak dikatakan
orang pandir. Saya tidak takut main anggar, saya hanya
takut kepada kemungkinan akan dikatakan pandir oleh
orang lain… Dan saya kemudian tidak mau mengakui,
saya telah menyiksa semua manusia, juga isteri saya dan
saya mengawininya dengan maksud akan menyiksanya.
Lama betul saya bercerita ini, saya seperti orang
demam yang bermimpi. Tangan saya dipegangnya kuat-
kuat, dan dimintanya supaya saya berhenti, “Ceritamu
berlebih-lebihan… engkau menyiksa dirimu sendiri,”
dan sekali lagi bercucuran air matanya, dan hampir
pingsan pula. Lama betul dia memohonkan supaya saya
jangan berbicara lagi tentang hal itu, dan jangan
memikirkan hal-hal yang menyiksa itu.
Permohonannya tidak saya perhatikan, ya
pendeknya tidak saya acuhkan: saya hanya ingat musim
semi pergi ke Boulogne! Di sana akan terbit matahari, di
sana akan memancar matahari baru bagi kami, itulah
satu-satunya yang saya bicarakan. Saya akan menutup
perusahaan saya, semuanya akan saya jual kepada
Donbronwarow. Saya anjurkan kepadanya, supaya
membagi-bagi semua harta kami kepada orang miskin,

71
kecuali modal pokok yang tiga ribu rubel, dipusakai dari
bibi angkat saya. Dengan uang itu kami akan pergi ke
Boulogne dan sekembalinya dari sana, kami akan
memulai hidup dan pekerjaan baru.
Ini sudah saya tetapkan—tetapi dia tidak
menjawab sepatah kata pun, dia hanya tersenyum. Saya
percaya, dia tersenyum karena sopan, agar jangan
melukai perasaan saya. Tetapi saya lihat, rupanya dia
seperti saya ganggu dengan cerita saya. Tuan jangan
menyangka, bahwa saya begitu pandir dan begitu
serakah, sehingga tidak kelihatan oleh saya keadaan
hatinya waktu itu. Saya lihat semuanya, sampai kepada
yang kecil-kecil saya lihat, dan keadaan itu seluruhnya
saya ketahui, lebih daripada yang lain-lain. Keputus-
asaan sudah terang menunggu saya, dan sedia
menemukan saya.
Saya ceritakan semuanya tentang diri saya dan
dirinya sendiri. Dan juga tentang Lukerya.
Saya ceritakan kepadanya, bahwa saya tadinya
menangis… O ya, kadang-kadang saya ganti wujud
pembicaraan saya; saya berikhtiar sedapat-dapatnya
mendiamkan beberapa hal. Selagi saya bercerita itu ada
dua kali sinar kegirangan memancar dari matanya. Masih
teringat oleh saya walaupun sebentar, tetapi terang
teringat oleh saya. Mengapa tuan berkata, bahwa saya
melihat dengan tidak memperhatikan sesuatu yang
menyolok mata?
Jika yang satu itu tidak terjadi, niscaya semuanya
akan beres lagi.
Dua hari yang lalu diceritakannya kepada saya,
sewaktu kami bercakap-cakap tentang bacaan, apa yang
dibacanya selama musim dingin, dan dia tertawa, ketika

72
teringat olehnya cerita Gil Blas dengan Uskup dari
Granada! O, alangkah merdu dan suci tertawanya seperti
tertawa anak kecil, persis seperti tertawanya yang saya
dengar (sangat pendek! sangat pendek!) sewaktu kami
bertunangan dulu. Dan alangkah girangnya saya pada
saat itu. Saya sangat terharu oleh tertawanya tentang
uskup itu. Hatinya tentu sudah tenang dan dia sudah
merasa berbahagia, jika tidak, pasti dia tidak akan
tertawa membaca cerita lucu, yang dibacanya sewaktu
duduk di sisi dalam musim dingin. Jadi dia sudah tenang
sama sekali, jadi sudah teguh kepercayaannya, bahwa
saya akan membiarkan begitu saja.
“Aku sangka, engkau akan membiarkan saja
begitu,” katanya pada hari Selasa itu. O, itulah pikiran
seorang gadis yang baru sepuluh tahun. Dia sungguh
percaya, ya sungguh, bahwa semuanya akan tinggal
begitu selamanya, dia duduk di mejanya dan saya di
meja saya, dan kami berdua sampai berumur enam puluh
tahun akan tetap begitu selamanya.
Dan sekarang saya sekonyong-konyong tampil
sebagai seorang suami, dan seorang suami menghendaki
cinta.
O, alangkah sesatnya paham ini, alangkah
butanya mata saya.
Letak kekhilafan saya ialah dalam kenyataan
bahwa saya memandangi dia dengan berahi, saya harus
pandai menahan nafsu, keberahian menimbulkan
ketakutan dalam dirinya. Nafsu memang sudah saya
tahan, kakinya tidak saya cium lagi. Dan tidak sekali
juga saya perlihatkan kepadanya… kini… bahwa saya
suaminya, ya pikiran begitu tidak timbul lagi, saya hanya
memujanya. Tetapi saya tidak kuat lagi berdiam diri.

73
Keinginan akan berbicara tidak dapat saya tindas! Tiba-
tiba saya katakan kepadanya, bahwa nikmat betul bagi
saya mendengarkan percakapannya, bahwa dia tiada
bandingannya, jauh lebih cerdas dan lebih sopan
daripada saya sendiri. Mendengar pengakuan itu
mukanya merah, dan dia bingung lagi, dan dijawabnya,
bahwa perkataan saya dilebih-lebihkan. Ketika itu,
karena saya bodoh, tidak kuat saya menahani nafsu lagi,
lalu saya ceritakan kepadanya, bahwa alangkah
nikmatnya bagi saya, sewaktu berdiri di pintu dan
mendengarkan perjuangannya yang suci dengan bangsat
besar itu, betapa saya menikmati jiwanya yang mulia,
akalnya yang gilang gemilang dan ketulusannya yang
tiada celanya.
Badannya mulai gemetar sekujurnya, dia gagap
pula mengatakan, bahwa cerita saya berlebih-lebihan;
tetapi sekonyong-konyong datang mendung menutupi
mukanya, lalu ditutupinya dengan kedua belah
tangannya, dan menangis sedan-sedan… Ketika itu hati
saya tak tertahan lagi, saya menjatuhkan diri di
depannya, kakinya saya ciumi lagi, dan akhirnya dia
pingsan pula, persis seperti pada hari Selasa yang lalu.
Ini terjadi malam tadi… tetapi keesokan paginya…
Keesokan paginya? Gila, sungguh gila, pagi tadi
terjadinya, baru sebentar ini, baru sebentar ini.
Tuan dengarkanlah baik-baik: sewaktu kami pagi
tadi duduk menghadapi samowar (sesudah dia pingsan
malam tadi), saya tertarik oleh keterangannya, ya
begitulah. Badan saya sudah semalam-malaman gemetar
karena takut memikirkan apa yang terjadi kemarin. Tiba-
tiba dia datang mendapatkan saya, sambil mengatupkan
tangannya dia berdiri di depan saya (baru saja terjadi!)

74
dan dia mulai menceritakan, bahwa dia seorang penjahat,
bahwa dia sendiri tahu, bahwa kejahatan itu telah
menyiksanya selama musim dingin, bahwa sekarang dia
masih disiksanya oleh kejahatan itu… bahwa dia
menghargakan kemuliaan budi saya, setinggi-tingginya,
“saya akan menjadi isteri tuan yang setia, saya akan
memuja tuan.”
Saya melompat berdiri dan sebagai orang edan
saya peluk badannya. Saya cium dia, saya ciumi
mukanya, bibirnya, saya cium dia, seperti seorang suami
menciumi isterinya, sesudah bertahun-tahun berpisah
dan baru saja bertemu. Dan mengapa saya pergi ke luar,
walaupun untuk sejam atau dua jam, untuk mengambil
surat jalan ke luar negeri?
Ya Tuhan! Jika saya lima, ya, lima menit tercepat
kembali di rumah! Dan orang banyak itu, yang berdiri di
depan pintu kami, Allah tobat!
Kata Lukerya (O, biarpun bagaimana dia, tidak
akan saya biarkan pergi, dia mengetahui semua, dia
selama musim dingin bersama kami, dia akan
menceritakan semuanya kepada saya): dua puluh menit
sebelum saya kembali, dia masuk mendapatkan nyonya
di kamar kami, karena ada yang akan dipintanya; (apa
yang akan dimintanya, tidak teringat oleh saya lagi) dan
ketika itu dilihatnya nyonya mengambil patung suci
(patung Bunda Yezus Kristus) dari pemujaan kami.
Patung ini terletak di depan meja nyonya, dan
kelihatannya nyonya baru habis sembahyang.
“Ada apakah nyonya?”
“Tidak apa-apa, Lukerya, pergilah ke luar.
Tunggulah sebentar Lukerya.” Dia datang mendapatkan
hamba dan hamba diciumnya.

75
“Beruntungkah nyonya sekarang?” tanya hamba
kepadanya.
“Ya, Lukerya.”
“Sudah dari dulu tuan harus meminta maaf
kepada nyonya. Syukurlah tuan sekarang sudah
berbaik…”
“Ya, baik begitu, Lukerya,” katanya, “kini
pergilah!”
Sewaktu mengatakan ini dia tersenyum,
senyuman yang aneh sekali. Senyum itu aneh sekali,
hingga sepuluh menit kemudian Lukerya datang lagi
akan melihat nyonyanya.
“Dia berdiri dekat jendela, tangannya bertekan ke
dinding dan kepalanya disandarkannya ke lengannya.
Demikianlah dia berdiri sambil berpikir. Jauh betul
pikirannya, hingga tidak didengarnya hamba ada di sana,
bahwa hamba memperhatikannya dari kamar lain.
Hamba lihat, ada sesuatu, seperti senyum bermain di
mukanya yang pucat, dia berdiri terus sambil berpikir
dan tersenyum. Hamba berdiri sejenak memandanginya,
kemudian hamba pergi lagi sambil memikirkan apakah
artinya laku nyonya hamba yang aneh itu. Kemudian
sekonyong-konyong hamba dengar, jendela sedang
dibuka. Hamba kembali menengok, dan berkata kepada
nyonya: ‘hawa terlalu sejuk, nanti nyonya masuk angin.’
“Tetapi sekonyong-konyong hamba lihat nyonya
berdiri di atas bendul jendela, ya, dia berdiri lurus di atas
bendul itu, jendelanya terbuka, dan dia membelakang
kepada hamba, sambil memegang patung suci dengan
kedua tangannya. Jantung hamba berhenti berdebar,
hamba berteriak: ‘nyonya, nyonya!’ Jerit hamba
didengarnya, dia agaknya mau menoleh ke belakang,

76
tetapi tidak jadi, dia melangkah ke depan, sambil
menekankan patung suci itu ke dadanya, dan terjun dari
jendela.”
Masih teringat oleh saya semuanya, badannya
masih panas, sewaktu saya sampai di pintu rumah saya.
Yang sangat mengesalkan, semua orang melihat kepada
saya. Mula-mula mereka menjerit-jerit, tetapi
sekonyong-konyong terdiam. Mereka semua
melapangkan jalan untuk saya, dan… dan di sanalah
isteri saya terbaring dengan patung suci di dadanya.
Tidak begitu terang teringat oleh saya, bahwa saya
dengan tidak berkata apa-apa, datang mendapatkan dia
dan lama sekali memandanginya. Semua orang
mengerumuni saya, dan lama-kelamaan semakin banyak
orang yang datang. Lukerya juga ada, tetapi tidak
kelihatan oleh saya. Katanya, dia berbicara dengan saya.
Yang teringat oleh saya hanya seorang borjuis kecil,
yang selalu berkata kepada saya: “tidak lebih dari
segumpal darah yang keluar dari mulutnya, tidak lebih
dari segumpal, tidak lebih dari segumpal.” Dan
ditunjukkannya kepada saya darah yang telah beku di
atas batu.
Saya percaya, waktu itu saya celupkan jari saya
ke dalam darah itu, hingga jari saya kotor, dan kemudian
saya selalu memandangi jari saya yang berlumuran darah
itu (Ini masih teringat oleh saya!), tetapi laki-laki tadi
selalu berteriak “segumpal-segumpal.”
“Apakah yang kamu kehendaki dengan segumpal
itu?” jerit saya sekeras suara, saya angkat tangan saya
setinggi-tingginya, dan orang itu saya tumbuk sekuat-
kuatnya.

77
“O gila, sungguh gila. Paham yang sama sekali
sesat. Edan semuanya, apa saja adalah mustahil!”

Hanya Terlambat Lima Menit

78
Tidak benarkah gerangan? Boleh jadikah kadang-
kadang? Dapatkah tuan mengatakan, bahwa hal itu
mungkin?
O, tuan boleh percaya kepada saya, saya
mengerti, tetapi mengapa dia mati, bagi saya masih
selalu jadi pertanyaan. Dia terkejut melihat cinta saya,
dengan sesungguh hati dia bertanya ke hatinya sendiri,
akan saya terimakah cinta suami saya atau tidak? Dan
dia tidak berani menghadapi soal ini, dan karena itu dia
memilih lebih baik mati. Saya tahu, saya tahu, saya tidak
usah memecahkan kepala saya dengan soal ini, dia sudah
terlalu banyak berjanji kepada saya, dan dia terkejut
melihat janjinya tidak akan dapat ditepatinya—semua itu
sudah terang.
Demikianlah beberapa keadaan yang
mendahsyatkan.
Sebab itu pertanyaan mengapa dia mati masih
selalu jadi pertanyaan. Pertanyaan yang menggegar itu
tetap memukul-mukul kepala saya. Saya juga bermaksud
akan membiarkannya begitu, jika dia mau, saya harus
membiarkan begitu. Tetapi dia sendiri tidak percaya,
inilah yang menyulitkan. Bukan, bukan, saya berdusta
sama sekali bukan begitu. Soal ini sederhana saja, karena
dia harus jujur terhadap saya, kalau dia cinta kepada
saya, dia harus mencintai saya dengan sepenuh hatinya,
dan jangan secara dia mencintai tauke dulu itu. Dan
karena dia terlalu sopan, terlalu suci untuk menyerahkan
dirinya kepada cinta, sebagaimana yang dikehendaki
oleh tauke itu, maka dia juga tidak mau menipu saya.
Dia tidak mau menipu saya, dengan memberikan
bayangan cinta setengah atau seperempat cinta. Orang

79
yang semacam dia itu terlalu jujur, inilah soal yang
sebenarnya.
Saya waktu itu mau memberikan pandangan yang
luas kepadanya. Masih ingatkah tuan? Satu pikiran yang
ganjil, bukan?
Sangat penting bagi saya untuk mengetahui,
hormatkah dia kepada saya atau tidak. Entah dia
menghinakan saya, ya atau tidak. Aneh dan
mengherankan: mengapa selama musim dingin itu tidak
timbul dalam kepala saya, bahwa dia menghina saya?
Malahan saya meyakini yang sebaliknya, yakin sekuat-
kuatnya sampai saat ini, bahwa dia memandangi saya
dengan kekerasan, dengan keheranan. Ya, betul-betul
dengan kekerasan. Pada waktu itu saya segera mengerti,
bahwa dia memandang saya hina. Saya mengerti sama
sekali, dan untuk abad-abad yang akan datang. O, biarlah
dia menghina saya, walaupun dia akan benci kepada saya
selama hidup, saya tidak menaruh keberatan, asal dia
hidup, asal dia tetap hidup. Baru-baru ini dia masih
berjalan-jalan dan masih berkata-kata. Saya tidak
mengerti sama sekali, betapa dia dapat terjun dari
jendela. Bagaimanakah saya dapat menyangkakan bahwa
kejadian itu akan berlaku dalam lima menit? Saya
panggil Lukerya. O, Lukerya tidak boleh pergi,
meskipun akan dibeli berapa saja, ya, berapa saja saya
diberi uang, dia tidak boleh pergi.
Ah, kami sebenarnya masih dapat mengadakan
persetujuan. Kami hanya merasa asing, seorang terhadap
yang lain selama musim dingin, tetapi apakah kami tidak
dapat mempererat silaturahmi lagi? Mengapa, mengapa
kami tidak akan dapat berbaik lagi, akan sama-sama
memulai hidup baru? Saya seorang yang berbudi tinggi,

80
dia juga, ketinggian budi inilah pokok yang akan
mempertemukan kami lagi! Dua patah kata lagi, dua hari
lagi, tidak lebih, dia tentulah akan memahamkan
semuanya.
Yang menggusarkan, yang menyakitkan di antara
semuanya, ialah semua yang terjadi itu karena kebetulan,
yang serampangan, yang biadab, yang buta. Betul-betul
inilah yang menyakitkan. Lima menit, sama sekali tidak
lebih lima menit saya terlambat datang. Seandainya saya
terlekas datang lima menit, saat itu akan terbang
mengirap seperti awan, dan niat akan membunuh diri itu
tidak akan kembali ke dalam kepalanya. Dan dia
akhirnya akan mengerti semuanya. Tetapi kini, tinggal
kamar-kamar yang kosong. Saya tinggal sendirian lagi.
Jam tetap berdetik-detik, semua yang terjadi tidak
dipedulikannya, rupanya ia tidak menaruh kasihan
kepada siapa saja. Saya sebatang kara lagi, tidak
berteman, inilah kemalangan saya.
Saya berjalan, terus menerus berjalan. Saya tahu,
saya tahu, tuan tidak perlu membisikkannya lagi ke
telinga saya, tuan pandang kelakuan saya sangat
menertawakan, karena saya mengaduh oleh kebetulan
dan waktu yang lima menit itu? Tetapi itu bukanlah
terang sebagai siang! Tuan jangan melupakan satu hal:
dia tidak meninggalkan surat, malahan huruf satu pun
tidak. Dia tidak meninggalkan surat yang mengatakan
“kematian saya bukan oleh kesalahan orang lain,” seperti
biasa dilakukan oleh orang yang membunuh diri.
Bagaimana maka tidak terpikir olehnya bahwa
Lukerya mungkin dituduh orang? “Dia hanya berdua
dengan engkau saja dalam kamar ini, jadi ada
kemungkinan engkau menohokkannya dari jendala.”

81
Dan Lukerya tentu tidak akan bebas dari persangkaan,
apabila tidak ada empat orang di rumahnya melihat dari
jendela dan pelataran mereka masing-masing, betapa
isteri saya berdiri di atas bandul jendela dengan
melekapkan patung suci ke dadanya, dan betapa dia
terjun ke bawah. Dan itu juga satu kebetulan, mereka itu
berdiri di jendela, dan mereka kebetulan melihat yang
terjadi. Ya, semuanya itu berlaku dalam satu saat, sesaat
yang dia tidak dapat menanggungjawab atas
perbuatannya. Satu gerak hati fantastis yang sekonyong-
konyong timbulnya!
Apakah artinya, dia sudah sembahyang di depan
patung suci? Ini bukan berarti, bahwa dia tahu, dia
sedang menghadapi maut. Antara mengambil keputusan
dan mati barangkali tidak lebih dari sepuluh menit
lamanya. Keputusannya yang tetap dia ambil sewaktu
kepalanya bersandar ke lengannya yang ditopangkannya
ke dinding, dan berdiri di sana sambil tersenyum. Pikiran
ini melancar waktu itu dalam kepalanya, sehingga dia
pusing, dan dia tidak kuat melawan lagi.
Saya terlambat datang!
Alangkah manis parasnya dalam peti itu, dan
alangkah mancung hidungnya!
Alis matanya tetap terbelintang sebagai panah
kecil. Aneh betul jatuhnya, tidak ada yang patah, tidak
ada yang hancur! Hanya segumpal darah yang terloncat
dari mulutnya! Ini berarti sesendok makan. Tentu ada
sesuatu di dalam yang terkucak.
Tiba-tiba timbul pikiran aneh dalam kepala saya,
seandainya mungkin, dia tidak usah dikuburkan,
bagaimana? Sebab jika dia dibawa orang tentu… O
tidak, mana boleh jadi dia akan dibawa orang. Ah, saya

82
tahu betul, bahwa dia akan dibawa ke kubur, saya bukan
gila, saya bukan mengacau, sungguh, pikiran saya belum
pernah sejernih yang sekarang ini. Tetapi bagaimana
jadinya kelak, tiada yang menemani saya lagi dalam
rumah ini, dua kamar ini akan kosong lagi, dan saya
tinggal dalam kesunyian dengan barang-barang gadaian
itu. Kacau, kacau, tidak lain dari perkataan yang kacau!
Saya sudah menyiksa sampai mati, itulah pokok
semuanya.
Mengapa saya benci sekali kepada undang-
undang tuan? Apa pedulinya bagi saya kebiasaan tuan,
kesusilaan tuan, kehidupan tuan, negara tuan dan
kepercayaan tuan? Biarlah semua hakim menghukum
saya, biarlah mereka menghadapkan saya ke pengadilan,
ke pengadilan yang terbuka untuk umum, saya akan
tetap berkata bahwa saya tidak akan mengakui apa juga.
Hakim akan menghardik saya, “Hai, opsir, diam!” Tetapi
saya akan membalas berteriak, “Dari manakah tuan
mengambil kekuasaan untuk memaksa saya patuh?
Mengapa hukum alam yang hitam kejam itu
membinasakan yang paling saya cintai dalam hidup
saya? Apa peduli bagi saya undang-undang tuan? Saya
memisahkan diri.” O, bagi saya, semua yang ada di alam
ini sama saja.
Dia sudah buta, buta dan mati, dia tidak
mendengar lagi. Engkau tidak tahu, kekasihku, dengan
suara apakah engkau akan aku lingkungi nanti? Surga itu
dalam sukmaku, dan akan kutanam di sekeliling engkau.
Baiklah, engkau tidak mau mencintaiku, baiklah, aku
menyerah, apakah lagi? Semuanya tetap begitu, dan
selamanya akan tetap pula begitu. Engkau mau
memperlakukan daku sebagai sahabat dan menceritakan

83
hal ihwalku sebagai seorang sahabat, ya baiklah begitu,
kita akan sama-sama bergirang hati, dan akan senang
duduk berdekatan dan tersenyum-senyum, apabila mata
kita berpandangan.
Begitulah maksud kita hidup. Dan jika engkau
cinta kepada orang lain, baiklah; juga baik begitu.
Engkau akan berjalan-jalan dengan kekasihmu itu sambil
tertawa-tawa, dan aku akan memandangimu berdua dari
seberang jalan.
O, semuanya tidak akan menyakitkan hati saya,
kalau dia membukakan matanya, sekali saja cukuplah.
Sekejap mata saja, sekejap mata cukuplah, kalau dia mau
melihat kepada saya sebentar, seperti dulu, ketika dia
berdiri di depan saya, dan berjanji, bahwa dia menjadi
isteri yang setia. O, jika dia mau memandang saya
sekejap saja, dia akan mengerti semuanya.
O, alangkah lambat jalannya hukum alam ini, o
alam celaka, manusia hidup dalam kesunyian di bumi
ini, inilah kesialannya! “Adakah di padang rumput itu
seorang manusia yang masih hidup?” teriak seorang
pahlawan Rusia dalam dongengan lama. Saya, yang
bukan pahlawan dari dongengan juga berteriak, tetapi
tiada seorang pun yang menyahut. Kata orang, matahari
memberi hidup kepada alam seluruhnya. Bila matahari
terbit, cobalah lihat, tidak adakah gerangan mayat lagi?
Semuanya mati, di mana-mana mayat
bergelimpangan. Hanya manusia yang masih hidup, dan
di sekelilingnya kesunyian, —itulah bumi.
“Manusia, cintai mencintailah kamu.” Siapakah
yang mengucapkan perkataan ini? Suruh siapakah itu?
Jam yang tak berperasaan halus berdetik-detik terus
menerus, sungguh mengerikan. Sekarang sudah pukul

84
dua, tengah malam. Sepatu isteri saya masih terletak di
dekat ranjangnya, seolah-olah menunggu kaki isteri saya
yang molek…
Amboi, dengan segala kesungguhan, jika dia
dibawa orang ke kubur, apakah yang harus saya
perbuat?...

85

Anda mungkin juga menyukai