Anda di halaman 1dari 4

4.

Asas Pengaturan Desa


Dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang sebagian besarnya mengatur
tentang pemerintahan daerah, maka secara spesifik tidak mencantumkan asas pengaturan
desa, selain hanya mencantumkan asas penyelenggaraan pemerintah daerah. Dengan
demikian, asas pengaturan desa merupakan klausul baru dalam UU Desa, meskipun tidak
berada pada Bab tersendiri tentang Asas tetapi menjadi bagian dari Bab I tentang Ketentuan
Umum.

Asas merupakan dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan
bertindak. Dalam UU Desa pengaturan desa memiliki 13 prinsip yang mesti dijadikan
perhatian oleh para pemangku kepentingan dalam memberikan pengaturan desa. Prinsip-
prinsip pengaturan desa lebih dikedepankan agar dapat tercapai tujuan dari terbitnya UU ini.

Pasal 3
Pengaturan Desa berasaskan:
a. rekognisi;

b. subsidiaritas;

c. keberagaman;

d. kebersamaan;

e. kegotongroyongan;

f. kekeluargaan;

g. musyawarah;

h. demokrasi;

i. kemandirian;

j. partisipasi;

k. kesetaraan;

l. pemberdayaan; dan

m. keberlanjutan.
Penjelasan
Asas pengaturan dalam Undang-Undang ini adalah:
1) rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul;

2) subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal
untuk kepentingan masyarakat desa;

3) keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat
desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;

4) kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan prinsip saling
menghargai antara kelembagaan di tingkat desa dan unsur masyarakat desa dalam membangun desa;

5) kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun Desa;

6) kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat desa sebagai bagian dari satu kesatuan keluarga
besar masyarakat desa;

7) musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat desa
melalui diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan;

8) demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat desa dalam suatu sistem pemerintahan yang
dilakukan oleh masyarakat desa atau dengan persetujuan masyarakat desa serta keluhuran harkat dan
martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin;

9) kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat Desa untuk
melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan sendiri;

10) partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam suatu kegiatan;

11) kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan peran;

12) pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa melalui
penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan
masyarakat desa; dan

13) keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan
berkesinambungan dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan desa.

Pembahasan di DPR
Asas pengaturan desa secara eksplisit tidak tercantum dalam RUU Desa yang diusulkan
Pemerintah. Hal inilah yang kemudian dicermati oleh DPD RI dalam rapat Pansus 4 April
2012. “RUU Desa usulan Pemerintah tidak secara eksplisit menegaskan tentang asas
pengaturan desa yang menjadi dasar untuk penentuan kedudukan, kewenangan, susunan
pemerintahan dan selanjutnya, meskipun dalam konsideran menimbang (lihat butir a)
maupun Batang Tubuh (lihat Pasal 3) ditegaskan „mengakui dan menghormati‟ tetapi ada
beberapa titik kelemahan,” ungkap juru bicara DPD RI, Anang Prihantoro.
Kelemahan dimaksud antara lain, pertama, tidak menyampaikan landasan filosofis dan
landasan konseptual mengenai konsep „mengakui dan menghormati‟, sekaligus tidak
menyampaikan tentang subyek/obyek apa yang „diakui dan dihormati‟ berkenaan dengan
kesatuan masyarakat adat. Kedua, konsep ‟mengakui dan menghormati‟ tidak dijadikan
sebagai asas yang dijabarkan dalam bab tersendiri. Hal ini menunjukkan kemunduran sebab
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sebenarnya telah menegaskan tentang asas
otonomi asli dan keanekaragaman, sementara RUU Desa usulan pemerintah tidak
menyantumkan asas otonomi asli itu dan keanekaragaman di dalam norma batang tubuh.
Asas keanekaragaman hanya dijabarkan dalam penjelasan. Ketiga, RUU Desa tidak
menegaskan pengakuan dan penghormatan yang dilakukan oleh negara terhadap Desa atau
nama lain. Pengakuan dan penghormatan itu malah didelegasikan kepada pemerintahan
daerah. Tidak ada penegasan bahwa seluruh institusi negara harus memberikan pengakuan
dan penghormatan terhadap Desa, baik dari institusi maupun produk politik-hukum desa.
Berdasarkan pandangan itu, DPD RI berpendapat bahwa pengakuan dan penghormatan
tersebut secara konseptual merupakan asas rekognisi. Asas rekognisi harus diakui oleh
negara, bukan melimpahkan pengakuan asas tersebut kepada pemerintah kabupaten/kota.
Fraksi PKS sebagaimana disampaikan dalam DIM mengusulkan bagian baru yang mengatur
tentang Asas dan Tujuan. Menurut PKS, asas pengaturan Desa dalam UU ini adalah
rekognisi, subsidiaritas, keberagaman, kemandirian, demokrasi, partisipasi, pemberdayaan,
serta kesejahteraan dan keadilan.

Rumusan Pasal 2 UU Desa, yang merupakan norma umum pengaturan asas, tidak tercantum
baik dalam RUU Pemerintah maupun DIM DPR. Klausul ini merupakan ketentuan baru hasil
dari pembahasan rapat Timus tanggal 27 Juni 2013. Ketentuan ini untuk mempertegas bahwa
pengaturan tentang Desa harus tetap berbingkai pada asas-asas dasar NKRI.

Tanggapan
Meskipun secara eksplisit UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan tidak mensyaratkan pencantuman asas pada peraturan perundang-undangan yang
dibentuk, namun secara prinsip, asas merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah
peraturan/perundang-undangan. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa arti dari
asas salah satunya adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau
berpendapat. Sebagaimana makna katanya, maka asas dalam UU adalah sesuatu yang
dijadikan dasar pijakan dalam mengimplementasikan UU tersebut.

Mengacu pada 13 asas dalam UU Desa jelas memperlihatkan bahwa tidak ada satupun
pencantuman tentang asas tugas pembantuan, desentralisasi atau dekonsentrasi dari
pemerintah pusat/daerah. Seluruh asas yang dicantumkan, sepenuhnya murni mencerminkan
kemandirian desa. Dengan acuan asas ini, maka dalam implementasinya, UU Desa
semestinya menempatkan desa pada posisi yang mandiri dan bertumpu pada proses
demokrasi lokal tanpa intervensi oleh siapapun, termasuk pemerintahan di atasnya.

Anda mungkin juga menyukai