NIM : 19.C1.0126
Ringkasan Bab 9F :
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, telah memberikan kejelasan status
dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia guna
mewujudkan keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia. Serta mendorong prakarsa, gerakan dan
partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna mencapai
kesejahteraan bersama.
1. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan
keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatun Republik Indonesia.
2. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Melestarikan dan memajukan adat, tradisi dan budaya masyarakat desa.
4. Mendorong prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan
potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama.
5. Membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka serta
bertanggung jawab.
6. Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat
perwujudan kesejahteraan umum.
7. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan masyarakat
desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional.
8. Memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan
nasional.
9. Memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
Sebuah desa dengan desa adat adalah berbeda, desa adat sendiri merupakan desa yang
kesatuan adatnya masih lestari. Dampak adanya peraturan ini pada desa adat yaitu memperkuat
posisi dari hukum adat didalam desa itu sendiri. Dengan adanya peraturan ini menjadikan desa
adat dan hukumnya memiliki perlindungan secara hukum. Hal tersebut karena sering adanya
pergesekan hukum adat dengan hukum positif, dimana posisi hukum adat kurang kokoh dalam
perselisihan ini. Desa adat sendiri apabila kita kaji lebih dalam, maka dapat dikatakan bahwa
desa adat merupakan sistem organisasi pemerintahan desa yang diwariskan antar generasi,
keberadaannya dinilai lebih lama dibanding lahirnya desa itu sendiri. Tujuannya antara lain yaitu
menciptakan kesejahteraan dan jatidiri budaya local miliki mereka.
Masyarakat hukum adat memiliki tiga prinsip dasar yaitu genealogis, territorial, atau
gabungan keduanya. Undang – undang desa sendiri mengambil prinsip ketiga dari keseluruhan
prinsip yang ada. Maka dari itu negara memberi pengakuan dan pernghormatan terhadap
eksistensinya beserta hak tradisionalnya selama masih hidup dan selaras dengan perkembangan
juga prinsip dari NKRI sendiri. Adat sendiri mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat
khususnya mengenai sumber daya, sistem pemerintahan, dan sosial budaya desa. Ketidakjelasan
akan eksistensinya membuat pemerintah harus mengambil langkah demi memberikan kepastian
status dan hukum, Peraturan Mendagri RI No. 8 Tahun 2015 diharapkan mampu mewujudkan
hal tersebut. Kesulitan dalam mengurus bidang ini dikarenakan masyarakat adat lebih kompleks
dibandingkan masyarakat desa biasa.
Masyarakat adat memiliki hubungan keterikatan batin yang kuat dan saling mengontrol
perilaku satu sama lain. Mereka diharuskan menjaga keharmonisan masyarakat agar nilai – nilai
luhur tetap dapat terlestarikan, akan tetapi bentuk pelanggaran yang sekiranya mengganggu
keharmonisan masyarakat akan diberi hukuman yang bisa dibilang berat secara jasmani dan
rohani. Masyarakat tradisional yang bersifat tertutup akan dunia luar memiliki ciri – ciri sebagai
berikut :
Pengakuan secara tidak langsung pada desa adat oleh masyarakat sudah terjadi, sebut saja
Bali yang memiliki 1453 desa adat. Di Bali desa terbagi menjadi dua, desa adat dan desa dinas.
Dimana desa dinas bertugas mengurus kepemerintahan dan desa adat perihal adat – istiadat di
Bali. Keduanya berkorelasi dengan sinergis hingga sekarang, menjadi contoh nyata bahwa desa
adat dapat menyesuaikan dan bertahan oleh dinamika zaman.
Zaman sekarang merupakan era globalisasi, dimana konsep modernisasi menjadi kunci
dari era ini. Dalam era ini seluruh dunia terkena pengaruhnya baik buruk maupun bagus,
Indonesia sebagai negara yang letak geografisnya memberikan banyak singgungan dengan
negara lain menyebabkan mau tidak mau harus menerima dampak dari globalisasi. Dalam segi
hukum pun Indonesia lebih menjorok pada common law system dan politik yang mengarah pada
kodifikasi maupun unifikasi hukum. Adanya hal ini menyebabkan eksistensi hukum adat menjadi
sedikit terancam, padahal hukum adat merupakan sistem hukum asli di Indonesia yang sesuai
dengan masyarakat Indonesia dan menjunjung keseimbangan juga sesuai dengan pembangunan
berkelanjutan. Apabila pemerintah memberi kesempatan bermain untuk hukum adat, maka
tindakan tersebut akan memberikan hak terhadap masyarakat adat dan konstitusinya akan tetap
ada.
Keberadaan hukum adat juga berguna sebagai penyaring pengaruh globalisasi yang
masuk ke Indonesia, dengan hukum adat yang kuat maka perlu adanya penyesuaian dan apabila
dirasa tidak sesuai maka pengaruh tersebut tidak akan bisa masuk kedalam negeri. Maka dari itu
dimulailah dengan terbitlah Pasal 6 UU Desa dan Peraturan Mendagri No. 81 Tahun 2015 yang
berfungsi memberi kepastian status dan hukum. Namun, peraturan ini justru membuat bingung.
Seperti contohnya di Bali, mereka khawati tidak dapat mengurus desa dengan otonomi mereka
kembali. Karena UU ini menjadikan harus dipilih salah satu yaitu desa adat atau desa saja,
sedangkan di Bali keberadaan keduanya berdampingan dan berkolerasi. Pada peraturan menteri
tersebut justru apabila disimpulkan maka keberadaan desa adat juga merupakan desa biasa. Oleh
karena itu muncul kebingungan dalam mengurus kejelasan desa.
Skenario dalam pembangunan desa dirumuskan dalam Peraturan Mendagri Nomor 14
Tahun 2015 tentang Pedoman Pembangunan Desa meliputi :
1. Keberadaan desa adat diikutsertakan dalam instrument evaluasi perkembangan desa dan
kelurahan.
2. Perlu dibentuk Peraturan Pemerintah perihal desa adat, khususnya dalam keberadaannya
serta instrument evaluasi perkembangan masyarakatnya.
3. Disusunnya Peraturan Menteri tentang Penataan Desa ( Pasal 32, PP 43/2014 ) terutama
tentang desa yang berdasarkan kearifan lokal.
4. Dilakukannya penyuluhan pada desa adat yang relevan perihal peluang dan tantanga
nomenklatur.
5. Pengembangan kapasitas para pihak yang memiliki kepentingan penerapan nomenklatur
desa adat.