Anda di halaman 1dari 7

MEMBANGUN KEMANDIRIAN DESA

(Oleh : Suherman)

I. PENDAHLUAN
1. Latar Belakang
Desa sebagai penyelenggara pemerintahan terkecil dalam system
ketatanegaraan kita, telah mengalami berbagai perubahan sesuai regulasi
yang mengaturnya, mulai dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 sampai
yang terakhir Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Namun Persoalan
mendasar dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa tetaplah sama,
yaitu bagaimana membangun dan menciptakan mekanisme pemerintahan
yang dapat mengemban misinya dalam mewujudkan masyarakat yang
sejahtera dengan berkeadilan. Pemerintah harus melaksanakan
pembangunan berdasarkan aspirasi masyarakat, dan memberikan pelayanan
publik dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana dinyatakan oleh (Solekhan,
2012:13) bahwa hakekat keberadaan pemerintahan dan birokrasi adalah
dalam rangka menjalankan tugas memberikan pelayanan sebaik-baiknya
kepada masyarakat.
Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang
diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik
Indonesia”. Dengan demikian Desa adalah entitas yang otonom yang dapat
mengatur urusannya sendiri. Keberadaan desa sebagai entitas sosial dan
budaya, telah lebih dahulu ada sebelum negara Indonesia terbentuk. Ikatan-
ikatan di dalam komunitas terjalin melalui mekanisme kekerabatan yang
longgar. Pola-pola pertukaran sosial yang resiprokal, seperti upacara adat,
komunitas seni budaya, pekerjaan yang dilakukan bersama-sama (gotong
royong), memiliki fungsi sebagai media membangun kebersamaan dalam
menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan.
Eksistensi dan peranan Desa yang sangat vital dalam kehidupan
ketatanegraan Republik Indonesia telah disadari oleh the faunding
fathers ketika menyusun hukum dasar yang menghormati kedudukan daerah-
daerah istimewa dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah
itu mengingat hak asal-usul daerah tersebut. Tersirat bahwa keinginan untuk
membentuk self governing community yang bertumpu pada desa.
Penyelenggaraan otonomi daerah tidak dapat dipisahkan dari
penyelenggaraan pemerintahan desa, karena pemerintahan desa merupakan
subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan, sehingga desa
mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakatnya
Mencermati peran sentral desa dalam sistem ketatanegaraan kita,
dalam rangka mencapai tujuan berbangsa dan bernegara, yaitu masyarakat
yang sejahtera dengan berkeadilan, maka pemerintahan desa yang paling
dekat dengan masyarakat memiliki peran semakin strategis. Isu-isu
kemiskinan dan kesenjangan serta pelestarian adat budaya serta
mengakomodasi kearifan lokal, sebagai kekayaan intelektual bangsa
Indonesia, menjadikan desa sebagai gadis cantik yang harus dijaga dan
dirawat, baik oleh pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten/kota.
Berbagai regulasi di terbitkan oleh pemerintah sejak orde lama, orde baru
maupun orde reformasi dalam rangka menemukan produk hukum yang ideal,
guna memberikan ruang yang lebih luas kepada desa untuk mengembangkan
potensi desanya.
Berbagai terobosan dan regulasi yang dilakukan pemerintah, masih
belum maksimal dalam implementasinya sehingga kesejahteraan rakyat
masih belum bisa dioptimalkan. Kemiskinan, kesenjangan sosial, gizi buruk
dan infrastruktur yang buruk adalah merupakan potret desa kita di beberapa
wilayah Negara Republik Indonesia. Persoalan mendasar yang menjadi
pemicu berbagai permasalahan di desa tersebut dapat diidentifikasi sebagai
berikut :
a. Letak geografis sebagian besar desa berada di wilayah-wilayah yang
cukup sulit dan terisolir, terutama di wilayah-wilayah terdepan dan terluar.
b. Sumber daya manusia di desa yang belum memadai, baik sumber daya
aparatur maupun masyarakat.
c. Akses terhadap pelayanan publik dan informasi yang terbatas, dan
d. Ketimpangan pembangunan
Permasalahan-permasalahan dasar tersebut yang akan dijawab
oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, yang diharapkan sebagai solusi,
dari permaalahan kompleks di desa, sehingga masyarakat perdesaan dapat
segera bangkit bersama-sama, dengan tetap mempertahankan adat budaya
dan asal-usulnya menuju kemandirian.

II. KEMANDIRIAN DESA


A. Desa Mandiri

Semangat untuk melakukan akselarasi kesejahteraan masyarakat


desa dalam UU Desa tak bisa dimungkiri, hal ini sebagaimana tertuang dalam
pasal 4 mengenai Pembangunan Desa UU No. 6 Tahun 2014: a) memberikan
pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan
keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia; b) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum
atas desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi
mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; c) melestarikan dan
memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa; d) mendorong
prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan
potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama; e) membentuk
pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta
bertanggung jawab; f) meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat
desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; g) meningkatkan
ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan masyarakat
desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari
ketahanan nasional; h) memajukan perekonomian masyarakat desa serta
mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan i) memperkuat
masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014, menjadi momentum guna


percepatan pembangunan desa. Menjadi keniscayaan bahwa mendorong
desa menjadi sejahtera dan mandiri adalah tanggung jawab semua pihak.
Bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, baik desa maupun
pemerintah daerah saja, melainkan keterlibatan semua pihak menjadi mutlak
adanya. Kesejahteraan masyarakat desa, kemajuan desa, dan kemandirian
desa tidak akan terwujud manakala seluruh elemen masyarakat dari berbagai
kalangan berpartisipasi dalam membangun desa. Jika aspek legalitas yang
menjadi ukuran, maka kesejahteraan masyarakat desa akan berhenti pada
tataran normatif dan lip service. Oleh karena itu semua stakeholder harus
bersatu padu agar kesejahteraan desa benar terwujud.
Perlu kiranya merinci secara detail apa itu yang dimasud dengan
mandiri dan kesejahteraan. Hal ini penting sehingga tidak melahirkan
multitafsir, kriteria dan ukuran kesejahteraan dan kemandirian itu bersifat
abstrak, yang sulit untuk dideskripsikan. Dengan demikian cita-cita UU Desa
itu mengenai kesejahteraan masyarakat dan kemandirian itu tidak sekadar
ilusi dan mimpi yang sulit dicapai. Meminjam istilah Midgley (1997:5) dalam
Isband Rukminto bahwa kesejahteraan sosial keadaan atau kondisi hidup
manusia yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelola
dengan baik ketika kebutuhan manusia terpenuhi dan ketika kesempatan
sosial dapat dimaksimalisasi. Hal ini juga dipertegas dalam UU No. 11 Tahun
2009 Pasal I ayat (a) Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak
dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi
sosialnya. Begitu juga dengan makna dan pengertian mandiri, menurut
Basri (1995) kemandirian itu berasal dari kata mandiri. Kata itu berasal dari
bahasa Jawa, dimana dalam bahasa sehari-hari berarti berdiri sendiri. Lebih
detail Basri mengatakan bahwa dalam perspektif psikologis bahwa
kemandirian sebagai keadaan seseorang dalam kehidupannya yang mampu
memutuskan atau mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain.

Sedangkan desa mandiri di definisikan sebagai desa yang mampu


memenuhi kebutuhannya sendiri dan tidak semata tergantung dengan
bantuan dari pemerintah. Parameter dari kemandirian ini dapat di rinci
sebagai berikut :
a. Desa yang ada kerjasama yang baik, sistem administrasi baik,
pendapatan masyarakat cukup. Supaya lebih berdaya, masyarakat perlu
menghormati aturan, kelestarian sumberdaya alam, memiliki kemampuan
keahlian, ketrampilan, sumber pendapatan cukup stabil, semangat kerja
yang tinggi, memanfaatkan potensi alam untuk lebih bermanfaat dengan
menggunakan teknologi tepat guna, mampu menyusun dan melaksanakan
pembangunan desanya.
b. Desa yang mampu mengatur dan membangun desanya dengan
memaksimalkan potensi yang ada di desa dan kemampuan
masyarakatnya dan tidak tergantung pada bantuan pihak luar.
B. Mengembangkan Kemandirian Desa

Menciptakan desa mandiri bukanlah sesuatu yang mudah,


memerlukan kesiapan, keterpaduan dan sinergitas antara pemerintah dan
masyarakat desa. Mengingat untuk pencapaian indikator-indikator yang
menjadi parameter desa mandiri, berbagai sektor dan potensi yang tersedia
harus bisa terkelola dengan tepat. Yang harus dikembangkan dalam
membangun kemandirian desa adalah a) Sarana dan prasarana yang
memadai : (Pedidikan ; Perkantoran ; Kesehatan ; Tempat ibadah ; Akses
jalan dan komunikasi ), b) Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan, c)
Pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan, d) Kemampuan untuk
menunjang pembangunan sendiri, e) Kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan sendiri, f) Kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri dan g) Tidak
tergantung pada bantuan dari luar. Sementara factor-faktor yang
mempengaruhi terbentuknya kemandirian desa adalah :
a. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia memegang peran yang sangat penting dalam
membangun dan mengembangkan kemandirian desa, mengingat semua
potensi yang tersedia akan di kelola oleh individu-individu yang memiliki
kompetensi.Pengembangan sumber daya manusia/human resource desa
meliputi peningkatan kapasitas perangkat desa dan masyarakat secara
umum agar memiliki skill yang dibutuhkan sesuai potensi desanya
sehingga : 1) Masyarakat Desa mempunyai motivasi dan budaya yang
tinggi. 2) Mempunyai jiwa wirausaha yang kuat. 3) Mempunyai
kemampuan dan keterampilan tertentu yang mendukung pengembangan
potensi lokal.
b. Sumber Daya Alam
Potensi Sumber Daya Alam yang tersedia di desa harus dipastikan
terkelola dengan tepat dan mempertimbangkan berbagai aspek yang
terdampak akibat dari pengelolaan sumber daya alam tersebut.
Pengembangan Sumber daya alam ini meliputi : 1) Potensi desa
mempunyai daya saing untuk dikembangkan. 2) Pengelolaan potensi desa
secara berkelompok oleh masyarakat (sentra). 3) Skala usahanya
berbasis sentra yang dilakukan oleh masyarakat.
c. Inovasi dan Kerjasama Desa
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 memberikan keleluasaan kepada
desa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu Inovasi desa yang
strategis adalah kerjasama Desa yang dapat menjadi salah satu alternatif
inovasi/konsep yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan
efektivitas, sinergis, dan saling menguntungkan terutama dalam bidang-
bidang yang menyangkut kepentingan lintas wilayah desa. Kerjasama
Desa memberikan keleluasaan kepada desa untuk mengembangkan
potensi masing-masing. Berdasarkan peraturan perundang-undangan
terkait desa, desa dapat mengadakan kerjasama antar desa sesuai
dengan kepentingannya, untukbkepentingan desa masing-masing, dan
kerjasama dengan pihak ketiga dalam bentuk perjanjian bersama atau
membentuk peraturan bersama kepala desa yang didalamnya
membentuk badan kerjasama antar-desa, yang dimaksudkan untuk
kepentingan desa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, serta bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama
dan mencegah ketimpangan antar desa yang berorientasi pada
kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Kerjasama
desa menjadi penting, karena akan menjadi solusi dalam percepatan
kemandirian desa.
Konsep desa mandiri merupakan pola pengembangan pedesaan
berbasis konsep terintegrasi mulai dari subsistem input, subsistem produksi
primer, subsistem pengolahan hasil, subsistem pemasaran, dan subsistem
layanan dukungan (supporting system). Pengembangannya dilakukan dengan
Pengembangan potensi ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup di desa;
Pengembangan kemandirian berusaha dan kewirausahaan di desa;
Pengembangan kualitas SDM dan penguatan kelembagaan masyarakat desa
Pengembangan jejaring dan kemitraan
Agar pengembangan kemandirian desa berjalan sinergis dan
berkesinambungan, maka Pengembangan Desa Mandiri dilakukan untuk :
1. Penciptaan lapangan kerja dan pengurangan tingkat kemiskinan.
2. Pengembangan program di pedesaan harus sejauh mungkin melibatkan
peran serta semua masyarakat, dari awal sampai akhir.
3. Komoditas yang dikembangkan mengacu pada potensi yang dimiliki oleh
desa tersebut dan layak untuk dikembangkan.
4. Wilayah pengembangan Desa Mandiri tidak dibatasi oleh wilayah
administratif suatu desa.
5. Pengertian desa dalam Desa Mandiri lebih mengacu pada kelayakan teknis
dan sosial ekonomis, bukan wilayah administrasi.
6. Kelembagaan berbasis budaya dan kearifan lokal.

III. PENUTUP
Mencermati uraian diatas, tampak jelas bahwa desa masih
memerlukan goodwill dari pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten/kota
agar mampu mandiri dan mensejahterakan masyarakat desa. Perhatian
serius dari pemangku kepentingan dan melestarikan kearifan lokal/local
genius bisa menjadi solusi dari kompleksitas permasalahan di desa.
Permasalahan kompetensi SDM yang belum memadai, potensi sumber daya
desa yang terbatas, ketimpangan pembangunan dan politik lokal di tingkat
desa bisa jadi tantangan tersendiri dalam membangun kemandirian. Tentu
dengan berbagai regulasi yang telah disiapkan oleh pemerintah,
pengembangan sumber daya manusia, pengelolaan SDA , inovasi dan
kerjasama desa serta pendampingan yang telah dilakukan akan mampu
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang pada akhirnya
kemandirian desa dapat di kembangkan secara berkesinambungan.

Anda mungkin juga menyukai