Anda di halaman 1dari 7

NAMA : NUR HUMAYRAH ANDI BALO

KELAS : TPWK A
NIM : 60800120009
RESUME TEORI PERENCANAAN
1. PENGERTIAN DESA
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dalam system pemerintahan nasional
dan berada di daerah kabupaten. Desa dalam arti umum
juga dapat dikatakan sebagai permukiman manusia yang
letaknya di luar kota dan penduduknya bermata
pencaharian dengan bertani atau bercocok tanam.
Desa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa didefinisikan
sebagai desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama
lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak
asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Menurut Nurcholis (2011) desa adalah satuan
pemerintahan terendah”. Salah satu bentuk urusan
pemerintahan desa yang menjadi kewenangan desa adalah
pengelolaan keuangan desa. Keuangan desa adalah semua
hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban.
Menurut Suhartono, pengertian desa yaitu : (1) pada
umumnya terletak atau sangat dekat dengan pusat wilayah
usaha tani (agraris), (2) dalam wilayah itu, pertanian
merupakan kegiatan perekonomian yang dominan, (3)
faktor penguasaan tanah menentukan corak kehidupan
masyarakatnya, (4) tidak seperti di kota ataupun kota besar
yang sebagian besar penduduknya merupakan pendatang,
populasi penduduk desa lebih bersifat “terganti dengan
sendirinya”, (5) kontrol sosial lebih bersifat informal dan
interaksi antara warga desa lebih bersifat personal dalam
bentuk tatap muka, dan (6) mempunyai tingkat
homogenitas yang relatif tinggi dan ikatan sosial yang
relatif lebih ketat daripada kota.
Pembentukan desa harus memenuhi beberapa syarat
sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa, diantaranya:
1. jumlah penduduk,
2. wilayah kerja yang memiliki akses transportasi antar
wilayah;
3. sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup
bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat desa;
4. memiliki potensi yang meliputi sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi
pendukung;
5. batas wilayah desa yang dinyatakan dalam bentuk peta
desa yang telah ditetapkan dalam peraturan
bupati/walikota;
6. sarana dan prasarana bagi pemerintahan desa dan
pelayanan publik; dan
7. tersedianya dana operasional, penghasilan tetap, dan
tunjangan lainnya bagi perangkat pemerintah desa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
desa mempunyai otonomi sendiri dan batas-batas
wilayah untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat desa itu sendiri. Dengan disahkannya Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa dituntut
agar mandiri dalam menjalankan urusan pemerintahannya
terutama dalam pengelolaan keuangan desa.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa, pemerintahan desa terdiri atas
pemerintah desa dan badan bermusyawaratan desa.
Pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan perangkat
desa. Kepala desa mempunyai tugas menyelenggarakan
urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.
Menurut Sukriono (2010) mendefinisikan pemerintah
desa adalah, kepala desa dan perangkat desa sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan desa. Rumusan ini berbeda
dengan UU Nomor 5 Tahun 1979 yang menyebutkan,
bahwa pemerintahan desa terdiri atas kepala desa dan
LMD.
UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 membedakan
secara tegas peran kepala desa dan BPD. Kepala desa
adalah pelaksana kebijakan sedangkan BPD adalah
lembaga pembuat dan pengawas kebijakan (peraturan
desa). Jadi, BPD merupakan badan seperti DPRD kecil di
desa.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa Pasal 18 menerangkan bahwa, kewenangan desa
meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan
pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa,
pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan
masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal
usul, dan adat istiadat desa.
Selanjutnya pada Pasal 19 dijelaskan ”Kewenangan
Desa meliputi: kewenangan berdasarkan hak asal usul;
kewenangan lokal berskala desa; kewenangan yang
ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi,
atau pemerintah daerah kabupaten/kota”
Desa memeliki hak, wewenang, dan kewajiban
pemerintahan desa dalam menjalankan pemerintahannya,
sebagai berikut:
1. Hak pemerintahan desa
a. Menyelenggarakan rumah tangganya sendiri; dan
b. Melaksanakan peraturan-peraturan dan ketentuan-
ketentuan dari pemerintah dan pemerintah daerah.
2. Wewenang pemerintahan desa
a. Menyelenggarakan musyawarah desa untuk
membicarakan masalah-masalah penting yang
menyangkut pemerintahan desa dan kehidupan
masyarakat desanya;
b. Melakukan pungutan dari penduduk desa berupa iuran
atau sumbangan untuk keperluan penyelenggaraan
pemerintahan desa dengan memperhatikan kemampuan
ekonomi masyarakat yang bersangkutan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
c. Menggerakkan partisipasi masyarakat untuk
melaksanakan pembangunan.
3. Kewajiban pemerintahan desa
a. Menjalankan pemerintahan, pembangunan dan
pembinaan masyarakat di desa yang bersangkutan;
b. Menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa;
c. Melakukan tugas-tugas dari pemerintah dan pemerintah
daerah;
d. Menjamin dan mengusahakan keamanan, ketentraman,
dan kesejahteraan warga desanya; dan
e. Memelihara tanah kas desa, usaha desa dan kekayaan
desa lainnya yang menjadi milik desa untuk tetap
berdaya guna dan berhasil.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Pasal 24 menyatakan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa berdasarkan 11 asas berikut ini:
1. Kepastian Hukum
2. Tertib Penyelenggaraan Pemerintahan
3. Tertib Kepentingan Umum
4. Keterbukaan
5. Proporsionalitas
6. Profesionalitas
7. Akuntabilitas
8. Efektivitas Dan Efisiensi
9. Kearifan Lokal
10. Keberagaman
11. Partisipatif
Kewenangan-kewenangan yang dimiliki desa
mendorong agar desa bisa lebih mandiri, kreatif dan
inovatif dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya yaitu dengan membangkitkan prakarsa dan
potensi-potensi sumber daya yang ada.
2. WILAYAH AGROWISATA
perbedaan antara agrowisata dan ekowisata dapat dilihat
pada definisi dibawah ini:
Ekowisata atau ecotourism merupakan
pengembangan industri wisata alam yang bertumpu pada
usaha-usaha pelestarian alam atau konservasi. Beberapa
contoh ekowisata adalah Taman Nasional, Cagar Alam,
Kawasan Hutan Lindung, Cagar Terumbu Karang, Bumi
Perkemahan dan sebagainya (Bappenas, 2004).
Agrowisata adalah objek wisata dengan tujuan untuk
memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi, dan
hubungan usaha di bidang pertanian. Agrowisata atau
agrotourism dapat diartikan juga seabagai pengembangan
industri wisata alam yang bertumpu pada pembudidayaan
kekayaan alam. Industri ini mengandalkan pada
kemampuan budidaya baik pertanian, peternakan,
perikanan atau pun kehutanan. Dengan demikian
agrowisata tidak sekedar mencakup sektor pertanian,
melainkan juga budidaya perairan baik darat maupun laut
(Bappenas, 2004).
Obyek wisata yang paling lama berkembang adalah
obyek wisata yang menonjolkan keindahan alam, seni dan
budaya. Obyek wisata ini oleh Pemerintah telah diakui
sebagai penghasil devisa terbesar dari sektor non-migas.
Mengingat keindahan alam menjadi daya tarik yang kuat
bagi wisatawan, potensi ini menarik untuk digarap.
Indonesia sebagai negara agraris memiliki lahan pertanian
yang sangat luas. Rangkaian kegiatan pertanian dari
budidaya sampai pasca panen dapat dijadikan daya tarik
tersendiri bagi kegiatan pariwisata.
Dengan menggabungkan kegiatan agronomi dengan
pariwisata banyak perkebunan-perkebunan besar di
Indonesia dikembangkan menjadi obyek wisata agro.
Kawasan agrowisata yang dimaksud merupakan kawasan
berskala local yaitu pada tingkat wilayah Kabupaten/Kota
baik dalam konteks interaksi antar kawasan lokal tersebut
maupun dalam konteks kewilayahan propinsi atau pun yang
lebih tinggi.
Dalam membangun dan mengembangkan desa wisata,
dasar utama dan penting yang harus dipahami oleh para
pengembang adalah;
(1) desa tempat dimana pemerintah desa dilaksanakan,
dengan demikian adanya pembangunan desa wisata tidak
menjadi pesaing atau mempengaruhi sistem pemerintahan
desa yang telah berjalan,
(2) desa tempat dimana masyarakat desa mengolah
kehidupan dan menjalankan kehidupan beragama, dengan
demikian setiap bentuk pembangunan sosial ekonomi
yang masuk tidak merusak pola ekonomi desa, tetapi
menunjang terhadap struktur ekonomi pedesaan,
(3) desa tempat masyarakat memanfaatkan waktu luang,
rekreasi dan bercengkerama dengan alamnya, dengan
demikian bagi wisatawan akan mendorong terwujudnya
keharmonisan dengan masyarakat setempat. Adapun
struktur perencanaan dan pengembangan kawasan desa
wisata diawali secara bottom up dengan mengkaji
berbagai kekuatan masyarakat desa baik dari sisi budaya
sosial, lingkungan, ekonomi, sumber daya yang menjadi
landasan kehidupan masyarakat desa.
Oleh karena desa wisata merupakan salah satu bentuk
keterkaitan pembangunan antar sektor yang tercermin pada
perencanaan dan pengembangan integrasi dalam bentuk
prasarana, sarana dan pemberdayaan masyarakat. Untuk
tercapainya optimalisasi unsur-unsur tersebut maka
pendekatan zonasi dalam kawasan desa wisata merupakan
sistem yang dapat memadukan kebutuhan fasilitas dan
perlindungan atau konservas.
3. WILAYAH PERTANIAN
Pengembangan kawasan pertanian harus
memperhitungkan lokasi relatifnya terhadap pusat pasarnya
agar posisinya relatif efisien dalam arti memberikan ongkos
transport total per satuan unit produk terendah. Hal ini
penting untuk mengembangkan konfigurasi ruang pertanian
yang efisien sehinga pengembangan wilayah pertanian
dapat memberikan hasil yang optimal bagi masyarakat
konsumen dan rumah tangga pertanian.
1. Teori Lokasi
Teori lokasi merupakan salah satu teori yang melandasi
perlunya pembangunan berbasis wilayah. Landasan yang
digunakan dalam teori lokasi adalah mengoptimalkan
pemanfaatan ruang. Prinsip dari teori lokasi adalah
menata lokasi seluruh kegiatan ekonomi dalam suatu
ruang sedemikian rupa agar seluruh ruang yang tersedia
dapat dimanfaatkan secara optimal.
2. Teori “Land Rent”
Salah satu ciri penting dalam pengembangan kawasan
pertanian adalah dibutuhkannya hamparan lahan yang
luas dan memenuhi skala ekonomi. Hamparan lahan ini
memiliki posisi yang bervariasi terhadap pusat pasar di
mana produk pertanian dapat dipasarkan dan input
produksi dapat diperoleh. Pengembangan kawasan
pertanian harus memperhitungkan lokasi relatifnya
terhadap pusat pasarnya agar posisinya relatif efisien
dalam arti memberikan ongkos transport total per satuan
unit produk terendah. Hal ini penting untuk
mengembangkan konfigurasi ruang pertanian yang
efisien sehinga pengembangan wilayah pertanian dapat
memberikan hasil yang optimal bagi masyarakat
konsumen dan rumah tangga pertanian
3. Teori Konsep Dasar Pembangunan Berbasis Wilayah
Berbagai konsep pembangunan berdimensi wilayah
telah berkembang dan diterapkan di Indonesia. Menurut
Bappenas (2006) berbagai konsep pengembangan
wilayah yang pernah diterapkan diantaranya adalah:
(1) Konsep pengembangan wilayah berbasis karakter
sumberdaya;
(2) konsep pengembangan wilayah berbasis penataan
ruang;
(3) konsep pengembangan wilayah terpadu. Konsep ini
menekankan kerjasama antar sektor untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan
kemiskinan di daerahdaerah tertinggal;
(4) konsep pengembangan wilayah berdasarkan klaster.
4. Teori Konsep Pembangunan Wilayah Berbasis Penataan
Ruang
Konsep pengembangan wilayah berbasis penataan ruang
(spasial) merupakan konsep pembangunan wilayah
dengan menggunakan pendekataan penataan ruang
wilayah. Di Indonesia, pendekatan ini
diimplementasikan dalam bentuk penyusunan penataan
ruang nasional yang dirinci kedalam wilayah provinsi
dan kabupaten. Konsep pengembangan wilayah berbasis
penataan ruang, membagi wilayah ke dalam:
(1) pusat pertumbuhan;
(2) integrasi fungsional;
(3) desentralisasi.
Ketiga hal ini menjadi dasar pengembangan wilayah
berbasis penataan ruang
4. WILAYAH PETERNAKAN
Pembentukan, penataan, dan pengembangan Kawasan
Agribisnis ini merupakan langkah awal dalam
pengembangan kawasan peternakan. Agribisnis berbasis
peternakan ini merupakan salah satu alternatif program
terobosan yang diharapkan dapat menjawab tantangan dan
tuntutan pembangunan peternakan, yaitu kecukupan
(swasembada) daging 2005, mempertahankan swasembada
telur yang telah dicapai, dan meningkatkan produksi susu
dalam negeri, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat
peternak (Bappenas, 2004).
Pengembangan kawasan peternakan ini harus dimulai
dari perubahan cara pandang terhadap peternakan itu
sendiri. Bila selama ini peternakan hanya dipandang dari
aspek budidayanya pada tingkat on-farm saja, maka pada
era industrialisasi sekarang ini, peternakan harus dilihat
secara keseluruhan sebagai suatu konsep agribisnis.
Dalam paradigma baru ini, peternakan dipandang
sebagai suatu sistem agribisnis yang kegiatanya mencakup
subsistem:
1) Budidaya atau production,
2) pengadaan produksi ternak (Sapronak) atau input faktor,
3) Industri pengolahan atau processing,
4) Pemasaran atau marketing,
5) Jasa-jasa kelembagaan atau supporting institution
(Saragih, 2000 dalam Bappenas, 2004). Kelima subsistem
ini harus dipandang sebagai satu kesatuan yang harus
ditangani dan dibina secara simultan dan komprehensif.

Anda mungkin juga menyukai