Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, terutama Bab XI yang
membahas dan mengatur mengenai desa, merupakan suatu
cerminan yang memberikan suatu dasar yang berlandaskan
pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Walaupun
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 belum secara jelas
mengatur tata kewenangan antara pemerintah, pemerintah
daerah dan desa, ini tetap memberikan suatu pentidakuan atas
otonomi asli yang ada pada desa. Hak untuk mengurus atau
mengatur rumah tangganya sendiri sebagai kesatuan
masyarakat hukum tidak hanya berkaitan dengan kepentingan
pemerintahan semata, akan tetapi juga berkaitan dengan
kepentingan masyarakatnya.
Keberhasilan dari suatu pemerintahan terletak pada
pemerintahannya sendiri, dalam hal ini pemerintah telah
membuat peraturan yang berkaitan guna mengatasi
permasalahan yang ada di desa khusunya terkait pembangunan
desa di Indonesia yang masih lemah dari berbagai aspek
pembangunan, baik aspek bantuan dan dukungan moril,
politik, teknologi maupun pendanaan. Peraturan terkait
Pemerintah Desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun
1979, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004, dan Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2005. Kemudian Pada tahun 2014 pemerintah membuat
peraturan Perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengarah pada kemandirian

1
2

desa, baik dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun


dalam pengelolaan keuangan desa.
Berdasarkan isi dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014, Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut
Purwo Santoso Desa adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan
adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada
dasarnya, desa merupakan awal bagi terbentuknya masyarakat
politik dan pemerintahan di Indonesia. Jauh sebelum negara
modern ini terbentuk, kesatuan sosial sejenis desa atau
masyarakat adat telah menjadi institusi sosial yang
mempunyai posisi sangat penting. Mereka ini merupakan
institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan
hukumnya sendiri yang mentidakar kuat serta relatif mandiri
dari campur tangan kekuasaan dari luar. 1
Dalam system pemerintahan desa menurut Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1979 yang disebut dengan
Pemerintahan Desa adalah Kepala Desa dan Lembaga
Musyawarah Desa. Pemerintahan Desa dalam melaksanakan
tugasnya dibantu oleh perangkat desa yang terdiri dari

1
Purwo Santoso, Pembaharuan Desa Secara Partisipatif, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 2.
3

Sekretariat Desa dan Kepala-kepala Dusun. Pelaksanaan


administrasi desa dilaksanakan oleh Sekretariat Desa dan
Kepala-kepala Urusan yang merupakan staf membantu Kepala
Desa dalam menjalankan hak wewenang dan kewajiban
pemerintahan desa. Sekretaris Desa sekaligus menjalankan
tugas dan wewenang Kepala Desa sehari-hari apabila Kepala
Desa berhalangan. Pemerintahan Desa juga dilengkapi dengan
Lembaga Musyawarah Desa yang berfungsi menyalurkan
pendapat mayarakat di desa dengan memusyawarahkan setiap
rencana yang diajukan Kepala Desa sebelum ditetapkan
menjadi ketetapan desa. 2
Desa bukanlah bawahan Kecamatan, karena Kecamatan
merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/ kota, dan
desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda
dengan kelurahan, desa memiliki hak untuk mengatur
wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya,
sebuah desa dapat ditingkatkan statusnya menjadi kelurahan.
Desa memiliki pemerintahan sendiri. Pemerintahan Desa
terdiri atas Pemerintah Desa yang meliputi Kepala Desa,
Perangkat Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Kepala Desa merupakan pimpinan penyelenggaraan
pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga
perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa
bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota
BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat,

2
Widjaja, Pemerintahan Desa Dan Administrasi Desa, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 5.
4

golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka


masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun
dan dapat diangkat/ diusulkan kembali untuk 1 kali masa
jabatan berikutnya. 3
Desa mempunyai hak otomomi. Sebagai konsekuensi
logis mempuyai otonomi, ia harus antara lain mempunyai
sumber keuangan sendiri. Sumber pendapatan desa adalah
pendapatan asli daerah dan pemberian pemerintah daerah . 4
Dalam Pasal 72 Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014,
sumber pendapatan desa dibagi dalam lima bagian umum:
pendapatan asli desa, bantuan pemerintah kabupaten, bantuan
dari pemerintah pusat dan propinsi, sumbangan dari pihak
ketiga, dan pinjaman desa. Keuangan desa menurut pasal ini
diatur dalam APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa) yang ditetapkan oleh Kades bersama Badan
Permusyawaratan Desa (BPD).
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes)
adalah instrusmen penting yang sangat menentukan
tewujudnya tata pemerintahan yang baik (Good Governance)
di desa. Tata pemerintahan yang baik antara lain dapat diukur
melalui proses penyusunan dan pertanggungjawaban APBDes.
Sebagai pemegang otonomi asli, desa bisa mengambil prakrasa
dan inisiatif dalam mengelola keuangan desa, tanpa adanya
intervensi dari pemerintah diatasnya atau supra desa. Hal ini
berarti dengan adanya otonomi desa, maka desa lebih leluasa
dalam menentukan arah kebijakan pembangunan desa dengan

3
Abdussakur, Implementasi Kebijakan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa (APBDes) di Wilayah Kecamatan Batu Benawa Kabupaten Hulu
Sungai Tengah Provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal Ilmu Politik dan
Pemerintahan Lokal, Volume I Edisi 2, Juli-Desember, 2012.
4
Widjaja, Pemerintahan…, hlm. 65.
5

dibingkai APBDes. Anggaran pendapatan belanja dan desa


(APBDes) pada perinsipnya merupakan rencana pendapatan
dan pengeluaran desa selama satu tahun kedepan yang dibuat
oleh Kepala Desa bersama-sama BPD yang dituangkan
kedalam peraturan desa dan sesuai pedoman yang di buat oleh
Bupati yang pada dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat
dan untuk pembangunan desa.
Berdasarkan Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang Desa
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang berbunyi:
“Musyawarah perencanaan Pembangunan Desa
menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan
kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya
masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota”.

Juga dalam ketentuan Pasal 90 ayat (1) PP Nomor 47


Tahun 2015 yang berbunyi:
“Penyelenggaraan kewenangan Desa berdasarkan hak
asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa didanai
oleh APB Desa”.

Meskipun dalam penyususan APBDes ini berpedoman


pada Perda Kabupaten, tapi prioritas masing-masing Desa bisa
berbeda. Ini sangat tergantung dari kondisi riil masing-masing
Desa, dan menyangkut potensi dan harus disesuaikan dengan
kebutuhan dari Masyarakat itu sendiri, sehingga diharapkan
APBDes menjadikan APBDes yang partisipatif. Besar
kecilnya partisipasi masyarakat merupakan faktor penting
dalam proses pembangunan, karena pada kenyataannya
pembangunan desa sangat memerlukan adanya keterlibatan
aktif dari masyarakat. Keikutsertaan masyarakat tidak saja
dalam perencanaan tetapi juga pelaksanaan program-program
6

pembangunan di desa. Sehingga penilaian terhadap aparatur


desa tidak negatif dalam menjalankan tugas utama untuk
memberikan pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan. Persepsi akan timbul bilamana dalam
menjalankan tugas tidak sesuai dengan harapan masyarakat
desa. Prosedur yang dipersulit dijadikan kepentingan pribadi
atau komunitas yang dipergunakan untuk kepentingan pribadi.
Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan, untuk
mendukung perkembangan desa untuk lebih baik. Maka dari
itu dibutuhkan transparansi dari aparatur desa serta
masyarakat. Juga menjalin komunikasi yang baik antara
elemen yang bekepentingan (Masyarakat dan aparatur Desa).
Fungsi kontrol ini sangat penting untuk melihat sejauh mana
transparansi pengelolaan keuangan pemerintah desa selama
satu tahun berjalan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Otonomi ?
2. Apa pengertian dari Desa ?
3. Apa pengertian dari Otonomi Desa ?
7

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Otonomi
Otonomi merupakan suatu kewenangan yang lebih
mandiri dan bersifat lebih homogen dan integral yang
diberikan kepada masing-masing daerah dalam rangka
menciptakan kemandirian kesatuan wilayah pemerintahan
untuk melakukan penyelenggaraan pemerintaha dengan lebih
berorientasi kepada kondisi daerah dan tuntutan kebutuhan
masyarakat daerah setempat. 5
Otonomi menurut Sunindhia Otonomi yaitu kebebasan
atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan, namun kebebasan
yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian
kesempatan yang harus dipertaggung jawabkan. Dengan
demikian otonomi merupakan suatu tanggung jawab oleh
daerah untuk menyelenggarakan dan mensejahterakan rakyat
dalam menciptakan pembangunan serta mengembangkan
sumberdaya yang ada.
Kendala yang harus diatasi oleh desa dalam
menggembangkan otonomi adalah bagaimana melepaskan diri
dari berbagai perangkap ketergantungan terhadap supra desa.
Pentingnya desa menata diri dalam membangun potensi
internalnya sehingga dapat mengkonsulidasikan diri dalam
suatu kekuatan yang membuat desa memiliki daya tawar
terhadap kuasa politik atau modal yang akan masuk
kedalamnya.

B. Pengertian Desa
5
Wayan Carwiaka, Pelaksanaan Otonomi Desa di Desa Bumi Rapak
Kecamatan Kauban Kabupaten Kutai Timur, eJournal Ilmu Pemerintahan,
Volume 1 Edisi 1. 2. 2013, hlm. 2.
8

Secara etimologi kata desa berasal dari bahasa


Sansekerta, deca yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah
kelahiran. Dari perspektif geografis, desa atau village
diartikan sebagai “a groups of hauses or shops in a country
area, smaller than a town”. Desa adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki kewenangan untuk mengurus rumah
tangganya sendiri berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat
yang diakui dalam Pemerintahan Nasional dan berada di
Daerah Kabupaten.
Berdasarkan kutipan dari Adelfia Crestofiane
Mangimpis yang didalamnya mengutip buku dari
Kartohadikoesoemo, Menurut Kartohadikoesoemo desa
merupakan wilayah terkecil yang ada di Indonesia, bahwa desa
merupakan kesatuan hukum tempat tinggal suatu masyarakat
yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri
merupakan pemerintahan terendah di bawah camat. 6
Desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang
bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai
Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi,
otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. 7
Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa :
“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
6
Frisky Maringka, Implementasi Kebijakan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa dalam Pelaksanaan Pembangunan Di Desa Rasi Satu Kecamatan
Ratahan Kabupaten Minahasa Tenggara, Jurnal Eksekutif. Volume 1 Edisi 7.
2016, hlm. 1.
7
Widjaja, Pemerintahan…, hlm. 3.
9

berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,


dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.

Dalam pengertian desa menurut Widjaja dan Undang-


Undang Nomor 23 Tahun 2014 di atas sangat jelas sekali
bahwa desa merupakan Self Community yaitu komunitas yang
mengatur dirinya sendiri. Dengan pemahaman bahwa desa
memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur
kepentingan masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan sosial
budaya setempat, maka posisi desa yang memiliki otonomi asli
sangat strategis sehingga memerlukan perhatian yang
seimbang terhadap penyelenggaraan otonomi daerah. Karena
dengan otonomi desa yang kuat akan mempengaruhi secara
signifikan perwujudan otonomi daerah.
Desa mempunyai kewenangan serta hak dan kewajiban
yang tertuang dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa, yakni: “Kewenangan Desa meliputi
kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan
Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa, berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa”.
Berdasarkan Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang Desa
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang berbunyi
“Musyawarah perencanaan Pembangunan Desa menetapkan
prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan
Desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota”. Juga dalam
ketentuan Pasal 90 ayat (1) PP Nomor 47 Tahun 2015 yang
10

berbunyi “Penyelenggaraan kewenangan Desa berdasarkan hak


asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa didanai oleh
APB Desa”.

C. Otonomi Desa
Otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh
serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya
pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang
dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak
istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum
publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta
benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan. 8
Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan
kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak
asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada
masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti
perkembangan desa tersebut. Urusan pemerintahan
berdasarkan asal-usul desa, urusan yang menjadi wewenang
pemerintahan Kabupaten atau Kota diserahkan pengaturannya
kepada desa. Namun dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan
kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi desa harus tetap
menjunjung nilai-nilai tanggungjawab terhadap Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan menekankan bahwa desa
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa dan negara
Indonesia. 9

8
Widjaja, Pemerintahan…, hlm. 165.
9
Widjaja, Pemerintahan…, hlm. 166.
11
12

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembahasan di atas memaparkan bahwa lahirnya UU
No.6/2014 menghidupkan kembali peran penting pemerintahan
desa sebagai otonomi asli. Pemerintah desa dapat turut serta
dalam proses pembangunan dengan turut bertanggung jawab
dalam rangka pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa, salah satunya melalui
pemanfaatan penggunaan dana desa. Di sini, desa memiliki
otonomi asli yang bermakna kewenangan pemerintah desa
dalam menyatukan dan mengurus kepentingan masyarakat atas
dasar hak asal-usul dan nilai-nilai budaya yang ada pada
masyarakat, namun harus diselenggarakan dalam pespektif
administrasi modern.
Hal tersebut sejalan dengan prinsip otonomi daerah
yang luas, nyata dan bertanggung jawab yang diletakkan di
kabupaten/kota maka korbinwas dengan pemerintah desa
sepanjang bukan lintas kabupaten/kota dilakukan oleh
kabupaten/kota yang bersangkutan, termasuk pengawasan
terhadap peraturan desa dan keputusan kepala desa. Selain itu
desa sebagai suatu komunitas yang mengatur dan mengurus
urusannya sendiri atas dasar kearifan lokal diharapkan dapat
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas masyarakat serta
mendorong partsipasi aktif masyarakat dengan memanfaatkan
potensi SDA dan SDM yang tersedia. Ini diharapkan pada
gilirannya akan menghasilkan pemerintahan desa dan
masyarakat desa yang mandiri secara ekonomis. Kedepannya,
peran unsur-unsur pembangunan non-pemerintah dapat
menempati porsi yang besar dalam proses pembangunan
13

berkelanjutan. Sedangkan pemerintah desa lebih pada posisi


memfasilitasi dan mengakomodasi unsur-unsur tersebut dalam
melaksanakan pembangunan desa.
Partisipasi masyarakat ini dapat diwujudkan dalam
penggunaan dana desa dimana keberadaan dana desa sebagai
alat politik bagi kepala desa. Di sini kepala desa memiliki
peranan penting dalam memutuskan prioritas-prioritas dan
kebutuhan dana terhadap prioritas tersebut. Dana desa sebagai
political tool merupakan komitmen eksekutif dan kesepakatan
legislatif atas penggunaan dana desa untuk kepentingan
masyarakat desa. Oleh karena itu dalam hal penggunaan dana
desa membutuhkan political skill, coalition building, keahlian
bernegosiasi, dan pemahaman tentang prinsip manajeman
keuangan oleh pengambil kebijakan di desa (kepala desa
beserta perangkatnya). Kegagalan dalam pelaksanaan
penggunaan dana desa dapat menjatuhkan kepemimpinan
kepala desa atau paling tidak menurunkan kredibilitas
pemerintah desa. Disinilah peran pendamping menjadi penting
untuk meningkatkan kualitas SDM desa. Namun, keberadaan
peran pendamping ini perlu ditetapkan dengan MoU yang jelas
sehingga tidak akan menimbulkan kendala ke depannya
apabila kebutuhan atas mereka berkurang atau ditiadakan
sampai dengan kapasitas dan kapabilitas SDM desa benar-
benar siap. Persoalan lainnya, keberadaan dana desa yang
telah digelontorkan sejak tahun 2016 masih belum dirasakan
manfaatnya secara optimal bagi efektivitas penggunaan DD
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena
itu, diperlukan usaha dan kerja keras semua pihak mulai dari
pemerintah (kemendagri, kemenkeu, kemendes) dan pemda
kabupaten/kota serta pemerintah desa beserta masyarakat desa
14

untuk terlibat secara aktif dalam proses pembangunan desa,


utamanya melalui BPD.
15

DAFTAR REFERENSI

Abdussakur. 2012. Implementasi Kebijakan Anggaran Pendapatan


dan Belanja Desa (APBDes) di Wilayah Kecamatan Batu
Benawa Kabupaten Hulu Sungai Tengah Provinsi
Kalimantan Selatan. Jurnal Ilmu Politik dan
Pemerintahan Lokal, Volume I Edisi 2, Juli-Desember.

Carwiaka, Wayan. 2013. Pelaksanaan Otonomi Desa di Desa Bumi


Rapak Kecamatan Kauban Kabupaten Kutai Timur,
eJournal Ilmu Pemerintahan, Volume 1 Edisi 1. 2.

Frisky Maringka. 2016. Implementasi Kebijakan Anggaran


Pendapatan dan Belanja Desa dalam Pelaksanaan
Pembangunan Di Desa Rasi Satu Kecamatan Ratahan
Kabupaten Minahasa Tenggara, Jurnal Eksekutif. Volume
1 Edisi 7.

Santoso, Purwo. 2003. Pembaharuan Desa Secara Partisipatif,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Widjaja, 2005. Pemerintahan Desa dan Administrasi Desa, Jakarta:


Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai