Anda di halaman 1dari 36

PENJELASAN

ATAS
RANCANGAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN
TENTANG
PENETAPAN DESA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, yang


terdiri dari wilayah-wilayah (Daerah) provinsi dan kabupaten/kota. Kabupaten /
kota terdiri dari beberapa kecamatan dan dalam satu kecamatan terdiri dari
beberapa kelurahan dan Desa.
Desa memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam sistem
Pemerintahan Indonesia mengingat bahwa Desa merupakan satuan
Pemerintahan terkecil yang memiliki peranan fundamental bagi Negara.
Pengertian Desa sangat beragam, artinya sangat tergantung dari sudut mana
melihat Desa.
Perspektif geografi misalnya, Desa dimaknai sebagai tempat atau daerah,
dimana penduduk berkumpul dan hidup bersama dan mereka dapat
menggunakan lingkungan setempat untuk mempertahankan, melangsungkan
dan mengembangkan kehidupannya. Dijelaskan Desa bercirikan bahasa ibu
yang kental, tingkat pendidikan yang relatif rendah, pencaharian umumnya dari
sektor pertanian. Bahkan terdapat kesan bahwa pemahaman umum memandang
Desa sebagai tempat bermukim para petani. Akan tetapi saat ini pandangan
tentang Desa mulai berubah seiring perkembangan tata pemerintahan. Desa
mempunyai otonomi yang disebut dengan otonomi Desa dan perlu ditegaskan
bahwa otonomi Desa bukan diberikan oleh Negara tetapi otonomi Desa berasal
dari Desa itu sendiri.

Hal tersebut didasarkan pada sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia


dimana Desa jauh lebih dulu terbentuk dari pada Negara Republik Indonesia.

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 1


Akan tetapi hukum positif Indonesia juga mengatur tentang Desa, diantaranya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, menekankan bahwa
Negara yang memberikan otonomi kepada Desa. Dengan disahkannya Undang-
Undang Desa, maka diprediksikan Desa akan memasuki babak baru untuk
penataan dan pembangunan wilayahnya (Yansen, 2014), yang datang membawa
harapan-harapan baru bagi kehidupan kemasyarakatan dan pemerintahan yang
ada di Desa (Faozi, 2014).
Penerapan dan pelaksanaan otonomi Desa diharapkan membawa
semangat perubahan dalam mewujudkan tujuan pembangunan yang seharusnya
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa. Desa sebagai
Pemerintahan terkecil di Republik Indonesia sangatlah perlu untuk memiliki
sistem yang mapan serta pentingnya melakukan penataan Desa sebagai upaya
mewujudkan Pemerintahan Desa yang efektif dan efisien. Adapun yang termasuk
dalam ruang lingkup penataan Desa adalah pembentukan, penghapusan,
penggabungan, pendanaan, perubahan status dan penetapan Desa (Khoiriah,
2017).
Akhir-akhir ini sudah banyak yang memberikan informasi baik media cetak
maupun elektronik terkait keberadaan Desa fiktif atau “Desa Hantu’, Sebutan itu
muncul setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan
kemunculan Desa-Desa baru, yang berimbas dengan adanya kucuran Dana
Desa.
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 dan Pasal 32 Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemeritah
telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2017 tentang
Penataan Desa. Melalui Permendagri Nomor 1 tahun 2017 tentang Penataan
Desa dimaksud bertujuan untuk menata Desa dan memberikan kepastian hukum
terhadap Desa-Desa baik yang sudah ada maupun Desa yang baru terbentuk.

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 2


B. Identifikasi Masalah

Peraturan Daerah merupakan alat untuk menjawab berbagai persoalan


yang berkaitan dengan ranah pengaturan suatu produk hukum. Sebagai wahana
dalam menjawab persoalan dimaksud tentu saja diperlukan inventarisasi isi
strategis sebagai sasaran yang harus menjadi target fungsional Perda itu sendiri.
Brikut ini beberapa isu strategi yang cukup prinsip dan mendasar berkaitan
dengan rencana Peraturan Daerah yaitu :
1. Apakah benar adanya perbedaan nama Desa Ardi Mulya dan Ardi Mulyo di
Kecamatan Tanjung Palas Utara;
2. Mengapa Desa Anjar Arif Kecamatan Sekatak tidak terdata dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 1996;
3. Adanya informasi baik media cetak maupun elektronik terkait keberadaan
Desa fiktif atau “Desa Hantu’,
4. Perlunya regulasi yang jelas tentang Penetapan Desa;

C. Maksud, Tujuan dan Kegunaan

Penetapan Desa dimaksudkan untuk memberikan legalitas dan landasan


yuridis secara sah menurut hukum bagi Desa dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan
pemberdayaan masyarakat.
Adapun tujuan penetapan Desa adalah dalam rangka penataan dan
untuk lebih mengoptimalkan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan atas
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Kegunaan Naskah Penjelasan Raperda tentang Penetapan Desa ini
adalah :
1. Sebagai landasan ilmiah dalam memberikan arah dan menetapkan ruang
lingkup dalam penyusunan Raperda, yang dilengkapi urgensi, konsepsi,
landasan, dasar hukum, dan prinsip-prinsip yang digunakan serta pemikiran
norma-norma yang disajikan dalam bentuk uraian sistematis yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmu hukum sesuai perkembangan politik
hukum saat ini;

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 3


2. Sebagai bahan identifikasi dan analisa mengenai berbagai aspek dari
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penetapan Desa;
3. Mengkaji secara mendalam dasar-dasar pertimbangan yuridis, filosofis dan
sosiologis mengenai arti pentingnya Peraturan Daerah tentnag penetapan
Desa;
4. Sebagai dokumen resmi terkait dengan Raperda tentang Penetapan Desa
yang akan dibahas.

D. Metode Penyusunan
Metode penyusunan melalui pendekatan yang digunakan dalam
penyusunan naskah penjelasan ini adalah metode yuridis normatif atau
mencermati referensi hukum kepustakaan maupun peraturan perundang-
undangan. Sejalan dengan itu, maka sumber referensi hukum berupa bahan-
bahan hukum (primer, sekunder dan tersier) seperti peraturan dasar, peraturan
perundang-undangan, tulisan-tulisan, literatur, serta hasil penelitian yang akan
dipergunakan. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan Perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan-bahan sekunder berupa semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.
Publikasi tentang hukum meliputi: buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-
jurnal hukum, dan komentar komentar atas putusan pengadilan (bahan-bahan
tersier). Disamping melaksanakan wawancara, mendengar pendapat narasumber
atau para ahli, dan melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait.
Berdasarkan metode tersebut, data dan informasi yang diperoleh akan
disusun secara deskriptif dan sistimatis untuk memudahkan bagi pengambilan
kebijakan dan membantu perumusan norma oleh tim penyusun atau perancang
Perundang-undangan (legal drafter) khususnya Penyusunan naskah Raperda
tentang Penetapan Desa.

E. Sasaran Yang Ingin Diwujudkan

Sasaran yang ingin diwujudkan adalah menciptakan rasa aman terhadap


masyarakat Desa dengan mewujudkan penetapan Desa yang dilegalisasi dengan
Peraturan Daerah, sehingga dalam pelaksanaan penyelegaraan pemerintahan desa
menjadi tertib administrasi administrasi, dan sah menurut hukum.

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 4


BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis Pembentukan Peraturan Daerah

Peraturan Daerah merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-


undangan yang merupakan bagian integral dari kerangka hukum (Legal
framework) peraturan perundang-undangan di Indonesia. Istilah peraturan
perundang-undangan mencakup substansi arti kata “legislation” sebagai produk
“state legislature” yang di Indonesia berwujud Undang-Undang dan peraturan
Daerah serta “regulation” yang memiliki padanan makna sebagai peraturan
pelaksana. Karakter norma hukum yang termuat dalam peraturan perundang-
undangan adalah “elgemene strekking” (bersifat umum) yang mengatur
hubungan antara rakyat dengan institusi pemerintahan.
Sebagaimana dikemukakan oleh J.H.A Logemann; F.R. Botlink
menjelaskan bahwa peraturan perundang-undangan itu berlaku umum berarti :
a. “umum” itu dapat berhubungan dengan lingkup ruang berlakunya (ruintelijk
geldingsgebied, ruimtegebied) dalam arti berlaku dimana-mana;
b. “umum” itu dapat berhubungan dengan lingkup waktu (tijdsgebied) dalam arti
berlaku terus menerus tanpa maksud terlebih dahulu akan mengubah atau
menariknya;
c. “umum” itu berhubungan dengan subyek hukum yang terkena norma-norma
hukum tersebut, yakni tidak boleh bersifat individual, tetapi berlaku untuk
semua orang;
d. “umum” itu akhirnya berhubungan dengan fakta hukum (rechtsfeit) dari hukum
tersebut harus merupakan fakata yang selalu dan dimana-mana dapat
terulang.
Sifat umum peraturan perundang-undangan tidak hanya menyangkut
subyek hukum yang dikenai pengaturan yang memang berwatak non individual,
tetapi juga berkenaan dengan lingkup: ruan, waktu dan fakta hukumnya. Hal itu
berarti bahwa aturan hukum yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah
ataupun keputusan (misalnya Keputusan Presiden, Keputusan Menteri,
Keputusan Gubernur maupun Keputusan Bupati/Walikota) dapat
dikategorisasikan sebagai peraturan perundang-undangan, apabila norma

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 5


hukumnya berada dalam tataran “regeling” Presiden dan bukan “beschikking”.
Dalam konteks sekarang Keputusan Presiden yang dahulu bisa berlaku umum
sudah diganti dengan Peraturan Presiden, sedangkan Keputusan Presiden
adalah bersifat khusus dan individual. Demikian pula dengan Keputusan Kepala
Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) yang berlaku umum saat ini dituangkan
dengan Peraturan Kepala Daerah, sedang untuk mengatur hal-hal yang bersifat
khusus dan individual tetap dituangkan dalam bentuk Keputusan Kepala Daerah.
Peraturan Daerah di Indonesia secara hirarkhis menjadi bagian dari
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Bentuk peraturan
perundang-undangan di Indonesia diatur dalam UUD 1945 dan Ketetapan MPR
No.III/MPR/2000, yang kemudian dijabarkan lagi dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Ketetapan MPR No.III/MPR/2000, menempatkan UUD 1945 dan Ketetapan MPR
sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan. Memasukkan UUD 1945
dan Ketetapan MPR ke dalam peraturan perundang-undangan secara teoritis-
konseptual tidaklah tepat. UUD 1945 telah diakui sebagai “hukum dasar” yang
memuat “norma dasar” dan Ketetapan MPR mempunyai kekuatan hukum
sederajat “aturan dasar”, sehingga secara yuridis teoritik-konseptual dipahami
bahwa keduanya bukanlah peraturan perundang-undangan. Mengklarifikasi UUD
1945 dan Ketetapan MPR dalam peraturan perundang-undangan adalah salah,
namun, menempatkan keduanya diatas undang-undang adalah benar.
Pandangan teoritik tersebut menjadi tidak banyak berlaku dalam praktek karena
tidak memiliki dasar hukum positif.
Dengan berpaling pada UUD 1945 dan Ketetapan MPR No.III/MPR/2000,
serta konsep dasar “norma hukum negara”, bentuk peraturan perundang-
undangan di Indonesia tercermin dalam tataran atauran hukum berupa :
- Undang-undang (UU);
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
- Peraturan Pemerintah (PP);
- Keputusan Presiden (Kepres), dan
- Peraturan Daerah (Perda).
Sebagaimana pengaturan hukum pada umumnya, maka Peraturan
Daerah juga merupakan bagian dari norma hukum yang akan berlaku di
masyarakat. Pengaturan Hukum dalam konteks yuridis pada dasarnya
Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 6
dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa aturan hukum haruslah dipahami
sebagai penuangan norma hukum dengan konsekuensi empirisnya. Hal ini
sejalan dengan pemikiran bahwa setiap aturan memang merupakan
pencerminan dari suatu norma dan kondisi realistisnya.
Pada kenyataannya hukum bukanlah sebuah tatanan normative belaka
yang terbatas dari permasalahan praktis. Apabila dalam pandangan ilmu hukum,
hukum juga dapat dianggap sebagai suatu institusi social dan berfungsi menjadi
mekanisme pengintegrasian. Posisi hukum termasuk Peraturan Daerah ini nanti
akan juga sebagai institusi sosial yang dapat terlihat dengan baik dalam bagan
asupan-luaran yang dibuat oleh Harry C. Bredemeier yang memanfaatkan
kerangka besar system masyarakat dari teori Talcott Parsons menyatakan bahwa
terdapat singgungan antara berbagai faktor dalam dimensi hukum yang ternyata
tidak “kebal” dari dimensi non hukum.
Deskripsi diatas mampu memberikan pemahaman untuk menunjukan
betapa pembentukan peraturan daerah serta hasil-hasilnya tidak hanya urusan
hukum, melainkan merupakan bagian dari proses kemasyarakatan yang lebih
besar. Mengikuti pemikiran tersebut, maka pola kerja hukum (Perda) yang
dipakai sebagai acuan oleh Bredeimeir adalah yang merupakan hukum sebagai
media pengintegrasian penting semua kebutuhan sosial. Oleh karena itulah,
Raperda ini jelas memiliki sandaran teoritis-sosiologis untuk dijadikan pedoman
dasar dalam mengatur penetapan desa di Kabupaten Bulungan.
Azas pembentukan peraturan daerah tetap terikat pada perangkat hukum
nasional mengenai azas pembentukan peraturan perundang-undangan nasional
berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Perundang-undangan yang meliputi:
a. Kejelasan umum;
b. Kelembagaan atau organ pementuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.
Secara konseptual asaz tersebut berkembang lebih jauh dari sekedar
deretan yang sederhana seperti yang diatur dalam Undang-Undang. Apa saja
Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 7
yang menjadi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
adapat diikuti dalam rangka pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten
Bulungan. Mengikuti pemikiran Baron de Montesquieu, C.K. Allen, Lon L. Fuller,
Jeremy Benthan, van der Vlies, P. Nicolai dan A. Hamid S, Attamimi, dapat
dikemukakan bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik adalah:
1. asas tujuan yang jelas (“het beginselen van de duidelijke
doelstelling”);
2. asas kebutuhan adanya pengaturan yang bersifat umum (“het
noodzakelijkeidsbeginsel”);
3. asas institusi dan substansi yang tepat (“het beginselen van het juiste
orgaan en substantie”);
4. asas dapat diimplementasikan (“het beginsel van de uitvoerbaarheid”)
5. asas diumumkan dan mudah dikenali (“het beginsel van de publicatie
en kenbaarheid”);
6. asas perumusan yang ringkas dan padat (“irredudency principle”)
7. asas penggunaan istilah yang mudah dimengerti dan sistematis (“het
beginsel van de duidelijke terminologie en duidelijke systematiek”);
8. asas konsensus dan konsistensi (“het beginsel van de consensus en
consistentie”);
9. asas tidak saling bertentangan (“noncontradiction”/”non controversy
principle”);
10. asas kepastian hukum (“het rechtszekerheidsbeginsel”);
11. asas tidak berlaku surut (“non retroactive legislation principle”); serta
12. asas menjangkau masa depan (prediktabilitas atau “rule prospective
principle”).

Kedua belas asas tersebut merupakan “pedoman” (“richtlijn”) bagi setiap


langkah dan upaya pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk
pembentukan peraturan daerah. Dengan berpedoman pada asas-asas
termaksud diharapkan bahwa peraturan daerah mengenai Penetapan Desa di
Kabupaten Bulungan memiliki kualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan
yang baik (“behoorlijke wetgewing/regelgeving”).

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 8


Dalam ketentuan di atas, yang dimaksud dengan hierarki adalah
penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada
asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh
karena itu, dalam teknik pembentukan peraturan perundang-undangan (legal
drafting), harus diperhatikan asas-asas penting yang menyertainya, di antaranya
adalah asas harmonisasi hukum dan sinkronisasi hukum, dalam arti bahwa
sebuah produk perundang-undangan, termasuk Perda, tidak boleh bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi. Suatu Perda harus sinkron dengan peraturan
perundang-undangan yang berada pada jenjang di atasnya serta tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sejajar (harmonis).
Apabila terdapat perbedaan substansi dan penormaan antara Peraturan Daerah
dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, maka ketentuan dalam
peraturan daerah harus disesuaikan atau diharmonisasikan / disinkronisasikan
dengan peraturan yang lebih tinggi.

B. Praktek Pelaksanaan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa

Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara
Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya tersebut
dalam Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945 sebelum dilakukan amandemen sebanyak 4 (empat) kali,
menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250
“Zelfbesturendelandschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di
Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang, dan
sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya
dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik
Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala
peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak
asal usul daerah tersebut”.
Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan
keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam
sejarah pengaturan Desa, telah ditetapkan beberapa pengaturan tentang Desa,
yaitu :

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 9


1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan
Daerah;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah;
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah;
4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk
Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh
Wilayah Republik Indonesia;
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
di Daerah;
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa;
7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah
diubah dengan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 24 tambahan Lembaran Negara Nomor 5657), dan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Republik Indonesia 5679);
10. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Bardasarkan amanat ketentuan dalam Pasal 116 ayat (2) Undang-Undang


Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan Pasal 29 ayat (3) Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 10


Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah Daerah harus
melakukan inventarisasi Desa yang ada di wilayahnya dan menetapkan Desa
dengan Peraturan Daerah.
Kabupaten Bulungan terdiri dari 10 (sepuluh) Kecamatan 7 (tujuh)
Kelurahan dan 74 (tujuh puluh empat) Desa. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1996 tentang Pembentukan 13 (Tiga belas)
Kecamatan Di Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Kutai, Berau, Bulungan,
Pasir, Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda Dan Balikpapan Dalam Wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1996 Nomor 56). Terdapat Desa yang belum tercantum, yakni
Desa Anjar Arip Kecamatan Sekatak Kabupaten Bulungan. Namun demikian
secara faktual dilapangan, keberadaan Desa Anjar Arip sampai saat ini
melaksanakan penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan menerima bantuan
Dana Desa dan Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah Kabupaten Bulungan.
Selanjutnya di Kecamatan Tanjung Palas Utara berdasarkan Peraturan
Daerah Kabupaten Bulungan Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pembentukan
Kecamatan Tanjung Palas Barat, Tanjung Palas Utara, Tanjung Palas Timur,
Tanjung Selor, Tanjung Palas Tengah, Sesayap Hilir, Tanah Lia, dan Kecamatan
Peso Hilir Dalam wilayah Kabupaten Bulungan (Lembaran Daerah Kabupaten
Bulungan Tahun 2002 Seri E Nomor 2). Dalam Pasal 4 angka (1) huruf e,
menyebutkan bahwa Nama Desa Ardi Mulya, yang seharusnya Nama Desa
tersebut tertulis Desa Ardi Mulyo. Hal ini diperkuat dengan Surat Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur Nomor 06 Tahun 1997
tentang Penetapan 53 Desa Persiapan Eks UPT di Kabupaten Daerah Tingkat II
Pasir, Kabupaten Daerah Tingkat II Kutai, Kabupaten Daerah Tingkat II Berau,
dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bulungan, dan 5 Desa Persiapan Eks
Resettlement di Kabupaten Daerah Tingkat II Kutai serta 6 Desa Persiapan Hasil
Pemecahan di Kabupaten Tingkat II Kutai menjadi Desa Definitif tanggal 30 April
1997.

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 11


Kemudian di Kecamatan Sekatak berdasarkan Peraturan Daerah
Kabupaten Bulungan Nmor 12 Tahun 2005 tentang Pembentukan Desa dan
Kelurahan Dalam Wilayah Kabupaten Bulungan (Lembaran Daerah Kabupaten
Bulungan Tahun 2005 Seri E Nomor 9), Desa Liagu dimaksud dibentuk berasal
dari sebagian wilayah Desa Sekatak Buji yang pada saat itu terdiri dari Wilayah
RT.1, RT.2, RT.3 dan RT.4.
Dari seluruh Desa yang ada di Kabupaten Bulungan, secara sosio-
antropologis, baik dari struktur sosial maupun aspek penyelenggaraan
pemerintahan, sudah tidak ditemukan fakta adanya potensi penyelenggaraan
pemerintahan desa yang akan diakui dan dikembangkan berdasarkan hukum
adat yang berkembang di tingkat desa, sebagaimana desa-desa di jawa. Oleh
karena itu penetapan Desa ini merupakan langkah strategis untuk memberikan
arah dan landasan yuridis secara hukum yang sah untuk perkembangan dan
pengembangan desa ke depan.
Penetapan desa tersebut disertai dengan kode wilayah administrasi
Pemerintahan Desa berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137
Tahun 2017 tentang Kode Dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1955). Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka perlu membentuk Peraturan
Daerah tentang Penetapan Desa di Kabupaten Bulungan.

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 12


BAB III
ANALISIS DAN EVALUASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

 Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 :

Peraturan Daerah merupakan jenis peraturan perundang-undangan


memiliki landasan konstitusional dan landasan yuridis dengan diaturnya
kedudukan Perda dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (6) yang menyatakan bahwa
Pemerintah Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-
peraturan lain, untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
Dalam kaitan ini, maka sistem hukum nasional memberikan kewenangan atributif
kepada daerah untuk menetapkan Perda dan peraturan lainnya, dan Perda
diharapkan dapat mendukung secara sinergis program-program Pemerintah di
Daerah.
Peraturan Daerah sebagaimana Peraturan perundang-undangan lainnya
memiliki fungsi untuk mewujudkan kepastian hukum (rechtszekerheid, legal
certainty). Untuk berfungsinya kepastian hukum Peraturan perundang-undangan
harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain konsisten dalam perumusan
dimana dalam Peraturan perundang-undangan yang sama harus terpelihara
hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan dan bahasa,
dan adanya hubungan harmonisasi antara berbagai peraturan perundang-
undangan.
Pengharmonisasian peraturan perundang-undangan memiliki urgensi
dalam kaitan dengan asas peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih
tinggi, sehingga hal yang mendasar dalam penyusunan rancangan peraturan
daerah adalah kesesuaian dan kesinkronannya dengan peraturan perundang-
undangan lainnya.

 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan :
Peraturan adalah dasar dari negara hukum, negara yang
pemerintahannya tunduk pada hukum, khususnya Undang-undang. Para ahli
biasa membedakan antara Undang-Undang dalam arti materiel (wet ini materiele
zin) dan Undang-undang dalam arti formil (wet ini formele zin). Pengertian

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 13


Undang-undang dalam arti materiel itu menyangkut Undang-undang yang dilihat
dari segi isi, materi, dan substansinya sedangkan UndanguUndang dalam arti
formil dilihat dari segi bentuk dan pembentukannya. Pembedaan keduanya dapat
dilihat hanya dari segi penekanan atau sudut penglihatan, yaitu suatu Undang-
undang dapat dilihat dari segi materinya atau dilihat dari segi bentuknya, yang
dapat dilihat sebagai dua hal yang sama sekali terpisah.
Menurut I.C van der Vies, masalah bagaimana suatu Undang-undang
harus dibuat terutama mengenai syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh pembuat
Undang-undang. Syarat-syarat ini dapat diringkaskan sebagai “asas-asas
pembuatan peraturan yang baik”. Asas-asas ini mempunyai kaitan dengan
berbagai aspek pembuatan peraturan, yaitu asas-asas yang berkaitan dengan
“bagaimana” dan asas-asas yang berkaitan dengan “apa”-nya suatu keputusan
yang masing-masing disebut asas-asas formal dan asas-asas material.
Berdasarkan pendapat dan ketentuan yang telah disampaikan di atas
akan dikemukakan beberapa pandangan dan analisa terhadap Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Undang-undang). Secara umum isi Undang-undang dapat dikatakan merupakan
keharusan (obligatere) sehingga seluruh ketentuan dalam Undang-undang harus
dilaksanakan. Jika Undang-undang tidak dilaksanakan maka Undang-undang ini
dapat dikatakan tidak berwibawa.
Dalam Pasal 5 Undang-undang disebutkan bahwa dalam membentuk
Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
e. kejelasan rumusan; dan
f. keterbukaan.

Kemudian dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang disebutkan bahwa


materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 14
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (2) dinyatakan bahwa selain


mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan
Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang
hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Kedua Pasal tersebut berisi asas-asas formal dan material yang harus
dilaksanakan dalam pembentukan setiap peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Sebagaimana telah disampaikan isi Undang-undang secara umum
dapat dikatakan merupakan keharusan sehingga dalam setiap pembentukan
peraturan Perundang-undangan di Indonesia asas-asas tersebut harus ditaati
tanpa pengecualian apapun.
Sebagai sebuah Undang-undang yang menjadi peraturan dalam rangka
pembentukan peraturan Perundang-undangan dapat dikatakan sudah baik. Jika
saja setiap orang yang terlibat dalam pembentukan peraturan Perundang-
undangan mau mempelajari dan melaksanakan Undang-undang maka tidak akan
mengalami banyak kesulitan lagi terlebih dengan keberadaan lampiran yang
sangat mendetail.

 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

- BAB III PENATAAN DESA Pasal 7 menyatakan bahwa:


(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa.
(2) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan
hasil evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa;
c. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik;

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 15


d. meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa;
dan e. meningkatkan daya saing Desa.
(4) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pembentukan;
b. penghapusan;
c. penggabungan;
d. perubahan status; dan
e. penetapan Desa.

 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah


Ketentuan Khusus tentang Desa diatur pada Bab XI Pasal 371 dan Pasal 372
dan diatur secara khusus dalam Undang-Undang Desa Nomor 6 tahun 2014
tentang Desa yang merupakan dasar hukum pembuatan peraturan daerah
tentang Penetapan Desa di Kabupaten Bulungan.

 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Pada penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 Tentang Desa, disebutkan dalam rangka mengoptimalkan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Ruang
Lingkup Pengaturan Peraturan Pemerintah ini ialah penataan Desa, kewenangan
Desa, Pemerintahan Desa, tata cara penyusunan peraturan di Desa, keuangan
dan kekayaan Desa, pembangunan Desa dan pembangunan kawasan
perdesaan, badan usaha milik Desa, kerja sama Desa, lembaga kemasyarakatan
Desa dan lembaga adat Desa, serta pembinaan dan pengawasan Desa oleh
camat.
Peraturan Pemerintah ini disusun dalam rangka mewujudkan
penyelenggaraan Desa yang didasarkan pada asas penyelenggaraan
pemerintahan yang baik serta sejalan dengan asas pengaturan Desa
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, antara lain kepastian hukum, tertib penyelenggaraan pemerintahan, tertib
kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, akuntabilitas, efektivitas dan

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 16


efisiensi, kearifan lokal, keberagaman serta partisipasi. Dalam melaksanakan
pembangunan Desa, diutamakan nilai kebersamaan, kekeluargaan, dan
kegotongroyongan guna mewujudkan perdamaian dan keadilan sosial. Peraturan
Pemerintah ini menjadi pedoman bagi Pemerintah dan pemerintah daerah,
masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya dalam mewujudkan tujuan
penyelenggaraan Desa sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa, yakni terwujudnya Desa yang maju, mandiri, dan
sejahtera tanpa harus kehilangan jati diri. Peraturan Pemerintah ini dijadikan
dasar pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Bulungan tentang Penetapan
Desa.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, disebutkan
bahwa jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan dasar pemikiran berikut hirarki normatif sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 dapat dipahami bahwa
kedudukan Peraturan Daerah berada di bawah Peraturan Pemerintah. Dengan
kata lain dalam konteks persoalan rancangan Peraturan Daerah tentang
Penetapan Desa, maka kedudukan Peraturan Daerah tersebut nantinya
merupakan subordinasi terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa.

 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2017 tentang Penataan


Desa.

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 dan Pasal 32 Peraturan


Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagaimana telah diubah dengan
Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 17
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemeritah
telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2017 tentang
Penataan Desa. Melalui Permendagri Nomor 1 tahun 2017 tentang Penataan
Desa dimaksud bertujuan untuk menata Desa dan memberikan kepastian hukum
terhadap Desa-Desa baik yang sudah ada, maupun Desa yang baru terbentuk.

 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode Dan Data
Wilayah Administrasi Pemerintahan.
Penetapan Desa tersebut disertai dengan kode wilayah administrasi
Pemerintahan Desa berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137
Tahun 2017 tentang Kode Dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1955). Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka perlu membentuk Peraturan
Daerah tentang Penetapan Desa di Kabupaten Bulungan.

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 18


BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, YURIDIS DAN SOSIOLOGIS

A. Landasan Filosofis

Menurut Poerwadarminta (1976), Desa dapat berarti (1) sekelompok


rumah di luar kota yang merupakan kesatuan, (2) kampung, dusun atau udik
dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan kota, (3) tempat, tanah, dan daerah.
Pedesaan berarti daerah permukiman penduduk yang sangat dipengaruhi oleh
kondisi tanah, iklim dan air sebagai syarat penting terwujudnya pola kehidupan
agraris penduduk di tempat itu (Tim Penyusun, 1990). Selain itu, ada beberapa
pendapat yang berbeda dari para ahli tentang kenapa muncul kelompok
masyarakat (Desa) di Indonesia. Ahli hukum adat mengajukan pandangan bahwa
ada dua klasifikasi pokok yaitu, prinsip hubungan kekerabatan atau genealogis
dan prinsip hubungan tinggal dekat atau teritorial.
Desa berasal dari istilah dalam bahasa Sansekerta yang berarti tanah
tumpah darah. Menurut definisi universal, Desa adalah kumpulan dari beberapa
permukiman di area peDesaan atau rural area. Istilah Desa di Indonesia merujuk
kepada pembagian wilayah administratif yang berada di bawah kecamatan dan
dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Desa adalah suatu kumpulan dari beberapa
pemukiman kecil yang biasa disebut Kampung (Jabar), Dusun (Yogya), atau
Banjar (Bali) dan Jorong (Sumbar). Sebutan lain untuk Kepala Desa adalah
Kepala Kampung, Petinggi (Kaltim), Klebun (Madura), Pambakal (Kalsel), Kuwu
(Cirebon), Hukum Tuan (Sulut).
Istilah Desa berkembang dengan nama lain sejak berlakunya otonomi
daerah seperti di Sumbar dengan sebutan Nagari, Gampong dari Aceh, dan
dikenal dengan sebutan kampung di Papua, Kutai Barat. Semua institusi lain di
Desa juga bisa mengalami perbedaan istilah tergantung kepada karakteristik
adat istiadat dari Desa tersebut. Perbedaan istilah tersebut merupakan salah
satu pengakuan dan penghormatan dari Pemerintah terhadap asal usul adat
setempat yang berlaku. Walaupun demikian, dasar hukum Desa tetap sama
yakni didasarkan pada adat, kebiasaan dan hukum adat. Ada juga definisi lain
yang bertolak dari Desa sebagai permukiman. Desa didefinisikan sebagai suatu
tempat atau daerah dimana penduduk berkumpul dan hidup bersama, mereka

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 19


dapat menggunakan lingkungan Desa untuk mempertahankan, melangsungkan
dan mengembangkan kehidupan. Dalam definisi itu terdapat 3 (tiga) unsur yaitu
daerah atau tanah, penduduk, dan tata kehidupan (Bintarto, 1977). Masing-
masing unsur cepat atau lambat akan mengalami perubahan sehingga Desa
sebagai pola permukiman bersifat dinamis.
Secara geografis definisi itu juga dapat dipertanggungjawabkan, karena
manusia sebagai penghuni Desa selalu melakukan adaptasi spasial dan ekologis
sesuai dengan kegiatan mata pencaharian agraris. Selain itu, Bintarto juga
mengatakan bahwa Desa adalah perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh
unsur-unsur geografis, sosial, ekonomi, politik dan kultural yang berhubungan
dan berpengaruh timbal balik dengan daerah-daerah lain. Desa dalam arti lain
adalah bentuk kesatuan administratif yang disebut juga Kelurahan. Dengan
demikian di dalam kota juga dikenal sebutan Desa. Pengertian Desa seperti itu
diperkenalkan oleh Pemerintah Republik Indonesia setelah masa kemerdekaan
dan berlaku di seluruh Indonesia.
Menurut Kartohadikoesoemo (1965), Desa dalam arti administratif adalah
suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang
berkuasa mengadakan Pemerintahan sendiri. Sebutan Desa sebagai kesatuan
administratif di luar Jawa dan Bali dapat beraneka ragam seperti: gampong
(Aceh), huta (Tapanuli), nagari (Sumatra Barat), marga (Sumatra Selatan),
wanus (Sulawesi Utara), dusun dati (Maluku), dasan (Lombok) dan kampong
(Sumbawa).
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 mengenai
Desa bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, didasarkan pada asal usul dan adat istiadat setempat
yang diakui dalam sistem pemerintahan RI. Sedangkan menurut Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, disebutkan bahwa Desa adalah Desa dan
Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan RI.

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 20


B. LandasanYuridis

Landasan Yuridis tidak dapat dilepaskan dengan adanya pondasi


ketatanegaraan Indonesia yang bersendikan atas hukum. Negara Indonesia
adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat) bukan berdasarkan
atas kekuasaan (Machtstaat). Oleh karena itu setiap produk peraturan- peraturan
perundang-undangan yang dibuat harus memenuhi tata cara yang ditetapkan
oleh undang-undang dengan memenuhi asas-asas yang terdapat dalam nafas
negara hukum.
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan
hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan
yang telah ada, yang akan diubah atau yang akan dicabut guna menjamin
kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Dengan demikian apabila diterapkan maka landasan yuridis adalah
landasan hukum (yuridische gelding) yang menjadi dasar kewenangan
(bevoegdheid atau competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan.
Apakah kewenangan seseorang pejabat atau lembaga/badan tertentu
mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
atau tidak.
Dengan demikian jenis peraturan perundang-undangan serta lembaga atau
badan yang berwenang membentuknya harus mempunyai landasan formal
secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. Tanpa landasan formal
demikian, maka prinsip negara berdasar atas hukum akan menjadi goyah. Oleh
karena itu dasar yuridis sangat penting dalam pemuatan peraturan perundang-
undangan yang ditandai dengan:
1. adanya kewenangan untuk pembuat peraturan perundang-undangan,
karena setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh
lembaga/badan atau pejabat yang berwenang;
2. adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan
dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh
peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat.

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 21


3. mengikuti tata cara atau prosedur tertentu, apabila tidak diikuti maka
peraturan perundang-undangan tersebut dimungkinkan batal demi
hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih
tinggi tingkatannya. Suatu peraturan perundang-undang tidak boleh
mengandung kaidah yang bertentangan dengan UUD. Demikian pula
seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan tingkat lebih
bawah.
Selain menentukan dasar kewenangan landasan hukum juga merupakan
dasar keberadaan atau pengakuan dari suatu jenis peraturan perundang-
undangan adalah landasan yuridis material. Landasan yuridis material menunjuk
kepada materi muatan tertentu yang harus dimuat dalam suatu peraturan
perundang-undangan tertentu. Pembentuk peraturan menghendaki bahwa
sesuatu materi tertentu hendaknya diatur dalam suatu peraturan perundang-
undangan tertentu pula. Dalam UUD 1945 disebutkan adanya materi-materi
tertentu yang harus diatur dengan Undang-undang. Isi atau substansi suatu
peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan "wadahnya" atau jenis
peraturan perundang-undangan. Selain itu, isi suatu peraturan perundang-
undangan tidak boleh bertentangan dengan isi peraturan perundang-undangan
yang derajatnya lebih tinggi.
Dalam pembentukan peraturan Perundang-undangan, secara teoritis
beberapa ahli telah memperkenalkan asas perundang-undangan antara lain
adalah Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam Peraturan dan
Yurisprudensi (1979) menyebutkan ada enam asas peraturan perundang-
undangan yang meliputi:
1. Undang-undang tidak berlaku surut;
2. Undang-undang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi,
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang
yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generali);
4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-
undang yang berlaku terdahulu (Lex posteriore derogat lex priori);
5. Undang-undang tidak dapat diganggu-gugat;

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 22


6. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat
mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat
maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian
(Welvaarstaat).
Berkenaan dengan landasan yuridis ini maka Penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Bulungan tentang Penetapan Desa, perlu
memperhatikan beberapa hukum positif yang berlaku, sehingga substansi
pengaturan rancangan peraturan daerah ini nantinya tidak akan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan tersebut.
. Berikut ini disajikan kajian-kajian yang terkait dalam landasan yuridis
untuk menrancang Peraturan Daerah tentang Penetapan Desa:

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

- BAB III PENATAAN DESA Pasal 7 menyatakan bahwa:


(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa.
(2) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan
hasil evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa;
c. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik;
d. meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa; dan
e. meningkatkan daya saing Desa.
(4) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pembentukan;
b. penghapusan;
c. penggabungan;
d. perubahan status; dan
e. penetapan Desa.
Mengacu pada ayat (4) huruf e. penataan desa, hal ini
menjadikan dasar dalam penyusunan Raperda tentang Penetapan
Desa.

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 23


2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah


Ketentuan Khusus tentang Desa diatur pada Bab XI Desa Pasal 371 dan Pasal
372 sebagai berikut:
- Pasal 371 menyatakan bahwa:
(1) Dalam Daerah kabupaten/kota dapat dibentuk Desa.
(2) Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
Desa.
- Pasal 372 menyatakan bahwa:
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah
Daerah kabupaten/kota dapat menugaskan sebagian Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangannya kepada Desa.
(2) Pendanaan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang
ditugaskan kepada Desa oleh Pemerintah Pusat dibebankan kepada
APBN.
(3) Pendanaan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang
ditugaskan kepada Desa oleh Pemerintah Daerah Provinsi
dibebankan kepada APBD provinsi.
Adapun pengaturan secara khusus telah diatur dalam Undang-Undang
Desa Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang telah diuaraikan diatas, yang
merupakan dasar hukum penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Bulungan tentang Penetapan Desa.

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1996 tentang


Pembentukan 13 (Tiga belas) Kecamatan Di Wilayah Kabupaten Daerah
Tingkat Ii Kutai, Berau, Bulungan, Pasir, Kotamadya Daerah Tingkat Ii
Samarinda Dan Balikpapan Dalam Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I
Kalimantan Timur.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 menyatakan bahwa :
(1) Membentuk Kecamatan Sekatak di wilayah Kabupaten Daerah
Tingkat II Bulungan, yang meliputi wilayah :
a. Desa Sekatak Buji;
b. Desa Paru Abang;
c. Desa Bunau;
d. Desa Ujang;
e. Desa Tenggiling;
f. Desa Kelembunan;
g. Desa Turung;

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 24


h. Desa Terindak;
i. Desa Kelising;
j. Desa Ambalat;
k. Desa Keriting;
l. Desa Kendari;
m. Desa Bambang;
n. Desa Maritam;
o. Desa Pentian;
p. Desa Punan Dulau;
q. Desa Kelincauan;
r. Desa Bekiliu;
s. Desa Sekatak Bengara;
t. Desa Pungit.
(2) Wilayah Kecamatan Sekatak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
semula merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Tanjung Palas.
(3) Dengan dibentuknya Kecamatan Sekatak, maka wilayah Kecamatan
Tanjung Palas dikurangi dengan wilayah Kecamatan Sekatak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Kabupaten Bulungan terdiri dari 10 (sepuluh) Kecamatan 7 (tujuh)
Kelurahan dan 74 (tujuh puluh empat) Desa. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 1996 tentang Pembentukan 13 (Tiga belas) Kecamatan Di
Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Kutai, Berau, Bulungan, Pasir, Kotamadya
Daerah Tingkat II Samarinda Dan Balikpapan Dalam Wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I Kalimantan Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 56). Terdapat Desa yang belum tercantum, yakni Desa Anjar Arip
Kecamatan Sekatak Kabupaten Bulungan. Namun demikian secara faktual
dilapangan, keberadaan Desa Anjar Arip sampai saat ini melaksanakan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan menerima bantuan Dana Desa dan
Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Kabupaten
Bulungan.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan


Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Pada penjelasan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014


tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, disebutkan dalam rangka mengoptimalkan penyelenggaraan

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 25


Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Ruang Lingkup
Pengaturan Peraturan Pemerintah ini ialah penataan Desa, kewenangan Desa,
Pemerintahan Desa, tata cara penyusunan peraturan di Desa, keuangan dan
kekayaan Desa, pembangunan Desa dan pembangunan kawasan perdesaan,
badan usaha milik Desa, kerja sama Desa, lembaga kemasyarakatan Desa dan
lembaga adat Desa, serta pembinaan dan pengawasan Desa oleh camat.
Peraturan Pemerintah ini disusun dalam rangka mewujudkan
penyelenggaraan Desa yang didasarkan pada asas penyelenggaraan
pemerintahan yang baik serta sejalan dengan asas pengaturan Desa
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, antara lain kepastian hukum, tertib penyelenggaraan pemerintahan, tertib
kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, akuntabilitas, efektivitas dan
efisiensi, kearifan lokal, keberagaman serta partisipasi. Dalam melaksanakan
pembangunan Desa, diutamakan nilai kebersamaan, kekeluargaan, dan
kegotongroyongan guna mewujudkan perdamaian dan keadilan sosial. Peraturan
Pemerintah ini menjadi pedoman bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah,
masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya, dalam mewujudkan tujuan
penyelenggaraan Desa sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa, yakni terwujudnya Desa yang maju, mandiri, dan
sejahtera tanpa harus kehilangan jati diri. Peraturan Pemerintah ini dijadikan
dasar Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bulungan tentang
Penetapan Desa.

5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2017 tentang Penataan


Desa.

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 dan Pasal 32 Peraturan


Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemeritah
telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2017 tentang
Penataan Desa. Melalui Permendagri Nomor 1 tahun 2017 tentang Penataan

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 26


Desa dimaksud bertujuan untuk menata Desa dan memberikan kepastian hukum
atas terhadap Desa-Desa baik yang sudah ada, maupun Desa yang baru
terbentuk.

6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode Dan
Data Wilayah Administrasi Pemerintahan.
Penetapan Desa tersebut disertai dengan kode wilayah administrasi
Pemerintahan Desa berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137
Tahun 2017 tentang Kode Dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1955). Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka perlu membentuk Peraturan
Daerah tentang Penetapan Desa di Kabupaten Bulungan.

7. Peraturan Daerah Kabupaten Bulungan Nomor 13 Tahun 2002 tentang


Pembentukan Kecamatan Tanjung Palas Barat, Tanjung Palas Utara,
Tanjung Palas Timur, Tanjung Selor, Tanjung Palas Tengah, Sesayap Hilir,
Tanah Lia dan Kecamatan Peso Hilir.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bulungan Nomor 13 Tahun
2002 tentang Pembentukan Kecamatan Tanjung Palas Barat, Tanjung Palas
Utara, Tanjung Palas Timur, Tanjung Selor, Tanjung Palas Tengah, Sesayap
Hilir, Tanah Lia, dan Kecamatan Peso Hilir Dalam wilayah Kabupaten Bulungan
(Lembaran Daerah Kabupaten Bulungan Tahun 2002 Seri E Nomor 2). Dalam
Pasal 4 angka (1) huruf e, menyebutkan bahwa Nama Desa Ardi Mulya, yang
seharusnya Nama Desa tersebut tertulis Desa Ardi Mulyo.
Hal ini diperkuat dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Kalimantan Timur Nomor 06 Tahun 1997 tentang Penetapan 53 Desa
Persiapan Eks UPT di Kabupaten Daerah Tingkat II Pasir, Kabupaten Daerah
Tingkat II Kutai, Kabupaten Daerah Tingkat II Berau, dan Kabupaten Daerah
Tingkat II Bulungan, dan 5 Desa Persiapan Eks Resettlement di Kabupaten
Daerah Tingkat II Kutai serta 6 Desa Persiapan Hasil Pemecahan di Kabupaten
Tingkat II Kutai menjadi Desa Definitif tanggal 30 April 1997. sebagaimana
dimaksud dalam lampiran Desa Salimbatu dipecah menjadi 2 Desa yakni Desa
Ardi Mulyo (Salim Batu IV), dan Silva Rahayu (Desa Salim Batu VI) serta Desa
Jelarai Selor dipecah menjadi Desa Bumi Rahayu (Jelarai Selor I).

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 27


Nama-nama desa yang ada dalam cakupan wilayah kecamatan-
kecamatan di Kabupaten Bulungan menjadikan dasar untuk penetapan desa di
Kabupaten Bulungan.

8. Peraturan Daerah Kabupaten Bulungan Nomor 12 Tahun 2005 tentang


Pembentukan Desa dan Kelurahan Dalam Wilayah Kabupaten Bulungan
(Lembaran Daerah Kabupaten Bulungan Tahun 2005 Seri E Nomor 9)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 2 sampai
dengan angka 8, angka 14, angka 15 dan angka 19 adalah nama-nama desa
yang merupakan bagian dalam wilayah kecamatan dalam Kabupaten Bulungan,
sehingga dijadikan dasar untuk penetapan desa di Kabupaten Bulungan.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bulungan Nmor 12 Tahun
2005 tentang Pembentukan Desa dan Kelurahan Dalam Wilayah Kabupaten
Bulungan (Lembaran Daerah Kabupaten Bulungan Tahun 2005 Seri E Nomor
9), Desa Liagu dimaksud dibentuk berasal dari sebagian wilayah Desa Sekatak
Buji yang pada saat itu terdiri dari Wilayah RT.1, RT.2, RT.3 dan RT.4.

C. Landasan Sosiologis

Setiap norma hukum yang dituangkan dalam peratutura perundang-


undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan
norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat, oleh
karena itu dalam konsideran harus dirumuskan dengan baik, pertimbangan-
pertimbangan yang bersifat empiris sehingga suatu gagasan normatif yang
dituangkan dalam undang-undang benar-benar didasarkan atas kenyataan yang
hidup dalam kesadaran masyarakat.
Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan atau
dasar sosiologis (sociologische grondslag) apabila ketentuan-ketentuannya
sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Landasan
sosiologis peraturan perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan
kondisi atau kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
Kondisi/kenyataan ini dapat berupa kebutuhan atau tuntutan yang
dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan dan harapan masyarakat. Dengan
memperhatikan kondisi semacam ini peraturan perundang-undangan
diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai daya laku secara
efektif.

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 28


Berangkat dari sebuah ide desa sebagai sebuah self governing
community, sebenarnya identik dengan konsep desa sebagai kesatuan
masyarakat hukum adat yang sudah lama dikenal dalam undang-undang,
termasuk UU No. 5/1979. Namun konsep self governing community yang terus-
menerus dikemukakan oleh Prof. Ryaas Rasyid sebenarnya identik dengan
konsep “otonomi asli” yang sering dibicarakan. “Serahkan sepenuhnya desa
menjadi urusan rakyat, pemerintah tidak perlu mengurus desa”.
Berdasarkan sketsa teori dan pengalaman sejarah, setidaknya ada tiga
posisi politik desa bila ditempatkan dalam formasi Negara:
a. Pertama, Desa sebagai organisasi komunitas lokal yang mempunyai
pemerintahan sendiri atau disebut dengan self-governing community.
Dalam tradisi Minangkabau, self-governing community ini identik dengan
“republik kecil”, sebuah posisi yang dimiliki nagari-nagari pada masa lampau.
Self-governing community berarti komunitas lokal membentuk dan
menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan pranata lokal, bersifat
swadaya dan otonom, tidak dibentuk oleh kekuatan eksternal dan tidak terikat
secara struktural dengan organisasi eksternal seperti negara.
Secara historis, tidak hanya nagari di Minangkabau yang punya predikat self-
governing community, tetapi juga desa-desa di Jawa maupun komunitas adat
di daerah-daerah lain di Indonesia. Sebagai organisasi komunitas lokal yang
tidak berurusan dengan adminitrasi pemerintahan negara.
2. Kedua, desa sebagai bentuk pemerintah lokal yang otonom atau disebut local
self government. Posisi ini sama dengan proyeksi tentang “desa otonom”
yang dikemukakan Selo Sumardjan dan Ibnu Tricahyo. Local self government
ini merupakan bentuk pemerintahan lokal secara otonom, sebagai
konsekuensi dari desentralisasi politik (devolusi), yakni negara mengakui
pemerintah daerah yang sudah ada atau membentuk daerah baru, yang
kemudian disertai pembagian atau penyerahan kewenangan kepada
pemerintah lokal. Menurut UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004, daerah
sudah diposisikan sebagai local self government. Artinya daerah membentuk
sendiri institusi-institusi pemerintah daerah, pemerintah daerah mempunyai
keleluasaan penuh dalam perencanaan pembangunan dan anggaran,
menyelenggarakan pelayanan publik serta bertanggungjawab kepada rakyat
setempat. Sementara, bagi desa, sebutan “otonomi asli” merupakan bentuk
Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 29
otonomi tradisional dalam kerangka self governing community, dan posisi
local self government merupakan bentuk “otonomi modern” dalam payung
negara bangsa. Jika desa akan dikembangkan menjadi local self government,
maka yang harus dilakukan bukan sekadar menegaskan kewenangan asal-
usul, melainkan negara melakukan desentralisasi politik (devolusi) kepada
desa, seperti yang dilakukan negara kepada daerah. Dalam regulasi,
misalnya, perlu ditegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi menjadi provinsi, kabupaten/kota dan desa.
3. Ketiga, desa sebagai bentuk pemerintahan negara di tingkat lokal atau
disebut dengan local state government. Ini merupakan bentuk lain dari
pemerintahan yang sentralistik, yang tidak melakukan devolusi, melainkan
hanya melakukan dekonsentrasi. Contoh yang paling jelas dari tipe ini adalah
kecamatan dan kelurahan. Keduanya bukan unit pemerintahan lokal yang
otonom atau menerima desentralisasi dari negara, melainkan sebagai
kepanjangan tangan negara di tingkat lokal. Daerah maupun desa di masa
Orde Baru juga dibuat sebagai kepanjangan tangan negara (local state
government). Model local state government ini jelas menimbulkan banyak
kerugian: ketimpangan ekonomi-politik pusat dan lokal, ketergantungan dan
ketidakmampuan lokal, dan hilangnya kedaulatan rakyat.
Ketiga posisi di atas bersifat absolut, harus dibedakan dan dipilah
secara tegas dan jelas. Penempatan posisi daerah atau desa tidak boleh
menggabungkan lebih dari satu model, melainkan harus tegas memilih salah
satu model agar penggunaan kewenangan, pengambilan keputusan,
penyelenggaraan pemerintahan dan hubungan antar pemerintah lebih jelas dan
efektif.
Dengan landasan atau dasar sosiologis, peraturan perundang –
undangan yang dibuat dapat di terima oleh masyarakat secara wajar bahkan
spontan. Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan
teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaedah hukum, yaitu :
1. Teori kekuasaan bahwa secara sosiologis kaedah hukum berlaku karena
paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak oleh masyarakat.
2. Teori pengakuan menyatakan bahwa kaedah hukum berlaku berdasarkan
penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku.

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 30


Dalam kaitan ini perlu pula kiranya dicatat pendapat Friedman
sebagaimana dikutip oleh Sirajuddin dkk yang mengatakan bahwa “The legal
sistem is not a machine, it is run by human being”.
Secara sosiologis tujuan dari dibentuknya Peraturan Daerah tentang
Penetapan Desa ini, sehubungan dengan pelaksanaan otonomi Desa tersebut,
yaitu:
1. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta
(berpartisipasi) dalam proses pembangunan.
2. Memberdayakan dan mengoptimalkan peran desa sebagai entitas
masyarakat;
3. Melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa
mencakup:
a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang
diserahkan pengaturannya kepada desa;
c. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau
pemerintah kabupaten/kota;
d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang
perundangan diserahkan kepada Desa.

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 31


BAB V
SASARAN, JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN YANG AKAN DIATUR

A. Sasaran
Sasaran Penetapan Desa adalah untuk memberikan legalitas dan landasan
yuridis secara sah menurut hukum bagi Desa dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan
pemberdayaan masyarakat. Disamping dalam upaya penataan dan untuk lebih
mengoptimalkan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan
pemberdayaan masyarakat Desa.
Sasaran yang ingin diwujudkan adalah menciptakan rasa aman terhadap
masyarakat Desa dengan mewujudkan penetapan Desa yang dilegalisasi dengan
Peraturan Daerah, sehingga dalam pelaksanaan penyelegaraan pemerintahan desa
menjadi tertib administrasi, dan sah menurut hukum.

B. Jangkauan dan Arah Pengaturan


Rancangan Peraturan Daerah tentang Penetapan Desa mencoba untuk
mempertegas dan memberikan legalitas dan landasan yuridis secara sah menurut
hukum bagi Desa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat serta
dalam upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan tertib
administrasi.

C. Ruang Lingkup Muatan Materi Yang Akan Diatur


Ruang Lingkup Muatan Materi yang akan diatur dalam Rancangan Pearturan
Daerah tentang Penetapan Desa mengatur tentang beberapa hal penting terkait
mencakup :
1. BAB IKETENTUAN UMUM
2. BAB IIMAKSUD DAN TUJUAN
3. BAB III PENETAPAN DESA DAN KODE WILAYAH ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN
4. BAB IV KETENTUAN PERALIHAN
5. BAB V KETENTUAN PENUTUP
Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 32
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan penyajian dalam naskah penjelasan ini dapat ditarik


beberapa kesimpulan, diantaranya :

1. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bulungan tentang


Penetapan Desa adalah amanat dari ketentuan dalam Pasal 116 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan Pasal 29 ayat (3)
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
Pemerintah Daerah harus melakukan inventarisasi Desa yang ada di
wilayahnya dan menetapkan Desa dengan Peraturan Daerah;

2. Bahwa dalam penelusuran dokumen pembentukan Desa di Kabupaten


Bulungan terdapat desa yang belum ditemukan dasar pembentukannya, yakni
Desa Anjar Arip Kecamatan Sekatak Kabupaten Bulungan. Namun demikian
secara faktual dilapangan, keberadaan Desa Anjar Arip sampai saat ini
masih melaksanakan penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan menerima
bantuan Dana Desa dan Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah Kabupaten Bulungan;
3. Bahwa penyebutan dan penulisan sebutan nama Desa di Kecamatan
Tanjung Palas Utara berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bulungan
Nomor 13 Tahun 2002 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka (1) huruf
e, menyebutkan bahwa Nama Desa Ardi Mulya, yang seharusnya Nama
Desa tersebut tertulis Desa Ardi Mulyo. Hal ini diperkuat dengan Surat
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur Nomor 06
Tahun 1997 tentang Penetapan 53 Desa Persiapan Eks UPT di Kabupaten
Daerah Tingkat II Pasir, Kabupaten Daerah Tingkat II Kutai, Kabupaten
Daerah Tingkat II Berau, dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bulungan, dan 5
Desa Persiapan Eks Resettlement di Kabupaten Daerah Tingkat II Kutai serta
6

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 33


Desa Persiapan Hasil Pemecahan di Kabupaten Tingkat II Kutai menjadi
Desa Definitif tanggal 30 April 1997.
4. Bahwa di Kecamatan Sekatak berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten
Bulungan Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pembentukan Desa dan Kelurahan
Dalam Wilayah Kabupaten Bulungan, Desa Liagu dimaksud dibentuk berasal
dari sebagian wilayah Desa Sekatak Buji yang pada saat itu terdiri dari
Wilayah RT.1, RT.2, RT.3 dan RT.4;
5. Bahwa dari seluruh Desa yang ada di Kabupaten Bulungan, secara sosio-
antropologis, baik dari struktur sosial maupun aspek penyelenggaraan
pemerintahan, sudah tidak ditemukan fakta adanya potensi penyelenggaraan
Pemerintahan Desa yang akan diakui dan dikembangkan berdasarkan hukum
adat yang berkembang di tingkat desa, sebagaimana desa-desa di jawa. Oleh
karena itu penetapan Desa ini merupakan langkah strategis untuk
memberikan arah dan landasan yuridis secara hukum yang sah untuk
perkembangan dan pengembangan desa ke depan;
6. Bahwa Penetapan Desa yang diatur dalam Raperda tentang Penetapan
Desa, disertai dengan kode wilayah administrasi Pemerintahan Desa
berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017
tentang Kode Dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan
7. Bahwa hasil penyusunan naskah penjelasan ini diharapkan dapat
memberikan dasar yang kuat, dalam penetapan desa di Kabupaten
Bulungan.

B. Saran

Pemerintah Daerah sebagai organisasi yang berwenang untuk memenuhi


kebutuhan dan kepentingan masyarakat, senantiasa meningkatkan kinerjanya
sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat. Sehingga secara umum
pemberian pelayanan kepada masyarakat akan mampu memberikan dampak
positif bagi desa kedepannya.
Sehubungan dengan hal tersebut, saran yang dapat diberikan adalah
sebagai berikut :
1. Perlu adanya legalitas hukum yang sah terkait dengan pembentukan dan
keberadaan Desa di Kabupaten Bulungan berdasarkan peraturan
perundang-undangan dalam bentuk Peraturan Daerah;

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 34


2. Mengingat pentingnya legalitas hukum dalam pembentukan dan
keberadaan desa yang akan dirasakan oleh masyarakat desa, untuk ikut
berperan dalam pembangunan desa dan mewujudkan Pemerintahan Desa
yang kuat, maka pembentukan Peraturan Daerah tentang Penetapan Desa
kiranya dapat segera direalisasikan.

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 35


Daftar Pustaka

Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (LNRI Tahun 2014 No.7, TLN No.
5495);
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun 2014
No. 244, TLN No.5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun 2015 No.
58, TLN No. 5679);
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (LNRI Tahun 2014 No. 123, TLN
No.5539) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (LNRI Tahun 2019 No. 41, TLN No.6321);
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1996 tentang Pembentukan 13 (Tiga belas)
Kecamatan Di Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Kutai, Berau, Bulungan, Pasir,
Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda Dan Balikpapan Dalam Wilayah Propinsi
Daerah Tingkat I Kalimantan Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1996 Nomor 56);

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2017 tentang Penataan Desa (LNRI Tahun
2017 No.89);
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah
Administrasi (LNRI Tahun 2017 No.1955);
Peraturan Daerah Kabupaten Bulungan Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pembentukan
Kecamatan Tanjung Palas Barat, Tanjung Palas Utara, Tanjung Palas Timur, Tanjung
Selor, Tanjung Palas Tengah, Sesayap Hilir, Tanah Lia, dan Kecamatan Peso Hilir
Dalam wilayah Kabupaten Bulungan (Lembaran Daerah Kabupaten Bulungan Tahun
2002 Seri E Nomor 2);
Peraturan Daerah Kabupaten Bulungan Nmor 12 Tahun 2005 tentang Pembentukan Desa
dan Kelurahan Dalam Wilayah Kabupaten Bulungan (Lembaran Daerah Kabupaten
Bulungan Tahun 2005 Seri E Nomor 9)
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam Peraturan dan Yurisprudensi (1979);
Jimly Asshidiqie, Perihal Undang-Undang, Raja Grafindo Persada, 2010.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004.
Raharjdo dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sosiologi Pedesaan Dan Pertanian
Rosjidi Ranggawijaya, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Bandung,
CV. Mandar Maju, 1998.
William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism 3rd edition, (New Jersey:
Van Nostrand Company, 1968.

Naskah Penjelasan Raperda DESA-2019 36

Anda mungkin juga menyukai