Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KELOMPOK 12

HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH


HUBUNGAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN PEMERINTAHAN DESA

Dosen Pengampu : Nur Habibi, S.H, M.H.

Disusun Oleh :
Sadira Labibah 11200453000008
Abdul Rofi 11200453000016
Rayhan Faradisa Nuzula 11200453000031
Muhammad Iqbal Baihaqi 11200453000051
Fadel Muhammad Ramdhani 11200480000044

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamiin, tiada ucapan yang pantas saya lantunkan dalam

mengiringi rasa syukur ini selain menghaturkan pujian yang sebesar-besarnya kepada Allah

Subhanahu Wa Ta’ala sang Maha Mengetahui dan pemilik segala ilmu pengetahuan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Nur Habibi, S.H, M.H. sebagai dosen

pengampu Mata Kuliah Hukum Pemerintah Daerah yang telah memberikan tugas makalah

berjudul “Hubungan Pemerintahan Daerah dan Hubungan Pemerintahan Desa.”

Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman

bagi para pembaca. Bahkan berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktikkan

dalam kehidupan sehari-hari.

Akhir kata, sebagaimana tidak akan pernah sempurnanya makalah ini, maka kami sangat

membutuhkan kritik dan saran dari para pembaca yang budiman guna perbaikan, peningkatan,

serta bermanfaat bagi semua pihak dan kalangan.

Ciputat, 24 September 2023

Penyusun
PEMBAHASAN

A. Sistem Pemerintahan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah sebagaimana diubah


dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undanng
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah memberikan wewenang yang besar kepada
Daerah untuk mengatur wilayahnya sesuai dengan aspirasi masyarakatnya. Undang-Undang ini
berwatak demokratis karena didalamnya memuat aturan yang dianggap akan memberikan jalan
bagi terjadinya proses pemberdayaan bagi masyarakat di daerah termasuk masyarakat Desa.
Karena Undang-undang ini juga memuat kebijakan mengenai desa yang mengarah kepada adanya
Otonomi Desa yang luas.

Lahirnya UU Desa pada 15 Januari 2014 yang lalu merupakan terobosan baru dengan
semangat melakukan akselerasi kesejahteraan masyarakat desa, yang secara terstruktur sedemikian
rupa mengatur mulai dari penataan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa, hak dan kewajiban
desa dan masyarakat desa, peraturan desa, keuangan desa dan asset desa, pembangunan desa dan
kawasan pedesaan, badan usaha milik desa, kerjasama desa, lembaga kemasyarakatan desa dan
lain sebagainya.

Pengaturan desa memiliki 13 (tiga belas) prinsip atau asas yang harus dijadikan perhatian
oleh para pemangku kepentingan dalam melakukan pengaturan desa. Sejatinya prinsip atau asas
ini lebih dikedepankan para pengambil kebijakan ketika hendak merumuskan regulasi di bawah
UU Desa.

Salah satu kekuatan UU Desa dari ketiga belas asas tersebut adalah asas subsidiaritas dan
asas rekognisi. Dua kekuatan itu membuat desa memiliki kekuatan untuk mengatur dirinya sendiri
berdasar aset dan potensi yang dimilikinya.

Asas rekognisi yaitu bentuk pengakuan dan penetapan desa berdasarkan asalusul,
sedangkan asas subsidiaritas yaitu bentuk pengakuan dan penetapan kewenangan pemerintah desa
dalam mengelola dapur pemerintahannya sendiri yang bertujan pada kepentingan masyarakat desa.
Hal ini menegaskan bahwa Desa dengan UU Desa ini memiliki posisioning yang otonom, desa
diakui sebagai hak asal usul, seperti penjelasan sebelumnya bahwa desa sejak dulu sudah otonom,
dan asas subsidioritas, kewenangan yang berskala lokal desa dalam mengatur segala aktivitas
penyelenggaraanya.

Bagi sebagian besar aparat desa, otonomi adalah suatu peluang baru yang dapat membuka
ruang kreativitas bagi mereka dalam mengelola pengembangan desa. Selain itu dari sisi
masyarakat, poin penting yang dirasakan didalam era otonomi adalah semakin transparannya
pengelolaan pemerintahan desa dan semakin pendeknya rantai birokrasai dimana hal tersebut
secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap jalanya pembangunan desa dalam
pengembanganya.

Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan


pemerintahan sehingga desa memiliki kewenangan dan mengurus kepentingan masyarakatnya.
Maka selain memberikan posisi yang kuat kepada Kepala Desa seperti Kepala daerah, dalam UU
Desa ini memperkenalkan lembaga baru yang disebut musyawarah desa yang merupakan sebuah
forum permusyawaratan yang diikuti oleh BPD, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat desa
untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis. Artinya, setiap desa harus menghidupkan
sebuah forum politik yang inklusif di mana persoalan strategis dimusyawarahkan bersama. Secara
demikian diharapkan masyarakat desa akan berkembang menjadi komunitas yang kohesif.

Penyelenggaraan pemerintahan yang kuat hanya dapat terwujud jika partisipasi masyarakat
lokal desa sangat tinggi dalam pembangunan desa. Perencanaan pembangunan desa
diselenggarakan dengan mengikut sertakan masyarakat desa melalui musyawarah perencanaan
pembangunan desa, yang menetapkan prioritas, program, kegiatan dan kebutuhan pembangunan
desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat desa, dan/
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/Kota. Pembangunan desa dilaksanakan
dengan semangat gotong royong serta memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam desa.
Sementara itu, pelaksanaan program sektor yang masuk ke desa diinformasikan kepada pemerintah
desa dan diintegrasikan dengan rencana pembangunan desa. Penyusunan APBDes dilakukan
dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan Informasi tentang keuangan desa secara transparan
dapat diperoleh oleh masyarakat.

Pemerintah Desa juga berwenang untuk mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
yang dikelola dengan semangat kekeluargaan dan gotong-royong. BUMDes itu bisa bergerak di
bidang ekonomi, pedagangan, pelayanan jasa maupun pelayanan umum lainnya sesuai ketentuan
umum peraturan perundang-undangan.

Menyadari sangat pentingnya transparasi, UU Desa mengharuskan dikembangkannya


sistem informasi desa yang bisa diakses oleh masyarakat desa dan semua pemangku kepentingan.
Kebersamaan dan kohesivitas akan lebih mudah direalisasikan jika ditegakkan dengan
transparansi. Masyarakat desa berhak mendapatkail info dan melakukan pemantauan mengenai
rencana dan pelaksanaan pembangunan desa.

B. Problematika dan Solusi Atas Pelaksanaan Otonomi Desa Pasca UndangUndang


Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

a. Problematika di Bidang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa

Polemik hubungan secara kelembagaan Pasca UU Desa tidak hanya muncul


pada tingkat Desa dan Kecamatan saja, 2 (dua) Kementerian pun saling mendalilkan
kewenangannya untuk mengelola desa, yaitu Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggl dan Transmigrasi. Tarik menarik
kewenangan urusan pedesaan antara Kemendagri dan Kemendesa masih menjadi
polemik, karena keduanya mempunyai interpretasi yang berbeda terkait soal peraturan
desa. Kemendagri yang mengurusi masalah desa sebelum Kemendesa berpegang pada
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa. Adapun Kemendesa berpegang pada Perpres Nomor 7 Tahun 2015
tentang Organisasi Kementerian. Dalam Perpres tersebut menyebutkan bahwa
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggl dan Transmigrasi termasuk dalam
Kelompok Kementerian Negara, sehingga semua urusan kewenangan desa
diinterpretasikan menjadi kewenangan Kementerian.

Persoalan lain dalam penyelenggaraan pemerintahan di Desa adalah terkait


dengan tugas dan fungsi Kepala Desa serta hak dan Kewajiban dari Kepala Desa. Kepala
Desa sebagai ujung tombak di Desa seringkali dianggap sebagai tokoh yang bisa
menyelesaikan berbagai persoalan warga masyarakatnya. Kendalanya, Kepala Desa
masih minim pengetahuan tentang hukum, utamanya yang paling dominan pada
persoalan tanah. Mulai dari sengketa tanah antar warga, pengelolaan tanah kas desa dan
yang paling banyak menyita perhatian adalah ketentuan Pasal 66 UU Desa tentang
penghasilan Kepala Desa dan Perangkat Desa.

Hubungan yang tidak baik antara Kepala Desa dengan Sekretaris dan Perangkat
Desa maupun BPD pun secara tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja Kepala Desa
dalam memberikan pelayanan bagi masyarakatnya.

b. Problematika di Bidang Pelaksanaan Pembangunan Desa

Pasal 114 Ayat (1) PP Nomor 43 Tahun 2014 menyebutkan bahwa perencanaan
pembangunan Desa disusun berdasarkan hasil kesepakatan dalam musyawarah Desa,
kemudian dalam Pasal 116 Ayat (1) disebutkan pula bahwa dalam menyusun RPJMDes
dan RKPDes, Pemerintah Desa wajib menyelenggarakan musyawarah perencanaan
pembangunan Desa secara partisipatif. Akan tetapi hal tersebut dirasa kurang optimal
dan hanya sebagai simbolik saja untuk memenuhi ketentuan Pasal 114 PP Nomor 43
Tahun 2014 karena seringkali usulan dalam musyawarah desa tersebut tidak
terealisasikan.

Kasus tanah kas desa juga menjadi hambatan bagi pembangunan desa. Seperti
telah dibahas dalam bab sebelumnya bahwa tanah kas desa termasuk dalam kekayaan
asli desa. Kekayaan desa yang berupa tanah kas desa, di pulau jawa dipergunakan
sebagai bengkok (penghasilan kepala desa dan perangkat desa) dan dipergunakan
sebagai bondo desa (tanah kekayaan desa). Sebagai salah satu sumber pendapatan desa
dan pendapatan perangkat desa, tanah kas desa mestinya merupakan tanah produktif.
Namun pada kenyataannya tidak sedikit tanah kas desa yang dimiliki desa kondisinya
tidak produktif sehingga akan mempengaruhi hasil produksinya. Dengan adanya UU
Desa, terkait pengelolaan kekayaan milik desa mengalami perubahan yaitu dengan
diundangkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Pengelolaan Aset Desa, yang memberi peluang bagi desa untuk dapat melaksanakan
pemindahtanganan aset desa berupa tanah melalui tukar menukar. Dalam Permendagri
tersebut pemindahtanganan aset desa berupa tanah tidak hanya yang akan digunakan
untuk kepentingan umum, tetapi juga bukan untuk kepentingan umum, dan tanah kas
desa selain untuk kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan umum.
Kurangnya sosialisasi kebijakan dan penerapan fungsi-fungsi manajemen
terhadap pengelolaan dana pada desa tidak optimal justru menimbulkan Kepala Desa
terjerat kasus korupsi. Sedikitnya tercatat 181 kasus korupsi dengan 184 tersangka
korupsi dengan nilai kerugian sebesar 40,6 milyar rupiah. Sebagai contoh Desa Merden
di Kabupaten Banjarnegara dimana Kepala Desa melakukan penyelewengan
pendapatan desa yang berasal dari persewaan tanah bengkok dan tanah kas desa, dan
Desa Wangandowo di Kabupaten Pekalongan dimana Kepala Desa melakukan
penyelewengan pendapatan asli desa yang berasal dari penjualan sejumlah tanah dari
desa kepada pihak ketiga yang hasil penjualannya tidak disetor ke kas desa.

c. Problematika di Bidang Pembinaan Kemasyarakatan Desa

Merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan kegiatan pembinaan


kemasyarakatan merupakan wewenang yang harus dikelola Desa. UU Desa tidak
merinci dengan jelas kewenangan dan fungsi Kepala Desa untuk melakukan pembinaan
kemasyarakatan baik dari segi mekanisme ataupun bentuk pelaksanaannya.

Tidak update nya monografi meneyebabkan Kepala Desa kesulitan dalam


menerapkan kebijakan sosial, sedangkan dalam Pasal 86 UU Desa mengamanatkan
Desa harus memiliki sistem informasi terkait dengan potensi yang ada, baik berupa
potensi fisik maupun non fisik. Data-data yang valid dan selalu diperbaharui akan
mempermudah pemerintah dalam menentukan arah kebijakan.

Pembangunan Desa skala lokal terkendala dengan pola kebijakan tata ruang
perdesaan yang berpola top-down, sehingga tidak jarang menyebabkan desa kehilangan
akses sumber daya akibat kebijakan tata ruang yang belum mengakomodir aspirasi
desa.

d. Problematika di Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa

Program-program pemberdayaan yang ada pada pemerintahan desa


sebelumnya sudah cukup bagus terutama sebagai sarana untuk mengentaskan
kemiskinan di desa, sebagai contoh PNPM Mandiri. Akan tetapi hasil dari kegiatan
kebanyakan masih berupa fisik, sehingga kurang memberikan pembelajaran bagi
kemandirian. Selain itu, revitalisasi pada asas gotong royong dalam kegiatan
pemberdayaan masyarakat perlu ditingkatkan, sebagai contoh beberapa kelompok
masyarakat yang berhasil secara mandiri membangun usahanya seringkali berkembang
sendiri tanpa memperdulikan kelompok lain. Persoalan status hukum usaha dan
perlindungan hukum bagi hasil usaha pemberdayaan masyarakat juga masih menjadi
hambatan.

Kegagalan lain dalam hal pemberdayaan masyarakat desa adalah anggapan


dana stimulan dari pemerintah seringkali dijadikan ajang ‘bancakan’. Paling banyak
adalah bantuan untuk mendirikan koperasi simpan pinjam, akhirnya banyak sekali yang
terjerat kasus pengelolaan dana bantuan simpan pinjam yang seringkali ditemukan
bahwa pengelola adalah orang-orang terdekat Kepala Desa.

e. Solusi Atas Pelaksanaan Otonomi Desa Pasca Undang-Undang Nomor 6 Tahun


2014 Tentang Desa

Keputusan Pemerintah untuk membagi kewenangan Kementerian urusan desa


kepada dua Kementerian berpotensi melanggar UU Desa. Solusi terbaik agar
pelaksanaan UU Desa dapat terintegrasi dan dilaksanakan dengan baik, Pemerintah
harus segera melakukan revisi dalam UU Desa, antara lain terhadap norma hukum yang
masih menimbulkan konflik baik vertikal maupun horizontal, norma hukum yang tidak
jelas, norma hukum yang masih kosong salah satu contohnya adalah Peraturan Desa
tidak dibuat oleh Kepala Desa dan BPD akan tetapi hanya dibuat oleh Kepala Desa.

Kapasitas Desa dalam menyelenggarakan pembangunan masih terbatas.


Keterbatasan itu dapat dideteksi pada aras pelaku (kapasitas aparat pemerintah desa
dan masyarakat), kualitas tata kelola desa, maupun sistem pendukung (support sistem)
yang diwujudkan melalui regulasi dan kebijakan pemerintah yang terkait dengan desa.
Hal itu, pada akhirnya mengakibatkan kualitas perencanaan, pelaksanaan, pengedalian,
dan pemanfaatan kegiatan pembangunan kurang optimal, sehingga kurang memberikan
dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.

Merespon kondisi itu, Pemerintah sesuai amanat UU Desa, menyediakan tenaga


pendamping profesional, yaitu: Pendamping Lokal Desa (PLD), Pendamping Desa
(PD), sampai Tenaga Ahli (TA) di tingkat Pusat, untuk memfasilitasi pemerintah desa
melaksanakan UU Desa secara konsisten.

Aspek lain yang juga harus diperhatikan secara serius dalam pengelolaan
pembangunan desa adalah ketersediaan data yang memadai, menyakinkan, dan up to
date, mengenai kondisi objektif maupun perkembangan Desa-Desa yang menunjukkan
pencapaian pembangunan desa. Koreksi atas kelemahan/kekurangan dan upaya
perbaikan terkait problematika atas pelaksanaan otonomi desa harus terus diupayakan
oleh Kementerian Desa PDTT secara proaktif, salah satunya dengan meluncurkan
Program Inovasi Desa (PID).

Program prioritas Menteri Desa PDTT, melalui peningkatkan produktivitas


perdesaan dengan bertumpu pada:

1. Pengembangan kewirausahaan, baik pada ranah pengembangan usaha


masyarakat, maupun usaha yang diprakarsai desa melalui Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes).
2. Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).
3. Pemenuhan dan peningkatan infrastruktur perdesaan, khususnya yang
secara langsung berpengaruh terhadap perkembangan perekonomian Desa.

C. Hubungan Pemerintahan Daerah dengan Pemerintahan Desa

Hubungan desa dengan pemerintah daerah merupakan hubungan yang terjalin dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa dalam kerangka negara kesatuan. Dalam siklus kurang
lebih lima belas tahun di era reformasi, pengaturan tentang pemerintahan daerah yang mencakup
pengaturan tentang desa di dalamnya sudah empat kali mengalami perubahan. Mulai dari UU
No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2004 Tentang.
Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dan yang terakhir
pengaturan tentang Desa diatur secara tersendiri melalui UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Dalam kurun waktu yang panjang tersebut, desa hanya diatur melalui PP No. 72 Tahun
2005 Tentang Desa. Itu artinya, bahwa peraturan perundang-undangan yang selama ini
mengatur pemerintahan daerah dan desa mengalami ketidak sesuaian, atau justru peraturan
yang selama ini dinilai lamban, sehingga sulit untuk bisa menyesuaikan dengan persoalan baru.
Kedudukan desa juga semakin buram dan tidak jelas, pun demikian dengan hubungan dengan
daerah yang sebatas menjalankan sisa dari Pemerintahan.

Hubungan dan kedudukan Desa jauh lebih baik ketimbang pengaturan desa di masa
Orde Baru yang cenderung diseragamkan daan bersifat sentralistik. Ketika awal reformasi,
lahirlah UU No. 22 Tahun 1999, Undang-undang tersebut lahir karena adanya dorongan yang
kuat atas terbukanya kran demokrasi seluas-luasnya yang cukup lama terkungkung, sehingga
konsep dari UU No. 22 Tahun 1999 bersifat devolutifleberal.

Jika dilihat dari prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman oleh
Undang-undang No. 22 Tahun 1999, maka sebagaimana yang dikutip oleh Ni’matu Huda,
prinsip-prinsipnya sebagai berikut :

1) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek


demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan
bertanggungjawab.
3) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi daerah provinsi merupakan
otonomi yang terbatas.
4) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap
terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, serta antar daerah.
5) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah
otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi
wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina
oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan,
kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan
pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan pekotaan baru, kawasan pariwisata,
dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah otonomi.
6) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan, maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
7) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam
kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan
pemerintah tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah.
8) Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak hanya dari pemerintah
kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang
disertakan dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia
dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan memepertanggungjawabkan
kepada yang menugaskannya.

Dengan demikian, dari prinsip-prinsip otonomi di atas, dan sendisendi otonomi yang
meliputi Pembagian Kekuasaan (shering of power), Pembagian Pendapatan (distribution of
income), dan Kemandirian Administrasi Pemerintahan Daerah (empowering), adalah bagian
dari hubungan pemerintah dan daerah dan khusus untuk desa hubungan didasarkan atas asas
tugas pembantuan baik dari pemerintah, daerah kepada desa.

Secara garis besar perbedaan mendasar mengenai hubungan pemerintahan daerah


dan desa sebelum dan sesudah reformasi menurut Jaka Triwidaryanto, diantaranya: Pertama,
pemisahan antara eksekutif dan legislatif. Pemisahan ini membawa implikasi bahwa
pemisahan tersebut dibagi, dipisahkan, dan dibatasi. Eksekutif tidak lagi menjadi pusat
kebijakan, akan tetapi hanya sebagai pelaksana kebijakan yang senantiasa harus siap
dikontrol oleh BPD. Disamping itu, masyarakat desa memiliki struktur formal yang dapat
dijadikan saluran aspirasi karena BPD dipilih langsung oleh rakyat sehingga pendeligasian
kekuasaan rakyat melalui BPD memberi peluang partisipasi bagi masyarakat desa.

Kedua, herarki terbatas. Desa merupakan bagian dari kabupaten, sehingga kabupaten
memiliki kontrol yang sangat kuat melalui kecamatan. Bahkan dalam banyak hal, camat
dapat melalukan kontrol terhadap desa. Akan tetapi melalui UU No. 22 Tahun 1999,
kecamatan tidak lagi membawahi desa, bahkan hubungan desa dan kabupaten lebih bersifat
formal. Pertanggungjawaban Lurah Desa tidak lagi ke Bupati, tetapi kepada rakyat melalui
BPD. Kondisi desa tersebut mengarah kepada kontrol dinamika desa oleh publik desa dan
bukan oleh supradesa meskipun kabupaten memiliki pendelegasian untuk mengatur desa.
Sebagai perwujudan demokrasi, di desa dibentuk Badan Perwakilan Desa (BPD) atau
sebutan lainnya yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa yang bersangkutan,
berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan peraturan desa,
anggaran pendapatan belanja desa, dan keputusan kepala desa.

D. Kewenangan, Keuangan, Pertanggung Jawaban, dan Pengawasan.

1) Kewenangan

Kewenangan yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004,
UU No. 23 Tahun 2014, dan yang terakhir hubungan yang diatur dalam UU No. 6 Tahun
2014 Tentang Desa. Jika dalam UU No. 22 Tahun 1999, kewenangan desa mencakup;
a) Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa. b) Kewenangan yang
oleh peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah. c)
Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah
kabupaten.

Sedangkan kewenangan yang meliputi kewenangan daerah dalam UU No. 22


Tahun 1999 meliputi; a) Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamananan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. b)
Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan
tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro,
dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian
negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, konservasi, dan
standardisasi nasional.

Kemudian dilanjutkan pasal selanjutnya mengenai kewenangan; a) Kewenangan


Pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai
dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber
daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. b) Kewenangan
Pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus
disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut.
2) Hubungan Keuangan

Dalam menjalankan sebuah sistem pemerintahan, maka hubungan keuangan


merupakan sebuah elemen yang penting. Berdasarkan undang-undang yang sudah ada,
sumber dan pendapatan Desa sangatlah minim dan tidak cukup untuk membangun,
mensejahterakan dan membina masyaraat desa. Hal demikian yang menjadi penting
bagaimana hubungan keuangan daerah dan desa melalui peraturan perundang-undangan
yang sudah ada. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, keuangan dan pendapatan desa
bersumber dan terdiri dari :

a. Pendapat asli yang meliputi; hasil usaha desa, kekayaan desa, swadaya dan
partisipasi, gotong royong, dan pendapatan asli desa yang sah.
b. Bantuan dari pemerintah kabupaten yang meliputi; bagian dari perolehan
pajak dan distribusi daerah, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat
dan daerah yang diterima oleh pemerintah kabupaten.
c. Bantuan dari pemerintah dan pemerintah provinsi.
d. Sumbangan dari pihak ketiga.
e. Pinjaman Desa.

Sumber pendapatan desa dikelola melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
kegiatan pengelolaan APBD yang ditetapkan setiap tahun meliputi penyususnan anggaran,
pelaksanaan tata usaha keuangan, dan perubahan serta perhitungan anggaran. Kepala Desa
bersama Badan Perwakilan Desa menetapakan APBD setiap tahun dengan peraturan desa.
pedoman penyusunan APBD ditetapkan oleh Bupati. Tata cara dan pungutan objek
pendapatan dan belanja desa ditetapkan bersama antara Kepala Desa dan Badan Perwakilan
Desa dapat memiliki badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Mengenai keuangan desa berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, ini sedikit berbeda
dengan pengaturan dalam Undang-Undangnya. Pengaturan keuangan dalam Undang-
Undang ini lebih baik dan mempertimbangkan posisi desa melalui Pasal 212 yang
menyebutkan;
a. Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban.
b. Hak dan kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) menimbulkan
pendapatan, belanja dan pengelolaan keuangan desa.
c. Belanja desa sebagaiaman dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk mendanai
penyelenggaraan pemerintah desa dan pemberdayaan masyarakat desa.
d. Pengelolaan keuangan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
kepala desa yang dituangkan dalam peraturan desa tentang anggaran pendapatan
dan belanja desa.

3) Hubungan Sistem dan Organisasi Pemerintahan

Hubungan secara umum desa dan daerah termasuk dalam ketentuan undang-
undang masih ada tarik-menarik (spaning). Keterkaitan desa dengan wilayah dapat dilihat
dari struktur pemerintahannya. Di bangun atas dasar konstitusi, pemberlakuan undang-
undang pasca reformasi tidak jauh dari semangat reformasi, khususnya di bidang hukum,
politik dan ekonomi. Misalnya Peraturan Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, merupakan anak dari reformasi pada masa itu, agar konsep dan struktur
pemerintahan kokoh. Berbeda dengan rezim sebelumnya. Persyaratan otonomi yang
seluas-luasnya merupakan cikal bakal undang-undang ini, yang aslinya berasal orientasi
dari otonomi terpusat ke otonomi desentralisasi.

Penyelenggaraan pemerintahan tingkat daerah dan desa dalam Undang-undang ini


menyangkut bentuk pemerintahan kawasan tersebut terbagi menjadi dua bagian;
pemerintah provinsi dan daerah, pemerintah daerah dan pemerintah kota. Dalam Pasal 4
disebutkan: Untuk melaksanakan prinsip desentralisasi, dibentuk dan terstruktur Daerah
provinsi, daerah administratif, dan pemerintahan daerah kota mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat sebagaimana mestinya inisiatif sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat. Selanjutnya, masing-masing daerah sebagaimana pada ayat (1)
bersifat independen dan tidak mandiri mempunyai hierarki satu sama lain.
Sedangkan susunan Pemerintahan Daerah terdiri dari Pemerintahan Eksekutif dan
Pemerintahan Legislatif. Sebagaimana dalam Pasal 14 Ayat (1 & 2) disebutkan, di daerah
dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintahan Daerah sebagai Badan
Eksekutif Daerah. Kemudian, Pemerintahan Daerah terdiri atas kepala daerah beserta
perangkat lainnya dan masing-masing badan memiliki tugas, wewenang yang berbeda-
beda. Adapun tugas dan wewenang DPRD meliputi; a) memilih Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Wali Kota. b) memilih anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat dari utusan Daerah. c) mengusulkan pengangkatan dan
pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil
Walikota. d) bersama dengan Gubernur, Bupati, Walikota, membentuk Peraturan Daerah.
e) bersama dengan Gubernur, Bupati, Walikota menetapakan anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah. f) melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan daerah dan
Peraturan Perundang-undangan lain, pelaksanaan Keputusan Gubernur, Bupati, dan
Walikota, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah, kebijakan pemerintah
daerah, dan pelaksanaan kerjasama internasional daerah. g) memberikan pendapat dan
pertimbangan kepada pemerintah terhadap rencana perjanjian internasional yang
menyangkut kepentingan daerah, h) menampung dan menindak lanjuti aspirasi daerah dan
masyarakat.

Adapun Pemerintahan Desa dalam struktur dan organisasi Pemerintahannnya tidak


jauh berbeda dengan susunan pemerintahan Daerahnya. Pasal 94 menyatakan. Di desa
dibentuk Pemerintahan Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan Pemerintahan
Desa. Lalu bagian kedua dijelaskan dengan Pasal yang berbeda. (1) Pemerintah Desa terdiri
atas Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan perangkat Desa. (2) Kepala Desa
dipilih langsung oleh Penduduk Desa dari calon yang memenuhi syarat. (3) Calon Kepala
Desa yang terpilih dengan mendapatkan dukungan suara terbanyak, sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ditetapkan oleh Badan Perwakilan Desa dan disahkan oleh
Bupati.161 Adapun masa jabatan Kepala Desa paling lama sepuluh tahun atau dua kali
masa jabatan, dan Kepala Desa memiliki tugas dan kewajiban yang diantaranya;
memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa, membina kehidupan masyarakat Desa,
membina perekonomian Desa, memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat Desa,
dan mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa, dan mewakili desanya di dalam dan di
luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukumnya. Sedangkan dalam melaksanakan
tugas dan kewajiban, Kepala Desa bertanggungjawab kepada rakyat Desa melalui Badan
Perwakilan Desa (BPD). Sedangkan dalam pelaksanaan tugas, kepala desa menyampaikan
laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada bupati.162 Sedangkan Badan Perwakilan
Dea (BPD) atau disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat
Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan Desa.
PENUTUP

A. Kesimpulan

Hubungan antara pemerintahan daerah dan pemerintahan desa adalah salah satu aspek
penting dalam sistem pemerintahan di banyak negara, terutama di negara-negara yang
menganut prinsip desentralisasi. Berikut adalah beberapa kesimpulan penting dari hubungan
ini yaitu :

1. Desentralisasi merupakan upaya untuk memberikan kewenangan dan tanggung


jawab kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, dalam pemerintahan desa.
Hal ini bertujuan untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat
setempat dan memungkinkan partisipasi aktif warga dalam pengambilan keputusan
yang lebih baik.
2. Otonomi Desa, pemerintahan desa seringkali memiliki tingkat otonomi yang
signifikan dalam mengelola urusan-urusan lokal mereka. Mereka dapat mengambil
keputusan tentang pembangunan, penggunaan anggaran, dan program-program
pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
3. Koordinasi, pentingnya koordinasi antara pemerintahan daerah dan pemerintahan
desa dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan proyek dan program sangat
penting. Koordinasi ini membantu memastikan efisiensi, efektivitas, dan
penghindaran tumpang tindih dalam pelaksanaan program pemerintah.
4. Kendala Keuangan, pemerintahan desa seringkali menghadapi kendala keuangan
dalam melaksanakan tugas-tugas mereka. Keterbatasan anggaran dapat
menghambat kemampuan mereka untuk memberikan pelayanan yang memadai
kepada masyarakat. Oleh karena itu, pemerintahan daerah sering memiliki peran
penting dalam memberikan dukungan keuangan kepada pemerintahan desa.
5. Pemberdayaan Masyarakat, hubungan antara pemerintahan daerah dan
pemerintahan desa juga dapat menjadi sarana untuk pemberdayaan masyarakat
dengan melibatkan warga desa dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan
sumber daya lokal, mereka dapat merasa lebih penting dalam pembangunan dan
pelayanan publik yang berdampak pada kualitas hidup mereka.
6. Perbedaan Konteks, hubungan antara pemerintahan daerah dan pemerintahan desa
dapat berbeda-beda di setiap negara, tergantung pada sistem pemerintahan yang
diterapkan dan peraturan yang berlaku. Oleh karena itu, penting untuk memahami
konteks lokal dan hukum yang berlaku dalam menilai hubungan ini.

Adapun kesimpulannya, hubungan antara pemerintahan daerah dan pemerintahan desa


adalah bagian penting dalam upaya desentralisasi pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat.
Kerjasama yang baik anatar kedua tingkatan pemerintahan ini dapat meningkatkan kualitas hidup
masyarakat lokal dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA

Amrusyi, Fahmi. 1987. Otonomi Dalam Negara Kesatuan, dalam Abdurrahman (editor),
Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah. Jakarta : Media Sarana Press

Ali, Zainuddin. 2015. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Sinar Grafika

Asshiddiqie, Jimly. 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya Di
Indonesia. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitualisme. 2006. Jakarta: Konstitusi Press Bintarto, R.
1993. Geografi Desa. Yogyakarta : Up Spring

Busroh, A. Daud. 1993. Ilmu Negara. Jakarta : Bumi Aksara

Diantha, I. M. 2016. Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Jakarta : Prenada Media Group.

Dwipayana, Ari. 2003. Membangun Good Governance Di Desa. Yogyakarta : IRE Press

Gadjong A.S.A. 2007. Pemerintahan Daerah Kajian Politik Dan Hukum. Bogor : Ghalia
Indonesia

Gie. Liang, The . 1969. Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia.
Jakarta : Gunung Agung

Hadi, Sutrisno. 1987. Metodologi Riset Nasional. Magelang : Akmil

Hatta, Muhammad, dikutip dari Suhartono Dkk, Politik Lokal; Parlemen Desa: Awal
Kemerdekaan Sampai Jaman Otonomi Daerah, Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama

Huda, Ni’matul. 2015. Hukum Pemerintahan Desa; Dalam Konstitusi Indonesia Sejak
Kemerdekaan Hingga Era Reformasi. Malang : Setara Press

Ina E. Slamet, dikutip dari Suhartono Dkk. 2001. Politik Lokal; Parlemen Desa: Awal
Kemerdekaan Sampai Jaman Otonomi Daerah, Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama

Juanda. 2004. Hukum Pemerintahan Daerah. Bandung : Alumni, 2004

Anda mungkin juga menyukai