Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PENDAMPING LOKAL DESA; KATALISATOR TRANSISI MENUJU


DESA INKLUSIF

DISUSUN OLEH:
KAHERUL IKHSAN
PLD KECAMATAN TOWUTI

PROGRAM PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA


(P3MD)
KABUPATEN LUWU TIMUR
Kata Pengantar

Puji syukur pertama-tama penulis haturkan dari hati yang paling dalam kepada Allah SWT
yang telah memberikan rahmat dan berkahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang hadir di hadapan pembaca saat ini. Penyusunan makalah ini bukan tanpa kendala,
kesibukan kinerja pendampingan terutama sekali cukup menjadi tantangan untuk tetap
menyelesaikan makalah ini pada waktunya.

Shalawat dan salam juga tidak terlupa untuk di panjatkan bagi Muhammad SAW, sang
nabi yang membawa ummat manusia dari zaman yang “gelap” menuju zaman beradab dan
terang bernderang. Tak ubahnya tugas seorang nabi, pendamping desa pun bertugas untuk
menghantarkan masyarakat di desa menuju era desa mandiri dan demokratis. Khususnya
pendamping lokal desa yang di dalam dokumen aturan tercantum tugas untuk mendorong
perubahan sosial di tengah tengah masyarakat.

Tema yang penulis ulas pada makalah ini adalah tugas-tugas penting dan essensial seorang
pendamping lokal desa, yang dibanyak kesempatan disebutkan sebagai ujung tombak program
pendampingan dan pemberdayaan masyarakat. Karena pendamping lokal desalah yang
berhadapan langsung dengan masyarakat di desa untuk mendiseminasikan dan mendorong
implementasi UU Desa berikut semua regulasi turunannya. Oleh karena itu, makalah ini diberi
judul “Pendamping Lokal Desa; Katalisator Perubahan Menuju Desa Inklusif”.

Sejak awal diterima dan ditugaskan menjadi pendamping lokal desa, profesi ini menjadi
profesi yang sangat menyenangkan sekaligus menggairahkan bagi penulis sendiri. Mengingat,
pada pengalaman-pengalaman sebelumnya, kerja-kerja pengorganisiran masyarakat memang
sudah sangat akrab penulis lakoni. Oleh karenanya profesi ini menjadi tidak asing lagi untuk
dijalani.

Namun demikian, beberapa hal menjadi perhatian yang terus mengusik pikiran penulis.
Yaitu terkait peran signifikan pendamping lokal desa dalam kerja kerja pengorganisiran
masyarakat. Penulis beranggapan bahwa pemanfaatan peran pendamping lokal desa hari ini
masih jauh dari maksimal. Pada dasarnya banyak peran-peran strategis yang dapat dijalankan
oleh pendamping lokal desa secara bersamaan sembari mengerjakan tugas pokok dan fungsinya
yang baku yang tertera di dalam dokumen arutan, pedoman, maupun petunjuk teknis. Akan
tetapi, peran-peran tersebut terlewatkan oleh karena berbagai faktor. Tentu ini tidak
mengecualikan penulis yang juga merupakan salah satu pendamping lokal desa dalam program
P3MD ini.

Hal ini kemudian menjadi menarik bagi penulis untuk dibahas lebih dalam pada makalah
ini. Bagaimana peran strategis pendamping lokal desa, dan bagaimana gagasan tentang strategi
penguatan pendamping lokal desa yang terbersit di benak penulis yang kemudian dielaborasi
secara sistematis di dalam makalah ini.

Demikian kiranya pengantar singkat terkait makalah yang masih sangat jauh dari sempurna
ini. Sederetan gagasan kecil yang sempat terlintas kemudian dituliskan. Semoga makalah ini
dapat memberi sumbangsih kebaruan gagasan dalam program P3MD secara keseluruhan, dan
dapat dijadikan referensi tambahan bagi kahalayak umum. Segala kekurangan tentu tak luput
dari penulis yang hanya manusia biasa, oleh karenanya kritik dan saran yang sifatnya
membangun, sangat diharapkan untuk pengembangan dan refleksi diri kedepannya.

Wasssalaamu Alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Undang-Undang Desa adalah penanda bergesernya paradigma terhadap desa, dari paradigma
aristokartik menuju paradigma demokratik. Desa yang dahulu hanya dipandang sebagai objek
pembangunan, kini diakui dan diberi hak untuk mengatur dirinya sendiri dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Desa tak lagi dipandang hanya sebagai jari-jemari negara yang
menyelenggarkan isntruksi yang sifatnya terpusat dari atas ke bawah (top-down), melainkan
sebagai pijakan berdiri bangsa dan negara republik Indonesia yang harus kuat, maju, mandiri dan
demokratis1

Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.2

Kehadiran undang-undang desa secara esensial dapat dipandang sebagai legitimasi legal bagi
segala upaya untuk memajukan desa. Dalam artian, Desa kini memiliki payung hukum yang sah
dan kuat dalam memprakarsai dan melaksanakan segala upaya pemajuan desa. Undang-undang
desa pun memberi legitimasi bagi desa dalam mengatur dan mengurus segala aspek yang ada di
desa, mulai dari penguatan kelembagaan yang ada di desa untuk mendrong transparansi dan
akuntabilitas tata kelola pemerintahan, penguatan masyarakat sipil dalam hal partisipasi,
penguatan kelembagaan untuk pengembangan ekonomi desa, derta berbagai aspek lainnya.

Dengan begitu, “bola”kini ada di tangan desa itu sendiri. Desa yang dalam pengertiannya adalah
suatu kesatuan masyarakat hukum yang berwenang mengatur dan mengurus urusannya sendiri.
Tuas kemudi menuju kemajuan desa, kini ada di tangan desa, berikut segala faktor pendukung
yang menjadi prasyaratnya. Dari sinilah
1
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa
2
Definisi Desa Pada UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Dengan adanya Undang-Undang Desa, bisakah desa bertransformasi menjadi seperti apa yang
dicita-citakan oleh Undang-Undang Desa? Bukan perkara mudah untuk menjawab pertanyaan
ini. Namun kita dapat memulai dari melihat suguhan data makro yang berkaitan dengan desa.
Dari segi infrastruktur, hingga tahun 2018 sudah dibangun jalan desa sepanjang 158 ribu Km,
posyandu 18.400 unit, PAUD 48.000 unit, pasar desa 6.900 unit, jembatan, embung, BUMDes
dan lain-lain3.

Berdasarkan data BPS dalam sajian Data Potensi Desa (PODES) hingga tahun 2018 Jumlah desa
tertinggal berkurang sebesar 6.518 desa. Suharyanto, kepala BPS, juga mengatakan desa mandiri
bertambah sebanyak 2.665 desa. Namun di sisi lain, data juga memberi kita potret berbeda
terkait desa. Rilis data ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat sedikitnya ada 181 kasus
korupsi dana desa dengan 184 tersangka korupsi sepanjang empat tahun. Akibatnya, kerugian
negara mencapai Rp 40,6 miliar. Peneliti ICW, Egi Primayogha juga menyampaikan bahwa
aktor terbanyak dari semua tindak korupsi tersebut adalah kepala desa.

Data singkat di atas menunukkan potret yang menggembirakan sekaligus mengkhawatirkan. Di


satu sisi, sumber daya desa yang kian tahun kian meningkat, memberi kesampatan kepada desa
untuk dapat dengan cepat memenuhi semua kebutuhannya. Namun kebijakan pemberian sumber
daya anggaran tersebut bukan tanpa konsekuensi. ANggaran tersebut turun Bersama-sama
dengan sederetan regulasi yang kompleks dan mengikat. Sumber Daya Manusia pelaksana
penyelenggaraan pemerintahan di desa sangat disyaratkan mampu untuk memahami dan
mengimplementasikan regulasi tersebut. Jika tidak, maka konsekuensi hukum menanti di ujung
jalan.

Oleh karena itu tantangan besar yang dihadapi desa dalam perjalanan menuju desa ideal
sebagaimana yang dicita-citakan UU Desa telah dirumuskan pula strategi-strateginya. Di dalam
Peraturan Pemerintah (PP) No 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 6 Tentang
Desa, telah disematkan amanat untuk menyusun pedoman “Pendampingan Desa” kepada
kementerian yang menangani urusan tentang desa yakni Kementerian Desa Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).

DI tahun 2015 di terbitkanlah Peraturan Menteri Desa No 3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan
Desa. Secara umum Peraturan Menteri ini telah merumuskan strategi pendampingan mulai dari
3
Kutipan berita Tempo
Perencanaan hingga Pertanggung Jawaban Pemerintah Desa, dan strategi pendampingan
berjenjang mulai dari tingkat kabupaten. Namun di dalam peraturan ini, belum di sebutkan posisi
Pendamping Lokal Desa (PLD).

Masih ditahun yang sama, PP No. 43 kemudian di revisi menjadi PP No. 47 Tahun 2015 Tentang
Perubahan atas PP No. 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 6 Tentang Desa,
dan memasukkan posisi Pendamping Lokal Desa sebagai Tenaga Pendamping Profesional yang
berkedudukan di desa. 4

Rentetan regulasi di atas secara umum merumuskan strategi pendampingan bagi desa mulai dari
perencanaan, hingga pertanggungjawaban. Lebih dari itu, program pendampingan ini lah yang
diharapkan dapat memperkuat desa dalam mengimplementasikan UU Desa berikut semua
regulasi turunannya. Makalah ini akan lebih terfokus pada peran signifikan Pendamping Lokal
Desa dalam program pendampingan desa secara keseluruhan. Mengingat, posisi pendamping
lokal desa adalah yang secara langsung berhubungan dan bersinergi dengan masyarakat desa,
maka penulis menganggap bahwa posisi inilah yang menjadi kunci dari keberhasilan program
pendampingan di desa.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah peran Pendamping Lokal Desa dalam mengakselerasi transisi desa
menuju desa yang inklusif?
2. Kompetensi apa yang dibutuhkan Pendamping Lokal Desa dalam mengakselerasi
transisi desa menuju desa yang inklusif?

1.3. Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memperlihatkan gambaran tentang praktik peran
pendamping desa secara objektif (sesuai fakta) dalam mengakselerasi transisi menuju desa
inklusif, mengevaluasi kekurangan dan kelebihan, serta menganalisis kompetensi apa yang
seharusnya dimiliki oleh pendamping lokal desa dalam menjalankan peran tersebut.

Sebagai bahan masukan yang konstruktif bagai pembuat kebijakan untuk menciptakan
kerangka regulasi maupun kerangka acuan konseptual pelaksanaan program pendampingan desa.
4
PP No. 47 Tahun 2015 Tentang Peruabahan Atas PP N0. 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 6
Tentang Desa
Mulai dari payung hukum, petunjuk teknis, SOP, kurikulum, metode-metode pelatihan hingga
muatan materi peningkatan kapasitas Pendamping Lokal Desa baik yang diselengagrakan secara
regional maupun secara berkala di tingkat wilayah kabupaten.

1.4. Manfaat

Makalah ini diharapakan dapat menjadi referensi tambahan baik bagi pembuat kebijakan,
maupun bagi pendamping desa dalam menciptakan inisiatif mandiri untuk meningkatkan
kapasitas dalam melaksanakan kerja-kerja pendampingan desa. Makalah ini juga dapat memberi
gambaran kepada khalayak umum tentang pendmaping desa dan peran-peran strategisnya dalam
mengakselerasi proses transisi menuju desa yang inklusif
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kerangka Konseptual

2.1.1. Desa
Desa dalam Undang-Undang Desa di definisikan sebagai satu kesatuan masyarakat
hukum yang diberi hak, kewenangan, dan pengakuan untuk mengatur dan mengurus
urusannya sendiri. Desa dalam batasan cakupan administratif yang paling kecil dalam
system ketata-negaraan Indonesia.
Dalam penegertian ini paradigma tentang desa mulai digeser. Dahulu, kata “desa”
di mata masyarakat identik hanya pada pamong-pamong atau perangkat-perangkat yang
bekerja di pemerintahan. Masyarakat sama sekali tidak punya ruang untuk berpartisipasi
apalagi turut memberi andil dalam pemabangunan desa. Sementara saat ini, secara regulasi
desa telah “dibuka”. Desa menjadi arena terbuka bagi sinergi harmonis antara semua
kemlompok kepentingan yang ada di desa, tanpa ada lagi dikotomi pemerintah –
masyarakat dalam memandang desa.
Tanggung jawab untuk memajukan desa berada pada semua individu di dalam desa
tersebut. Baik yagn berperan sebagai pemerintah desa, BPD maupun semua peran lain yang
ada di desa. Sehingga apa yang menjadi keberhasilan desa adalah keberhasilan Bersama
seluruh warga desa. Begitupun sebaliknya, apa yang menjadi kegagalan di desa adalah
kegagalan Bersama seluruh individu yang ada di desa.

2.1.2. Inklusif

Inklusif adalah kata sifat yang dapat di artikan “terbuka bagi siapa saja, tidak
terbatas pada kelompok tertentu.”5 Istilah inklusif dalam makalah ini dibahas dalam
pengertiannya yang lebih substansial dan kaitannya dengan proses demokratisasi di desa.
Salah satu prinsip demokrasi yang paling dasar adalah kesetaraan dan partisipasi. Inklusif
lebih mengarah pada kedua pengertian ini. Diartikan Kesetaraan karena di dalam prosesnya
struktur social di desa diharapkan memposisikan semua kelompok kepentingan secara
setara tanpa mengedepankan atau mengesampingkan kelompok tertentu. Dan diartikan
5
Kamus Bahasa Inggris Meriam Webster
partisipatif karena dengan adanya prinsip kesetaraan maka semua pihak tentuk memiliki
privilege yang sama dalam perannya dalam suatu struktur social.

2.1.3. Konsepsi Desa Inklusif

Mengadopsi istilah inklusif dalam konteks pengembangan desa tentu tidak akan
terlepas dari cita-cita demokratisasi desa. Untuk mewujudkan desa yang demokratis, salah
satu prinsip dasar yang harus terpenuhi adalah adanya ruang terbuka bagi partisipasi semua
kelompok kepentingan yang ada di desa.

Sosiolog UGM, Arie Sujito, yang juga aktivis penggerak desa menjelaskan desa
inklusif merupakan desa yang terbuka, memiliki prinsip kesetaraan di dalam pengambilan
keputusan strategis di dalamnya. Desa menjadi entitas sosial dan tidak ada praktik
diskriminasi, mengedepankan kesetaraan dan partisipasi seluruh kelompok yang ada di
dalam desa6.

Pembahasan utamanya ada pada proses pengambilan keputusan strategis di desa


yang sebisa mungkin diakukan secara partisipatif. Partisipasi pun harus upayakan menjadi
partisipasi yang sebenarnya. Bukan hanya memenuhi syarat kehadiran perwakilan setiap
kelompok kepentingan, melainkan benar-benar mejadi representasi dari kelompok
sosialnya. Tidak terinterfensi oleh kelompok sosial yang lebih dominan.

2.1.4. Pendamping Lokal Desa

Keberadaan Pendamping lokal desa tertuang pada PP 47 Tahun 2015 yang


merupakan peraturan pelaksanaan UU Desa pasal 112 ayat 4. Pendamping lokal desa
adalah tenaga pendamping professional yang berkedudukan langsung di desa. Dalam
makalah ini penulis mengajak untuk melihat Pendamping lokal desa bukan hanya pada
tugas-tugas bakunya yang sudah tertuang di dalam segala peraturan, pedoman maupun
petunjuk teknis. Akan tetapi, pada peran strategisnya dalam membidani kelahiran prakarsa
masyarakat desa dalam memajukan desa. Karena desa, dewasa ini, siap tidak siap, harus
menjadi subjek atas perubahannya menuju desa yang mandiri.

6
Reportase Diskusi Publik “Menuju Desa Inklusif 2020” yang di selenggarakan oleh PSPK UGM
Sebagaimana yang banyak diutarakan oleh para peneliti tentang desa, salah satu
tantangan terbesar desa hari ini adalah, paradigma masyarakat yang masih merupakan
bentukan dari system lama yang hanya menempakan desa sebagai objek kebijakan.
Puluhan tahun periode system ini berjalan, membuat masyarakat desa cenderung menjadi
pasif dan sangat miskin prakarsa dalam hal mengidentifikasi dan merumuskan sendiri
tindakan untuk mengatasi masalah yang ada di desa. Ketergantungan pada program yang
sifatnya “top-down” masih cenderung sangat besar dan dapat kita jumpai di banyak desa di
tanah air.

Melihat Pendamping Lokal Desa yang hamper semua tugasnya memiliki landasan
hukum yang jelas, Pendamping Lokal Desa seharusnya memiliki peran strategis yang lebih.
Ada banyak prasayarat yang harus dibenahi terlebih dahulu sebelum semua indikator untuk
mewujudkan desa mandiri dapat terlaksana. Misalnya, paradigma masyarakat tentang desa
itu sendiri. Pendamping Lokal Desa adalah satu-satunya ujung tombak yang dapat secara
langsung dan proaktif mencungkil paradigma lama dan menanamkan paradigma baru
tersebut. Karena sepanjang paradigma masyarakat masih melihat desa hanya terbatas pada
pemerintah desa saja, dan hanya merupakan eksekutor dari program yang sidatnya top-
down, maka partisipasi dan prakarsa masyarakat akan sangat sulit kita jumpai.

Disamping itu, pelaksana pemerintahan desa juga harus menyadari bahwa


pemerintah desa hanyalah mandataris masyarakat. Pemerintah desa hanyalah pelaksana
operasional yang menjalankan apa yang menjadi tujuan Bersama masyarakat desa, dalam
kerangka ketata-negaraan Republik Indonesia. Oleh karenanya pendamping lokal desa
adalah aktor potensial dalam cita-cita besar perubahan desa.

2.2. Merumuskan Peran Strategis Pendamping Lokal Desa

Pendamping lokal desa pada dasarnya adalah seorang Community Organizer. Seseorang
yang tindak dan pikirnya bertujuan untuk mendorong perubahan di tengah-tengah
masyarakat. Disamping dari tugas-tugasnya yang tertera pada regulasi, pendamping lokal
desa yang secara resmi ditempatkan di desa dan menerima upah dari negara khusus untuk
kerja-kerja pendampingan di desa, dapat pula mengorganisir berbagai hal yang ada di desa.
Hal yang dimaksud, diantaranya;
Dalam hal partisipasi dan demokratisasi, pendamping lokal desa dapat menjalankan kerja-
kerja penguatan masyarakat sipil sekaligus memfasilitasi pembentukan paradigma baru
masyarakat di desa terkait desa. Karena salah satu prasyarat demokrasi adalah kuatnya
masyarakat sipil. Dalam tugas ini, pendamping lokal desa seharusnya mampu
mengintegrasikan diri ke masyarakat, masuk dan diterima menjadi bagian dari masyarakat
tempatnya bertugas. Lalu, secara halus dan terus menerus, melakukan edukasi bagi
masyarakat untuk tujuan penguatan masyarakat sipil.

Pendamping Lokal desa juga dapat melakukan infiltrasi melalui jalur kelembagaan. Dalam
tugas ini pendamping lokal desa memperkuat kelembagaan yang ada di desa, lebih
khususnya kelembagaan BPD, PKK, Karang Taruna, Kelompok Tani dan BUMDes.
Lembaga tersebut merupakan kelembagaan yang menghimpun masyarakat sipil di desa.
BPD merupakan representasi masyarakat yang paling tinggi, yang memiliki wewenang
langsung untuk menginterupsi pemerintah desa apabila ada kebijakan yang tidak sejalan
dengan keputusan strategis yang di sepakati bersama dalam musyawarah desa.

Sedangkan PKK dan Karang Taruna menghimpun kalangan pemuda dan perempuan di
desa. Bisa dibayangkan apabila kedua lembaga tersebut kuat dan memiliki posisi tawar di
desa sebagai representasi pemuda dan perempuan, maka keduanya dapat menjadi peniup
peluit apabila pemerintah desa tidak berjalan pada rel yang sudah di tentukan. Disamping
itu, prakarsa-prakarsa yang ada di desa, apabaila dimotori ataupun didukung oleh kedua
lembaga tersebut, maka tentu akan menimbulkan dampak yang besar. Karena energi
terbesar yang ada di desa ada pada generasi muda.

Bagi kelompok tani, Pendamping lokal desa pun seharusnya mampu melakukan integrasi
dan melakukan penguatan di dalamnya. Sebagai contohnya, memfasilitasi dan membekali
kelompok tani dalam hal pengetahuan dasar organisasi, mentransformasikan tools analisis
sosial dasar yang mudah dipahami oleh masyarakat seperti analisis masalah, analisis
potensi dll. Dengan begitu kerja-kerja kolektif masyarakat yang terhimpun dalam
kelompok tani dapat dirangsang untuk dihidupkan kembali, sehinggga prakarsa bersama
untuk mengatasi permasalahan bersama di desa dapat kembali hidup.

Sementara bagi BUMDesa, pendamping lokal desa pun seharusnya mampu untuk masuk
dan memfasilitasi BUMDesa dalam hal pengembangan ekonomi. Misalnya dengan
memfasilitasi pengurus BUMDesa dalam melakukan pemetaan potensi desa. Melakukan
Analisa Pasar sederhana untuk menentukan unit yang potensial untuk dikembangkan di
desa. Begitu pun dalam hal peningkatan kapasitas pengurus BUMDesa, Pendamping lokal
desa pun harusnya mampu mencakupi bidang tersebut. Adapun pada saat masyarakat mulai
masuk ke level yang lebih professional, Pendamping lokal desa dapat menghubungkan
masyarakat dengan pihak lain yang ahli di bidangnya untuk meningkatan kapasitas
masyarakat pada bidang yang lebih spesifik dan pada level yang lebih tinggi.

Uraian diatas memang terbilang sangat heroik, namun begitulah kenyataannya. Di dalam
tugasnya, pendamping lokal desa hampir mencakupi semua bidang yang ada di desa,
namun paling tidak, apabila kebutuhan masyarakat sudah berada pada level yang lebih
profesional, pendamping lokal desa dapat berfungsi sebagai hub atau penghubung antara
desa dan pihak lain yang ahli di bidang yang lebih spesifik.

Uraian di atas pada dasarnya menghantarkan kita untuk melihat peran pendamping lokal
desa sebagai katalisator atau pemercepat perubahan desa agar kompatibel dengan
perkembangan teknologi dan regulasi-regulasi baru yang berkaitan dengan desa. Sehingga
desa dapat bertranformasi menjadi desa yang inklusif, terbuka bagi siapa saja dalam relasi
sosial yang setara dan tanpa interfensi dari kelompok sosial yang lebih dominan.

2.3. Strategi Penguatan Pendamping Lokal Desa

Ulasan di atas kemudian menghantarkan kita untuk mengurai kompetensi apa yang pada
dasarnya dibutuhkan oleh pendamping lokal desa dalam menjalankan fungsi-fungsi
strategisnya di desa. Roem Topatimasang dalam bukunya yang berjudul Mengorganisir
Rakyat, menuliskan tahapan dalam kerja-kerja pengorganisiran masyarakat (community
organizer) yang ia rangkum dari puluhan tahun pengalaman mengorganisir masyarakat di
asia tenggara.

Tahapan tersebut bukanlah tahapan yang baku dan mutlak dapat diterapkan di mana saja,
namun, menurut Roem, tahapan tersebut selalu ada dalam setiap proses pengorganisiran
masyarakat. Kerja-kerja pengoraganisiran masyarakat bukanlah kerja-kerja instan yang
dampaknya langsung dapat di lihat “besok pagi” melainkan kerja-kerja yang dampaknya
baru akan terasa dalam jangka waktu panjang. Namun bila proses tersebut berjalan dengan
baik maka dampak tersebut besar kemungkinannya akan bertahan pula dalam jangka waktu
yang panjang.

Kerja pendamping lokal desa pun demikian, tidak jauh berbeda dengan kerja-kerja
pengorganisiran masyarakat (community organizer). Pada saat awal bertugas, pendamping
lokal desa harus terlebih dahulu melakukan pendekatan kepada masyarakat di desa
tempatnya bertugas. Kemudian perlahan-lahan mencari cara agar dapat diterima di tengah-
tengah masyarakat. Setelah proses itu terlalui, barulah pendamping lokal desa dapat
memulai untuk memfasilitasi proses perubahan di desa.

Mulai dari memfasilitasi masyarakat untuk mengidentifikasi masalah fundamental yang ada
di desa, kemudian secara bersama-sama merumuskan solusinya. Pendamping lokal desa
pun ditugaskan untuk membangun kesadaran masyarakat akan kerja-kerja kolektif di desa.
Dan pada penghujung prosesnya, pendamping lokal desa juga harus mampu mengajak
masyarakat untuk merefleksi, atau melihat kembali proses yang telah mereka lalui,
mencatat kesalahan yang pernah dilakukan untuk kemudian diambil sebagai pelajaran
sebelum memulai proses baru. Siklus inilah yang diperkenalkan oleh Roem Topatimasang
dalam kerja-kerja pengorganisiran masyarakat.
Dari uraian di muka, dapat diturunkan beberapa kompetensi dasar yang seharusnya dimiliki
seorang pendamping lokal desa, diikuti dengan strategi untuk meningkatkan komepetensi
tersebut.

1. Skill Mengintegrasikan Diri


Dalam kerja-kerja pendampingan desa, skill mengintegrasikan diri sangat penting,
karena apabila masyarakat desa masih memiliki sikap resisten kepada seorang
pendamping lokal desa, maka apapun yang dibawa oleh pendamping lokal desa juga
akan tertolak atau sulit diterima oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena
pendamping lokal desa masih dipandang sebagai outsider, atau orang luar, yang
sebenarnya tidak memiliki kepedulian apa-apa pada desa mereka, yang keberadaannya
juga hanya dianggap sebagai prosesi untuk menggugurkan tugas.

Beda halnya ketika seorang pendamping lokal desa mulai diterima oleh masyarakat,
dan tidak lagi dipandang sebagai “orang luar”, maka masyarakat akan lebih membuka
diri untuk berproses Bersama.

Dalam bukunya, Roem menggambarkan bahwa, tidak ada metode baku dalam proses
integrasi. Seorang CO dapat memulai dari mana saja untuk memulai pendekatan kepada
masyarakat. Sebagai contoh, dapat dimulai dari kemampuan apa saja yang di miliki.
Roem menceritakan beberapa pengalaman CO di dalam bukunya. Beberapa orang
memulai pendekatan kepada masyarakat desa dengan inisiatif mengajar komputer
kepada anak-anak sekolah yang ada di desa, kemudian sampai pada saat masyarakat
mulai membuka diri, barulah CO memulai pendekatan kepada orang tua dari anak
didiknya untuk memulai membicarakan hal-hal tentang desa. Lalu secara perlahan dan
pasti mulai bergerak untuk mengajak masyarakat lainnya untuk menganalisa
permasalahan yang ada di desa. Lalu berlanjutlah proses pengorganisiran masyarakat
tanpa disadari oleh masyarakat.

Bahkan, masyarakat yang menjadi medan kerja seorang CO tersebut terkadang tidak
menyadari kapan pertama kali tepatnya orang tersebut masuk kemudian memulai
memfasilitasi masyarakat dalam proses-proses pengorganisiran.
Model lain dari proses integrasipun tidak terbatas, ada beberapa contoh yang memulai
dari berpura-pura mencari keluarga yang katanya beralamatkan di desa tersebut. Lalu
lama kelamaan mencari kenalan dari masyarakat lokal untuk kemudian menjadi duta
komunikasi secara intensif. Dan seterusnya sampai proses pengorganisiran berlanjut
pula tanpa di sadari.

Untuk proses ini seorang pendamping lokal desa seharusnya diberi bekal awal untuk
memulai pendekatan di desa. Bekal awal berupa materi tentang proses integrasi ke
masyarakat. Bahkan bila perlu dilakukan assessment dari proses integrasi tersebut
dengan tahap monitoring secara berkala. Dan setiap pendamping lokal desa melakukan
proses ini dengan caranya masing-masing yang khas sesuai dengan potensi dirinya, dan
keadaan yang ada di desa.

2. Memfasilitasi Proses

Proses sebelumnya yang disebut sebagai proses integrasi dapat dianalogikan sebagai
“pintu masuk”. Apa bila proses pertama tersebut terlaui dengan baik, maka besar
kemungkinan proses-proses selanjutnya akan berjalan lancar. Akan tetapi masih tetap
bergantung pada bagaimana kompetensi, pengalaman, dan intuisi seorang pendamping
lokal desa dalam membaca, mengenali dan memposisikan diri di desa-desa
dampingannya.

Tahapan memfasilitasi proses berlaku dalam semua tugas-tugas formal pendamping


lokal desa. Misalnya saja dalam hal pelaksanaan pemerintahan desa. Pendamping lokal
desa harus mampu dan lebih dulu menguasai bidang yang akan ia fasilitasi, dalam hal
ini siklus tahapan pembangunan desa dan pengelolaan keuangan desa secara
keseluruhan. Setelah itu barulah kita berbicara tentang kemampuan pendamping lokal
desa dalam hal mentransformasikan pengetahuan dan memfasilitasi proses belajar
Bersama.

Contoh lain, misalnya dalam hal memfasilitasi proses penyusunan RPJMDesa.


Kemampuan fasilitasi seorang pendamping sangat diperlukan di sini. Bagaimana
pendamping lokal desa mampu menggali gagasan tertahan yang ada di pikiran
masyarakat, bagaimana pendamping lokal desa mampu memfasilitasi untuk
mengkategorisasi gagasan tersebut, atau bagaimana pendamping lokal desa dapat
memecahkan kebekuan alam piker masyarakat dengan berbagai metode ice breaking.

Diluar dari tugas-tugas formal ini, proses fasilitasi tetap diperlukan dalam kerja-kerja
yang belum tertuang di atas kertas. Misalnya saja, bagaimana pendamping lokal desa
mampu menjejaringkan aktor-aktor kunci kelembagaan di desa untuk berkolaborasi
dalam satu tindak kolektif untuk tujuan Bersama. Kemampuan komunikasi verbal yang
lugas dan dengan Bahasa yang sederhana dan mudah dipahami sangat diperlukan di
sini. Juga kepekaan untuk melihat benang-benang konflik samar yang sebenarnya ada
dan terdiamkan selama ini.

Kesimpulannya, dalam proses ini pendamping lokal desa perlu untuk diperkuat dalam
hal facilitating skill seperti, kemampuan untuk memparafrasekan gagasan masyarakat
yang serign kesulitan untuk menyampaikannya. Kemampuan bridging the ideas.
Kemampuan menyusun peta berfikir, dan semua skill fasilitasi lengkap dengan tools
yang diperlukan. Penguatan dalam bidang ini tentu saja harus dilakukan deggan metode
yang lebih interaktif dan bila perlu disimulasikan langsung.

Selain itu, pendamping lokal desa memang sebaiknya diwajibkan untuk minimal
membiasakan diri untuk membaca dan menulis. Karena kedua aktifitas ini sangat
diperlukan untuk meningkatkan kemampuan verbal. Di samping itu, pelatihan-pelatihan
kepenulisan dapat membantu meningkatkan kualitas pelaporan dan pendokumentasian
pendampingan di desa dalam bentuk narasi.

3. Merancang Strategi

Dalam proses merancang strategi, pendamping lokal desa sebisa mungkin tidak
menjadikan diri sebagai problem solver atau “dewa penolong” yang datang dengan
heroik memberikan semua yang dibutuhkan oleh masyarakat desa. Dalam prinsip-
prinsip CO, Pendamping lokal desa tidak boleh mengambil alih peran masyarakat desa.
Pendamping lokal desa sebaiknya hanya mendorng agar masyarakat mampu mengambil
perannya sendiri dalam setiap aksi kolektid di desa. Kemandirian masyarakat desa
harus dibangun.
Dalam merancang strategi, pun pendamping lokal desa sebaiknya menggali
pengetahuan, ataupun pengalaman dari masyarakat itu sendiri. Sebagaimana tugas
seorang bidan yang memfasilitasi kelahiran manusia, pendamping lokal desa pun
berperan demikian, membidani lahirnya prakarsa masyarakat desa.

Dalam hal ini Pendamping lokal desa juga membutuhkan skill facilitating, dan juga
wawasan serta referensi yang luas terkait banyak hal. Tujuannya, agar pendamping
lokal desa memiliki referensi yang mungkin identic dengan permasalahan atau potensi
setempat, lalu kemudian bila diperlukan dapat menghubungkan masyarakat setempat
dengan kelompok masyaralat lain yang pernah mengalami masalah atau memiliki
potensi yagn sama.

4. Mengerahkan Aksi

Masih berkaitan dengan pembahasan sebelumnya, dalam mengerahkan aksi,


pendamping lokal desa seharusnya tidak menjadi front man. Masyarakat tetap harus
menjadi aktor utama dalam mengambil tindakan dari strategi yang sudah dibangun. Di
sini, pendamping lokal desa perlu dibeklai kemapuan untuk memetaka aktor di desa.
Pendamping lokal desa harus mampu mengidentifikasi siapa “simpul pengaruh” yang
ada di desa. Karena gerak-gerak kolektif, sering kali bermula dari figure-figur individu
yang memiliki pengaruh lebih tinggi daripada individu lainnya.

Dalam hal ini, pendamping lokal desa harus selalu memperhatikan semua kodisi yang
ada, agar tidak berlanjut menjadi budaya patronase yang hanya menggantungkan
harapan pada figure-figur kunci di desa.

Pemahaman akan struktur sosial, dan tools untuk memetakan aktor berpengaruh di
desa, perlu untuk di asupkan ke pendamping lokal desa agar dapat menjalankan fungsi
ini secara maksimal.

5. Menata Organisasi

Dalam konteks kinerja pendamping desa, penataan organisasi bias dibilang sudah
selesai. Karena struktur organisasi kemasyarakatan yang ada di desa telah diatur secara
lengkap baik tugas, fungsi, peran, kewajiban maupun haknya dalam tata hidup dan
bernegara di tingkat desa. Namun kendala yang dihadapi dewasa ini berada pada
kualitas penyelenggaraan kelembagaan yang ada di desa, yang bermuara pada sumber
daya manusia.

Pendamping lokal desa dalam proses ini diperlukan untuk memperkuat personil-
personil kelembagaan masyarakat di desa. Memperkuat di sini, bukan berarti semua
bersumber dari pendamping lokal desa itu sendiri, akan tetapi dapat menghubungkan
masyarakat dengan pihak lain yang lebih ahli dalam bidang yang lebih spesifik.
Pendamping lokal desa hanya perlu menjalankan fungsi hub atau penghubung antara
kelembagaan yang ada di desa.

6. Proses Refelksi

Proses ini adalah proses akkir dari skema spiral siklur pengorganisiran masyarakat
sebelum kembali memulai ke tahap awal pada level yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Pendamping lokal desa harus mawas dan mengajak masyarakat di desa untuk
menyempatkan melakukan refleksi dari setiap aksi kolektif yang dikerjakan. Pada ruang
ini lah, konflik-konflik horizonal yang terjadi sepanjang proses dapat di pulihkan
kembali. Pada proses ini pula, masyarakat diajak untuk mengambil pelajaran dari
proses sebelumnya untuk dijadikan bahan pelajaran dalam mengarungi proses
selanjutnya.

Pendamping lokal desa di sini, sebaiknya hanya menjadi pendengar setia dan penuh
penghargaan atas kekayaan pengalaman dan pengetahuan yang dibagikan oleh
masyarakat dalam proses ini. Dan sebisa mungkin pendamping lokal desa mengajak
masyarakat untuk menunjuk satu orang yang bertanggung jawab mendokumentasikan
seluruh rangkaian proses ini sebagai bahan pelajaran siapa saja di masa mendatang.

Dari tulisan panjang di atas pembaca mungkin beranggapan bahwa semua ini hanya berada pada
ranah ideal dan jauh dari realita, bahkan mungkin utopis. Tentu saja kita harus memiliki sesuatu
yang menjadi visi besar layaknya “bintang utara” yang memandu arah gerak para pelaut
Skandinafia selama berabad-abad. Kita membutuhkan satu titik yang menjadi tujuan. Meskipun
pada perjalanannya akan banyak mengalami peneyeusaian, itu adalah proses dari dinamika untuk
memperoleh pengetahuan.
Ualasan di atas hanyalah luapan gagasan yang membuncah yang diramu dari pengalaman
beraktivitas Bersama masyarakat, pengalaman penelusuran pengetahuan pada samudra aksara,
dan pengalaman langsung yang telah dilakoni selama mengemban amanah sebagai pendamping
lokal desa.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pendamping Lokal Desa pada dasarnya memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan untuk
mempercepat proses transisi menjadi seperti apa yang telah dicita-citakan oleh undang-undang
desa. Namun demikian perlu dilakukan treatment tertentu untuk dapat memenuhi syarat-syarat
yang dibutuhkan. Mulai dari perangkat konseptual, yang berisi panduan, strategi, hingga
kurikulum bahkan sampai kepada petunjuk teknis pelaksanaan.

Hasil ulasan makalah ini menyimpulkan beberapa hal dan dipaparkan di bawah ini:

 Desa inklusif hanya dapat terwujud pada perjumpaan antara partisipasi aktif masyarakat
yang berkualitas dengan keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas pemerintah desa
dalam menjalankan tata kelola pemerintahan desa.
 Partisipasi masyarakat perlu untuk ditinjau ulang, apakah benar telah memenuhi
prasayarat partisipasi dalam pengertian sesungguhnya, dan bukan hanya partisipasi yang
terejawantahkan dalam bentuk kuantitas kehadiran. Partisipasi harus masyarakat dalam
bentuk gagasan maupun tindakan seharusnya murni lahir dari tiap-tiap individu yang ada
di desa. Dan dilandasi sepenuhnya oleh kesadaran individu untuk melibatkan dirinya
dalam segala proses sosial di desa. Bukan karena interfensi dari kelompok sosial yang
lebih dominan.
 Pendamping lokal desa adalah salah satu aktor potensial yang dapat mendorong
akselerasi terwujudnya poin nomor dua di atas. Akan tetapi, pendamping lokal desa perlu
dibekali dengan pengetahuan serta kemampuan (knowlwdge and skill) yang mumpuni
agar dapat memfasilitasi proses tersebut. Secara umumnya, rumusan konseptual strategi
penguatan pendamping lokal desa seharusnya menggali referensi yang berkaitan erat
dengan kerja-kerja pengorganisiran masyarakat (community organize), mulai dari
landassan berfikir, nilai (norma), hingga merode-metode yang kerap digunakan di
dalamnya.
 Pada tingkatan pemerintah desa pun pendamping lokal desa harus mampu melihat sisa-
sisa sistem lama yang masih kokoh terpasang pada top of mind para penyelenggara
pemerintahan desa. Semisal kecenderungan otoritarian, atau eksklusifisme, ataupun
budaya patronase yang masih sangat kuat. Untuk kemudian secara perlahan di kurangi
hingga akhirnya hilang dan tergantikan dengan sistembaru yang lebih inklusif, lebih
demokratis dan lebih adil.

3.2. Saran

Pada kesempatan ini, saran yang penulis sampaikan adalah yang tertuju pada diri sendiri,
yaitu terus mengupgrade diri baik dalam hal pengetahuan maupun kemampuan agar
dapat lebih maksimal dalam menjalankan tugas sebagai pendamping lokal desa. Karena
Sistem yang sedemikian rigid dan canggih sekalipun, apabila tidak dilengkapi dengan
kesadaran individu para pendamping lokal desa untuk berinisiatif mengembangkan diri,
maka tidak akan berguna sama sekali.

Saran yang kedua adalah kepada semua pihak yang terkait dalam program P3MD ini,
terkhusus kepada pihak yang berperan dalam perumusan kebijakan. Pendamping lokal
desa adalah potensi yang sangat besar untuk memajukan negeri ini. Penulis, yang juga
merupakan pendmaping lokal desa, sangat menggantungkan harapan agar rumusan
strategi program ini tidak berhenti berdinamika hingga mencapai state yang paling ideal.
Karena cita-cita membangun desa, adalah cita-cita besar dan luhur. Oleh karena itu,
sepatutnya lah diupayakan dengan tulus dan sungguh-sungguh.

Pada suatu kesempatan saya pernah mendengarkan penyampaian motivasional dari salah seorang
yang pada masanya pernah melakoni kerja-kerja pengorganisiran masyarakat. Dan saat ini pun
masih terlibat dalam kerja panjang mentransformasikan masyarakat desa menjadi masyarakat
yang lebih baik.
Beliau menyampaikan,
“Di negeri ini, pernah ada satu masa dimana orang-orang yang memiliki inisiatif untuk
berbuat sesuatu demi kemaslahatan orang banyak diburu dan ditangkapi oleh rezim.
Sedangkan di masa ini, kerja-kerja tersebut sudah berlandaskan hukum dan dilengkapi
semua hal yang menjadi kebutuhannya. Maka, tolong, bersungguh-sungguhlah dalam
menjalankan tugas ini. Modalnya hanya sedikit;”
“Perkuat rahang dan perkuat lutut anda”
“Perkuat rahang untuk banyak berbincang dengan rakyat, serta perkuat lutut untuk
banyak berjalan menemui dan membaru Bersama rakyat”
Kekurangan adalah software bawaan yang sudah terpasang pada setiap manusia. Oleh
karenanya, setiap kekurangan pada makalah ini tidak lepas dari kenyataan bahwa penulis adalah
seorang manusia biasa.
Akhir kata, terima kasih dan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada pembaca yang masih
berkenan untuk melanjutkan sampai goresan aksara terkahir ini.
Terima kasih,
Semoga keselamatan dan rahmat senantiasa dilimpahkan kepada kita sekalian.
DAFTAR REFERENSI

Referensi

Kamus Bahasa Inggris Meriam Webster

Topatimasang, Roem. Mengorganisir Rakyat. 2004; Insist Press.

Fakih, Mansour, Roem Topatimasang &Toto Rahardjo, eds. (2001), Pendidikan Popular:
Membangun Kesadaran Kritis; Jogyakarta: INSIST Press.

Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah

Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 6


Tahun 2014 Tentang Desa

Peraturan Menteri Dalam Negeri No 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi No. 3 Tahun 2015
Tentang Pendampingan Desa

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi No. 1 tahun 2015
tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala
Desa

Internet

https://cekfakta.tempo.co/fakta/115

https://ugm.ac.id/id/berita/18700-pemerintah-dorong-pertumbuhan-desa-inklusif

Anda mungkin juga menyukai