Anda di halaman 1dari 196

Prolog

Sepasang pengantin malam berkasih-kasihan

Di atas Mahakam bersanding mempelai rembulan

Keduanya tak terpisahkan oleh kematian

Setanggi wangi menebar kesturi

Seribu dayang menari empat puluh hari

Dalam tembang empat puluh malam

Batara Agung menikahkan keduanya

Pengantin menyampirkan selendang sepanjang Mahakam

Di sanalah, lelembut menghantarkan aji-ajian

Enam Enggang di ujung ranting pepohonan

Sebagai saksi pertemuan sepasang kekasih impian

Bab 1 Melati Putih

Empat puluh hari …

ARFAN HARSAH, pria berumur dua puluhan itu bergumam sembari menggenggam sebuah cincin
pernikahan. Matanya basah. Ia yakin istrinya yang telah menyelipkan cincin itu di saku jaketnya. Ia
melepas cincin itu ketika hendak ke kamar mandi. Seingatnya cincin itu tertinggal di wastafel di
rumahnya beberapa hari yang lalu.

Beberapa hari yang lalu?


Tepatnya … sudah berapa lama aku tidak pulang?

Pada setiap teman duduk dalam perjalanan, ia selalu mengulang kisah klise tidak masuk akal itu.
Tidak mungkin cincin pernikahannya berpindah sendiri ke saku jaketnya. Ia merasa istrinya selalu
mengikuti ke mana pun ia pergi. Bahkan ke dalam kamar mandi!

Dulunya ia tidak percaya kepada hal-hal mistis. Ia pria cerdas yang mengutamakan akalnya.
Namun sekarang jauh berbeda.

Ke mana perginya pria yang sangat rasional itu?

“Anda harus ikhlas. Jika Anda tenang maka istri Anda juga akan ikut tenang di alam sana,” ucap
teman duduknya di pelataran masjid selepas salat Asar. Ia bercerita kepada hampir setiap orang
yang dikenalnya di jalan. Memuji istrinya lebih dari apapun di dunia.

“Saya kasihan padanya. Kami memiliki banyak rencana. Istri saya sedang hamil muda … ia memang
pantas—sangat pantas, mendapat pujian,” ujarnya terisak.

Ia mengaku ikhlas atas nasib istri tercintanya. Namun sikapnya jauh panggang dari api. Ia tidak
sadar tengah menuju ke puncak kegilaannya. Ia tidak sadar tengah menggali kuburannya sendiri.

Empat puluh hari …

Dari sejak hari naas itu, ia semakin cermat menghitung hari-hari. Hanya itu yang perlu diingatnya.
Lainnya tidak penting. Ia sudah tidak peduli kepada pekerjaannya. Tanpa istrinya, kekayaannya
hanyalah sebuah lelucon belaka.

Untuk pertama kalinya ia menyantuni panti asuhan. Ia membeli karpet sajadah untuk masjid-
masjid. Dan semua atas nama istrinya. Selalu saja istrinya. Istrinya yang cantik walaupun tanpa make
up, mahir menari dan merdu suaranya. Istri yang selalu sabar, tabah dan patuh. Istrinya yang pandai
memasak, istrinya yang … (tuturnya panjang lebar).
Sampai-sampai orang yang mendengarnya jengah.

Dirinya sendiri sudah tidak penting. Berbeda seperti dulu. Tidak ada lagi pria sukses yang merasa
memiliki segalanya; kekayaan materi dan istri sempurna.

Limpahan hartanya tidak dapat mengembalikan istrinya. Sepeser pun tidak.

Di dunianya yang sekarang, waktu tidak lagi bergerak maju, melainkan mundur ke masa lalu.
Kristal-kristal indah kenangan seakan pecah berkeping-keping menjelma beling yang mengoyak
hatinya dari dalam.

Ia mulai melupakan rumahnya, orang tuanya, sahabat-sahabatnya, kerabatnya—dan belakangan


ini, namanya sendiri. Ia sudah tidak memedulikan dunia tempatnya berpijak. Ia rindu setengah mati
untuk bertemu istrinya. Jika bisa segera. Detik ini juga. Sekarang!

Setiap berkenalan dengan teman baru di sepanjang perjalanan ia selalu memungkas, “Doakan saya
supaya cepat bertemu istri saya.”

Orang-orang sudah pasti menuduhnya sinting ketika ia mulai ngotot, “Lihat jari-jemari saya
memucat!! Ini pertanda tidak lama lagi saya akan menyusul istri saya.”

Kebanyakan orang yang mendengarnya akan berseloroh, “Kawin saja lagi Mas!!” Dan ia nyaris
baku hantam gara-gara ucapan itu.

Dahulu ia pria yang tegar dan sulit dikalahkan. Namun sekarang, ia hanya pria mengenaskan,
sensitif dan kesepian. Ia hanya membutuhkan teman duduk. Tidak lebih. Batinnya yang sakit
memengaruhi kesehatan tubuhnya. Badannya yang dahulu gagah kini kurus. Wajahnya yang semula
terlihat penuh gairah, kini tirus, ditumbuhi cambang.

Ia hanya membutuhkan pendengar yang baik untuk dapat berempati kepadanya. Teman duduk yang
dapat mengangguk di saat yang tepat ketika ia beretorika.
Ia pria cerdas—bahkan jenius. Peraih juara umum ujian nasional SMA se-kabupaten Kutai
Kartanegara. Lulusan terbaik Fakultas Psikologi. Dan kemampuan luar biasanya di bidang teknik.
Bakatnya menulis syair sekaligus nalurinya berbisnis. Perpaduan yang langka pada seorang manusia.
Dan ya, ia juga merasakannya. Merasa sebagai manusia pilihan yang dipersiapkan Tuhan untuk
memperoleh segalanya. Namun dugaannya salah. Tuhan mempunyai rencana lain. Dan tidak
seorang manusia pun yang mengetahuinya.

Tentu saja bukan perkara mudah memberi saran kepadanya, terlebih lagi mengubah pendiriannya.
Siapa yang akan menyangka, ahli psikologi yang sering menasehati orang itu akhirnya menjadi
depresi. Ia memang pintar berbicara, memberikan solusi panjang lebar. Pada akhirnya, ibarat
pepatah klasik: senjata makan tuan, ia tidak berdaya setelah dirinya sendiri yang tertimpa musibah.

Mudah saja baginya mendapatkan wanita lain. Ia masih muda dan wajahnya cukup tampan.
Beberapa mantan kekasihnya bahkan rela melajang karena masih mencintainya.

Ini bukan sekadar kebutuhan biologis. Hubungan tanpa cinta hanya akan menambah beban
batinnya. Sejak mengenal istrinya, ia tidak pernah sekalipun melirik wanita lain. Ia bersikukuh tidak
ada satu pun wanita yang mampu menandingi istrinya. Tidak satupun. Sulit dipercaya, apalagi bagi
orang yang tidak pernah mengenal istrinya.

Dulunya ia memang pria brengsek, anak manja dari keluarga berada, perayu ulung dan tukang
kebut. Namun sejak mengenal istrinya, ia berubah drastis menjadi pria yang bertanggung jawab dan
bersahaja. Semua karena istrinya.

Seminggu setelah menikah, Arfan memutuskan keluar dari rumah orang tuanya. Ia tidak ingin
membebani kedua orang tuanya. Malu kepada istrinya. Rumah sederhana yang dibelinya perlahan-
lahan dibangun menjadi lebih istimewa. Istimewa bukan berarti mewah. Istrinya tidak ingin
berwewah-mewahan. Seorang sarjana teknik dan ahli psikologi peraih cum laude yang bekerja
sebagai supervisor salah satu perusahaan pertambangan di Kaltim rela mengisi waktu luangnya
dengan berdagang buah keliling kota, membuka bengkel las, beternak dan mengolah sawah.

Semua demi istrinya tercintanya.


Pagi-pagi istrinya sudah membersihkan kandang ternak tanpa mengeluh. Siangnya turun ke
kubangan lumpur sawah menebar pupuk. Dua hari sekali mengurus sanggar menari Lembuswana di
Samarinda. Sedangkan Arfan sepulang dari kantor rela berkeliling kota menjual buah di atas pikap. Ia
juga belajar mengelas (atau apapun yang dapat menambah penghasilannya) hingga mahir membuat
pagar teralis hias. Mereka berdua meraih sukses dari nol. Tanpa bergantung kepada orang tuanya,
apalagi berutang kepada orang lain. Sekali lagi, demi istrinya.

Pendapatan harian, mingguan dan bulanan membuat keluarga Arfan lebih makmur daripada
pegawai pemerintah. Hanya dalam beberapa bulan ia mampu memperluas sawahnya, membeli
mobil dan tanah di beberapa tempat di Tenggarong. Rencana-rencana usaha sampingannya selalu
mendapat dukungan dari istrinya. Ia makin percaya diri. Karena dukungan istrinya, usahanya selalu
sukses.

Pemikiran mereka sejalan. Mereka jarang berselisih. Belum pernah terlontar kata-kata kasar.
Karena mereka saling menjaga perilaku masing-masing.

Arfan bisa bersabar karena kesabaran istrinya.

Selama ini ia merasa dilapangkan jalan menuju kesuksesan tanpa halangan yang berarti. Nyaris
tanpa kegagalan. Ia merasa telah dipilih ‘tangan’ Tuhan untuk menjadi orang sukses di Kaltim.

Sampai musibah itu merenggut akalnya. Meruntuhkan ego dan kepercayaan dirinya. Tepat ketika
hasil panen sawahnya sukses besar. Hasil panen yang berlipat-lipat tidak dapat dinikmatinya
bersama istrinya.

Untuk apa hasil jerih payahku selama ini kalau bukan untuk istriku?

Saat musibah terjadi, istrinya tengah dalam perjalanan pulang dari menengok orang tuanya di
Tenggarong Seberang. Seharusnya Arfan menemani istrinya pada hari naas itu. Ia masih tidak
percaya. Seakan Tuhan telah berkhianat padanya. Seakan malaikat-malaikat keberuntungan
meninggalkannya.

Kenapa harus istriku yang menjadi korban?


Kenapa tidak orang lain saja!!

Kenapa tidak gelandangan?

Atau mereka yang sekarat di rumah sakit?!!

Ia menganggap istrinya bagai lilin putih yang rela berkorban demi orang lain. Rela hancur demi
kebahagiaan orang lain. Ia masih tidak mengerti kenapa Tuhan merenggut orang yang sangat berarti
baginya. Belakangan ia sadar (setelah berbicara kepada diri sendiri di tepi Sungai Mahakam).
Mungkin aku telah menangguhkan zakat dari hartaku. Atau melupakan anak yatim?

Menyesal sekarang pun percuma.

Ia berharap dapat menikmati jerih payahnya bersama istri dan anak-anaknya kelak. Ia berharap
dapat membahagiakan istrinya dengan segenap akalnya, dengan kerja keras dan usahanya. Sekarang
kepada siapa lagi ia harus menceritakan impiannya? Siapa yang akan mengajarkan kerendahan hati
dan menegurnya jika salah? Siapa yang akan memahami ide-idenya? Siapa yang akan mendukung
rencana-rencana bisnisnya?

Ia sering membanggakan kesuksesan bisnisnya kepada orang lain. Istrinya yang sering
menegurnya, “Malu Mas … jangan takabur.”

Namun sekarang seluruh rencananya berantakan. Dan ia sudah tidak peduli lagi. Ia sudah tidak
minat membuat rencana-rencana usaha sampingan. Tanpa istrinya semua sia-sia.

Petuah-petuah bijak istrinya masih terngiang dalam telinganya. Selama ini ia hanya percaya
kepada istrinya saja. Selama ini ia hanya mendengarkan kata-kata istrinya. Ia betah di dalam rumah
selama bersama istrinya.

Dari atas loteng rumah, mereka dapat bersantai menikmati pemandangan sawah dan perbukitan
yang membentang di kejauhan. Dari sana, sungguh terlihat seperti sebuah lukisan pedesaan. Mereka
sering menghabiskan waktu berdua di atas kursi malas di balkon, bertukar pikiran, bersenda gurau
atau menikmati kesunyian. Mendengarkan kidung alam.
Bunga-bunga melati dan kebun buah-buahan menambah kesejukan rumah itu. Di halaman
samping rumahnya ada gazebo yang berada di samping kolam ikan. Tidak luas, namun asri. Rumah
mereka berada di tengah-tengah persawahan. Seperti impian mereka.

Impian istrinya adalah impiannya juga.

Arfan jarang bergaul dengan tetangganya. Karena kebanyakan pemikiran mereka tidak sejalan.
Teman-temannya kebanyakan berasal dari kantornya. Awalnya ia pribadi yang kaku dan tertutup,
namun sejak bertemu istrinya, ia perlahan berubah. Terkadang ia masih keras kepala dan angkuh.
Namun istrinya tidak pernah bosan mengingatkannya.

Tuhan menjelma dalam cinta kasih, dan tanpa cinta kasih itu ia merasa telah jauh dari Tuhan. Ia
jarang berdoa dan ia bukan muslim yang taat. Namun sejak musibah yang menimpa istrinya, ia lebih
banyak solat di dalam masjid. Berkunjung dari masjid satu ke masjid yang lainnya. Doanya tak
pernah putus untuk istri tercintanya. Ia rajin membaca ayat-ayat Yasin (walau masih terbata-bata) di
tepian Sungai Mahakam. Menangisi kepergian istrinya dengan sajak dan isak tangis yang mendalam.
Dan hanya dirinya seorang yang mengerti arti kehilangannya.

Ia masih berharap dapat melihat jasad istrinya untuk yang terakhir kalinya. Istrinya yang menjadi
korban ambruknya jembatan Kartanegara bersama puluhan korban lain pada 26 November 2011
silam.

Bab 2

SETELAH kabar memilukan itu, Arfan sering berada di tepian Mahakam. Melarung melati putih lalu
membaca Yasin. Bahkan di hari ketiga pasca musibah, ia membacakan syair yang mengukuhkannya
sebagai ‘orang sinting baru’. Ia membaca dengan suara lantang syair yang ditulisnya di tepian
Mahakam waktu itu. Air mata berderai di pipinya.

Bunyinya seperti ini:

Setangkai sajak yang kularung untukmu

Selarik syair pujangga yang kueja


sirna sihirnya tatkala kau mengusap keningku

seraya berkata : “Syairmu telah tertulis padaku.”

Syair terindah

adalah ketika kau membacanya

Kau selalu menyediakan waktu

Simpuh di sisiku, luruh bersamaku

melafalkan syairku, tanpa berfatwa

tiada rahasia, kuraup bisikmu mesra

Ketika kau setia berbisik padaku

Kidung rindu singgah di peraduanku

Agar aku terjaga bersama bahagia

Lebih berharga dari lembaran syairku

Sekian musim memandu jejakmu

Entah berapa syair kurajah di langitku

Namun tak satupun sajak-sajakku

Yang mampu menebus cintamu

Orang-orang di sekitar taman berkerumun menontonnya. Mereka pikir itu semacam pertunjukan
topeng monyet atau semacamnya. Seringkali seseorang yang berada di puncak kreativitasnya sering
dituduh gila! Dan itu sering terjadi pada banyak, banyak orang.

Sungai Mahakam seakan menjadi makam massal bagi puluhan jenazah korban yang tidak
ditemukan. Lebar Mahakam sekitar lima ratus meter, panjangnya mencapai sembilan ratus
kilometer. Ia tidak akan pernah mengetahui di mana letak jenazah istrinya.

Itu saja yang diingatnya. Lainnya tidak penting.


Dan harapannya akan segera terwujud.

Arfan terjaga di jok depan mobilnya. Tumpukan surat kabar dan bungkus makanan berserakan di
bawah dasbor. Taman asri dan luas di sekitar bekas jembatan Kartanegara menjadi rumahnya
sekarang.

Karena sering berada di taman ia memiliki banyak teman baru. Loper koran dan pedagang keliling
menjadi langganannya. Meski sering berada di sekitar tempat terjadinya musibah, ia masih
mengikuti perkembangan evakuasi korban dari surat kabar. Ia jarang pulang ke rumah. Ia lebih betah
tinggal di sekitar taman itu. Tidur dari masjid ke masjid atau di dalam mobilnya. Menurutnya, yang
penting, jangan sampai ia pulang ke rumah, karena bayangan istrinya akan semakin membuatnya
gila!

Kini rumahnya yang sepi menjadi sarang bagi laba-laba.

Biasanya pada sore hari taman itu selalu ramai oleh pengunjung. Sebuah tugu jam bentong berada
di tengah-tengah taman itu. Dari taman itu, pengunjung dapat menikmati pemandangan Sungai
Mahakam, jembatan Kartanegara (sewaktu masih utuh) dan Pulau Kumala.

Sayup-sayup suara isakan tertahan menelusup ke gendang telinga Arfan. Kemudian suara
nyanyian dihantarkan angin yang berhembus di atas Mahakam.

Suara yang sangat dikenalnya. Suara lirih istrinya.

Sepasang pengantin malam berkasih-kasihan

Di atas Mahakam bersanding mempelai rembulan …

Tapi ia masih belum yakin. Antara sadar dan tidak, ia berusaha mengumpulkan kesadarannya. Ia
mengerjap-ngerjapkan mata. Sudah berapa lama aku tertidur? Hal pertama yang diingatnya: Aku
belum melarung melati putih ke Sungai Mahakam.
Melarung melati putih sudah menjadi kebiasaannya selama empat puluh hari ini.

Ia beranjak dari jok. Merapikan rambutnya yang kusut memakai jemarinya. Namun rambutnya
masih berantakan. Sedangkan tangan yang lain meraba-raba dalam gelap. Mencari kunci mobil
kemudian memutarnya. Lampu kabin otomatis menyala. Mesin mobil menderum halus.
Penglihatannya masih berkabut. Ia memicingkan mata memerhatikan jam digital di dasbor. Pukul
17.06.

Aroma melati putih menguar dari dalam bungkusnya yang berada di atas dasbor. Sejak istrinya
menjadi salah satu korban ambruknya jembatan Kartanegara, ia tidak pernah lalai melarung melati
putih ke atas Sungai Mahakam. Sehari dua kali, setiap pagi dan sore hari. Biasanya ia memetik
sendiri melati yang ditanam istrinya di rumahnya, atau membeli di pasar Tangga Arung.

Sekarang sudah malam. Seharusnya ia sudah melarungkan melati putih ke Sungai Mahakam.
Seharusnya ia sudah berada di dalam masjid untuk solat Isya. Kalau tidak tidur di dalam mobil,
biasanya ia tidur di dalam masjid.

Rasa letih membuatnya tertidur di jok mobil. Rasa letih dari pikirannya yang kalut dan beban
batinnya yang berkecamuk hebat. Lebih hebat dari badai yang akan datang di hari itu.

Sudah empat puluh hari sejak musibah ambruknya jembatan Kartanegara. Dan jasad istrinya tidak
pernah ditemukan. Sampai sekarang.

Sedan warna putih yang teridentifikasi dari nomor pelatnya milik istrinya. Sedan itu ditemukan
telah ringsek, seluruh pintu terpentang dan terjepit kerangka jembatan. Tim SAR sampai harus
memotong bodi mobil agar dapat mengeluarkannya dari reruntuhan kerangka jembatan.

Namun tidak ada seorang pun penumpang di dalam mobil.

Di mana jasad istriku? Di mana jenazahnya berada?

Sudah empat puluh hari …

Berbagai agama meyakini bahwa empat puluh hari merupakan puncak kekuatan batin. Yesus
diangkat ke surga setelah empat puluh hari kebangkitannya. Musa menerima kitab Taurat di bukit
Sinai setelah malam keempat puluh. Nuh berlayar selama empat puluh hari setelah banjir besar.
Nabi Ibrahim berada di dalam api selama empat puluh hari. Khalwat (pengasingan diri) dilakukan
selama empat puluh hari untuk mendapatkan pencerahan. Awal pembentukan manusia di dalam
rahim dimulai di hari keempat puluh. Selama empat puluh hari setelah kematiannya, arwah manusia
masih tinggal di rumahnya. Di dalam Kejawen arwah manusia yang meninggal akan pergi ke alam
lain setelah hari keempat puluh.

Sudah empat puluh hari …

Arfan yakin istrinya kini telah berada di surga sekarang. Wanita berhati mulia yang dinikahinya
setahun lalu itu memang pantas berada di surga. Sangat pantas. Istrinya seperti melati putih yang
cantik luar dalam. Meski jasadnya tidak pernah ditemukan sampai sekarang namun ia masih
merasakan wangi tubuhnya.

Istrinya serasa berada di dekatnya. Sangat dekat. Seperti embusan angin dingin yang melewati
celah jendela pintu mobilnya.

Arfan beranjak dari jok depan. Ia mengusap embun di kaca jendela mobilnya dengan jemarinya.
Dan ia nyaris tidak percaya dengan penglihatannya.

Di sana, di atas sungai Mahakam yang berkabut, jembatan Kartanegara yang semula ambruk tiba-
tiba kembali berdiri kokoh. Utuh dan gagah. Seolah-olah tidak pernah terjadi musibah apapun di
sana.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Arfan tidak melepas pandangannya dari jembatan Kartanegara. Ia meraih setir dan perlahan
mengemudikan mobilnya ke bibir jembatan.

Belum hilang rasa kagetnya, ia dikejutkan oleh hal lain.


Sosok istrinya berdiri di tengah jembatan. Tubuhnya terbalut gaun seputih melati. Lampu
jembatan menyala bergantian di belakangnya. Ia melambaikan tangan ke arahnya. Seruannya bagai
embusan angin dingin, “Kemarilah sayangku … kemarilah.”

Arfan terhenyak. Akal sehatnya memberontak. Tidak mungkin!

Saya berharap ini bukan mimpi!!

Tuhan, tolong jangan mempermainkan aku!!

Dan kenangan masa silam itu pun menyeruak kembali.

“Pulang kantor, senang yaaa.”

Arfan mendapati wajah istrinya yang menyambutnya di ambang pintu. Istrinya tengah memetik
melati putih yang mulai mekar. Sekulum senyum dan binar cahaya di mata istrinya sudah cukup
membuatnya bahagia. Rasa letihnya sirna. Senyum istrinya sungguh memesona. Karena senyuman
itu ia buru-buru pulang.

Ia tidak betah berlama-lama tinggal di kantor setelah menikah.

Putri Melati, wanita berumur dua puluh enam tahun yang dijumpainya ketika acara budaya di
Pulau Kumala. Pulau yang telah direnovasi menjadi tempat wisata di tengah-tengah sungai
Mahakam. Di sana terdapat wahana permainan, resor hotel, cottage, dan rumah-rumah adat
Kalimantan. Seringkali diadakan pagelaran seni dari perayaan Erau. Di sana juga terdapat patung
monumen lembuswana, makhluk simbol mitologi kerajaan Kutai Kartanegara. Makhluk fantasi yang
memiliki tubuh lembu, bersayap burung, dan berbelalai mirip gajah, menambah eksotik Pulau
Kumala.

Pada waktu pagelaran acara budaya ia langsung jatuh cinta ketika melihat wanita itu menari
mengenakan baju adat Kalimantan Timur. Puluhan wanita yang ditemui sepanjang hidupnya tidak
pernah terlihat seelok itu. Seakan ia tidak pernah bertemu wanita seumur hidupnya. Seakan ia
manusia gua yang baru keluar bertemu wanita.
Tak lama setelah berkenalan, kepribadian wanita itu makin memantapkan hatinya. Inilah jodohku!
Ya tidak salah lagi!

Sebulan kemudian, setelah surat-menyurat, Arfan memutuskan melamar wanita itu. Keduanya
berasal dari keluarga yang sederajat. Jadi tidak ada sekat status di antara keduanya. Akad nikah
berlangsung sederhana namun sakral. Istrinya yang meminta agar akad nikah diadakan secara
sederhana. Keputusan istrinya menambah kekagumannya. Kekaguman yang kian bertambah setiap
hari. Kesantunan dan kesabaran istrinya membuat sikapnya ikut pula menjadi pribadi yang santun.

“Saya akan menjadi sahabat sekaligus pembantu dalam rumah ini.”

Janji istrinya masih terngiang dalam telinganya. Singkat dan sederhana. Namun terdengar penuh
pengabdian dan ketulusan. Tidak ada kepura-puraan yang bersembunyi di balik kata-kata manis.
Tidak ada perangkap dibalik bulu-bulu indah merak. Tidak ada kelambu nafsu yang mengagungkan
penghambaan mutlak.

Senang yaa…

Lirih suara istrinya masih merasuki jiwanya. Masih mendekam di telinganya, enggan sirna. Cukup
dengan mendengar suaranya saja sudah diketahui kelembutannya. Pancaran mata istrinya yang
menduhkan membuatnya tenang. Sikap kesabaran istrinya membuatnya bisa memiliki kesabaran
lebih. Kesantunan istrinya membuatnya mampu bersyukur mengenal bidadari itu seumur hidupnya.

Benarkah itu istriku yang selama ini menghilang?

Mobil Arfan merayap perlahan mendekati sosok istrinya yang berdiri di tengah jembatan
Kartanegara. Namun, tak berapa lama seruan istrinya tiba-tiba lenyap. Digantikan deru angin dan
desau arus Sungai Mahakam.

Lampu depan mobil Arfan menyorot sosok wanita di depannya. Tubuhnya tidak tembus pandang.
Jadi kali ini Arfan yakin wanita yang dilihatnya bukan hantu. Dan ia yakin tidak sedang bermimpi.

Ini bukan halusinasi! Dan aku tidak sinting!!


Ia berharap kali ini bukan hasil kesintingannnya belaka.

Karena ia setengah mati ingin bertemu istrinya yang telah lama menghilang. Empat puluh hari
bagai empat abad baginya. Empat jam bagai empat hari baginya.

Setelah beberapa meter dari sosok istrinya, Arfan menghentikan mobilnya. Ia membuka pintu
mobil tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya. Berharap agar istrinya tidak lenyap dari
pandangannya. Kali ini ia tidak akan membiarkan istrinya pergi lagi. Ia tak ingin merasakan
kepedihan lagi! Ia tak ingin kehilangan cahaya hidupnya lagi. Ia tak ingin kehilangan belahan jiwanya
lagi!

Tidak untuk yang kedua kalinya.

Kemarilah sayang … kemarilah

Bab 3 Distorsi

HANYA tinggal selangkah lagi dari sosok wanita itu.

Arfan hendak memeluk istrinya erat-erat. Itulah keinginan kuat pertama yang tergambar jelas
dalam benaknya. Ia tidak ingin kehilangan istrinya untuk kedua kalinya. Sudah cukup penderitaannya
selama ini.

Sekarang, kebahagiaanya sudah berada di hadapannya.

Ketika ia meraih tangan istrinya, jemarinya istrinya terasa sedingin es. Basah dan lunak di
genggaman tangannya. Ia yang paling tahu bagaimana rasanya kelembutan dan kehalusan sosok
istrinya.

Apakah jemari ini yang telah mengusap keningku?


Jemari yang mengajarkan kerendahan hati dan ketabahan?

Jemari yang terampil dan cekatan?

Tiba-tiba tubuh Arfan tersedot ke dalam pusaran udara hampa. Dunia di sekitarnya tampak
berputar-putar. Aku atau dunia yang berputar?

Dadanya terasa sesak untuk beberapa saat. Kepalanya terasa nyeri. Isi perutnya bergolak.
Napasnya terasa berat. Ia terlontar ke masa lalu. Melewati dimensi-dimensi waktu yang tak dapat
dijabarkan, bahkan oleh ilmuwan fisika kuantum yang paling imajinatif sekalipun.

Tubuh Arfan melayang di udara. Tepat di atas jembatan Kartanegara. Langit sore tampak
benderang di atas kepalanya. Ia melihat istrinya tengah berada di dalam mobil.

Sedan putih itu merayap di atas jembatan Kartanegara yang ramai. Dari balik kaca mobil ia dapat
melihat wajah istrinya. Ia dapat melihat sepuasnya wajah istrinya lekat-lekat. Namun tidak dapat
menyentuhnya.

Rambut lurus sebahu istrinya meriap dibelai angin yang berhembus melalui celah jendela pintu
mobilnya. Arfan teringat pada hari naas itu istrinya tengah mengenakan gaun satin berwarna putih
mengilap.

Ya, putih seperti melati …

dan aromanya enggan beranjak pergi …

Melati putih, bunga kesukaan istrinya. Istrinya menanam bunga melati mengelilingi rumahnya.
Saat tengah mekar, aroma melati menguar masuk ke dalam kamar dan ruang tamu. Selain bunga,
istrinya juga menanam tanaman buah. Jambu air, mangga, nanas, dan melinjo. Namun sekarang,
kebun buah-buahan di belakang rumahnya sudah tidak terawat. Buah-buahan jatuh berserakan dan
membusuk. Arfan melarang kerabatnya bahkan orang tuanya sendiri untuk memungutnya.
Alasannya karena ia seperti masih melihat bayangan istrinya di kebun itu, tengah memetik buah-
buahan, mengumpulkannya di keranjang rotan.
Ia tidak akan lupa ketika istrinya bercerita mengenai wanita berambut panjang yang sering berada
di dekat tanaman melati miliknya. Saat bunga melatinya bermekaran, hantu wanita berambut
panjang itu sering bersandar di ranting tanaman. Konon arwah manusia yang baru meninggal dan
bangsa jin menyukai aroma bunga melati. Tentu saja Arfan tidak percaya. Ia menganggap itu
takhayul belaka. Apalagi kepada hantu-hantu tidak masuk akal yang (menurutnya) hanya
bergentayangan di film-film horor murahan. Ini bukan film horor!! Ia seratus persen tidak percaya!

Namun kali ini, akalnya seakan tengah diuji.

Mata Arfan basah. Butir air mata bergulir di pipinya yang hangat. Bayangan samar dalam
kepalanya tidak pernah sejelas ini. Ingatan manusia mudah termodifikasi dan tidak pernah konsisten.
Ingatannya tidak pernah senyata ini.

Kali ini ia seakan menjadi dewa yang tengah mengawasi istrinya dari nirwana. Ia tidak menyangka
dapat sedekat itu dengan istrinya yang telah lama menghilang. Empat puluh hari bagai seabad
rasanya. Dan kerinduannya sekarang terobati. Nyaris terobati.

Sore itu tanggal 26 November jembatan Kartanegara ramai oleh kendaraan. Arus dari Tenggarong
Seberang ditutup. Area yang ditutup sekitar tiga puluh meter. Dua orang pekerja mengatur arus
buka tutup.

Dari dalam sedan warna putih terlihat istrinya yang tengah memandang kendaraan yang mengular
di atas jembatan. Di kejauhan, di arah utara, terlihat menara bangunan di Pulau Kumala. Istrinya
hendak pulang dari rumah orang tuanya di Tenggarong Seberang. Mobilnya terjebak di tengah-
tengah arus kendaraan yang hendak menuju Tenggarong.

Di kejauhan tampak kendaraan yang tengah antre dari arah Tenggarong. Di tengah jembatan arus
kendaraan padat merayap, dari mulai truk sarat muatan, bus perusahaan yang penuh penumpang,
mobil-mobil dan sepeda motor memenuhi badan jembatan. Ada sekitar empat puluh kendaraan
waktu itu. Karena tengah diadakan perbaikan di sisi lainnya.

Para pekerja jembatan mendorong alat-alat berat dari proyek pembangunan ke tengah jembatan.
Di sana tampak tim lain sedang mengencangkan mur dan baut. Sedangkan di jalur lain yang ditutup
tampak truk pengangkut alat berat.
Perhatian istrinya tersita oleh seruan pekerja yang tengah bekerja di jembatan. Mereka tengah
mengencangkan mur dan baut pada pelat kerangka di bentang tengah jembatan. Berbagai dongkrak,
katrol hidrolik, dan keranjang mekanik yang bergantungan di bentang tali-tali baja di kerangka
jembatan.

Tak lama kemudian bunyi berderak keras dari tengah jembatan membuat istrinya spontan
menginjak rem kuat-kuat. Arus kendaraan mendadak berhenti. Sebagian penumpang berhamburan
keluar dari dalam mobil. Sebagian yang lain tampak ketakutan, lebih memilih untuk berada di dalam
mobil. Walau resikonya sama-sama bergantung kepada nasib. Beberapa menit kemudian bunyi
gemuruh terdengar bagai suara gempa. Seakan bumi runtuh. Mobil istrinya bergetar. Tubuhnya
berguncang-guncang di dalam kabin mobil.

Melalui kaca depan, istrinya melihat salah satu kabel jembatan yang berada di tengah-tengah
terputus. Terdengar seperti bunyi cemeti raksasa. Kemudian satu per satu kabel terputus. Penopang
jembatan tak dapat lagi menahan beban. Batang-batang besi baja berjatuhan. Ratusan mur dan baut
kerangka terlepas menimbulkan bunyi berderak yang nyaring. Kabel-kabel di atas jembatan terlepas
dari menara utama. Berbagai baut, mur dan kabel berjatuhan menimpa kendaraaan di bawahnya.
Beberapa badan kendaraan penyok terhantam kerangka baja yang jatuh. Suara-suara jeritan dan
teriakan putus asa terdengar dari segala arah. Bunyi gemuruh bersahut-sahutan.

Nyaris bersamaan, pelat baja di bawah jembatan runtuh ke Sungai Mahakam. Menimbulkan bunyi
gemuruh seperti gempa tektonik.

Bunyi berderak lagi dan badan jembatan mulai miring. Mobil-mobil di atas badan jembatan
berjatuhan lalu menabrak pagar besi pembatas. Sebagian pagar besi yang tidak dapat menahan
beban, terlepas dari beton. Otomatis mobil-mobil yang tidak tertahan pagar meluncur ke Sungai
Mahakam. Arus sungai yang deras menghanyutkan mobil, membalikkannya sebelum menelannya
bulat-bulat.

Jembatan patah di tengah-tengah. Aspal jalan jembatan merekah dan tercebur ke sungai.
Sebagian besar badan jembatan tenggelam ke dasar sungai. Kendaraan yang bertahan di atasnya
terbalik dan ikut tercebur.

Penumpangnya tidak sempat berbalik menyelamatkan diri. Sebagian penumpang berhasil keluar
dari dalam mobil. Mereka berusaha berenang ke bibir sungai. Sebagian besar yang tidak dapat
berenang hanyut terseret arus deras dan menghilang.
Kerangka besi jembatan kembali berjatuhan menimpa kendaraan yang tersisa di bawahnya.

Arfan terhenyak menyaksikan musibah dahsyat itu. Seolah-olah kiamat terjadi di depan matanya.
Ia syok melihat mobil istrinya terperosok di badan jembatan yang miring. Mobil istrinya meluncur ke
Sungai Mahakam yang menenggelamkan sebagian badan kerangka jembatan. Salah satu balok
kerangka jembatan jatuh menghancurkan kaca depan sedan itu. Menimbulkan bunyi berderak yang
mengerikan.

Sialnya, Arfan hanya dapat melihat saja kejadian mengerikan itu.

Ya, Tuhan!! Selamatkan istri saya!!

Istrinya terguncang-guncang di dalam sedan yang perlahan tenggelam. Debu dan cipratan air dari
deburan arus Sungai Mahakam memburamkan kaca mobilnya. Mobilnya sudah separuh tenggelam.
Istrinya kesulitan membuka sabuk pengaman. Setelah berhasil, ia berusaha memecahkan kaca depan
mobil. Ia menggedor-gedor kaca depan dengan sikunya. Namun usahanya sia-sia. Erangan kesakitan
terdengar. Desahan putus asa yang terdengar dari bibir istrinya menyayat hati Arfan. “Tolonnggg …
ya Allah!! Ya Allah….” Suara istrinya terdengar bergetar. Bibirnya berdarah karena kena gigit saat
giginya bergemeletuk. Tubuhnya menggigil. Pakaiannya basah kuyup. Wajahnya sepucat kematian.
Rambutnya terlihat kusut. Air matanya sedari tadi berjatuhan dan tak lama kemudian tangisnya
pecah.

Air sungai yang keruh kecoklatan membenam sebagian tubuhnya. Ia memeluk erat-erat tubuhnya,
berusaha menghangatkan tubuhnya sendiri. Namun tubuhnya masih tetap menggigil. Bibirnya yang
berdarah memucat.

Air mata Arfan membuncah melihat istrinya menangis. Tangisnya meledak melihat istrinya
dipermainkan maut. Ia tidak tega melihat istrinya yang tengah ketakutan.

Di mana kau Tuhan!! Selamatkan istri saya!!

Apa yang kau tunggu Tuhan! Selamatkan istri saya!!


Arfan seakan tidak sadar bahwa ia sedang melihat kejadian masa lalu. Ia berusaha meraih tubuh
istrinya, namun tangannya menggapai udara hampa. Ruang kosong. Seperti melihat hologram yang
terjadi tepat di depannya. Seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Ya, tampak nyata namun tak
tersentuh.

Ia mulai frustasi karena tak dapat menolong istrinya yang tampak di depan hidungnya. Halusinasi
yang menyiksanya.

Istrinya berusaha menendang-nendang kaca pintu samping. Namun kaca mobil bergeming.
Usahanya percuma. Jeritan putus asa istrinya melemah. Kekuatannya terkuras habis. Istrinya timbul
tenggelam di dalam kabin mobil yang terisi penuh air. Gelembung-gelembung udara besar kecil
keluar dari lubang hidung dan mulutnya. Rambutnya melayang-layang di air keruh, menutupi
kepanikan di wajahnya.

Istrinya masih berusaha mengambil sisa udara yang terperangkap di atap kabin mobil. Hidungnya
kembang kempis berusaha menghirup udara yang penghabisan. Perlahan mobil istrinya tenggelam
makin dalam. Benda-benda yang berjatuhan di sekitar jembatan mengapung di sekitar mobil yang
tenggelam.

Air sungai tidak menyisakan ruang udara di dalam kabin mobil itu.

Arfan yang melihat kejadian itu masih berusaha meraih istrinya. Namun jemarinya seakan
menembus kaca pintu mobil istrinya. Namun ia masih bersikeras meraih istrinya yang hanya berupa
bayangan semu.

Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa diam saja menonton istriku yang tengah meregang
nyawa!! Terkutuklah aku!!

Kejadian di depannya terlihat sangat nyata hingga ia nyaris tidak percaya itu hanya bayangan
belaka. Ia tidak tega melihat istrinya yang terlihat sangat ketakutan terjebak di kabin mobil. Istrinya
yang tengah menyambut ajal.

Apa yang terjadi setelah itu?

Tidak mungkin istriku tewas di dalam mobil!!


Arfan berada di sana ketika mobil istrinya ditarik menggunakan alat pengangkat crane dari bawah
kerangka jembatan. Ia berada di sana ketika tim Basarnas (Badan SAR Nasional) memotong badan
mobil istrinya agar mempermudah evakuasi. Dua jam mobil istrinya yang terjepit di bawah kerangka
jembatan akhirnya dapat dikeluarkan. Dua jam yang menyiksa. Polisi melarang Arfan untuk ikut
membantu. Setelah bodi mobil diangkat, pintu-pintunya sudah terpentang lebar. Tidak ada siapapun
di dalam kabin.

Apa yang terjadi kepada istriku?

Di mana jasadnya?

Bab 4 Berita Kematian

ARFAN masih teringat pada potongan surat kabar yang mengabarkan proses evakuasi mobil yang
diidentifikasi milik istrinya itu. Di sana tertulis :

MOBIL KORBAN JEMBATAN AMBRUK DIPOTONG

Selasa, 29 November 2011

MAHAKAM News—Tenggarong, Tim penyelam dari Basarnas masuk ke bawah kerangka jembatan
Kartanegara, Kalimantan Timur yang tenggelam di Sungai Mahakam. Mereka membawa peralatan
las untuk memotong sebagian badan mobil yang terjepit balok besi agar dapat dikeluarkan.

Jembatan Kartanegara memiliki bentang yang menggantung sepanjang 270 meter dan total
panjang jembatan 500 meter. Mobil itu terjepit di bawah kerangka besi yang ambruk tepat di
tengah-tengah jembatan.

Hari keempat proses evakuasi berhasil mengangkat salah satu mobil yang terjepit di bawah
kerangka jembatan. Dari pelat nomor polisi mobil diketahui pemiliknya seorang wanita, Putri Melati,
25 tahun, berasal dari Tenggarong. Mobil jenis sedan warna putih itu nyaris tidak dapat dikenali lagi
bentuknya.
Mobil yang diangkat telah ringsek tertimpa kerangka jembatan. Namun di dalam kabin tidak
ditemukan mayat korban. Tim Badan SAR Nasional (Basarnas) juga tidak menemukan mayat di
sekitar sedan warna putih itu. Bodi mobil tergores benda-benda yang berjatuhan di Sungai
Mahakam.

Kuat dugaan arus Sungai Mahakam yang mencapai 2 knot telah menghanyutkan jasad korban dan
menenggelamkannya. Keluarga korban mengenali ciri-ciri mobil yang berhasil dikeluarkan dari
bawah kerangka jembatan itu.

Sedangkan mobil-mobil lain yang turut ditarik berhasil menemukan jasad korban dengan kondisi
mengenaskan. Setelah tim SAR memecahkan kaca mobil, para korban satu persatu diangkat ke
permukaan untuk kemudian dilakukan proses identifikasi.

Sedan putih istrinya tidak terlihat lagi. Terbenam seluruhnya.

Arus deras Sungai Mahakam menghanyutkan benda-benda yang berjatuhan dari jembatan. Ini
untuk kedua kalinya Arfan merasakan kehilangan. Ia masih mencari tanda-tanda kehidupan di Sungai
Mahakam. Berharap istrinya berhasil berenang ke permukaan. Ia memandang setiap sudut Sungai
Mahakam.

Apa yang terjadi dengan istriku?

Ia tidak mungkin menghilang begitu saja dari dalam mobil?

Arfan masih ingin melihat kejadian masa lalu ketika tiba-tiba tubuhnya tersedot ke udara. Seakan
tangan raksasa tak tampak menarik tubuhnya ke atas langit. Tubuhnya masuk ke dalam lubang hitam
yang berputar-putar di langit sore itu.

Kegelapan melingkupinya kembali. Kejadian masa lalu yang dilihatnya kini terlihat seperti layar
monitor televisi yang kian mengecil. Ia seperti berada di dalam sumur yang gelap sedangkan satu-
satunya cahaya datang dari atas lubang sumur.

Udara seakan menekan dada Arfan. Kakinya mulai menapak di atas jembatan Kartanegara yang
berkabut. Tubuhnya terhuyung dan langkahnya masih sempoyongan. Dunia di sekitarnya masih
tampak berputar-putar. Perlahan kakinya mulai kembali kokoh. Pandangannya mulai fokus.
Ia kembali berhadapan dengan sosok istrinya yang mengenakan gaun putih. Ya gaun putih
kesukaannya.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Benarkah semua yang aku lihat tadi nyata?

Arfan hendak mendekati istrinya ketika tiba-tiba jembatan Kartanegara berderak-derak keras.
Bunyi berderak terdengar dari segala arah. Ia berusaha menyeimbangkan tubuhnya. Badan jalan
yang berada di bawah kakinya bergeser. Menyeretnya menjauh dari sosok istrinya. Tubuhnya
terjungkal ke depan. Tangannya meraih udara kosong.

Tunggu!! Ada apa ini?!!

Arfan bangkit berdiri lalu mengejar sosok istrinya yang semakin menjauh. Namun beton di bawah
kakinya melar seperti terbuat dari karet. Badan jembatan seperti hidup! Istrinya semakin menjauh
dari pandangannya. Badan jembatan memanjang dan berkelok-kelok seperti jalur rel roller coaster.

“Jangan!! Aku mohon jangan pergi lagi!!” seru Arfan frustasi.

Seruan terakhir istrinya yang didengarnya : “Tolong aku, Fan!!” Kemudian sosok istrinya lenyap ke
dalam kabut yang melilit kerangka jembatan.

Jembatan Kartanegara mulai bergerak miring lima belas derajat.

Arfan berusaha menyeimbangkan tubuhnya. Lalu berlari mengejar istrinya ke tengah jembatan.
Beberapa kali ia terjatuh karena tidak dapat menyeimbangkan tubuhnya dengan kemiringan
jembatan.

Kemudian bunyi berderak mulai berhenti. Kesunyian kembali datang.


Kabut menyingkap kendaraan yang berjejer tak karuan di tengah jembatan. Benda-benda yang
telah menjadi sampah bertebaran di sana-sini. Mobil-mobil ringsek tertimpa balok kerangka besi,
sepeda motor tertindih roda truk, di kejauhan terlihat dua bus yang menabrak pagar besi jembatan.
Salah satunya terbalik. Seluruh pintu-pintu kendaraan dalam keadaan terlepas, miring atau
terpentang lebar-lebar. Seluruh kendaraan berkarat dan tertutup lumpur kecoklatan. Kaca-kacanya
telah pecah, bodi mobil ringsek, joknya hancur, berlumur dan tertutup lumpur sungai. Kabin
kendaraan kosong. Tidak ada mayat di dalamnya.

Tidak ada seorang pun di atas jembatan kecuali Arfan seorang.

Ke mana jasad semua penumpang?

Apa yang sebenarnya terjadi di atas jembatan ini?

Arfan melangkah perlahan. Bunyi berkeresak terdengar ketika sepatunya menginjak pacahan kaca
dan sampah di badan jembatan. Ketika melewati kendaraan yang rusak parah, ia melongok ke
dalamnya. Tidak ada jasad penumpangnya.

Lampu-lampu di sepanjang jembatan menyala bergantian.

Tiba-tiba bunyi berderak nyaring terdengar. Salah satu kabel jembatan terlepas dari penahannya.
Material besi penahan jembatan terlontar ke udara. Mur dan bautnya terlepas. Kabel baja itu
meluncur seperti cemeti raksasa menghantam bangkai-bangkai mobil. Pintu mobil yang terhantam
kabel terlempar dua meter di depan Arfan.

Arfan merunduk di balik bangkai mobil. Berusaha melindungi tubuhnya dari pintu mobil yang jatuh
tidak jauh di depannya. Ia melongok melalui kaca mobil yang pecah. Mengawasi keadaan di
depannya.

Bunyi berderak-derak tiba-tiba berhenti. Suasana kembali sunyi. Bahkan terlalu sunyi. Hanya suara
angin yang berkesiur menderu-deru.

Arfan beranjak berdiri dan melanjutkan perjalanannya.

Inikah jembatan menuju neraka? Atau jembatan menuju surga?


Pikirnya getir. Ia masih tidak yakin.

Apakah aku akan menemukan istriku di depan sana?

Tepatnya, di alam sana … alam yang selama ini tidak aku ketahui …

Harapannya tidak pernah luntur. Semangatnya untuk menemukan kembali istrinya tidak pernah
kendur. Lentera harapan yang semakin menyala di dalam dadanya. Ia bertekad akan menemukan
istrinya walau harus ke neraka sekalipun. Ya, walau harus melangkahi kematiannya sendiri. Walau
harus menerobos kengerian dan mimpi buruk yang menghantuinya.

Ia tidak ingin kalah untuk yang kedua kalinya. Ia tidak mau putus asa lagi. Sudah cukup
penderitaannya selama ini. Sudah cukup hari-harinya yang tersiksa tanpa istrinya di sisinya. Ia rindu
menatap wajah itu lagi. Rindu mendengar suara istrinya. Kerinduan yang mendalam dan mutlak.

Hanya dalam tiga puluh detik jembatan Kartanegara yang dibangun selama enam tahun ambruk.
Merenggut istri tercintanya. Juga dalam hitungan detik segala kesuksesan yang dibangunnya setinggi
langit runtuh.

Akalnya tersentak. Tersadar akan kesalahannya. Selama ini ia tidak menyadari kekuasaan lain yang
melebihi kuasa manusia.

Ada kekuatan lain tak kasat mata yang melebihi kekuatannya. Melebihi kekuatan akal dan
usahanya yang selama ini diagung-agungkan setinggi langit. Ia merasa menjadi tuhan di dunianya.
Dan segera diperingatkan bahwa ada Tuhan sebenarnya yang lebih berkuasa.

Dan di dunia antah barantah ini. Di alam ini. Waktu seakan berjalan mundur dan melambat.
Jembatan Kartanegara yang semula ambruk kembali utuh. Dan seperti slow motion kembali runtuh
perlahan.

Arfan tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menyelamatkan istrinya dari kematian. Kalau
perlu ia akan menggugat Tuhan agar mengembalikan istrinya kembali ke dunia fana. Selama ini ia
tidak percaya hal-hal yang tidak kasat mata. Ia hanya percaya kepada hal yang konkret. Sampai
musibah itu menimpa istrinya …
Keyakinannya akan kehidupan setelah kematian tidak sungguh-sungguh. Sebelum musibah yang
merenggut istrinya, ia jarang beribadah akibat kesibukannya mengelola bisnisnya. Ia jarang salat
berjamaah di dalam masjid kecuali pada setiap hari raya. Ia merasa selama ini kesuksesannya
semata-mata diraih dari usahanya sendiri. Kesuksesannya dicapai karena akalnya, bukan karena
pemberian Tuhan.

Jika kau merasa memiliki sesuatu, maka bersiaplah kehilangan sesuatu.

Sampai ia diperlihatkan kepada kematian dan kenyataan di alam lain seperti yang terlihat di depan
matanya sekarang.

Ia melihat alam lain yang selama ini tidak dipercayainya.

Ya, Allah, kuatkan hatiku … kuatkan langkahku … batinnya dalam-dalam.

Aku memang pantas mendapatkan hukuman ini …

Dan maaf-Mu yang aku harapkan …

Berdoa hanya ketika mendapat musibah bukan termasuk takwa.

Berhadapan dengan kematian membuatnya semakin yakin kepada kuasa Tuhan. Ia mulai yakin ada
campur tangan Tuhan dalam setiap usaha manusia. Selama ini ia hanya terpaku kepada dunia materi
yang kasat mata. Ia tidak menyadari keberadaan dunia lain setelah dunia ini. Sesuatu yang tak
terjangkau panca indera manusia yang serba terbatas.

Dan sekarang ia berada di sini. Di alam yang selama ini diacuhkannya. Bahkan ia nyaris tak percaya
kepada alam gaib. Menganggap cerita-cerita mistis hanyalah bohong belaka. Namun, sekarang yang
dihadapinya adalah hal yang dulu diacuhkannya.

Ia tidak dapat menerima kenyataan bahwa suatu saat semua manusia akan menemui ajalnya.
Setiap jiwa akan merasakan mati. Dan yang hidup akan menuju ke kematian untuk kemudian bangkit
lagi. Ia tak percaya bahwa dirinya dan istrinya kelak akan kembali ke akhirat. Ia mengira dirinya bisa
terus selamanya di dunia bersama istri tercintanya. Ia merasa kekal abadi jika berada di sisi kekasih
tercintanya. Kemabukan yang membuatnya melayang ke awang-awang dan sekarang kemabukan itu
membuatnya terjatuh ke lembah terdalam dari kesengsaraan. Bagai Sidharta yang terkungkung di
dalam istana dan merasa kekal di dalamnya dengan segala kenikmatan duniawi, lalu tersentak
mengetahui kenyataan sebenarnya yang pahit. Seperti melihat kematian di depan mata. Bahwa
kehidupan dapat saja sekejap hilang seperti api lilin yang dihembus angin kemudian padam.

Sebagian kekuatan akalnya yang telah mendarah daging bersikeras menemukan istrinya yang
telah hilang. Egonya tidak menerima kekalahan telak itu. Egonya masih ingin menunjukkan bahwa ia
tidak mudah dikalahkan. Ia yakin, sangat yakin bahwa istrinya masih bisa diselamatkan dari
kematian. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh orang yang berpikir dengan akal sehat.

Ia pernah melakukannya. Dan ia sudah membuktikannya bahwa dirinya adalah lelaki yang tidak
mudah menyerah. Bahkan ketika peluang keberhasilannya nol.

Ia pernah meraih apa yang selama ini menurutnya tidak mungkin.

Seperti saat ini. Ia yakin dapat menjemput istrinya dari alam lain.

Pria tak terkalahkan itu telah kembali.

Bab 5 Seberkas Memori

“Siapa yang menyuruhmu menanam ini?!”

SUARA Arfan meninggi. Terdengar penuh luapan emosi. Waktu itu Arfan baru saja pulang dari
seminar pertambangan selama tiga hari di Samarinda. Letih dan agak kesal ia mendapati istrinya
membeli jenis bibit yang berbeda dari biasanya. Padahal ia sudah mewanti-wanti istrinya agar
membeli bibit yang sama.

“Ini juga bibit unggul Mas. Jenis bibit seperti yang biasanya kosong.”

Masih mengenakan seragam dan menenteng tas, Arfan mendatangi kebun yang sudah ditanami
bawang. Waktu itu harga bawang melonjak naik dan Arfan sudah mendapatkan keuntungan dua kali
lipat dari jenis bibit yang sebelumnya.

Ia tidak ingin merugi.


Melihat kebunnya sudah ditanami bibit yang berbeda, Arfan gelap mata, ia turun ke tengah
kebunnya dan menginjak-nginjak bibit yang susah payah ditanam istrinya. Karena sangat letih ia
hanya menginjak sebagian bibit bawang yang baru ditanam.

Istri Arfan hanya memperhatikan dari jauh.

Arfan sudah bersiap jika istrinya melabraknya. Ia tidak peduli lagi bila harus bersitegang dengan
istrinya. Jika itu sampai terjadi, berarti itu akan menjadi pertengkaran mereka yang pertama kali.

Ketika melewati istrinya yang berdiri di ambang pintu rumahnya, ia mendengar perkataan seperti
biasanya, “Tak perlu sampai melakukan itu.”

Arfan masuk ke dalam kamar tanpa banya bicara. Ia berusaha menahan diri. Ia sadar atas
kekhilafannya, namun enggan meminta maaf. Egonya begitu besar untuk meminta maaf saat itu.
Melalui jendela kamarnya, diam-diam ia menyaksikan istrinya yang tengah kembali ke kebun dan
merapikan bibit yang telah diinjak-injaknya.

Siapa sangka bibit yang ditanam istrinya ternyata mendatangkan keuntungan tiga kali lipat! Ia
tidak pernah meminta maaf secara langsung, namun sejak hari itu ia tidak pernah membantah lagi.
Rasa kepercayaan kepada istrinya menguat. Ia selalu menyetujui gagasan istrinya. Begitu pula
istrinya, yang sejak awal tidak pernah menentang ide suaminya. Terkadang apa yang dipikirkannya
diutarakan lebih dahulu oleh istrinya. Seringkali ucapan Arfan sama persis seperti yang dipikirkan
oleh istrinya. Seringkali mereka mengatakan hal yang sama nyaris bersamaan.

Arfan dan istrinya melangkah beriringan. Tidak ada yang merasa di depan atau di belakang. Tidak
ada yang merasa menjadi pemimpin dalam rumah tangga itu, karena keduanya adalah pemimpin.
Mereka saling menyokong.

Adakah wanita yang memiliki kesabaran seperti istriku?

Adakah wanita yang pemikirannya persis sama sepertiku?

Sepengetahuan Arfan tidak ada. Dalam sepanjang umur hidupnya ia menyaksikan pasangan suami
istri bersikukuh dengan egonya masing-masing.
Ia dulu juga seperti itu. Istrinya yang telah menyadarkannya.

Itulah sebabnya Arfan tidak dapat hidup tanpa istrinya. Ia tidak dapat berpikir sendiri tanpa
gagasan dan dukungan istrinya. Itulah sebabnya ia mengasihi istrinya lebih dari siapapun atau
apapun di dunia.

Dan ia akan melakukan apapun untuk mendapatkan kembali belahan hatinya. Walau jalanya larat,
ia akan menghadapinya. Apapun resikonya.

Sesekali terdengar bunyi berderak keras dari bawah jembatan. Lalu sunyi. Jembatan yang miring
membuat benda-benda yang berserakan di atas jembatan meluncur berjatuhan ke Sungai Mahakam.

Arfan berhati-hati melangkah ketika melewati kendaraan yang telah ringsek. Mobil-mobil yang
berada di tengah jembatan nyaris menghalanginya. Jika salah melangkah ia bisa terperosok dan
terjepit di antara kendaraan. Terkadang ia harus berjalan di atas bangkai mobil. Ia berpegangan pada
pagar besi pembatas ketika berjalan di tepi jembatan.

Kabel-kabel baja menjuntai dari pylon. Ia mewaspadai pengait yang sudah terlepas. Sewaktu-
waktu kabel baja dan pengaitnya bisa terlepas dan menimpa dirinya.

Tidak ada jalan kembali dan tidak ada pilihan lain baginya. Selain terus bergerak maju ke ujung
jembatan. Badan jembatan yang licin karena tertutup lumpur membuatnya berkali-kali nyaris
terpeleset. Bau menyengat di atas jembatan membuat perutnya mual.

Tidak seberapa jauh di depan, Arfan melihat seseorang mondar-mandir di dekat bangkai truk. Ia
seperti tengah mencari-cari sesuatu di bawah truk.

Apa yang dilakukan orang itu?


Senang karena pertama kali bertemu seseorang, Arfan mendekati orang itu. Rasa penasaran
membuatnya bertanya-tanya. Di sisi lain, ia merasakan perasaannya mulai tak nyaman. Sesampai di
belakang orang itu, Arfan melongok. “Anda baik-baik saja?”

Tidak ada balasan selama beberapa saat.

Arfan hanya memerhatikan gerak-gerik orang itu. Batinnya bertanya-tanya.

“Apa yang Anda cari di tempat ini?” Arfan masih bersikeras ikut campur.

Kemudian sebuah suara terdengar. Kalau itu bisa disebut suara. Karena suara berat orang itu
dibarengi bunyi gelegak seperti tenggorokannya penuh berisi air.

“Sa-saya kehilangan sesuatu ….” Orang itu berkata dari balik punggungnya tanpa menoleh ke arah
Arfan. Ia berdiri sekejap lalu merunduk lagi, melongok di kolong truk. Seperti orang idiot yang tengah
kebingungan.

”Apa yang Anda cari?”

“Sesuatu yang sangat … sangat … berharga ….”

“Saya masih belum mengerti.”

“Sesuatu yang tidak dapat dibeli ….”

Ketika berbalik ke hadapan Arfan wajah orang itu makin lama makin membengkak. Letak mata dan
hidungnya makin tak karuan, tertarik ke sekeliling wajahnya. Urat di pelipis dahinya menyembul.
Kepalanya seperti balon karet yang diisi air banyak-banyak. Air kotor menyembur dari mulutnya
setiap kali ia berkata-kata, “Glup … glup … nyawa saya!! Glup … kembalikan nyawa saya!!”

Arfan teringat kepada berita yang pernah dibacanya mengenai keadaan korban yang tenggelam di
Sungai Mahakam. Di sana tertulis:
PROSES IDENTIFIKASI KORBAN BERJALAN LAMBAT

Selasa, 29 November 2011,

Tribun Mahakam—Tenggarong, beberapa orang dari tim Disaster Victim Identification (DVI)
memberikan penjelasan mengenai kelambanan proses identifikasi mayat korban. Tidak mudah
mengidentifikasi jasad korban yang sudah membengkak dan membusuk. Di atas 24 jam jasad yang
tewas karena tenggelam akan mulai terisi udara dan akan mengapung seperti balon.

Lalu terjadi pembusukan. Kulit di sekujur tubuh korban mulai mengelupas. Daging dan tulang
rawan yang membusuk akan mengubah struktur wajahnya. Mulut, mata dan hidung yang membusuk
akan membuat wajah korban sulit dikenali.

Mengangkat korban yang sudah membusuk dari Sungai Mahakam juga tidak mudah. Karena dapat
merusak ciri-ciri fisik yang akan digunakan untuk proses identifikasi. Jika tubuh korban sulit dikenali
keluarganya, akan memperlambat proses identifikasi. Keluarga korban bisa salah mengenali mayat
keluarganya.

Satu-satunya cara untuk mengenali korban yang sudah membusuk adalah dengan menggunakan
benda-benda yang melekat di tubuh korban seperti pakaian, arloji, gelang, cincin, sepatu dan lain-
lain.

Polisi menghimbau agar warga di sepanjang Sungai Mahakam yang kebetulan menemukan jasad
korban agar tidak mengusiknya. Karena properti yang berada di tubuh korban dapat dijadikan
petunjuk proses identifikasi.

Arfan melompat menjauh. Namun terlambat, air kotor terciprat ke jaketnya. Baunya yang
menyengat membuatnya membekap hidung dan mulutnya. Hantu itu menjulurkan tangannya yang
membengkak ke pundak Arfan. “Atau berikan nyawamu!! Berikan saja!!”

“Lepaskan!!” raung Arfan kesal. Ia berusaha melepas cengkeraman hantu itu di pundaknya.
Namun jemarinya tergelincir di lengan hantu itu. Kulit hantu itu licin dan berair, membuat Arfan
tidak mudah melepaskan diri.
Ketika menyentuh kulit hantu itu, tubuh Arfan kembali tersedot ke dalam pusaran udara hampa. Ia
sudah pernah mengalaminya. Jadi kali ini tidak seberapa kaget.

Ia melayang kembali ke masa lalu. Sesaat setelah jembatan Kartanegara ambruk, pada sore hari 26
November 2011. Ia melihat debu berterbangan di bawah menara utama jembatan. Di atas
permukaan sungai Mahakam mengapung berbagai benda yang jatuh dari kendaraan. Ia melihat
mobil yang ditumpangi pria itu beserta istri dan kedua anaknya.

Pria itu duduk di jok depan bersama istrinya. Sedangkan kedua anaknya berada d jok belakang.
Keduanya terjebak di dalam mobil yang perlahan tenggelam. Tekanan air membuat pintu tidak
mudah dibuka. Benda-benda berat yang tenggelam menambah tekanan air. Terlebih lagi debit air
yang masuk ke dalam kabin membuat penumpangnya panik.

Pria itu berhasil memecahkan kaca samping mobilnya. Tubuhnya yang kurus dapat dengan mudah
keluar melalui jendela pintu mobil yang pecah. Sedangkan istri dan kedua anaknya tidak dapat
berbuat banyak. Istrinya pingsan setelah menelan banyak air. Sedangkan kedua anaknya yang masih
belia menggedor-gedor pintu mobil yang macet.

Pria itu tega meninggalkan keluarganya yang tengah menyambut kematian. Namun sial baginya.
Jas yang dipakainya tersangkut di pecahan kaca. Tubuhnya terseret mobil yang tenggelam ke dasar
Sungai Mahakam.

Pria itu meronta-ronta berusaha melepas jasnya. Namun karena panik, ia banyak menelan air.
Paru-parunya yang kehilangan banyak udara terasa panas menyengat. Dadanya terasa melesak ke
dalam. Untuk berapa lama tubuhnya merasakan siksaan karena sesak napas. Ia memuntahkan isi
perutnya. Makan siangnya berhamburan keluar.

Setelah beberapa menit tubuhnya tidak bergerak lagi.

Arfan bergidik melihat kematian mengenaskan yang terjadi tepat di depannya. Pria itu
mengambang di dalam air, tidak bergerak lagi. Tubuhnya tenggelam bersama mobil ke dasar Sungai
Mahakam sedalam lima puluh meter. Terkubur lumpur sungai.
Ia tidak pernah mendengar berita tentang pria itu. Namun ia teringat kepada berita yang
menyebutkan masih banyak kendaraan dan korban yang tidak diketahui nasibnya.

Di potongan surat kabar tertulis :

20 MOBIL TENGGELAM DI SUNGAI MAHAKAM

Sabtu, 26 November 2011

TENGGARONG NEWS—Tenggarong, dari keterangan puluhan saksi mata di sekitar jembatan


diperkirakan sedikitnya 20 lebih kendaraan tenggelam ke dasar Sungai Mahakam. Baik roda empat
maupun roda dua. Korban yang tenggelam diperkirakan lebih banyak lagi.

Pasalnya ketika musibah terjadi di atas jembatan tengah dipadati kendaraan. Apalagi waktu itu
diadakan perbaikan yang membuat arus kendaraan menumpuk di salah satu ruas badan jembatan.
Tim SAR dan kepolisian masih mencari korban yang tenggelam atau hanyut di sepanjang Sungai
Mahakam.

DIDUGA MASIH ADA 40 KORBAN LAGI

Minggu, 27 November 2011

SAMARINDA SORE—Tenggarong, Polisi menduga masih ada 40 korban lagi yang tenggelam di
Sungai Mahakam pasca ambruknya jembatan Kartanegara. Tim dari Polri dan Polda Kaltim tengah
berusaha keras membantu pencarian korban tenggelam. Melalui laporan yang dikumpulkan dari
saksi warga sekitar yang berada di dekat tempat kejadian.

Korban kemungkinan akan bertambah karena kendaraan yang tenggelam termasuk dua bus
karyawan, bus pariwisata yang dilihat warga melintas di atas jembataan sesaat sebelum jembatan
Kartanegara ambruk.

BPPT TEMUKAN 13 TITIK HITAM


Rabu, 30 November 2011

TENGGARONG NEWS—Tenggarong . Tim dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang
menggunakan side scan permukaan menggunakan echo sounder menemukan tiga belas titik hitam
di dasar Sungai Mahakam. Diduga ketiga belas titik itu merupakan kendaraan roda empat yang
tenggalam di sekitar lokasi ambruknya jembatan Kartanegara, Tenggarong, Kalimantan Timur.

Salah satu titik hitam itu terindikasi obyek kendaraan yang memiliki panjang enam meter dengan
lebar tiga meter. Polisi meminta BPPT melakukan side scan secara berulang agar dapat mengetahui
lebih pasti koordinat titik hitam itu. Karena arus Sungai Mahakam yang mencapai 9 knot (1 knot
sama dengan 1,85 kilometer per jam) dapat membuat letak kendaraan berpindah dari posisi semula.

Beberapa penyelam dikerahkan untuk mencari bangkai kendaraan yang tenggelam.

KORBAN MAHAKAM MENUMPUK DAN TERTINDIH

Minggu, 27 November 2011

SAMARINDA SORE—Tenggarong, tim Search and Rescue (SAR) mengungkapkan pencarian


terkendala sulitnya mengevakuasi korban yang terjebak di dalam mobil, bertumpuk-tumpuk di
dalam kabin dan tertindih puing-puing jembatan.

Sebagian korban berada di bawah puing-puing reruntuhan jembatan di dasar Sungai Mahakam.
Rencananya petugas yang berwenang akan meruntuhkan pylon atau tiang menara utama agar tidak
membahayakan tim penyelamat yang tengah mengadakan proses evakuasi para korban. Karena
beberapa kali tiang utama mengeluarkan bunyi berderak yang keras. Kabel baja yang
menghubungkan kedua tiang utama bergoyang-goyang seperti akan putus.

Arfan kembali ke atas jembatan dan berhadapan dengan hantu pria malang itu.

Kepala hantu itu makin membesar hingga terlihat terlalu besar untuk tubuhnya. Arfan terlambat
merunduk ketika kepala hantu itu meledak di hadapannya. Gigi, bola mata dan gendang telinga
orang itu terlempar ke wajah Arfan. Cairan kotor berbau amis yang memualkan menyengat
hidungnya.

“Enyah kau!” Arfan melayangkan tendangannya ke perut hantu itu. Perut yang semula sudah
membengkak itu meletus. Isi dalam perut pria malang itu terburai keluar. Ia menarik tangan hantu
itu dari pundaknya dan … terlepas! Benar-benar terlepas dari tubuh hantu itu.

“Apa yang kau lakukan!! Kembalikan tanganku!! Kembalikannn!!” raung hantu itu.

Arfan tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia berbalik dan melompat menjauh. Meninggalkan
hantu itu jauh di belakangnya.

Apa-apaan itu?!! Memualkan!!

Arfan membuka jaketnya yang telah kotor. Ia membersihkan wajah dan jemarinya dari cairan
kotor hantu tadi. Lalu membuang jaketnya. Kini ia mengenakan kemeja lengan pendek dan
meneruskan perjalanan. Kendaraan makin merapat di depannya dan ia semakin waspada. Apalagi
sejak kejutan kecil tadi.

Apa yang sebenarnya terjadi di atas jembatan ini?

Bab 6 Pengantin Malam

SEHARI sebelum musibah ambruknya Sungai Mahakam, Arfan bermimpi. Dalam mimpinya ia
melihat istrinya tengah membatik sebuah selendang. Hal yang tidak pernah dilakukannya. Katanya
selendang batik itu akan dipakainya saat menari di acara pagelaran seni di tepian Mahakam.

Setelah Arfan perhatikan, pola batik tergambar wajah-wajah manusia. Bukan pola batik khas
Kalimantan seperti biasanya. Di sana juga tergambar alur-alur yang mirip sebuah sungai. Dan dua
buah batu yang mirip nisan di tengah-tengahnya. Dalam mimpinya Arfan bertanya,

“Menggambar apa?”
“Jembatan Kartanegara ….”

Dahi Arfan berkerut. Heran. Jembatan itu mirip batu nisan besar daripada sebuah jembatan. Satu
berada di Tenggarong satunya berada di Tenggarong Seberang.

Tidak terlihat seperti sebuah jembatan Kartanegara.

“Itu mirip sebuah nisan ….”

Istrinya menjawab. Namun suaranya terdengar samar-samar. Tidak berapa lama, Arfan menyadari
istrinya tengah bernyanyi. Ia masih ingat liriknya meski hanya sepotong-potong… (Nyanyian yang
tidak pernah didengarnya).

Sepasang pengantin malam berkasih-kasihan

Di atas Mahakam bersanding mempelai rembulan

… (Suara samar-samar)

Setanggi wangi menebar kesturi

Seribu dayang menari empat puluh hari

Dalam tembang empat puluh malam

… (Suara samar-samar)

Pengantin menyampirkan selendang sepanjang Mahakam

Di sanalah, lelembut menghantarkan aji-ajian

Enam Enggang di ujung ranting pepohonan

Arfan terjaga pada tengah malam. Sebelum nyanyian itu selesai.


Ia melihat wajah istrinya yang masih tertidur lelap di sampingnya. Wajahnya bagai wajah peri yang
tidak berdosa. Ia mengusap keringat yang bergulir di pipi istrinya.

Kemudian ia beranjak dari ranjang. Melangkah mendekati meja, mengambil pensil dan
menggambar pola mirip nisan di batik yang digambar istrinya dalam mimpinya. Ingatanya yang kuat
membuatnya mampu menggambar serupa dalam mimpinya.

Dalam penerangan cahaya lampu duduk di ruang baca Arfan mengamati gambar itu. Jika kedua
menara itu adalah jembatan Kartanegara berarti cabang-cabang yang ditengah mewakili anak Sungai
Mahakam. Cabang-cabang itu terlihat ada yang patah. Hanya satu yang sejalur. Kemudian ia melihat
bentuk mirip angka-angka di cabang itu. Yang paling besar menurutnya angka 2 dan 6, kemudian
angka berderet di bawahnya 1111. Angka-angka lain yang ditemukan mirip bentuk angka 9, 4, 7 dan
15.

Semalaman ia berpikir keras menafsirkan gambar dalam mimpinya itu. Sampai ia memandang
kalender yang berada di dinding ruang tamu. Tiba-tiba ia mendapat ide. Bisa saja angka-angka itu
sebuah tanggal? Nah! ini dia …

“Tanggal 26, bulan 11, tahun 2011. Itu berarti besok,” gumamnya.

Apa yang akan terjadi besok?

Lalu apa artinya angka 9, 4, 7 dan 15 …?

Tiba-tiba Arfan merasa konyol. Ia meremas kertas di tangannya lalu mengubahnya menjadi bola
kecil. Ia melemparkkannya ke tempat sampah.

Ah, hanya mimpi …

biarlah …

Arfan melangkah berhati-hati ketika melewati bangkai kendaraan yang memenuhi badan
jembatan. Ingatan kepada mimpinya sehari sebelum musibah menyeruak kembali. Membuatnya
cemas. Sesekali kakinya tersandung benda-benda yang bertebaran dari dalam kendaraan; potongan
besi kendaraan, botol mineral, kaleng softdrink, pecahan kaca lampu mobil. Disentuh sedikit saja,
benda-benda itu menggelinding ke tepi jembatan lalu tercebur ke Sungai Mahakam. Jika salah
melangkah, ia bisa ikut terperosok dan tercebur ke Sungai Mahakam.

Bayangan istrinya berkelebat dalam benaknya. Istrinya yang tengah mengenakan baju pengantin
seputih melati di hari pernikahan mereka. Pernikahan yang sederhana namun sakral. Istrinya
menolak mengadakan acara pernikahan besar-besaran. Meski Arfan berasal dari keluarga yang
cukup berada, Arfan mematuhi keputusan istrinya.

Saat berdua di malam pertama, istrinya mengucap janji, “Saya akan menjadi sahabat sekaligus
pembantu dalam keluarga ini.” Janji yang dipegang selamanya. Kata-kata yang membuat Arfan
makin mencintai istrinya itu. Jika bukan karena kebaikan istrinya, ia tidak akan berada di sana
sekarang. Jika bukan karena pengorbanan istrinya, ia tidak akan merasa begitu kehilangan seperti
itu.

Aku akan menyelamatkanmu, walau harus berkorban nyawa sekalipun …

Tidak jauh di depan Arfan, sepasang kekasih tengah berdiri berdampingan. Tangan keduanya
saling berpegangan. Wajah keduanya sepucat langit di pagi hari. Tubuh mereka basah kuyup.
Pakaian yang dikenakan keduanya melekat ke kulit. Air menetes dari rambut mereka. Menggenangi
badan jembatan.

Pasangan itu menghadang jalan Arfan.

“Apa yang kalian inginkan?” tanya Arfan waspada.

“Seharusnya hari ini adalah hari pernikahan kami.” Suara wanita itu terdengar samar. Seperti
dihalangi sesuatu. Tenggorokannya seperti dipenuhi air. “Kami telah memilih tanggal yang baik
untuk hari pernikahan. Dan itu jatuh pada hari ini.”

“A—aku buru-buru ….” Arfan tidak sabar. Ia memandang ke kejauhan. Berharap istrinya masih
tidak pergi jauh.

“Ini tidak akan lama. Kami ingin kau menikahkan kami.”


“Aku tidak mengerti.” Arfan heran. “Menikahkan kalian?”

“Setidaknya kau harus menjadi saksi bagi kami,” timpal si pria.

“Apa yang harus aku lakukan?” Arfan mengangkat bahu.

“Kemarilah….” Si pria mengulurkan tangannya ke arah Arfan.

Arfan terdiam sejenak, kemudian ia melangkah mendekati pasangan kekasih itu. Atau lebih
tepatnya calon pengantin. Impian mereka yang sudah berada di ujung mata, tenggelam begitu saja
di Sungai Mahakam.

“Pegang tangan kami berdua dan ucapkan, ‘dengan ini saya menjadi saksi atas pernikahan kalian’.”
Si pria memaparkan rencananya.

“Itu saja? Maksudku, semudah itu?”

Kemudian Arfan sadar. Seharusnya ia tidak banyak bertanya jika ingin cepat pergi menyusul
istrinya. Seharusnya ia lakukan saja sesuai permintaan calon pengantin itu.

“Kau mengharapkan apa di alam ini? Kami sudah lama dan susah payah memikirkan kata-kata
yang tepat itu.” Wajah si pria terlihat memucat. Kulitnya yang tipis menampakkan urat-urat nadinya.
Urat-urat nadi di wajahnya membengkak. Air kotor keluar dari pelupuk matanya.

Arfan terdiam sejenak. Kemudian ia memutuskan, “Oke! Baiklah.” Arfan maju selangkah, makin
mendekat. Tangan kirinya memegang tangan si wanita, sedangkan tangan kanannya memegang
tangan si pria. Kulit mereka terasa basah dan lunak. Beberapa kulit di lengan mereka mengelupas.
Bau mereka seperti nanah, atau keju basi.

Tepat saat menyentuh tangan kedua pasangan itu Arfan mengulangi kejadian yang sama untuk
kali ketiganya. Tubuhnya tersedot ke dalam udara hampa.
Kegelapan melingkupinya dari segala arah. Seberkas cahaya mendatanginya, atau tubuhnya yang
mendekati cahaya itu. Cahaya dari jendela besar yang menggambarkan kejadian ambruknya
jembatan Kartanegara di atas Mahakam.

Arfan dapat melihat pasangan muda itu tengah bercanda di dalam mobil. Wajah pria yang berada
di balik setir terlihat bahagia. Arfan mengerti, karena ia pernah mengalami saat-saat seperti itu.
Ketika hari pernikahan sudah tinggal beberapa hari lagi, rasa bahagia di dalam dadanya membuncah,
seakan membawanya ujung jagat semesta.

Inilah puncak kehidupan dalam masa hidup manusia setelah kelahiran dan sebelum kematiannya.
Manusia disediakan umur yang panjang agar dapat merawat keturunannya dari generasi ke generasi.

Wanita itu juga terlihat berbahagia. Ia menyandarkan kepalanya di bahu si pria. Ia terlihat begitu
manja. Mobil mereka merayap di tengah-tengah kerumunan kendaraan yang memenuhi badan jalan
di atas jembatan Kartanegara.

Arus kendaraan merayap di salah satu sisi jembatan Kartanegara. Karena waktu itu diberlakukan
satu arah.

Tiba-tiba bunyi gemuruh itu terdengar. Seperti bunyi gemuruh pesawat yang terbang rendah di
dekat mereka. Serentak mobil berhenti. Penumpang di dalamnya berhamburan keluar.

Pasangan calon pengantin itu terlihat panik. Si wanita memeluk kekasihnya erat-erat. Suara
mereka terdengar begitu cemas.

“Apa yang terjadi Mas?”

“Jangan takut. Aku akan melindungimu walau apapun yang terjadi ….”

Bunyi gemuruh disusul bunyi kabel yang terlepas. Kabel di tengah-tengah jembatan terlepas satu
persatu. Material jembatan terlempar ke udara. Pengait kabel baja patah. Mur dan baut jembatan
menimpa kendaraan di bawahnya.
Kerangka jembatan satu persatu runtuh. Badan jembatan patah tepat di tengah-tengah jembatan.
Balok-balok besi tercebur ke Sungai Mahakam. Kendaraan yang berada di atasnya tercebur ke dalam
sungai yang bergolak.

Kerangka besi jembatan yang miring perlahan hancur. Batang-batang kerangka jembatan yang
terlepas menimpa kabin mobil yang berada di bawahnya. Bunyi berdebum dan berderak mengerikan
seperti berada di akhir dunia.

Kiamat seakan terjadi di sekeliling mereka. Cepat dan tak terduga.

Pria itu berusaha membuka pintu depan mobilnya. Macet. Batang besi jembatan yang jatuh di atas
mobilnya membuat pintunya ringsek. Wanita itu terlihat panik ketika air sungai mulai masuk dan
memenuhi kabin mobil. Merayap perlahan menenggelamkan tubuh mereka.

Pria itu berusaha menghancurkan kaca depan mobil. Ia menerjang bekas pecahan di kaca depan
mobilnya. Lengannya tergores dan berdarah. Darah dari luka di lengannya membuat air di dalam
kabin memerah.

Lubang pecahan membesar, akibatnya air sungai semakin deras mengalir masuk ke dalam kabin.
Air mencapai dada tubuh kedua pasangan calon pengantin itu. Dengan cepat tubuh mereka
tenggelam.

Perlahan mobil sedan itu tenggelam ke dasar sungai Mahakam.

Untuk terakhir kalinya si pria berusaha memecahkan kaca depannya agar lebih lebar. Namun
usahanya sia-sia. Air sudah mencapai mulutnya. Ia menelan banyak air ketika air membenamkan
seluruh tubuhnya. Untuk beberapa lama tubuhnya masih bergerak-gerak di dalam air. Tidak lama
kemudian tubuhnya sudah tidak bergerak. Gelembung terakhir keluar dari dalam lubang hidungnya.
Tubuhnya melayang di dalam kabin mobil yang dipenuhi air sungai. Begitu pula nasib si wanita yang
tetap memeluk kekasihnya sampai ajal menjemput keduanya.

Tubuh mereka melayang di dalam kabin mobil yang dipenuhi air.


Arfan tak kuasa melihat kejadian itu. Matanya berkaca-kaca. Ia teringat kepada berita yang berada
di potongan surat kabar. Berita yang mengabarkan kisah tragis pasangan calon pengantin itu di atas
Mahakam.

Di sana tertulis:

PASANGAN CALON PENGANTIN MENJADI KORBAN

Selasa, 29 November 2011

KABAR MATA ANGIN—Tenggarong,

Mayat pria dan wanita berumur sekitar dua puluhan berhasil dievakuasi dari dalam mobil yang
terjebak di bawah kerangka jembatan tepat pada pukul 21.00 WIB.

Dari keterangan keluarga korban yang mengenali ciri-ciri fisik kedua mayat tersebut diketahui
bahwa keduanya adalah pasangan calon pengantin. Keduanya sedianya akan melangsungkan
pernikahan awal tahun depan, setelah tahun baru.

Kematian keduanya karena kehabisan napas setelah tenggelam dalam kabin mobil yang dipenuhi
air Sungai Mahakam.

Berdasarkan informasi dari Posko Laporan Korban ambruknya jembatan Kartanegara di R.S.
Parikesit Tenggarong kedua pasangan calon pengantin beralamat di dua tempat berbeda. Si pria
bernama Kafka Rajana (27 th) dari Tenggarong sedangkan kekasihnya Heryani (24 th)berasal dari
Tenggarong Seberang.

Keduanya dilaporkan menghilang setelah mengendarai mobil untuk mengunjungi salah satu
keluarga korban di Tenggarong Seberang. Menurut keluarga mereka hendak meminta restu ke
kerabat lain atas rencana pernikahan mereka.

Tubuh Arfan kembali tersedot ke dalam udara hampa. Napasnya tercekat untuk beberapa saat.
Udara seakan menekan dadanya. Kemudian napasnya serasa dihembuskan kembali ke dalam
tubuhnya kuat-kuat. Untungnya ia mulai terbiasa.
Tubuh Arfan masih sempoyongan setelah melompat dari masa lalu.

“Apa yang kau tunggu?!!” tanya si wanita. Kantung matanya menghitam. Air mata keruh mengalir
di pipinya yang pucat. Matanya terlihat sembap seperti banyak menangis.

Arfan mengamati satu persatu wajah pasangan pengantin itu. Meski wajah mereka pucat dan
terlihat … mati, ia masih dapat menemukan gurat-gurat kebahagiaan. Masih ada senyum di wajah
mereka yang pucat.

Inikah kisah sehidup semati yang sesungguhnya?!

Untuk pertama kalinya dalam seumur hidup, Arfan menyaksikan pernikahan antar hantu. Bahkan
ia menjadi satu-satunya saksi! Tidak akan ada yang percaya. Tentu saja! Jika ia menceritakan
kejadian itu (dengan reputasinya sebagai orang sinting) orang-orang pasti akan meledeknya lagi.

“Kami ingin terikat dalam satu ikatan sakral,” ungkap si wanita.

“Ya, karena itulah yang terpenting!” timpal si pria.

“Baiklah. Oke … ehem … (Arfan menarik napas dalam) … dengan ini saya menjadi saksi atas
kesatuan cinta kasih kalian. Semoga kalian berbahagia di alam ini dan sesudahnya. Dalam kematian
dan kebangkitan semoga cinta kalian abadi. Selamanya ….”

Kedua pasangan pengantin itu tersenyum bersamaan. Keduanya saling berhadapan, mendekatkan
bibir mereka yang basah dan … saling berciuman.

Ciuman yang lembut, hangat dan lama.


Arfan tidak tahu harus berkata apa. Antara haru dan bahagia. Tanpa sadar ia telah ikut andil dalam
mengabadikan cinta kasih yang tulus. Cinta yang terikat dalam ikatan suci tidak akan lekang oleh
waktu. Bahkan di kehidupan ini dan berikutnya.

Mereka masih berciuman ketika tubuh keduanya perlahan lenyap. Tubuh keduanya meleleh
menjadi air keruh yang mengalir ke tepi jembatan dan jatuh ke atas Sungai Mahakam.

Tubuh keduanya memang hancur, tapi tidak cinta kasih mereka.

Arfan menghela napas lega. Ia harus melanjutkan perjalanannya di atas jembatan dan
menemukan kebagiaanya sendiri. Jantung hatinya berada di sana.

Ya, ia harus menemukan keabadian cintanya sendiri.

Kali ini ia bersyukur karena tidak mendapat halangan berarti.

Setidaknya belum …

Mimpi buruknya baru saja akan dimulai.

Bab 7 Cintanya Cinta

JEMBATAN yang dilalui Arfan terasa lebih panjang dari biasanya.

Namun ia tidak akan menyerah sebelum menemukan istrinya.

Arfan melewati mobil boks yang berisi penuh muatan. Peti besi mobil itu ringsek, pintunya
terbuka, muatan di dalamnya berhamburan keluar. Kardus-kardus yang berisi makanan ringan
hancur bertebaran di badan jembatan. Ia meraih sebuah kaleng softdrink. Kaleng itu masih utuh,
tidak penyok. Ketika ia membukanya, tiba-tiba air kotor (coklat keruh) menyembur keluar. Ia
melempar kaleng itu ke sungai.
Rasa letih menggelayuti tubuhnya.

Perlahan bayangan masa silam menyeruak dalam pikirannya.

***

Aku bahagia Mas …

Kata-kata yang terucap istrinya setelah usaha mereka berhasil meraih keuntungan berlipat-lipat.
Tidak sia-sia kerja keras mereka selama ini. Waktu itu mudah saja bagi mereka untuk mendaftar naik
haji. Namun istrinya masih belum terpanggil hatinya.

“Kalau Mas berencana naik haji silahkan. Saya masih belum siap.”

“Kalau kau tidak mau, begitu pula aku.”

“Uangnya lebih baik untuk usaha yang lain.”

Setelah musibah itu terjadi, naik haji berdua sepertinya sudah mustahil.

Terkadang takdir itu aneh. Bagi orang yang penghasilannya biasa-biasa saja dapat pergi haji karena
menabung selama sekian tahun. Sulit dipercaya karena penghasilan mereka pas-pasan. Bahkan
untuk makan sehari-hari. Apalagi untuk naik haji.

Jika Tuhan sudah berkehendak, tidak ada yang mampu mencegahnya.

Sedangkan bagi orang yang berlimpah harta karena usahanya. Sukses seperti Arfan dan istrinya,
merasa masih belum siap naik haji. Kuncinya terletak pada kesungguhan hati. Ya, mereka sangat
paham. Namun masih ada rasa tidak ikhlas di dalam hati mereka.
Sekarang Arfan menyesal sekaligus kasihan kepada istrinya.

Di puncak kesuksesannya, istrinya pergi tanpa sempat pamit meninggalkannya. Namun ia salut
karena di puncak kesuksesannya, istrinya masih setia kepadanya. Masih memegang janji di malam
pertama mereka. Sikapnya yang bersahaja masih tidak berubah. Masih tabah seperti dulu.

Istrinya sudah biasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga tanpa pembantu. Bahkan ketika
rekening mereka membengkak. Meski begitu tidak pernah terlontar keluh kesah dari mulutnya. Jika
lelah dan kesal, istrinya hanya diam sambil meneruskan pekerjaannya. Karena itulah Arfan turut
membantu pekerjaan rumah istrinya seperti mencuci, memasak dan merawat kebun mereka. Rasa
letih mereka hilang jika pekerjaan dilakukan bersama-sama.

Arfan dan istrinya saling menghormati. Tidak pernah terdengar kata-kata kotor dari mulut
keduanya. Percintaan mereka dibingkai hal-hal romantis. Keduanya mengerti bagaimana
membahagiakan pasangannya. Sikap istrinya yang menjaga diri membuat Arfan juga menjaga
sikapnya. Percintaan mereka sakral dan suci, tidak pernah menyimpang.

Wajah istrinya yang cantik memesona ditambah sikapnya yang tabah seringkali masih membuat
Arfan tersipu. Keduanya tidak mengutamakan kebutuhan badani semata. Mereka mengisi malam-
malam yang panjang mereka dengan kenyamanan batin. Waktu tak terasa ketika mereka saling
bertukar pikiran dan mengobrol. Seperti sahabat yang bermain dan tumbuh bersama-sama dari
sejak kecil.

Hanya istrinya saja yang dapat mengikuti jalan pikirannya.

Sulit mendapatkan wanita seperti itu. Itu sebabnya setelah kepergian istrinya Arfan merasakan
kesepian yang luar biasa. Ia hanya butuh teman bicara, tidak lebih. Yang dapat berbagi suka dan
duka tanpa pamrih.

Jika ada wanita yang secerdas dan secantik istrinya, Arfan pernah bersumpah untuk berpuasa
selama seratus hari. “Jika ada wanita seperti istriku, (matanya basah ketika ia mengatakan ini) aku
bersumpah akan berpuasa selama seratus hari, dan cukup berbuka dengan nasi putih tanpa lauk,”
tantangnya kepada setiap orang yang mendengar ceritanya. Ketika sebagian besar dari mereka
menyarankan kepadanya agar menikah lagi.
Ia menjadi sangat sensitif. Ia tidak pernah menyapa lagi temannya yang berkata, (mungkin untuk
kebaikannya) “Kau kan masih muda, Fan. Menikah lagi agar sehat. Masih banyak wanita ….” Belum
selesai temannya bicara, nyaris saja ia menamparnya. Sendainya waktu itu ia tidak teringat kepada
kesabaran istrinya. Ia nyaris meledak di hadapan teman baiknya, “Agar sehat katamu! Perkataan
macam apa itu! Dasar brengsek! Idiot!!” Saat itu juga Arfan mengusir temannya dari dalam ruang
tamu. “Aku tengah berduka! Enak saja kau melawak di depanku!”

Sejak saat itu Arfan mulai dijauhi teman-temannya.

“Saya kasihan kepada istri saya … belum genap kebahagiaanya. Saya belum sempat membalas
segala cinta kasih dan pengorbanannya,” ujar Arfan sembari sesegukan di hadapan teman duduknya.
Ia tidak lagi merasa malu menangis di hadapan publik.

Selama ini ia merasa nyaman bercerita kepada orang asing daripada kepada teman dan
keluarganya. Karena ia sudah tahu, mereka sudah jengah mendengar keluh kesahnya. Meski tidak
sedikit orang yang meledeknya, memberi tanda di dahinya seakan berkata: Dia sudah gila! Bahaya!!

Keduanya lahir di bulan yang sama, selang dua hari, dan sama-sama suka membaca. Buku-buku
milik Arfan dan istrinya bercampur dalam satu rak buku di dinding ruang tamu. Setiap bulan mereka
menyisihkan uang untuk membeli buku motivasi dan berlangganan majalan pertanian. Ketika
istrinya mulai menyukai novel-novel, begitu pula Arfan. Ketika istrinya suka menulis artikel, begitu
pula Arfan.

Teori-teori di dalam buku dan majalah tidak seluruhnya benar. Membaca dengan kritis. Karena itu
mereka mengoreksi dengan pengalaman mereka sendiri. Karena itulah usaha bisnis mereka maju
pesat. Hasilnya tak tanggung-tanggung, tiga kali lipat!

***

“Hei, Kak!! Kok menangis, sih?!! Dasar cengeng!!”

Suara itu menyadarkan Arfan dari lamunannya. Ketika ia duduk di jok salah satu bangkai mobil
yang seluruh pintunya terlepas.
Suara gadis kecil yang terdengar kecil melengking.

Arfan mencari-cari asal suara itu namun tidak ada siapapun di dekatnya.

“Heeiii, Kaaak!! Di sini … aku ada di sini.”

Arfan masih tidak dapat menemukan keberadaan gadis kecil itu. Suara-suara tawa cekikikan
terdengar dari berbagai arah.

Kemudian bunyi detap sepatu terdengar dari balik bangkai salah satu kendaraan.

“Tangkap aku kalau bisa!!”

“Hei, berhenti bermain-main. Kau berada di mana?”

Kepala gadis itu menyembul dari balik kaca pintu mobil yang pecah. Rambutnya diikat ekor kuda.
Ia memeluk boneka yang terjahit di dada pakaiannya. Jemarinya yang mungil menggedor-gedor
pintu mobil sambil menjerit-jerit, “Ayo, main petak umpet Kak! Ayo main!!”

Arfan melangkah mendekati gadis kecil itu. Namun gadis itu lari menghindar. Ia berlari keluar dari
kabin bangkai mobil yang ringsek melalui pintu lain.

“Hei, siapa namamu?” tanya Arfan sedikit kesal.

“Namaku … Alisah Cinta Putri Yang Paling Cantik Sejagat Bagai Bintang-bintang di Langit Yang
Berkelap-kelip … hihihi.” Gadis itu cekikikan. “Oh, ya. Nama Kakak siapa?”

“Kenapa kau berada di sini?”


“Nama Kakak siapa—Nama Kakak siapa—Nama Kakak siapa?!!”

“Hei-hei—oke, dengar! Namaku Arfan dan kita harus pergi dari tempat ini. Oke?!”

“Ah, tidak oke!!” Gadis itu menjulurkan lidahnya. “Kak Arfan tidak oke!!”

“Kenapa?”

“Aku menunggu Ayah dan Ibuku! Mereka bilang mau menjemputku.”

“Ayah ibumu ke mana?” Arfan mengerutkan dahinya.

“Aku tidak tahu ….” Gadis kecil itu memilin-milin rambutnya. “Pokoknya mereka menyuruhku
menunggu di sini! Titik!!”

“Menunggu … di sini?”

“Ayo!! Main petak umpet, Kak!! Biar tidak bosan!!”

“Kemarilah.” Arfan mendekati gadis itu. Sesampai di depan gadis itu, ia menepuk rambutnya yang
basah kuyup. Lumpur kecoklatan mengotori rambutnya yang berombak. “Apa yang terjadi
denganmu?”

Sentuhan itu cukup membuat tubuh Arfan tersedot ke dalam udara hampa. Sekali lagi. Kegelapan
kembali melingkupinya. Dadanya terasa sesak beberapa saat.

Ia kembali terlontar ke masa lalu. Melihat saat-saat jembatan Kartanegara ambruk. Di sana, di
badan jembatan yang miring, ia melihat gadis itu jatuh dari sepeda motor yang mengerem
mendadak. Ia tidak menangis dan segera bangkit. Sedangkan ibunya merosot di badan jembatan dan
jatuh ke Sungai Mahakam. Ayahnya berpegangan pada pagar jembatan, bergelantungan untuk
beberapa saat. “Tunggu di sana … jangan ke mana-mana!!” seru Ayahnya. Kemudian ia melepas
pegangan tangannya dari pagar besi dan melompat ke Sungai Mahakam.

Gadis itu hanya dapat melihat ayahnya yang timbul tenggelam di permukaan sungai. Arus deras
Sungai Mahakam menyeret tubuh ayahnya dengan cepat. Ayahnya berusaha berenang mendekati
ibunya yang masih mengapung. Istrinya tidak bisa berenang, tangannya menggapai-gapai ke udara.
Berusaha mengambil napas.

Gadis itu mengerti, ayahnya hendak menolong ibunya.

Namun arus deras Sungai Mahakam membuat kedua orang tuanya terseret makin jauh. Benda-
benda yang berjatuhan dari jembatan menubruk tubuh mereka.

“Ayah!! Ibuuu ….” Gadis itu berdiri mematung di atas badan jembatan yang masih ada di
permukaan. Lama menunggu ia tidak juga melihat kedua orang tuanya muncul ke permukaan sungai.
“Ayahhh!!” jeritnya. Matanya basah. Ia memeluk boneka yang melekat di bajunya. Ketika maju
beberapa langkah, tubuhnya terperosok di badan jembatan yang miring. Ia berusaha meraih pagar
besi agar tidak terjatuh ke sungai Mahakam. Namun pagar itu begitu besar bagi jemarinya yang
mungil. Tubuh gadis kecil itu tercebur ke dalam sungai dan tenggelam. Menyusul kedua orang
tuanya.

Arfan masih teringat pernah membaca berita bahwa satu keluarga telah menjadi korban
ambruknya jembatan. Berita-berita di surat kabar menyebutkan penemuan tiga mayat di hari
berbeda yang ternyata merupakan satu keluarga. Di sana tertulis:

SEKELUARGA TEWAS DI MAHAKAM

Rabu 30 November 2011, 15.45 WIB

MAHAKAM NEWS—Tenggarong, Hari kelima pasca ambruknya jembatan Kartanegara, tim DVI
(Disaster Victim Investigation) berhasil mengevakuasi tiga mayat di tempat yang berbeda. Dari
keterangan kerabat korban diketahui bahwa ketiganya adalah sekeluarga.

Pria bernama Haryanto (35 th) adalah suami dari korban kedua yang ditemukan tidak jauh dari
jasadnya, wanita bernama Lilik Rusmina (31 th). Sedangkan mayat gadis cilik yang ditemukan di
dekat badan jembatan yang sebagian tenggalam di Sungai Mahakam bernama Alisah Cinta Putri (9
th) adalah anak dari kedua suami istri itu.

Alisah yang pertama kali ditemukan, tubuhnya mengambang di bawah pagar jembatan. Kemudian
ayahnya ditemukan sepuluh meter dari puing jembatan. Jasad ayahnya ditemukan tidak jauh dari
jasad ibunya. Keduanya ditemukan sudah menjadi mayat di tepi Sungai Mahakam. Kuat dugaan
ayahnya hendak menyelamatkan ibunya sebelum akhirnya ikut terbawa arus dan kehabisan napas.

Sepeda motor yang tersangkut di pagar jembatan milik keluarga yang meninggal di hari yang sama
di Sungai Mahakam …

TEMAN SEKOLAH ALISAH DOA BERSAMA

Kamis, 1 Desember 2011

MAHAKAM NEWS—Tenggarong,para siswa dari SD 1 Tenggarong berdoa bersama untuk teman


mereka Alisah Cinta Putri yang tewas bersama kedua orang tuanya ketika jembatan Kartanegara
ambruk. Mereka berkumpul di rumah duka sambil membawa karangan bunga dan membuat seribu
burung kertas sebagai harapan agar arwah teman mereka tenang di surga.

Alisah adalah termasuk murid yang berprestasi di sekolahnya.

Tubuh Arfan kembali dari masa lalu. Ia kembali berada di hadapan hantu gadis cilik itu. Gadis itu
tersenyum padanya. Seakan gadis itu tahu apa yang terjadi kepada Arfan.

“Dengar … ayah ibumu sudah menunggumu di sana ….”

“Di mana Kak?” tanya gadis itu polos.

“Di surga.”
Gadis cilik itu terdiam. Jemarinya yang mungil menyentuh kening Arfan, “Terima kasih, Kak.”
Kemudian tubuhnya memudar. Tawa kecil terdengar sebelum gadis kecil itu menghilang dari
hadapan Arfan.

Gadis itu masih menunggu ayah dan ibunya yang telah tiada. Kekuatan cintanya memberi
semangat bagi Arfan agar tidak mudah menyerah.

Afan juga masih setia menunggu istrinya. Hingga hari keempat puluh ia masih berharap melihat
wajah istri yang sangat dicintainya.

Berharap melihat senyuman yang sama di wajah istrinya.

Aku berjanji akan menemukanmu …

walau apapun yang terjadi …

Janjinya membulatkan tekad.

Bab 8 Sangkar Berkarat

Semoga kita menjadi sahabat selamanya …

SEBUTIR air mata jatuh di atas secarik kertas wangi. Memburamkan tinta hitam kata-kata yang
tertulis denga pena di surat itu. Di sana, di surat itu tertulis kata-kata dari istrinya yang sangat
diingatnya.

Awal-awal perkenalan Arfan dengan istrinya melalui surat menyurat. Ia tidak ingin mengirim pesan
ke kekasihnya menggunakan SMS, karena menurutnya membuat cinta mereka menjadi cinta
murahan. Ia ingin menulis kata-kata dengan pena, sehingga tidak ada kepura-puraan. Ia ingin cinta di
antara mereka dirajut dengan indah.

Kesibukan Arfan dan istrinya membuat mereka jarang berbicara melalui telepon. Jika ingin
berbicara, Arfan langsung mendatangi kekasihnya. Jika ingin lebih romantis, ia mengirim puisi-puisi
yang ditulisnya dengan pena di atas kertas. Ia bukan pria penggoda, hanya pria romantis yang
membutuhkan cinta yang indah. Dalam tulisan-tulisannya ia tidak mengumbar kata-kata gombal.
Hanya menulis kata-kata realistis sekaligus manis.
Di dalam suratnya sebelum datang melamar ia menulis seperti ini:

Wahai wanita pemilik keindahan,

Aku hanya pria biasa yang hendak membahagiakanmu.

Aku tidak memiliki limpahan harta, tapi aku akan berusaha untuk merawatmu.

Aku tidak memiliki kesabaran, tapi aku akan belajar sabar darimu.

Aku bukan pria pintar, tapi aku memiliki kejujuran

Aku tidak rupawan, tapi aku memiliki kesetiaan

Terkadang aku egois, dan aku ingin kau yang mengajarkan kebaikan

Ijinkan aku untuk berada di sisimu pada sisa umurku.

Mimpiku bersamamu. Dalam kehidupan yang sederhana. Rumah mungil kita di tengah
persawahan. Kau menanam bunga-bunga. Kita menanam sayuran bersama-sama.

Semoga kau senantiasa berada dalam kesyukuran

Peluk cium dariku.

Arfan Harsah

Surat itu dititipkan ke salah satu teman dekat gadis pujaan Arfan. Terselip di baju dan sempat
dilupakan. Beberapa hari kemudian Arfan baru mendapatkan balasan.

Cinta akan lebih indah dan mengasyikkan jika perjalanan untuk meraihnya sulit. Di sanalah kita
akan mengerti harga sebuah cinta yang sesungguhnya. Di sanalah ujian cinta yang sesungguhnya.

Istrinya menulis surat balasan seperti ini:

Wahai pria pemilik ketulusan hati,

Hanya Allah yang membuka pintu hati


Aku bukan satu-satunya mutiara indah di lautan luas ini. Masih banyak mutiara lain yang lebih
indah dariku, jika kau mengetahuinya.

Aku rela kau merawatku, karena aku tidak mengharap perhiasan duniawi. Aku juga manusia biasa,
kesabaranku ada batasnya, tapi aku akan bertahan untukmu, bersabar untuk kesabaranmu.

Aku bukan satu-satunya mahkota kecerdasan, jika kau memahaminya. Menurutku keindahan
tetaplah keindahan, walau tanpa perhiasan duniawi.

Hatiku tidak setegar yang kau kira, jika kau membayangkannya. Hatiku seperti lautan maha luas
yang terus mendamba.

Semoga kita menjadi sahabat selamanya. Karena persahabatan yang membuat sepasang kekasih
bertahan dan saling mengasihi.

Impian kita serupa, ya. Kau seperti dapat membaca impianku. Seperti pertemuan kita sebelum-
sebelumnya kau sangat memahami perasaan wanita, dan bagaimana memperlakukan hatiku.

(Aku tidak menerima peluk cium darimu sebelum diriku halal bagimu)

Salam dari hatiku,

Melati Putri

Arfan masih menyimpan surat-surat istrinya. Puisi-puisi yang ditulisnya untuk kekasihnya itu. Syair-
syair balasan dari gadis yang kelak menjadi istrinya itu.

Semoga kita menjadi sahabat selamanya ….

Ia menyimpan surat-surat itu semuanya. Ya, semuanya. Ia menyimpan semuanya di dalam kotak
perhiasan bersama anting, gelang dan giwang istrinya. Tidak banyak perhiasan milik istrinya. Dan
tidak semuanya terbuat dari emas atau berlian. Sebagian besar terbuat dari kerajinan tangan dari
bahan cangkang kulit kerang, batok kelapa atau batu-batuan sungai.
Kotak perhiasan itu ditaruh di dalam lemari yang terkunci rapat. Ia tidak mengijinkan siapapun
membukanya. Di dalam lemari itu masih tersimpan pakaian-pakaian pernikahan mereka. Beberapa
potong pakaian kesukaan istrinya. Istrinya tidak gemar mengoleksi pakaian. Di sana juga ada album-
album foto kenangan mereka. Di setiap foto tertulis tanggal, jam, lokasi, dan deskripsi kejadian. Ia
sudah memulai kebiasaannya sejak SMA. Ia menulis tanggal di balik foto ketika berhasil
memenangkan berbagai lomba. Piala-piala dan piagamnya ditaruh di lemari khusus.

Ketika ia bertemu dengan istrinya pertama kali di Pulau Kumala. Seluruh kejadian ditulis lengkap di
balik foto. Album-album fotonya semakin banyak setelah menikah.

Arfan juga masih menyimpan lipstik dan bedak istrinya. Istrinya memakai lipstik dan bedak hanya
bila hendak bepergian.

Arfan seperti masih dapat merasakan kehadiran istrinya di dalam kamar. Aroma parfum yang
sama. Ia menabur melati putih di atas ranjangnya, seperti kebiasaan istrinya di awal ritual bercinta
mereka.

Di malam itu, Arfan berbaring seorang diri di atas ranjang. Mengenang masa-masa indah yang tak
terbaca. Bahkan tak dapat dibayangkan pujangga yang paling romantis sekalipun.

Kemudian di sana, di depan meja rias, ia seperti melihat punggung istrinya yang telanjang. Duduk
menghadap meja rias. Sedangkan jemarinya sibuk mengoles lipstik tipis-tipis di bibirnya. Ia masih
ingat setiap gerak istrinya ketika mengusap bedak ke wajahnya dengan jemarinya. Tidak ada
peralatan kosmetik lain. Istrinya tidak perlu berlama-lama di depan cermin. Kecantikan akan tetap
menjadi kecantikan tanpa tambahan apapun. Dan kecantikan istrinya sebagai mutiara putih tanpa
polesan dan topeng kepura-puraan.

Senang yaaa…

Kata-kata itu mengikutinya sepanjang malam itu. Sosok istrinya seakan berbaring di sampingnya.
Memandangnya dari kursi baca. Mengawasinya melalui jendela kamar tidur. Memandangnya dari
kebun.

Hal yang sangat menyiksa karena sosok istrinya hanya berupa bayangan samar. Saat itulah
terbersit di benak Arfan untuk menghabisi nyawanya sendiri agar dapat menyentuh istrinya. Agar
dapat segera bertemu istrinya di alam sana.
Arfan beranjak dari ranjang. Ia memegangi kepalanya sendiri. Berpikir keras mencari cara terbaik
untuk menghabisi nyawanya sendiri. Ia mencari-cari botol pestisida yang disimpannya di dapur.
Namun racun serangga itu tidak juga ditemukannya.

Sosok istrinya seakan mengikuti langkahnya. Semakin lama semakin jelas terlihat berdiri di
sampingnya mengenakan gaun putih.

“Jangan ganggu aku!!” jerit Arfan frustasi. “Tolong jangan ganggu aku!!”

Arfan pergi ke dalam kamar mandi. Ia hendak membasuh wajahnya ketika wajah istrinya terlihat di
dalam cermin di atas wastafel. Ia mengayunkan hantamannya hingga cermin itu pecah berkeping-
keping. Darah mengalir dari tangannya. Ia meringis kesakitan sambil keluar dari kamar mandi.

“Jika kau ada di dekatku, jangan menyiksaku seperti ini!!” Arfan melempar benda yang dapat
diraihnya ke sosok istrinya yang berdiri memandanginya. “Maafkan segala kesalahanku!!” Benda-
benda yang pecah bertebaran di sekelilingnya. Buku-buku berjatuhan. Vas bunga pecah
menghantam akuarium. Album-album foto yang disingkirkan dari atas bufet jatuh ke lantai, pecah
berantakan di atas karpet.

“AMMPUUNN! AMPUNN!!” Tubuh Arfan ambruk. Jeritannya yang membahana membuat


tetangga-tetangganya berdatangan. Mereka menggotong tubuh Arfan yang lemas ke atas sofa.
Orang tuanya dihubungi.

Rumah istimewa itu berubah menjadi sangkar berkarat yang perlahan membunuh penghuni di
dalamnya. Bayangan istrinya masih bergentayangan di dalam rumahnya.

Rumah yang kini menjadi sarang laba-laba, tidak lagi istimewa.

***

Perasaan bersalah masih berkecamuk dalam batin Arfan.


Ingatannya akan kejadian-kejadian masa lalu yang menyentak akalnya seperti selembar foto yang
terguyur air. Buram. Terdistorsi.

Ia memiliki kesalahan kepada istrinya. Kesalahan yang membuatnya menyesal seumur hidup.
Kesalahan (yang menurutnya) tak termaafkan.

Dan ia masih berharap istrinya dapat memaafkannya.

Namun ia harus terus melangkah maju.

Tidak ada gunanya menyerah sekarang ….

Di tengah jembatan Arfan melewati sebuah bus yang melintang di badan jalan. Ia mendengar isak
tangisan dari dalam bus. Ia harus terpaksa masuk ke dalam bus agar dapat melanjutkan
perjalanannya.

Arfan masuk ke dalam bus. Pintunya sudah tidak ada pada tempatnya. Ia mencari asal suara di
setiap jok bus. Ia menemukan seorang gadis yang menunduk di jok tengah. Gadis itu seperti tengah
berlindung dari sesuatu.

Arfan berpikir untuk tidak mengganggu hantu itu, namun rasa iba membuatnya berubah pikiran.

Apa yang sebenarnya terjadi di sini?

Jembatan berhantu, hah?

Tangis gadis itu berhenti. Perlahan wajahnya terangkat. Rambut panjangnya yang kusut menutupi
wajahnya. Suaranya terdengar samar karena tertutup bunyi gelegak di mulutnya. Seperti baru saja
meminum air dan tak mau keluar dari mulutnya.

“Tolong selamatkan kami ….”


“Kami? Kau kan sendirian?” Arfan menangkap sekelebat bayangan tidak jauh dari tempatnya
berada. Ia melirik dari sudut matanya dan melihat satu persatu sosok lain muncul di setiap jok dalam
bus. Semua penumpang di dalam bus itu adalah wanita. Mereka mengenakan seragam yang sama.
Perasaannya mulai tak nyaman.

“Oke … baiklah … apa yang bisa saya bantu?”

“Antarkan kami pulang ….”

“Pulang? Ke mana?”

“Kami rindu keluarga kami ….”

Arfan tidak habis pikir, bagaimana cara mengantarkan mereka pulang.“Bagaimana cara
mengantarkan kalian pulang?”

“Kau harus menjadi supir bus ini … supir bus ini melarikan diri tepat ketika musibah itu terjadi.”

“Dan ia selamat ….” Sahut wanita lain di jok depan. Hantu-hantu lain ikut menimpali :

“Ya, supir brengsek itu melarikan diri ….”

“Ya, seharusnya kami bisa selamat.”

“Kami harus menanggung getah kesalahannya.”

“Supir itu tidak bertanggung jawab!”

“Kalian bercanda? Bus ini sudah ….” Arfan sadar, sia-sia saja menjelaskan perkara kepada hantu.
Jadi aku harus tinggal di dalam bus untuk menggantikan supir agar mereka tenang? Tidak bisa!! Aku
harus menyelamatkan istriku … istriku lebih penting!!

Arfan bersiap melarikan diri dari dalam bus. Gelagatnya ketahuan. Sosok yang muncul memenuhi
jok mobil berdiri menatap bersamaan ke arahnya. Ia tidak dapat keluar dari dalam bus itu. Ia
terperangkap di dalam bus yang berkarat dan penuh lumpur. Air menetes-netes dari atapnya yang
tertutup lumut.
Wanita-wanita di setiap jok bergerak. Tubuh mereka basah kuyup. Air keruh mengalir dari setiap
lubang di wajah mereka. Kulit mereka yang pucat dan berair mulai membengkak. Jika mereka
meledakkan diri bersamaan di dalam bus itu, Arfan akan mati kehabisan napas karena tertimbun
organ dalam di tubuh mereka. Ia sudah pernah melihat dan merasakan ledakan dari hantu yang
membengkak sebelumnya. Dan ia berharap untuk tidak melihat kejadian mengerikan itu. Tidak
untuk yang kedua kalinya.

“Tolong jangan pergi … pleaseee,” isak hantu wanita yang duduk di jok paling dekat dengan Arfan.
Tiba-tiba jemarinya yang sedingin es mencengkeram lengan Arfan. Kulitnya terasa basah dan
lengket. Dingin … sedingin kematian.

Untuk kesekian kalinya Arfan terlempar ke dalam udara hampa. Kegelapan melingkupinya dari
segela arah. Seberkas cahaya perlahan membesar di hadapannya. Ia melihat kendaraan yang ramai
di atas jembatan Kartanegara yang masih utuh. Bus itu berada di tengah jembatan.

Bus salah satu pabrik garmen yang memuat karyawan tengah melintas di atas jembatan. Di
dalamnya terlihat karyawan wanita tengah berseri-seri wajahnya sehabis pulang kerja. Saat gemuruh
terdengar, supir bus langsung membuka pintu dan melompat keluar. Seluruh karyawan wanita di
dalam bus itu panik. Mereka berdesak-desakan ketika kabel-kabel di tengah-tengah jembatan
terputus satu per satu. Bunyi lecutan raksasa terdengar nyaris bersamaan. Kerangka jembatan
ambruk ke Sungai Mahakam.

Seluruh karyawan wanita di dalam mobil itu berguncang-guncang hebat. Kepala mereka
membentur kaca dan saling bertabrakan dengan orang di sampingnya. Suara jeritan puluhan
karyawan tertelan bunyi deburan keras ketika bus tercebur ke dalam sungai.

Bus yang berisi penuh penumpang itu dengan cepat tenggelam ke dasar sungai. Air yang mulai
memenuhi kabin bus membuat penumpang di dalamnya kehabisan napas. Beberapa masih
bergelantungan di tiang bus berusaha mengambi sisa-sisa udara. Lainnya megap-megap kehabisan
napas.

Air Sungai Mahakam yang berwarna coklat keruh menerobos masuk dengan deras dari lubang
kaca jendela yang pecah.

Beberapa karyawan mengambil napas yang tersisa dan berusaha memecahkan kaca jendela.
Namun kekuatan mereka sudah terkuras habis. Mereka hanya dapat menangis pasrah sambil
menunggu ajal menjemput.
Air Sungai Mahakam perlahan memenuhi kabin bus. Merayap di leher mereka hingga menutupi
kepala. Tidak menyisakan satu pun ruang udara untuk bernapas. Para karyawan itu menelan air
sungai yang kotor. Gelembung-gelembung udara besar dan kecil pecah dan berpendar bagai
gugusan bintang di kedalaman Sungai Mahakam.

Arfan menahan napas menyaksikan kematian massal itu. Satu persatu tubuh wanita karyawan
pabrik itu mati kehabisan napas. Tubuh mereka mengambang di dalam kabin bus yang tenggelam ke
dasar sungai. Rambut mereka melayang-layang menutupi wajah mereka yang meregang nyawa.

Arfan teringat kepada berita yang tertulis di surat kabar.

Di sana tertulis:

DUA BUS BERMUATAN KARYAWAN TENGGELAM

Minggu, 27 November 2011

SAMARINDA SORE—Tenggarong, saksi mata yang melihat kejadian ambruknya jembatan


Kartanegara melihat dua bus yang penuh berisi 30 karyawan perusahaan ikut tenggelam ke dalam
Sungai Mahakam. Sebuah truk bermuatan sembako berada di belakang kedua bus tersebut.
“Seandainya bus itu melaju kencang ke pinggir jembatan mungkin musibah naas itu tidak sampai
menimpa mereka,” kata saksi mata melalui sumber di kepolisian. Supir bus yang melarikan diri lebih
dahulu menyebabkan hilangnya puluhan nyawa.

Supir bus yang berhasil melompat dan berlari ke ujung jembatan masih dicari polisi. Ia berhasil
selamat karena tidak berada di tengah-tengah jembatan. Sedangkan puluhan karyawan di kedua bus
diduga tidak dapat menyelamatkan diri karena berdesak-desakan.

Saksi mata lain mengatakan melihat bus pariwisata juga ikut tenggelam.

Arfan terlempar dari bayangan masa silam. Kemudian kembali berada di dalam bus berkarat yang
telah tenggelam itu. Ia berpikir keras agar dapat keluar dari tempat itu.
“Saya akan mencari supir bus itu agar mendapat ganjaran yang setimpal.”

“Benarkah?” Hantu wanita di hadapan Arfan mengendurkan cengkeramannya.

Wanita-wanita lain yang bergerak ke arah Arfan terdiam bersamaan. Mereka berkata nyaris
bersamaan :

“Terima kasih Mas.”

“Terima kasih ….”

“Tangkap supir tidak bertanggung jawab itu ….”

“Suruh polisi menangkap supir itu ….”

“Sampaikan keadaan di sini kepada mereka. Agar tubuh kami bisa dimakamkan dengan layak.”

“Ya, akan kusampaikan. Tapi pertama, saya harus keluar dari jembatan ini.”

Satu persatu tubuh wanita itu meleleh. Genangan air keruh memenuhi lantai bus. Arfan
melangkah ke luar dari dalam bus. Ia menghela napas lega.

Bagaimana kalau aku selamanya terjebak di dalam bus itu?

Kemudian ia menyadari sesuatu. Kengerian yang sama.

Bagaimana kalau aku selamanya di sini? Di atas jembatan ini?

Ini bukan jembatan Kartanegara di dunia fana. Melainkan jembatan yang sudah berada di dunia
lain. Jika aku tidak dapat keluar dari jembatan ini, maka selamanya aku akan terjebak di sini.

Ah, asalkan bersama istriku tidak apa-apa!!


Pertama-tama aku harus memastikan bahwa aku dapat menemukan istriku. Dan berharap dapat
menemukan jalan keluar dari jembatan ini. Sebelum aku benar-benar terperangkap dan tidak dapat
keluar lagi. Selamanya.

Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepalanya.

Tidak ada pilihan lain selain terus melangkah maju.

Tidak ada kata untuk menyerah sekarang.

Bab 9 Misteri Mahakam

SETELAH Arfan keluar dari dalam bangkai bus. Seseorang telah menunggunya. Di sana, terlihat
jejak basah di badan jembatan yang mengarah ke tubuh seseorang. Atau lebih tepatnya sesosok
hantu lagi.

Siapa lagi sekarang? Mereka pikir aku psikiater khusus hantu?

Aku bisa apa membantu mereka?

Hantu itu mengenakan pakaian selam. Lapisan lumpur menutupi pakaian selamnya. Kaca mata
renang yang menutupi wajahnya retak-retak. Wajahnya yang membengkak di balik kaca matanya
nyaris tidak dapat dikenali lagi. Tabung oksigen di pundaknya mendesis dan menyemburkan air kotor
ke segala arah.

Aku harus segera menyelesaikan ini … nyawa istriku lebih penting!!

“Tolong minggir … aku terburu-buru.”

Hantu penyelam itu bergeming.


“Apa yang kau minta dariku kali ini, hah? Napas buatan?”

Hantu penyelam itu mengeluarkan sesuatu dari balik tangannya. Arfan melangkah mendekatinya.
Hantu itu membuka kalung yang menggantung di lehernya. Kemudian menjulurkannya kepada
Arfan.

Untuk beberapa saat Arfan ragu. Kemudian ia berusaha melenyapkan keraguannya. Ia meraih
liontin itu, di dalamnya terdapat sebuah foto. Seorang wanita dan anak kecil di dadanya.

“Aku ingin kau mengantarkan itu ke istriku.” Suara hantu penyelam itu terdengar samar-samar.
Diselingi suara napasnya yang sesak. Desis tabung oksigen terdengar dari balik tubuh penyelam itu.

“Apa yang terjadi denganmu?” Arfan hendak menyentuh hantu itu ketika hantu itu menepis
tangannya.

“Jangan!! Kau tidak akan tahan melihatnya.”

“Apa maksudmu?”

“Sangat … mengerikan di dasar sana. Dan ada sesuatu ….”

“Sesuatu? Sesuatu apa?”

“Yang pasti … bukan berasal dari dunia ini?”

Hantu itu berbalik dan berjalan ke tepi badan jembatan. Hendak melompat ke atas Sungai
Mahakam yang bergolak.

“Tunggu dulu!!” Arfan berlari mengejar hantu itu dan menarik bahunya.
Itu sudah cukup membawa Arfan ke masa lalu. Kembali ke kejadian yang dialami hantu itu.
Kejadian yang merenggut nyawanya hingga tewas. Udara hampa menekan dadanya. Napasnya
serasa berat untuk beberapa detik.

Kali ini tubuh Arfan serasa berada di bawah permukaan Sungai Mahakam. Tubuhnya tenggelam
tanpa sesak napas. Di kejauhan ia melihat bayangan seseorang yang tengah menyelam.

Air sungai makin keruh di kedalaman sungai. Berbagai benda mengapung di sekitarnya. Arfan
menduga kejadian masa lalu yang dilihatnya kali ini terjadi beberapa hari setelah ambruknya
jembatan Kartanegara.

Ia teringat kepada surat kabar yang mengabarkan kisah para penyelam yang diterjunkan ke Sungai
Mahakam untuk mencari korban yang tenggelam ke dasar sungai.

Di sana tertulis :

60 PENYELAM EVAKUASI KORBAN JEMBATAN

Minggu, 27 November 2011

SAMARINDA SORE—Tenggarong, Sebanyak enam puluh penyelam diterjunkan ke dalam Sungai


Mahakam. Mereka dikerahkan untuk mencari korban ambruknya jembatan Kartanegara. Mereka
mengutamakan pencarian korban. Belum ada perintah untuk mencari bangkai kendaraan yang
hanyut.

Evakuasi korban terganggu hujan deras. Namun tim penyelam masih melakukan pencarian. Dua
kapal patroli tipe C3 dan perahu karet membawa para penyelam ke tengah sungai.

Mereka membawa tabung oksigen dan peralatan logam ke tengah Sungai Mahakam. Apabila deras
sungai hingga 2 knot lebih maka penyelaman ditunda sementara sampai arus kembali tenang.
Mereka bergiliran menyelam. Setiap kali menyelam hanya diperbolehkan 12 penyelam saja. Kondisi
air Sungai Mahakam yang keruh di kedalaman 20 meter membuat jarak pandang nol, tim penyelam
hanya dapat meraba. Diperlukan lampu sorot untuk dapat melihat ke dalam air keruh.

Bahaya lain adalah tiang utama yang sewaktu-waktu dapat runtuh.


Kedalaman Sungai Mahakam yang mencapai 50 meter mengharuskan penyelam yang naik ke
permukaan masuk ke chamber, kamar oksigen murni, yang ditaruh di atas ponton untuk mencegah
agar pembunuh nadi mereka tidak pecah.

Sejumlah tugboat dan dua crane siap membantu para penyelam melakukan proses evakuasi
korban yang terjepit jembatan atau terjebak di dalam kendaraan.

SEORANG PENYELAM MENGHILANG

Rabu, 30 November 2011

SAMARINDA SORE—Tenggarong, tim penyelam yang tengah mengevakuasi korban kehilangan


salah satu rekan mereka. Briptu Nurman Karomah (39 th) dari Brimob Polda Kaltim tidak naik ke
permukaan setelah melakukan penyelaman tepat di tengah jembatan yang ambruk pada Rabu 10.42
WIB. Rekan yang bersamanya Aipda Kelana (45 th) mengaku masih bersama rekannya di kedaman
sepuluh meter. Saat itu hujan deras, arus Sungai Mahakam mencapai 4 knot, biasanya arus 2 knot
saja dapat membuat penyelam terseret. Saat itu ia melihat adanya pusaran air di beberapa titik.

Aipda Kelana berpisah dari Briptu Nurman setelah dirinya terjebak di pusaran air hampir empat
menit. Ia hanya dapat meraba-raba dalam kegelapan dan berdoa di dalam air yang keruh. Hanya
insting dari pengalamannya yang membuatnya dapat keluar dari pusaran air. Jika panik, napas
menjadi lebih cepat, jadi oksigen bisa cepat habis.

Setelah naik ke permukaan Aipda Kelana menerima laporan bahwa tali yang melilit tubuh Briptu
Nurman terputus. Bekas ujung tali yang terputus seperti terpotong sesuatu yang tajam. Padahal tali
yang mengamankan tubuh penyelam itu terbuat dari serat baja.

Beberapa penyelam melakukan pencarian selama seharian penuh. Evakuasi korban di hari itu
dihentikan sementara untuk mencari Briptu Nurman. Sampai sore pukul 15.45 pencarian dihentikan
karena suasana mulai gelap.

MISTERI SUNGAI MAHAKAM

Kamis, 1 Desember 2011


SAMARINDA SORE—Tenggarong, proses evakuasi korban jembatan dihentikan karena cuaca
buruk. Tim penyelam berhati-hati setelah seorang rekan mereka menghilang di Sungai Mahakam. 24
orang penyelam dikerahkan untuk mencari korban jembatan sekaligus jasad rekan mereka yang
masih belum dapat ditemukan. Beberapa penyelam melaporkan adanya pusaran air di dasar sungai.
Mereka seringkali terbentur kerangka jembatan di bagian lutut dan kepala. Mereka harus berhati-
hati agar alat bantu pernapasan tidak terlepas dari mulut.

Delapan orang penyelam mampu mencapai kedalam lebih dari 30 meter. Beberapa penyelam
mengaku bahwa Sungai Mahakam misterius. Ketika di permukaan arus sungai tenang, namun ketika
masuk ke dalam arus mencapai 3 knot sehingga penyelam cepat kehabisan tenaga dan hanyut. Jika
penyelam buru-buru naik ke permukaan dapat memengaruhi kadar nitrogen hingga dapat
mengakibatkan kelumpuhan. Hal ini dapat menyebabkan tubuh penyelam terseret arus sungai yang
deras.

13 titik hitam hasil sonar yang diduga kendaraan yang tenggelam ternyata setelah dilakukan
penyelaman tidak ditemukan apapun. Penyelam hanya menemukan kerangka dan aspal jalan
jembatan yang tenggelam ke dasar sungai. Diduga posisi kendaraan telah bergeser karena kuatnya
arus sungai.

Beberapa penyelam tradisional yang terbiasa menyelam untuk menambang pasir ikut membantu
proses evakuasi. Mereka memiliki kemampuan menyelam hingga kedalam 100 meter di hulu
perairan Sungai Mahakam. Namun mereka mengaku kesulitan menyelam di bawah jembatan karena
adanya pusaran air yang berpindah-pindah

Arfan menyaksikan gambaran masa lalu. Tubuhnya seperti melayang di dalam Sungai Mahakam.
Arus air sungai melewatinya. Tubuhnya tidak hanyut dalam arus sungai. Cahaya matahari hanya
dapat menembus permukaan sungai di atas kepalanya. Selebihnya hitam pekat. Dasar sungai di
bawahnya lebih gelap lagi.

Ia mendekati sosok yang tengah berenang ke dalam dasar sungai. Gelembung udara melayang
keluar dari alat bantu napasnya. Di kedalaman tiga puluh meter arus sungai semakin deras. Tubuh
penyelam itu seperti melambai-lambai melawan arus sungai. Penyelam semakin masuk ke dasar
sungai.

Senter kedap air yang dibawanya hanya dapat menjangkau jarak lima meter di depannya,
selebihnya gelap. Gelap pekat.
Tubuh penyelam itu semakin cepat berenang untuk mengimbangi arus sungai. Beberapa kali
berputar-putar untuk mencapai dasar sungai. Lapisan lumpur kehitaman melayang-layang di dasar
sungai. Seperti debu kehitaman yang menutupi bumi purba.

Sorot lampu bergerak-gerak mencari tanda-tanda jejak kehidupan. Tidak jauh dari posisi
penyelam, sorot lampunya menubruk objek yang sangat dikenalnya. Kerangka jembatan yang telah
patah terlihat miring, sampah-sampah tersangkut di sana. Cahaya lampu penyelam menyorot aspal
badan jalan yang patah. Marka jalan berwarna putih melintang memanjang di tengahnya. Penyelam
itu berputar-putar di sekitar patahan jembatan yang berada di dasar sungai. Ia sepertinya mencari-
cari benda lain. Penyelam itu semakin jauh berenang dari puing-puing jembatan.

Arfan melayang mendekat agar tidak kehilangan sosok penyelam itu. Jarak pandang di dasar
sungai nol. Ia berusaha agar berada tidak jauh dari penyelam. Karena satu-satunya cahaya datang
dari senter kedap air yang dibawa penyelam itu.

Tiba-tiba tubuh penyelam itu seperti terseret sesuatu. Tali yang mengikat tubuhnya semakin
menegang. Sesekali penyelam itu diam, mengikuti arus sambil menghemat udara di dalam tangki
oksigen. Seperti ikan hias yang berenang di dalam akuarium, tampak melayang malas namun
mendadak bergerak gesit.

Penyelam itu berenang lagi, berusaha keluar dari arus pusaran air yang besar.

Langit di atas kepala Arfan semakin gelap. Entah karena mendung atau hari sudah mulai gelap.
Dari dalam sungai, tidak dapat mengetahui apa yang terjadi di atas permukaan. Semakin lama
perasaan Arfan tidak makin nyaman. Meski hanya gambaran masa lalu, namun kejadian di depannya
itu terlihat sangat nyata.

Rasa takut mulai menjalari tengkuknya. Kegelapan yang mengepungnya tidak biasa. Seperti
banyak puluhan bayangan yang menari-nari dalam kegelapan dasar sungai.

Tubuh penyelam semakin terlihat lemah. Tubuhnya makin terseret pusaran air. Tersedot ke dasar
sungai yang paling dalam. Bahkan untuk menghindari kerangka jembatan yang berada di kedalaman
sungai. Arus sungai menghempas tubuhnya hingga menabrak kerangka jembatan. Sampah-sampah
yang melayang di dasar sungai menubruknya satu per satu. Tubuhnya meronta-ronta menahan sakit
di bahunya akibat tabrakan. Gelembung-gelembung udara semakin banyak berhamburan keluar, lalu
pecah di sekelilingnya.
Arfan nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bayangan-bayangan hitam yang dilihatnya
tadi makin terlihat jelas. Pakaian mereka yang koyak seperti bendera usang melambai-lambai di
dalam arus sungai. Ratusan sosok hitam berbentuk tubuh manusia bergerak mengelilingi penyelam.
Tangan-tangan mereka yang kurus kering terjulur ke tubuh penyelam dan mulai menariknya ke dasar
sungai. Menariknya makin dalam.

Penyelam itu berusaha melepas puluhan tangan yang menyeretnya ke dasar sungai. Sabuk yang
terikat dengan tambang baja mulai robek, kemudian putus.

Tangan-tangan kurus yang memegangi tubuh penyelam itu makin ganas. Mereka mencakar-cakar
tubuh penyelam agar tubuhnya semakin cepat tenggelam ke dasar sungai.

Senter yang bergelantungan di pinggang si penyelam masih menerangi sekeliling tubuhnya.


Memberikan gambaran detik-detik kematiannya.

Memperlihatkan kengerian maut kepada Arfan yang tidak dapat berbuat apa-apa.

Pakaian si penyelam koyak. Darah melayang keluar dari luka cakar di sekujur tubuhnya. Tubuhnya
masih meronta-ronta berusaha melepas cengkeraman puluhan jemari kurus kering yang mencabik-
cabik tubuhnya.

Benarkah mereka hantu para korban yang tewas?

Kenapa mereka berbuat sekejam itu?

Arfan masih sulit mempercayai apa yang dilihatnya. Ia makin syok ketika melihat sebuah lubang
besar di dasar Sungai Mahakam. Lubang berdiameter besar itu berpusar di lapisan lumpur terdalam.

Arfan menduga lubang besar itu mungkin tercipta dari pusaran air besar yang menyeret tubuh
penyelam itu. Ia makin tak percaya ketika makhluk lain keluar dari dalam lubang hitam itu. Jumlah
makhluk itu sekitar puluhan ekor. Tubuh mereka seperti belut listrik raksasa.
Namun dugaannya salah.

Belut-belut raksasa yang keluar itu ternyata sebuah tentakel yang keluar dari seekor gurita besar.
Pusaran air tercipta dari lubang pernapasan gurita itu. Sebagian tubuhnya terbenam lumpur.

Arfan tidak pernah melihat gurita dengan bentuk tubuh seperti itu. Apakah ini spesies baru?
Tubuhnya tidak seperti gurita pada umumnya. Tubuhnya pipih mirip kura-kura. Puluhan tentakel
keluar dari ujung mulutnya. Jenis apapun itu, gurita itu hendak menelan tubuh si penyelam bulat-
bulat …

Kenapa hewan mengerikan ini bisa masuk ke sungai?

Sungai Mahakam adalah sungai terbesar di Kalimantan Timur. Panjangnya sekitar sembilan ratus
kilometer dan lebarnya sekitar lima ratus meter. Melintasi Kabupaten Kutai Barat di hulu hingga
Samarinda di hilir.

Bisa saja gurita raksasa itu masuk dari Laut Sulawesi?

Atau hanya makhluk jejadian?

Bayangan puluhan hantu lenyap. Jasad mereka telah menjadi santapan makhluk penghuni Sungai
Mahakam. Tentakelnya yang besar mampu menyeret bangkai kendaraan hingga puluhan meter. Itu
sebabnya posisi bangkai kendaraan berpindah-pindah di dalam dasar sungai. Perangkat sonar tidak
dapat mendeteksi keberadaan hewan raksasa itu karena tubuhnya bersembunyi di dasar sungai yang
berlumpur tebal.

Sebuah mata besar terbuka. Cahaya lampu senter menarik perhatian hewan raksasa itu. Selaput
matanya yang putih mengilap terkena sorotan cahaya senter kedap air. Tubuh penyelam masuk ke
mulutnya yang besar bersama senter yang masih melekat di tubuhnya. Ketika matanya yang
memantulkan cahaya menutup, Arfan kembali dikepung kegelapan.

Tubuh Arfan kembali masuk ke pusaran udara hampa. Napasnya tercekat di kerongkongan justru
ketika ia sudah berada di luar permukaan sungai. Ia kembali berhadapan dengan hantu penyelam
itu. Penyelam yang tewas ditelan hewan raksasa di dasar Sungai Mahakam. Penyelam malang itu …
Arfan mengatasi napasnya yang masih tersengal lalu berkata, “Aku akan berusaha menyampaikan
liontin ini kepada istrimu.”

“Terima kasih banyak teman.” Tubuh penyelam itu mengerut. Daging-daging di tubuhnya meleleh.
Pakaian selamnya mengempis. Tabung dan kaca mata selam jatuh di aspal jembatan. Air keruh
mengalir keluar dari pakaian penyelam. Mengalir ke tepi jembatan kemudian jatuh ke Sungai
Mahakam.

Arfan menggenggam erat liontin itu. Ia sangat mengerti perasaan penyelam itu dan istri yang
ditinggalkannya. Ia masih beruntung karena memiliki nyawa dan kesempatan untuk menyelamatkan
istrinya.

Namun benarkah ia masih bernyawa meskipun berada di atas jembatan berhantu itu.

Ia mulai menyadarinya.

Apakah aku masih bernyawa?

Apakah aku masih bisa menyelamatkan istriku?

Bab 10 Cermin Kusam

JEMBATAN kembali berderak-derak keras. Besi penopang kerangka jembatan satu per satu
berjatuhan. Menimpa kendaraan yang berada di bawahnya. Bunyi berdebum keras memekakkan
gendang telinga.

Arfan menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya sembari berlindung di bawah kolong
truk. Ia menunggu keadaan kembali aman seperti semula.

Badan jembatan makin bergerak miring. Sekarang kemiringan sudah mencapai enam puluh derajat
… lebih.
Bangkai kendaraan perlahan terperosok. Sebagian tertahan pagar jembatan. Sebagian yang lain
jatuh tercebur ke dalam Sungai Mahakam. Pagar besi yang tidak mampu menahan beban kendaraan
terlepas dari beton di pinggir jembatan.

Setelah jembatan tidak bergerak lagi, Arfan merayap perlahan keluar dari bawah bangkai truk. Ia
hendak melanjutkan perjalanan ketika sosok >mirip dirinya berdiri di tengah jembatan. Tubuhnya
basah kuyup dari ujung rambut sampai ujung kaki. Air menetes dari tubuhnya.

Arfan tidak mengerti apa yang telah terjadi. “Siapa kau?”

“Kau yang siapa?” timpal sosok gelap itu.

“Tolong jangan halangi jalanku. Aku terburu-buru!”

“Tempatmu bukan di sini!! Kembalilah selagi bisa!”

“Aku mencari istriku. Apa yang kau lakukan di sini?”

“Biarkan istrimu tenang di alam sana. Jangan mengusiknya.”

Arfan kehilangan kesabaran. Ia meraih potongan pagar besi jembatan yang tergeletak tidak jauh di
sampingnya. Kemudian melangkah maju mendekati sosok itu. Ia tidak berharap menggunakan
potongan besi itu. Ia hanya hendak mengancam hantu di depannya agar pergi dari hadapannya.

“Apa yang akan kau lakukan dengan besi itu? Membunuh dirimu sendiri, hah?”

“Kau jangan berpura-pura menjadi diriku!!”

“Aku adalah dirimu yang sekarang. Kau jangan menipu dirimu sendiri.”
“Kau yang penipu!! Tolong minggir dan masalah ini akan segera selesai?”

“Hah, selesai katamu?” Sosok yang mirip Arfan melangkah maju. Tidak tersirat ketakutan sama
sekali di wajahnya. “Sentuhlah tanganku dan lihatlah apa yang terjadi sebenarnya ….”

Keraguan meliputi benak Arfan. Sosok mirip dirinya mengangsurkan tangan ke arahnya.
“Sentuhlah tanganku dan kau akan mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.”

Apakah ini jebakan lain?

Apakah hantu ini menyamar memakai wajahku?

Arfan berusaha percaya. Perlahan ia menyentuh tangan sosok gelao itu.

Untuk kesekian kalinya tubuh Arfan tersedot udara hampa. Kegelapan menyelimuti dirinya.
Seberkas cahaya yang datang kali ini tidak begitu terang. Ia harus memicingkan mata agar dapat
melihat gambaran yang berada di depannya.

Arfan mengenali mobilnya. Lampu mobilnya menyorot kegelapan di puing-puing jembatan


Kartanegara yang telah ambruk. Ia melihat sosok dirinya berada di dalam mobil. Sama seperti
keadaannya di hari itu.

Mobil yang dikendarai Arfan bergerak perlahan ke bibir jembatan yang telah ambruk. Mobilnya
bergerak turun di badan jembatan yang melereng ke bawah. Menuju ke Sungai Mahakam yang
menenggelamkan badan jembatan. Ban roda mobilnya berdecit ketika ia menginjak rem. Mobilnya
berhenti dua meter dari permukaan sungai Mahakam yang mengalir deras.

Bayangan Arfan terlihat keluar dari dalam mobil itu. Ia melangkah menuju ke bawah badan
jembatan yang tenggelam. Ia terus melangkah ke dalam air. Perlahan air sungai mencapai
pinggangnya dan ia terus melangkah. Gerakannya mulai sedikit lamban dan ia berusaha keras
berjalan ketika air sudah mencapai dadanya.
Tunggu … apa yang terjadi kepadaku sebenarnya?

Benarkah yang kulihat ini nyata?

Benarkah yang kulihat itu diriku yang sebenarnya?

Arfan menyaksikan dirinya sendiri berjalan ke tengah jembatan yang tenggelam. Air sudah
mencapai lehernya kemudian tubuhnya lenyap tertelan air sungai.

Untuk beberapa lama tubuhnya tidak muncul ke permukaan. Seseorang yang berada tidak jauh
dari tempat itu menyadari sebuah mobil berada di badan jembatan yang ambruk. Ia memanggil
bantuan polisi menggunakan ponselnya. Berita orang yang melompat ke Sungai Mahakam tersebar.
Orang-orang mulai berkerumun berdatangan.

Tidak berapa lama tempat itu dipasangi garis polisi. Petugas polisi memeriksa kabin mobil Arfan.
Mereka memanggil tim SAR untuk melakukan pencarian atas seseorang yang diduga bunuh diri
dengan cara menenggelamkan diri ke Sungai Mahakam.

Tim SAR menyelam namun tidak menemukan apapun di sekitar jembatan. Lampu merkuri yang
dibawa di atas perahu karet tidak dapat membantu menemukan tubuh Arfan yang menghilang.
Tubuh Arfan seakan tertelan arus deras Sungai Mahakam.

Kau telah mati …

“Ya, kau telah mati ….”

Suara itu menyadarkan Arfan. Tubuhnya kembali berhadapan dengan sosok yang mirip dirinya. Ia
masih terlihat kebingungan.

“A-aku masih tidak mengerti ….” Arfan menurunkan tangannya yang lemas setelah melihat
gambaran kematiannya sendiri. Kematian yang misterius.

“Ini adalah alam lain. Dan kau bisa masuk ke sini karena kau telah mati!!”
“Kau jangan berbohong!! Aku melihatnya sendiri, jembatan ini muncul dari dalam kabut!! Dan …
dan aku melihat istriku….”

“Hahaha!! Kau benar-benar sudah sinting!!”

“Kalau aku berada di sini … lalu siapa kau sebenarnya?”

“Aku adalah gambaran arwahmu … kau mati tenggelam.”

“Tidak mungkin. Ini tidak mungkin.” Arfan menatap tubuhnya sendiri. Memeriksa keanehan yang
mungkin terlihat. Ia masih dapat merasakan detak nadinya. Tubuhnya tidak tembus pandang seperti
kisah-kisah hantu di film.

Apakah hantu-hantu itu harus selalu terlihat tembus panjang? Apakah hantu-hantu itu harus
seperti yang terlihat di film-film horor murahan?

Arfan masih tidak dapat percaya. “Aku bukan hantu dan masih waras!! Aku ingin bertemu
istriku!!”

“Jangan ganggu istrimu!! Istrimu telah mati tenggelam!!”

“Kau tidak berhak melarangku! Aku masih merasakan kehadiran istriku.”

“Istrimu tersiksa karena ulahmu sendiri. Egomu yang membuatmu datang ke mari. Egomu yang
hebat itu! Dasar egois!! Kau tidak dapat menerima kekalahan yang telah digariskan Tuhan. Istrimu
akan terus bergentayangan selama kau tidak ikhlas. Berhentilah bermimpi!! Kau tidak dapat
mengubah takdir Tuhan!!”

Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari kejauhan.

“Jangan dengarkan dia. Kemarilah sayang ….”


Arfan melihat istrinya berada pinggir jembatan. Di dekat pagar yang melengkung karena tertabrak
mobil. Sebuah mobil ringsek berada tidak jauh dari sosok istrinya. Mobil itu bukan mobil milik
istrinya.

Arfan melangkah melewati sosok yang mirip dirinya.

“Jangan!! Jangan mendekati iblis wanita itu!! Dia bukan istrimu!!”

“Ini urusanku.”

“Dia bukan istrimu….”

“Ah, minggir!!” Arfan mendorong sosok gelap mirip dirinya. Kemudian berlari mendekati istrinya.

Senyum merekah di wajah istrinya.

Akhirnya aku dapat bertemu denganmu …

Aku tidak akan meninggalkanmu lagi …

Tidak untuk yang kedua kalinya!

Kemudian bayangan masa silam itu mengusik kembali.

***

“Aku sudah lama tidak mengunjungi Ibu. Aku akan memberitahukan perihal kehamilanku.”

“Kita masih sibuk. Setidaknya setelah kita mengurus hasil panen ini.”
Istri Arfan berubah murung setelah mendengar kata-kata itu. Ia tidak menduga suaminya berkata
seperti itu.

“Hanya sebentar kan? Tidak sampai menginap?”

“Kalau kau mau pergi. Silahkan saja.”

“Baiklah. Cepat pulang ya, Mas?”

“Iya sayang.”

Sambungan ponsel itu berakhir. Istri Arfan memutuskan untuk mengunjungi orang tuanya
sendirian. Tepat di hari naas itu.

Sepulang dari kantor, Arfan tidak menemukan siapapun di rumahnya. Sampai kabar ambruknya
jembatan Kartanegara mengusiknya. Ia teringat istrinya hendak mengunjungi orang tuanya di
Tenggarong Seberang. Bayangannya segera menjadi mimpi buruk ketika tim SAR mengindentifiasi
mobil yang terperangkap di bawah kerangka jembatan itu adalah milik istrinya. Dari pelat nomor
diketahui nama pemilik mobil itu adalah istri Arfan.

Seandainya Arfan waktu itu ikut mengunjungi orang tua istrinya. Mereka pasti berada di dalam
mobil yang sama ketika jembatan Kartanegara ambruk.

Seharusnya diriku melindungi istriku …

Seharusnya aku bisa menyelamatkannya ...

Setelah Arfan mengetahui bahwa istrinya menjadi korban ambruknya jembatan Kartanegara ia
menjadi depresi. Apalagi tim SAR tidak berhasil menemukan jasad istrinya. Ia tidak bergairah lagi
menjalani hidup. Rasa sesal tidak membantunya.
“Tolong, jangan ikuti aku!!” seru Arfan sehabis dari kamar mandi. Di hari ketiga belas pasca
ambruknya jembatan Kartanegara jasad istrinya masih belum ditemukan. Ia membasuh wajahnya
setelah melihat sosok istrinya. Bayangan istrinya seperti mengikutinya dari ruang tamu ke kamar
mandi. Seandainya waktu itu ada racun serangga di sampingnya, ia pasti menenggaknya. Ia merasa
bersalah karena tidak mengindahkan keinginan istrinya untuk mengunjungi kedua orang tuanya.

Setelah istrinya menjadi korban musibah ambruknya jembatan Kartanegara, ia mengusir setiap
orang yang berkunjung ke rumahnya. Selama ini ia jarang bergaul dengan tetangganya. Sikap
tertutup kepada lingkungan sekitarnya membuatnya dijauhi dan itu memperparah rasa kesepiannya.
Sejak saat itu Arfan jarang pulang ke rumahnya yang tidak terurus. Tanaman bunga melati yang
ditanam istrinya terbengakalai. Kering dan mati.

Ia sudah tidak peduli.

Tujuannya hanya satu, yaitu bertemu dengan istrinya untuk menebus kesalahannya.

***

Arfan semakin mendekati istrinya. Ketika wajah istrinya tiba-tiba berubah menjadi wajah orang
lain.

“Siapa kau?!!” Arfan syok mengetahui wanita di depannya bukan istrinya.

“Aku korban jembatan ini dan tidak memiliki siapa-siapa!! Tidak ada orang yang menangisiku. Aku
melihat kau setiap hari melarung melati putih di atas Mahakam. Selama empat puluh hari. So sweet
… Kau masih merindukan wanita yang tidak kau ketahui nasibnya. Bahkan arwahnya saja tidak
merindukanmu.

Tapi aku ada di sini, sayang. Memandangimu setiap hari di atas sungai Mahakam. Akhirnya aku
sadar … ternyata aku telah jatuh cinta padamu!”

“Kau bukan istriku!!” sergah Arfan.

“Aku bisa menjadi kekasihmu!! Bahkan istrimu!! Temani aku!!”


Arfan hendak berbalik pergi ketika tangan wanita itu meraih pergelangan kakinya.

“Ikutlah bersamaku!! Tolong, aku sangat kesepian!”

Pegangan Arfan terlepas dari pagar besi.

Tubuh Arfan menghantam pagar besi sebelum terjatuh ke dalam arus deras Sungai Mahakam yang
bergolak. Tubuhnya timbul tenggelam di sungai Mahakam kemudian tidak muncul lagi ke
permukaan.

Tunggu... aku masih belum ingin mati sebelum bertemu dengan kekasihku... batin Arfan, sebelum
kegelapan dalam kepalanya menelan kesadarannya.

***

Keesokan harinya …

PRIA MISTERIUS MELOMPAT KE MAHAKAM

Jumat, 6 Januari 2012

KABAR MAHAKAM – Tenggarong, Saksi mata melihat sebuah mobil melaju perlahan pada petang
hari di jembatan Kartanegara yang ambruk. Saksi mata itu melihat pria itu turun dari mobilnya,
kemudian tanpa alasan jelas berlari ke badan jembatan yang jatuh ke dalam sungai Mahakam. Pria
itu menceburkan diri ke dalam arus sungai Mahakam dan tubuhnya tidak pernah muncul lagi.
Identitas pria itu masih belum diketahui. Namun dari nomor polisi di pelat mobilnya akhirnya
diketahui pria nekat itu bernama Arfan Harsah, 27 tahun berasal dari Tenggarong. Belakangan
diketahui pria itu sudah dikenal penduduk setempat karena sering mondar-mandir di taman di
sekitar puing jembatan Kartanegara.

Dari warga sekitar diketahui bahwa pria itu tengah depresi berat setelah kehilangan istrinya yang
tengah hamil muda. Istrinya termasuk korban yang jasadnya tidak ditemukan. Sampai berita ini
disampaikan, tim SAR masih berusaha keras mencari tubuh pria itu.


KORBAN KE 26 DITEMUKAN

Sabtu, 7 Januari 2012

KALTIM NEWS – Tenggarong, Tim SAR menemukan satu mayat lagi di dalam sebuah mobil yang
terjepit di bawah jembatan. Mayat wanita berusia 25 tahun bernama Sukma Narsita itu berhasil
dievakuasi pagi tadi. Dari KTP dan SIM yang ditemukan di tubuh korban diketahui bahwa ia berasal
dari Tenggarong. Dari pernyataan keluarga korban diketahui bahwa korban hendak melarikan diri
rumahnya karena memiliki masalah dengan orang tuanya.

Bab 11 Nyanyian Duyung

Senang ya...

BISIKAN lembut itu membangunkan Arfan. Ia membuka mata perlahan dan mendapati wajah
istrinya yang dihiasi senyum. Istrinya tengah berbaring di samping tubuhnya. Di luar, hari masih
terlalu pagi. Aroma bunga melati yang ditanam di luar jendela menguar ke dalam ruangan.
Menciptakan suasana romantis di pagi hari itu. Arfan seakan enggan untuk berangkat kerja. Dengan
penghasilannya sekarang ia bisa bersantai-santai. Kerja kerasnya sudah membuahkan hasil. Masa-
masa sulit membangun usaha dari nol telah dilewati. Namun, ia memiliki banyak impian dan rencana
untuk anak-anaknya kelak. Anak yang bahkan belum lahir ke dunia.

“Benarkah?” Arfan merengkuh istrinya ke dalam pelukannya.

Istrinya hanya mengangguk lalu berbaring di dadanya. Aroma tubuh istrinya yang mewangi
merasuk ke dalam ingatannya.

Senang yaa… Suara istrinya terdengar lirih. Tiba-tiba sosok istrinya melayang ke udara. Arfan
mengerutkan dahi. Ia berusaha meraih tangan istrinya. Tangan istrinya menggapai-gapai udara
kosong. Mulut istrinya menganga dan wajahnya tampak terkejut. Ruang kamar itu seakan berada di
luar angkasa. Tanpa gravitasi. Benda-benda melayang tanpa bobot. Termasuk tubuh Arfan. Ia
hendak menjangkau tangan istrinya namuan tak sampai.

Tubuh istrinya makin terbang tinggi ke atas udara. Lalu perlahan memudar di langit-langit
kamarnya yang gelap. Atap kamar rumahnya seakan telah sirna digantikan kegelapan yang lebih
gelap dari malam. Kenangan manis itu makin buram. Menjauh.
Tolong aku Mas… tolong… Suara itu terdengar makin menjauh.

Makin lama makin memudar. Hingga hanya terdengar sayup-sayup.

Kemudian suara itu digantikan suara lain. Suara-suara samar dan tergesa-gesa. Bunyi-bunyi lain
terdengar silih berganti. Debur air dan bunyi mesin motor timbul tenggelam. Suara-suara orang yang
bercakap-cakap dan memanggil-manggil.

Terseret kemudian lenyap kembali ke kegelapan.

Menyeret Arfan kembali ke kenyataan.

***

“Anda baik-baik saja?!”

Seruan itu menggema. Bagai terdengar dari dalam terowongan. Telinganya terasa panas karena
terisi air. Ia hendak menjawab seruan itu namun suaranya sekan tersumbat di tenggorokan. Ia
menyadari telah bangun dari mimpi indah ke mimpi buruk. Kenangan bersama istrinya di dalam
kamar beraroma melati itu hanya berasal dari ingatannya. Tidak lebih. Rasa sesal merayap di
dadanya. Entah kenapa air matanya bergulir. Ia menyalahkan dirinya seolah masih belum mampu
membahagiakan istrinya. Menyadari bahwa usaha selama ini sia-sia dan ia tak sanggup lagi
membangun apa yang telah dimulainya. Rasanya sulit memulai semua dari nol.

“Anda baik-baik saja?!!” seruan itu terdengar lagi.

“Ugh!!” Pria itu tersedak air sungai yang memenuhi tenggorokannya. Lehernya serasa kaku.
Tenggorokannya terasa panas. Ia terbatuk beberapa kali. Isi dalam perutnya seakan hendak keluar.
Ia berusaha mengumpulkan kesadaran.

Perlahan kesadaran pria itu pulih kembali. Lampu-lampu kecil dalam otaknya bagai menyala satu
per satu. Bunyi berdenging panjang terdengar dalam telinganya. Tidak lama kemudian, suara-suara
dari sekitarnya perlahan jelas terdengar. Bahunya terasa sakit ketika ia berusaha menggerakkan
lengannya. Ia menepuk-nepuk pelipisnya agar air keluar dari telinganya. Nyeri terasa menusuk-nusuk
di sekujur tubuhnya. Aroma amis darah yang tercecap di lidahnya membuatnya perutnya mual.
Bibirnya terluka akibat gigitannya sendiri ketika terseret arus sungai Mahakam.

“Anda tidak apa-apa?!” tanya penolongnya.

“Bahu saya seperti terbentur sesuatu….” Pria itu mengaduh. Ia memijit-mijit bahu dengan
jemarinya yang bebas.

“Nama Anda siapa?”

Pria itu berusaha mengingat-ingat. Matanya berkejap-kejap. “Namaku…?” Untuk beberapa saat
tampak linglung. Kemudian sinar matanya berbinar. “Arfan… Ya, Arfan Harsah… bisa periksa kartu
pengenal saya… Ke mana kalian akan membawa saya?”

“Tenang saja, Anda aman. Sekarang berada di atas perahu motor tim SAR.”

Arfan berusaha menggerakkan tangannya. Kedua kakinya masih terasa lumpuh. Setiap kali
mengerjapkan mata, butir-butir pasir masuk ke kelopak matanya. Rasa nyeri merayap ke belakang
kepalanya.

Arfan berusaha bangkit untuk duduk. Suara mengaduh terlontar dari bibirnya. Ia menyadari
dirinya berada di atas perahu motor. Suara mesin diesel berdengung di telinganya seperti bunyi
ratusan lebah. Pelipisnya masih berdenyut-denyut. Kepalanya terasa berat.

“Apa yang terjadi dengan saya?” tanya Arfan sembari memandang berkeliling.

“Anda beruntung. Sebuah keajaiban Anda masih selamat. Beberapa surat kabar lokal
mengabarkan kematian Anda. Di tajuk berita tertulis: Pria misterius melompat ke Mahakam.”
Anggota tim SAR itu menjelaskan sembari mengamati wajah Arfan.
Arfan mengamati seragam yang dipakai penolongnya. Pria itu memakai jaket. Di balik jaket itu
tampak seragam berwarna oranye bertuliskan BASARNAS. Pakaian yang dikenalinya sebagai seragam
anggota tim SAR.

Suara-suara radio dua arah handy talky terdengar dari sampingnya. Salah satu anggota SAR
berkomunikasi dengan rekan-rekannya. Memberitahukan posisinya. Namun, perahu motor itu
bergerak sendiri. Rupanya anggota SAR yang lain menyebar di anak-anak sungai Mahakam demi
mencari jenazah para korban yang tersisa.

Perahu motor itu melaju membelah sungai Mahakam. Perahu motor berusaha melawan arus
deras. Deru angin yang menerpa tubuh Arfan membuatnya menggigil.

Sungai Mahakam pada pagi hari itu tertutup kabut tipis. Langit berwarna kelabu. Di antara suara
terpaan angin, Arfan bagai mendengar nyanyian yang sangat dikenalnya. Suara yang sayup-sayup
terdengar dari kejauhan.

Suara merdu itu bagai nyanyian putri duyung. Ya, suara duyung yang hendak memikat pelaut
tersesat. Suara itu sekarang seperti berasal dari sungai Mahakam. Tapi Arfan tidak yakin ada putri
duyung di sungai Mahakam.

Kecuali jika ada lelembut yang menghuni sungai, ya penghuni sungai Mahakam.

Arfan makin jelas mendengar suara merdu itu…

Sepasang pengantin malam berkasih-kasihan

Di atas Mahakam bersanding mempelai rembulan

Keduanya tak terpisahkan oleh kematian

Setanggi wangi menebar kesturi

Seribu dayang menari empat puluh hari

Dalam tembang empat puluh malam

Batara Agung menikahkan keduanya

Pengantin menyampirkan selendang sepanjang Mahakam


Di sanalah, lelembut menghantarkan aji-ajian

Enam Enggang di ujung ranting pepohonan

Sebagai saksi pertemuan sepasang kekasih impian

Arfan teringat nyanyian istrinya dalam mimpinya. Syair yang terdengar sekarang lebih lengkap. Ia
memandang berkeliling, mencari-cari pertanda dari mana datangnya suara merdu itu. Ia juga
teringat kepada gambar yang ada didalam mimpinya.

“Maaf, bisa pinjam pensil dan kertasnya?” tanya Arfan. Ia tiba-tiba mendapat ide. Semangatnya
seolah muncul kembali. Harapan yang kembali muncul bagai lilin yang menyala dalam kegelapan
dalam pikirannya.

Seorang petugas tim SAR yang sudah selesai menandai lokasi di mana mereka berada. Lantas
memberikan pensil dan papan menulisnya kepada Arfan tanpa banyak bertanya.

Ingatan Arfan yang cukup bagus membuatnya bisa mereka ulang gambar yang ada dalam
mimpinya itu. Namun, ia masih tidak mengerti arti gambar dan angka-angka itu. Sampai ia melihat
peta yang berada di papan tim SAR. Peta yang digunakan tim SAR untuk memperluas pencarian
korban ambruknya jembatan Kartanegara di cabang-cabang anak Sungai Mahakam.

Di sana tergambar peta lokasi daerah-daerah di sepanjang sungai Mahakam lengkap dengan
nomornya. Lalu Arfan mencocokannya dengan gambar yang ada dalam mimpinya. Ia tidak
menemukan kesulitan ketika menggambar ingatan dalam mimpinya. Karena ia telah beberapa kali
bermimpi mengenai gambar itu.

Seluruh angka-angka di gambar ranting-ranting pohon itu menunjukkan daerah-daerah yang dilalui
anak-anak sungai Mahakam. Seperti yang berada di dalam peta.

Apakah ini sebuah petunjuk?

Lalu di mana tepatnya?

Arfan menuliskan lirik nyanyian yang sudah utuh itu. Ia berusaha mencari petunjuk lain yang dapat
membantunya lebih jauh mengetahui rahasia gambar itu. Makna di baris-baris awal syair itu sudah
cukup jelas. Ia lebih memerhatikan lirik berikutnya.
Lirik yang berbunyi :

Pengantin menyampirkan selendang sepanjang Mahakam

Di sanalah, lelembut menghantarkan aji-ajian

Enam Enggang di ujung ranting pepohonan

Sebagai saksi pertemuan sepasang kekasih impian

Roda-roda gigi dalam kepala Arfan berputar keras. Ia bergumam beberapa kali seolah berbicara
kepada dirinya sendiri. Sesekali sembari menggaruk-garuk kepalanya.

“Sepanjang Mahakam… di ujung ranting pepohonan… enam Enggang di ujung ranting


pepohonan.” Arfan mengulang kata-katanya. Tim SAR yang berada di dekatnya hanya dapat saling
pandang, tak mengerti apa yang diucapkan Arfan. Ia sepertinya mulai mengerti. “Sepanjang
Mahakam… enam….” Ia menelusuri coretan gambar ranting-ranting pepohonan yang menjadi simbol
sungai Mahakam. “Angka enam... jika dibandingkan dengan peta maka mewakili kecamatan Loa
Kulu….”

Ia tidak begitu yakin tapi setidaknya ia telah berusaha.

Bisa saja prediksinya meleset, tapi tidak ada salahnya mencoba.

Apa sampai sejauh itu istriku hanyut?

Kemudian ia teringat kepada potongan surat kabar. Di sana tertulis :

KORBAN KE-20 TERSERET SAMPAI LOA KULU

Kamis, 1 Desember 2011

KALTIM NEWS—Tenggarong, Korban ke-20 berhasil diidentifikasi di ruang jenazah RS Parikesit,


Tenggarong. Jenazah adalah salah satu karyawan yang tengah memperbaiki jembatan ketika
mendadak ambruk.
Jasad korban ditemukan di Loa Kulu, sekitar sepuluh kilometer dari tempat kejadian. Kondisi jasad
korban sudah membusuk dan sulit dikenali.

“Kalian sudah menyusuri Loa Kulu?” Arfan mengeraskan suaranya. Melawan derum mesin motor
dan deru angin terdengar di sekitarnya.

“Loa Kulu? … Loa Kulu sudah.”

“Sampai ujung? Perbatasan Loa Janan?” Arfan bersikeras.

“Belum … belum sejauh itu.”

“Bagaimana kalau kita ke sana? Ini masih pagi kan?”

“Kau kira ada korban lagi yang hanyut sampai Loa Kulu?”

“Tentu saja. Kenapa tidak? Kalau satu hanyut ke sana, yang lain juga.”

“Bisa saja. Mungkin… tapi….”

“Tapi apa?”

“Jasad mereka pasti akan sulit dikenali.”

Arfan terhenyak. Ia terdiam. Sudah empat puluh hari… Ia membenarkan kata-kata anggota tim
SAR itu. Jika ada korban yang hanyut sejauh itu, dapat dipastikan nasibnya seperti apa. Kondisinya
pasti sudah membusuk dan sulit dikenali. Apakah ia tahan melihat keadaan istrinya yang
mengenaskan? Istrinya yang selama ini dipujanya sebagai bunga melati putih? Apakah ia tahan
melihat sosok istrinya yang berubah menjadi mayat? Apakah ia tega melihat wajah cantik istrinya
berubah drastis menjadi buruk rupa? Kulitnya yang halus dan lembut menjadi berair dan
membusuk? Sosoknya yang anggun dan kokoh menjadi lemas tak berdaya? Tak bernyawa?

Sudah empat puluh hari … lebih


Dan jika istriku hanyut sampai sejauh itu … ia pasti sudah membusuk …

Apakah aku tegar melihatnya? Apakah aku bisa hidup dengan seonggok mayat?

Bab 12 Kenapa Menangis?

“Tapi, tidak ada salahnya jika kita ke Loa Kulu sekali lagi.”

UCAPAN anggota SAR itu membuat Arfan serasa memperoleh semangat baru. Perahu motor itu
berbalik menuju Loa Kulu. Mesin perahu motor meraung ketika membelah arus sungai Mahakam.

“Ya, harapan masih ada menemukan

Sepanjang perjalanan Arfan berdoa dalam hatinya agar dipertemukan dengan istri tercintanya.

Ya, Allah, jika aku harus berpisah selamanya dengan istriku, aku ikhlas

Tapi setidaknya ijinkan aku menguburkan jenazah istriku dengan layak

Sehingga aku bisa menabur melati putih di atas pusaranya

Dan menghantarkan jasadnya dengan doa-doa

Gerimis mulai turun. Suasana di sepanjang Sungai Mahakam sedikit temaram. Mendung yang
menggelayut di atas langit menebal. Angin makin kencang. Perahu motor itu meluncur di atas arus
sungai menuju Loa Kulu. Daerah Loa Kulu merupakan sentra perkebunan dan pertanian. Juga daerah
penghasill batu bara. Di sana terdapat bekas-bekas bangunan kerajaan Kutai Kartanegara. Hutan di
sekitar Loa Kulu terkenal keramat. Beberapa orang turis lokal dan asing sering tersesat. Orang-orang
yang pernah tersesat berhari-hari di dalam hutan keramat mengaku hanya sebentar berada di dalam
hutan.

“Kenapa Anda menangis?” tanya anggota tim SAR itu.

Arfan mengusap pipinya. “Ah, sudah mulai gerimis rupanya.” Ia tidak menjawab dan sengaja
mengalihkan pembicaraan.
Kemudian hujan turun. Perlahan makin deras. Tim SAR mengeluarkan tumpukan jas hujan dan
membaginya ke rekan mereka yang lain. Arfan juga menerima jas hujan.

“Kita kembali saja?” tanya Arfan. Ia tidak ingin membahayakan nyawa orang lain. “Dalam hujan
jarak pandang terbatas.”

“Kita berteduh di rumah penduduk saja. Sampai hujan reda.” Anggota tim SAR itu memperhatikan
keadaan Arfan. “Anda yang seharusnya istirahat.”

“Aku baik-baik saja. Kita lanjutkan saja pencariannya. Oke?”

Anggota tim SAR itu terdiam sejenak. Lalu ia mengangguk, “Oke.”

Perahu motor itu menepi di rumah yang terbuat dari kayu. Mereka melompat ke tepi Sungai
Mahakam kemudian mendekati salah satu rumah penduduk. Mereka meminta ijin untuk berteduh di
dalam rumah sampai hujan reda. Penghuni rumah adalah sepasang suami istri yang ramah dan
seorang anak mereka.

Sementara menunggu hujan reda mereka berbincang-bincang.

“Kami mencari korban jembatan Kartanegara,” ujar salah satu anggota SAR.

Pemilik rumah itu mengingat-ingat. “Dengar-dengar ada mayat mengapung di sekitar sini. Tapi,
setelah dicari warga, mayat itu tidak pernah ditemukan lagi. Katanya mayat itu menjadi hantu.
Karena setiap malam terdengar nyanyian-nyanyian menyeramkan dari dalam hutan.”

“Laki-laki atau perempuan?”

“Belum jelas laki-laki atau perempuan.”


“Siapa yang melihatnya pertama kali?”

“Anak saya. Kejadiannya sudah lama sekali. Bisa saja mayatnya sudah dimakan buaya atau ikan-
ikan sungai.”

“Bisa tunjukkan di mana anak Bapak melihatnya?”

“Nanti biar anak saya yang menunjukkan jalannya.”

Hujan masih belum reda. Namun Arfan bersikeras menuju ke tempat penemuan mayat yang
mengapung itu. Kebetulan anak pemilik rumah sedang berhujan-hujanan di luar. Jadi Arfan bersama
anak itu menerobos hujan.

Mereka menyusuri tepi sungai yang tertutup tumbuhan rawa. Kira-kira lima menit kemudian,
mereka sampai di tepi sungai yang lebih terbuka. Anak itu menunjuk ke kejauhan, ke tengah-tengah
sungai yang berada di seberang.

“Di sana … tubuhnya mengapung.” Tunjuk anak itu ke seberang sungai.

“Lalu … ke mana tubuhnya?”

Anak itu hanya mengangkat bahu dan menggelengkan kepala.

Arfan memandang ke dalam hutan. Ia seperti melihat sosok seseorang yang mengawasinya dari
jauh. Batang-batang pepohonan yang merapat dan semak belukar membuat hutan itu sedikit gelap.
Bayangan gelap itu bergerak cepat ke dalam hutan. Kali ini ia yakin melihat bayangan seseorang.

“Kau pulang ke rumah. Katakan kepada teman-temanku, kalau setengah jam aku tidak kembali.
Mereka jangan mencariku, ya?”

“Jangan mencari bagaimana? Anda mau ke mana?” Anak itu terlihat cemas.
“Kau pulang dan tolong katakan kepada mereka.”

Anak itu diam sejenak kemudian mengangguk. Tanpa banyak bertanya lagi, anak itu pulang ke
rumahnya. Sosok anak itu menghilang di balik pepohonan.

Arfan menyiapkan nyalinya kemudian masuk menerobos semak belukar di dalam hutan. Ia
mengawasi bayangan manusia yang bergerak-gerak di kejauhan. Duri-duri rotan menggores
lengannya, beberapa kali akar pepohonan menjegal kakinya, membuatnya terjatuh berkali-kali ke
karpet dedaunan yang sudah membusuk. Bau humus yang menutupi hutan hujan Kalimantan Timur
membuatnya mual. Dengan energi yang nyaris terkuras dan rasa nyeri di bahunya, ia memaksakan
diri untuk terus melangkah. Sepatunya berdecap-decap di atas lumpur. Ribuan nyamuk
mengerubungi wajahnya. Ia mengibas-ngibaskan tangan berusaha mengusir nyamuk-nyamuk itu
namun mereka terus mengikutinya.

Arfan sampai di area terbuka. Pepohonan sudah terlihat jarang. Di atas tanah berumput itu ia
melihat sebuah bangunan dari batu putih. Di depan bangunan itu terdapat kolam dan air mancur.
Tepat ketika ia hendak melangkah ia melihat sosok yang sangat dikenalnya.

Seakan tak percaya Arfan mematung di tempatnya. Penampilan istrinya sudah jauh berbeda,
terlihat lebih cantik. Tubuh istrinya terbalut pakaian adat Kalimantan Timur. Rambutnya tergelung
anggun. Istrinya tampak hendak turun mandi di kolam itu.

“Melati!!” jerit Arfan. Suaranya serak dan bergetar.

Wanita di depannya tidak mendengar suaranya.

Ketika Arfan hendak mendekati wanita itu, kepalanya dihantam dari belakang. Tubuh Arfan
ambruk ke tanah. Sesosok bayangan yang sedari tadi mengawasinya sudah berada di belakangnya.
Diam-diam orang itu mendekatinya dari belakang.

Di tangannya sebuah tongkat kayu berukir diayunkan ke udara.

Tanda kemenangan.

***
Arfan perlahan membuka mata. Ia melihat seberkas cahaya menyilaukan matanya. Ia memandang
berkeliling dan mendapati dirinya tengah berbaring di sebuah ranjang besar. Sebuah kelambu tebal
menutupi kanopi ranjang. Cahaya datang dari lampu minyak besar yang menempel di tembok.

“Kau sudah sadar?”

Ia mengenal suara itu. Ia menolah dan melihat wajah istri yang sangat dicintainya. “Aku berada di
mana? Kita berada di mana?”

“Mereka menolongku ketika hanyut di sungai Mahakam. Dan keajaiban juga yang telah membamu
ke mari. Sewaktu jembatan Mahakam runtuh, aku terapung dan terseret sungai Mahakam yang
membawaku jauh hingga kemari. Dan itu pulalah yang terjadi padamu.”

“Jadi, selama ini kau berhasil selamat?”

“Tubuhku nyaris tidak dapat digerakkan. Orang-orang pedalaman di tepian sungai Mahakam yang
merawatku. Beberapa orang berusaha menyelamatkanku.”

“Tapi mereka tidak menemukan ….”

“Shhh ….” Jemari istrinya menempel di mulut Arfan. Menyuruhnya agar diam.

“Kenapa mereka memukulku?” Arfan menyentuh belakang kepalanya yang nyeri.

“Mereka kira kau akan menyakitiku. Karena sebelumnya lelaki di sekitar sini banyak yang
memperebutkanku. Tapi, tentu saja aku menolak.”

“Kau menghilang selama empat puluh hari. Ke mana kau selama itu?”
“Tiga minggu lebih aku dirawat di sini. Berjalan pun masih tertatih-tatih.”

“Tapi mereka bisa meminta bantuan, kan?”

“Keluarga ini menyembunyikanku.”

“Jadi, seandainya aku tidak mencarimu ke Loa Kulu maka selamanya aku tidak akan pernah
menemukanmu?”

“Sebuah nyanyian yang menuntunku ke mari.”

“Nyanyian?”

“Ya, … lirik awalnya begini :

Sepasang pengantin malam berkasih-kasihan

Di atas Mahakam bersanding mempelai rembulan

Keduanya tak terpisahkan oleh kematian …

Arfan baru menyadari, suara yang didengarnya di atas Sungai Mahakam berbeda dengan suara
istrinya. Sama-sama merdu, tapi berbeda.

“Sebelumnya aku bermimpi mendengar nyanyian itu … suaranya mirip denganmu. Aku kira kau
yang bernyanyi. Aku juga mendengarnya. Nyanyian itu yang menuntunku ke mari.”

Keduanya tidak dapat berkata-kata lagi ketika saling berpelukan. Tangis bahagia tumpah dari mata
mereka. Haru namun bahagia. Untuk beberapa waktu mereka saling berkasih-kasihan dalam rindu.

***

Bunyi berkeresak membuat Arfan membuka mata. Tubuhnya bergoncang-goncang. Ia menyadari


dirinya tengah berada di atas tandu.
Di mana istriku?

Apa yang terjadi denganku?

Rasa nyeri menjalar di belakang kepalanya. Perutnya mengejang. Ia tidak dapat menggerakkan
kedua kakinya.

“Hei, apa yang terjadi?”

Anggota tim SAR yang menandunya menoleh ke arahnya. Wajahnya berbeda dengan tim SAR yang
kemarin menolongnya di Sungai Mahakam.

“Syukurlah Anda selamat.”

“Apa yang terjadi sebenarnya?”

“Anda kesasar di dalam hutan. Sudah tiga hari?”

“Tiga hari? Padahal aku baru saja berada di sini.”

“Lebih baik Anda istirahat. Tubuh Anda tergeletak di dalam jurang. Sebuah keajaiban Anda masih
hidup.”

Arfan tidak banyak bicara lagi. Ia tidak dapat menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Rasa letih
dan sakit membuatnya tertidur di atas tandu.

Beberapa menit kemudian, Arfan kembali terjaga. Ia berada di salah satu rumah warga di Loa Kulu.
Seorang pria paruh baya berpakaian rapi mendekatinya. Dari wajahnya ia seperti mengerti apa yang
telah terjadi kepadanya.

“Apa yang terjadi di hutan sana? Anda menghilang selama tiga hari.”
“Tiga hari? Saya rasa baru hari ini ….” Arfan mulai mengerti.

“Apa yang anda lihat?”

“Istri saya … ranjang berkelambu ….”

“Anda masuk ke hutan keramat … di sana terdapat pondok peristirahatan salah satu putri kerajaan
Kartanegara. Fondasi pondok yang megah itu masih ada. Tertutup semak belukar. Pemandian putri
kerajaan sudah kering, sudah jadi jurang.”

“Jadi siapa yang saya lihat tadi?”

“Itu memang istri Anda. Putri kerajaan yang kesepian sering mengundang gadis berparas cantik
untuk tinggal di pondoknya.”

Nyaris saja Arfan tidak percaya. Karena ia melihat dengan mata kepalanya sendiri.

“Apakah saya bisa menjemput kembali istri saya?”

“Gadis yang telah dipilih putri raja untuk tinggal di pondoknya, tidak akan bisa kembali lagi. Istri
Anda berada di sana selamanya ….”

“Selamanya?”

Pria kepala adat itu mengangguk pelan.

“Sebentar lagi perahu datang untuk menjemput Anda.”

Sebelum pergi, kepala adat itu ‘memandikan’ Arfan. Katanya agar pengaruh hutan keramat tidak
mengganggu jiwa Arfan. Air bermantra diusapkan ke dahi, kedua mata dan ubun-ubun kepalanya.
Kemudian tubuh Arfan dipindahkan ke tandu yang lebih besar. Beberapa petugas medis
membawanya ke atas kapal patroli.

Empat hari kemudian, luka yang diderita Arfan sudah membaik.

Kesedihannya sedikit berkurang mengetahui istrinya berada di tempat yang lebih baik. Ia berpikir,
mungkin sewaktu-waktu akan kembali ke hutan keramat itu. Mengunjungi istrinya yang cantik jelita
untuk beberapa hari di hutan keramat itu.

Ya, mungkin ia akan tinggal lebih lama di sana. Atau mungkin untuk selamanya?

Namun, beberapa hari kemudian kabar sesosok hantu yang bergentayangan di bekas ambruknya
jembatan Kartanegara kembali menyita perhatiannya.

Ia membutuhkan penunjuk arah. Walau harus mengikuti sesosok hantu sekalipun.

Bab 13 Lamia

WARGA di sekitar bekas jembatan Kartanegara masih mendengar suara-suara ramai di atas sungai
Mahakam. Suara jeritan, ratapan kesedihan dan suara meminta tolong atau memanggil-manggil
nama seseorang.

Banyak saksi mata yang melewati taman di sekitar bekas jembatan Kartanegara melihat sesosok
gadis yang hendak melompat ke Sungai Mahakam. Mereka menyangka seseorang hendak bunuh
diri, namun setelah di dekati sosok itu menghilang.

Akhirnya warga mengenali wajah hantu wanita itu mirip korban ke-26 yang jenazahnya ditemukan
di dalam mobilnya. Wanita bernama Sukma Narsita itu, yang sedang dalam pelarian ketika musibah
ambruknya jembatan Kartanegara merenggut nyawanya.
Sukma Narsita, atau Sukma, masih bergentayangan di sekitar jembatan Kartanegara. Merasa
kesepian dan merindukan seorang pria yang dapat menemaninya di dalam Sungai Mahakam yang
gelap dan dingin.

Seringkali warga sekitar masih mendengar jeritan dan tangisannya di tepian sungai Mahakam.
Hingga satu per satu warga mulai melihat adanya penampakan…

***

“A—ada hantu….!”

Anak berusia belasan tahun penjaja koran itu hendak mengucapkan kata-kata. Namun, suara yang
terlontar dari bibirnya tak lebih dari gumaman samar. Suaranya berat dan serak seakan
tenggorokannya tersumbat air. Petang itu, ia tidak dapat pulang ke kiosnya karena terjebak hujan
deras. Ia terlambat pulang karena deras hujan yang mengguyur di sekitar sungai Mahakam. Apalagi
sebagian koran rusak karena basah oleh air hujan, meski ia telah melindunginya dengan tas plastik.
Ia menjadi yatim piatu sejak kedua orang tuanya menjadi korban runtuhnya jembatan Kartanegara.
Apalagi ia tidak memiliki sanak keluarga lain. Nasibnya masih beruntung, karena seorang pemilik kios
memberinya pekerjaan dan tempat tinggal di kiosnya. Kini ia bekerja sebagai penjaja koran dan
tinggal di dalam kios. Selain mendapat tempat bernaung ia juga mendapat uang makan dari hasil
menjajakan koran.

Ia mulai dikenal sebagai penjaja koran di sekitar jembatan Mahakam. Teman-teman sekolahnya
sudah memaksanya untuk kembali bersekolah, namun ia menolak. Karena berasal dari keluarga yang
miskin ia terpaksa putus sekolah. Apalagi masih belum ada yang bersedia mengangkatnya sebagai
anak angkat.

Termasuk Arfan yang telah mengenalnya dengan baik.

Karena sama-sama bernasib sama; kehilangan seseorang yang dicinta. Arfan dan anak itu menjadi
sahabat akrab sejak lama. Arfan sering berbincang-bincang dengan anak itu di sekitar taman. Karena
nama anak itu yang terlalu panjang, Ardiansyah Putra, maka Arfan memanggilnya dengan nama
pendeknya, Ardi.
Namun di tengah hujan lebat itu hanya ada Ardi seorang diri.

Hujan yang telah berlangsung selama lebih dari tiga jam membuatnya menggigil. Angin kencang
yang menghempas air sungai Mahakam berdebur ke tepi sungai.

Ardi merasa kepalanya panas. Ia tak ingin sakit karena demam. Ia tidak boleh sakit, karena ia
sebatang kara. Pelipisnya terasa berdenyut-denyut. Hidungnya rasanya tersumbat. Pandangannya
mulai berkunang-kunang. Ditambah ia hanya makan sepotong roti sejak pagi tadi. Perutnya masih
kosong karena ia masih belum makan apa-apa.

Udara yang dingin membuat hidungnya berlendir. Di musim hujan kali ini wabah flu bisa dengan
cepat menyebar di seantero kota. Penyakit musiman yang diakibatkan musim hujan. Rasa demam
yang menyerangnya membuatnya mulai berhalusinasi. Di tengah deras hujan ia seperti mendengar
suara-suara memanggil-manggil. Ia memang sering mendengar desas-desus tentang hantu yang
menghuni puing-puing jembatan yang ambruk, namun belum pernah sekalipun melihatnya.
Setidaknya belum…. Sampai di petang hari itu.

Di tengah guyuran hujan yang lebat ia seperti melihat sosok putih yang melayang-layang di tengah
sungai Mahakam. Ia menggosok-gosok matanya sendiri dengan punggung tangan. Seperti tak
percaya dengan apa yang telah dilihatnya. Ia tengah berteduh di bawah pohon, namun tubuhnya
tetap basah kuyup oleh deras hujan.

Harusnya ia telah berada di kiosnya yang lebih hangat. Meski tidur beralas karpet kumal,
setidaknya ia tidak akan menggigil kedinginan seperti ini. Giginya bergemelutuk akibat tubuhnya
digigit dinginnya hujan. Tetesan hujan makin deras jatuh dari celah dedaunan pohon di atasnya.

Ardi memicingkan mata. Ia mengamati sosok yang melayang di atas sungai Mahakam. Sementara
air sungai Mahakam mulai meluap. Dengan cepat merayap ke menutupi tepi sungai yang dilewati
trotoar. Ia mengawasi keadaan sekitar, berusaha mencari pertolongan. Namun tidak ada seorang
pun di sana.

“Tolonggg!” serunya. Suaranya yang serak nyaris tak keluar.

Suaranya tenggelam dalam deras hujan.


Lapat-lapat Ardi mendengar bunyi tiang listrik yang dipukul dari kejauhan. Tanda akan terjadi
banjir di tempat itu.

Terdengar seruan dari berbagai arah. Disusul bunyi deru perahu motor yang terjebak arus
Mahakam.

Bayangan orang-orang yang memeriksa ketinggian air sungai Mahakam mulai nampak.

Ardi berusaha menggerakkan kakinya. Badannya yang menggigil membuat gerakannya lemah.
Tubuhnya serasa lemah.

“Heii, banjirr!!” terdengar seruan dari jauh.

Air sungai Mahakam bergolak. Anehnya sebuah pusaran terbentuk di tengah sungai Mahakam.
Berbagai benda yang hanyut timbul tenggal di permukaan sungai. Bunyi berdebuk nyaring terdengar
di tepi sungai. Seolah benda raksasa berusaha menghancurkan pagar beton di tepi sungai.

Ardi melihat sosok aneh yang membentur-bentur tepi sungai.

“Ya, Allah—Banjir!!” seruan lagi terdengar dari jauh.

Gelombang luapan air sungai Mahakam makin menguat. Menerjang berkali-kali tepian sungai.
Berbagai benda hanyut terbawa arus banjir yang menghantam taman di tepi sungai.

Ardi masih berdiri di bawah pohon. Air sungai akibat banjir perlahan merayap naik di atas mata
kakinya. Ia tidak dapat lari ke mana-mana karena di sekitarnya seolah menjadi lautan.

“Arrrdiii….”

Kemudian, ia seperti mendengar suara yang dikenalnya. Seperti suara ayah dan ibunya yang
memanggil-manggil. Ya, ayah dan ibunya yang telah tiada.
Ardi terkesiap. Tidak mungkin orang tuanya hidup lagi. Degupan jantungnya bertambah cepat.
Udara dingin menerpa kaosnya yang basah kuyup. Demam yang mulai merasuki tubuhnya mulai
membuatnya berhalusinasi. Ia melihat sesosok wanita berbadan ular yang melata dari tepi sungai
Mahakam!

Perutnya terasa mual. Pandangan tampak berkunang-kunang.

Sehabis itu gelap … hanya gelap yang diingatnya.

***

Ayah… aku kangen… kapan bisa ketemu Ibu?

Ardi membuka mata. Ia memandang berkeliling mencari suara itu. Ia seperti mendengar suara
ayah dan ibunya yang telah tiada. Di dalam deras hujan itu ia seperti mendengar suara orang tuanya.
Ia juga melihat sosok aneh yang tidak pernah dilihat sebelumnya.

Suara itu bergema berkali-kali dalam kepalanya yang berat. Namun, tidak ada suara lain selain
bunyi mesin mobil yang didengarnya. Ia juga mendengar suara-suara dari musik yang disetel di
dasbor mobil. Ia menyadari dirinya berada di jok belakang kabin mobil. Aroma pewangi di dalam
mobil mengingatkannya kembali.

Ardi merasakan kepalanya masih terasa berat. Sebuah bantal ditaruh di belakang lehernya. Ia
merasakan aroma minyak kayu putih yang tercium dari pelipisnya. Seseorang telah membawanya
yang pingsan ke dalam mobil. Kali ini ia masih beruntung!

“Syukurlah kau sudah sadar.” Suara itu begitu dikenal Ardi.

Seraut wajah pria dengan cambang muncul dari kursi depan. Ardi tak menyangka wajah yang
pertama kali dilihatnya adalah wajah pria kesepian itu. Sudah beberapa minggu ia tak melihat pria
itu lagi.
Arfan berusaha menampakkan senyum terbaiknya.

Ardi tak menyangka wajah yang pertama kali dilihatnya itu. Apalagi kabarnya pria itu telah tewas
dengan cara melompat ke sungai Mahakam! Nasibnya sama tragisnya seperti yang dialaminya.
Mereka sama-sama kehilangan orang yang disayangi. Karena itu di antara mereka telah terbentuk
tali persahabatan karena nasib yang nyaris serupa.

Ardi mengamati wajah Arfan yang terpantul di kaca spion. Kemudian ia memandang keadaan di
sekelilingnya. Mobil itu berada di dekat taman. Hari sudah larut malam. Cahaya dari lampu-lampu
taman tampak buram dilihat dari kaca mobil yang buram. Apalagi hujan masih turun berupa gerimis
tipis.

Arfan menyodorkan sebotol air mineral dan roti ke jok belakang.

Ketika menggerakkan tangan untuk meraihnya, Ardi masih merasakan rasa nyeri. Rasa nyeri akibat
flu yang telah menjangkitinya. Rasa lelahnya yang membuatnya rentan terjangkit penyakit.
Seharusnya ia masih bersekolah di kelas dua SMP. Namun, semenjak kehilangan kedua orang tuanya
ia tidak lagi masuk sekolah. Selain malu karena telah menjadi yatim piatu, ia tidak lagi bisa kembali
ke rumahnya karena tidak ada seorang pun di sana. Kedua orang tuanya adalah pedagang buah

“Sudah berapa lama?” tanya Ardi dengan suara serak.

“Hah? Kau sudah pingsan beberapa jam. Untungnya aku kemari karena mendengar kabar
penampakan sosok aneh di sungai Mahakam.” Arfan kembali menoleh ke arah Ardi. “Kau basah
kuyup. Aku membawa baju di jok belakang. Untuk sementara kau memakai bajuku. Nanti kita beli
yang baju baru.”

“Ayahku… dan ibuku… aku seperti mendengar suara mereka….” Ardi seperti tidak mengindahkan
saran dari Arfan. Pikirannya berada di tempat lain.

Arfan terdiam sejenak. Lalu ia berkata, “Bukan hanya kamu yang mendengar suara-suara itu… aku
juga mendengarnya….”
“Aku juga melihat sosok aneh… perempuan berbadan….” Ardi hendak berkata-kata, namun Arfan
segera memotongnya.

“Makan dulu rotimu. Kau harus sehat untuk dapat menjelaskannya kepadaku.”

Ardi menyadari bahwa sedari tadi ia memegang roti. Ia segera memakannya dengan lahap. Lalu
meminum air mineral.

“Sekarang kau tak perlu jualan koran lagi…. Kau bisa tinggal bersamaku.” Arfan berkata sembari
mengamati Ardi yang telah melahap rotinya.

“Ta—tapi, aku tak mau merepotkan siapapun.” Suara Ardi terhalang roti yang sedang dikunyah
dalam mulutnya.

“Sebagai gantinya. Kau harus menjelaskan apa yang kau lihat. Sehingga aku bisa menyelidikinya.”

“Entah apa yang kulihat itu nyata atau tidak… tapi, aku berharap tidak melihatnya lagi untuk kedua
kali.”

“Yah, kita lihat saja nanti. Hantu atau bukan… aku rasa bisa menjadi petunjuk penghuni sungai
Mahakam yang telah merenggut orang-orang yang kita sayangi.”

Kemudian tak ada yang bersuara. Keduanya seperti berada dalam pikiran masing-masing.

Makhluk apa yang sebenarnya dilihat anak itu ketika sungai Mahakam meluap?

Arfan hanya dapat bertanya-tanya dalam batinnya.

Bab 14 Makhluk Misterius

Tiga hari setelah sungai Mahakam meluap oleh hujan deras


LUAPAN sungai Mahakam telah membuat jalur transportasi air dan darat menjadi terganggu.
Namun beberapa hari kemudian, perahu-perahu motor mulai kembali beraktivitas. Mengantar para
penumpang; anak-anak sekolah, orang-orang tua maupun muda yang hendak pergi menyeberang
dan pedagang. Jalur transportasi dan perdagangan mulai pulih. Perahu-perahu yang ditambat mulai
melepas tali tambatan, para penumpang naik turun dari perahu. Lumpur dan sampah akibat sungai
Mahakam yang meluap perlahan mulai dibersihkan dari tepi sungai. Satuan petugas bergotong
royong bersama warga turun ke sungai untuk membersihkan sampah. Walau mendung masih
menggelayut di sudut langit, para warga tampak bersemangat bergotong-royong.

Di tengah sungai Mahakam. Sebuah speed boat melaju membelah arus sungai. Di dalamnya ada
beberapa penumpangnya. Badan perahu mengilap tertimpa cahaya mentari yang menyembul dari
balik mendung. Struktur perahu yang aerodinamis ditambah mesin berkekuatan jet menyebabkan
perahu boat itu melaju dengan kecepatan tinggi. Namun, setelah melewati jalur yang dipenuhi
benda-benda yang hanyut termasuk log-log kayu. Speed boat itu mulai menurunkan kecepatannya,
melambat. Jalur anak sungai Mahakam yang semula berbahaya untuk dilewati kini dapat dengan
mudah dilalui. Batang-batang kayu yang dihanyutkan banjir mulai dikumpulkan oleh petugas
gabungan Kutai Kartanegara.

Kaca jendela kaca speed boat bergetar oleh mesin jet yang meraung. Butir gerimis bagai kristal es.
Menumbuk kaca jendela perahu yang bergerak cepat. Lapisan embun membuat buram kaca jendela
perahu. Sebuah telapak tangan berukuran besar dengan cincin emas yang bertahtahkan batu akik
bergerak menyingkirkan lapisan embun di kaca jendela itu. Salah seorang pria dengan rahang kokoh
menerawang jauh ke aliran sungai Mahakam. Dalam kepalanya yang ditumbuhi rambut yang
dipotong cepak banyak hal yang dipikirkan.

Namun, pandangannya tertumbuk pada sosok putih itu. Sosok seperti manusia itu bagai berenang
di deras sungai Mahakam. Kemudian sosok manusia itu keluar dari dalam permukaan air sungai yang
keruh kecoklatan.

Pria itu tidak percaya ketika melihat sosok itu berjalan di atas permukaan air sungai Mahakam!
Seperti tak memiliki bobot tubuh, sosok itu dengan mudah melangkah di atas air.

Pria itu mengerjap-ngerjapkan mata, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Sosok itu melangkah berlawanan arah dengan perahu boat. Jarak perahu dan sosok misterius itu
makin mendekat. Makin dekat dan makin dekat. Hingga perahu boat itu seakan hendak menabrak
perempuan itu. Pria itu sudah menyangka perahu akan menabrak sosok perempuan itu, namun,
sosok perempuan misterius yang berjalan di atas air itu hanya melewati perahu boat. Ya, tepat di sisi
perahu!

Ketika sosok perempuan itu lewat di samping perahu, wajahnya menoleh tepat ke arah perahu.
Seakan ia mengetahui siapa yang berada di dalam perahu itu. Entah kenapa pria itu bergidik ngeri
melihat tatapan mata sosok perempuan itu.

Pria itu makin yakin melihat sosok seorang perempuan yang melangkah di atas air. Ia sampai
menggeser posisi duduknya. Batang hidungnya nyaris bersentuhan dengan kaca jendela. Sosok
perempuan itu tak dapat dilihat lagi karena terhalang jendela kabin perahu.

“Maaf, Pak. Anda mendengar penjelasan saya barusan?” Suara itu terdengar penuh penekanan.
Rekan pria itu menyeret dengan paksa temannya yang duduk di dekat jendela kabin perahu.

Temannya nampak sedang melamun menatap keluar jendela.

“Hah? Ah, iya. Sebentar….” Pria itu memeriksa jendela kaca di buritan kapal. Namun ia sudah tidak
melihat sosok perempuan itu lagi. Tiba-tiba bulu kuduk pria itu meremang. Justru keadaannya makin
mengerikan setelah sosok itu tiba-tiba lenyap!

Siapa perempuan itu? Kemana perginya? Batin pria itu. Dahinya dibasahi keringat dingin. Pria itu
meraih meraih sekotak rokok dan mengeluarkannya sebatang. Jemarinya tampak gemetaran.

“Api?”

“Ya….”

Rekannya menyalakan korek api dan menyulut batang rokok pria itu. Asap rokok terhembus dari
bibir pria itu. Jemarinya masih nampak bergetar.

“Anda tampak cemas… ada apa?” tanya rekan pria itu menyadari gelagat tak biasa.
Pria itu terdiam. Beberapa kali menghembuskan asap rokok. Kemudian menjawab dengan suara
serak. “Tidak ada apa-apa….”

“Ya, Anda memang tak perlu cemas. Beberapa penyelam adalah tim kita. Mereka sudah
mengamankan barang bukti. Tak perlu khawatir.”

“Tak perlu cemas gimana… cepat atau lambat mereka akan menemukannya.”

Rekan pria itu terdiam. Nampak berpikir keras menemukan kata-kata yang tepat. “Dengar… tadi
kan saya sudah menjelaskan. Kalau ambruknya jembatan Kartanegara itu bukan sepenuhnya salah
Anda….”

Pria itu masih terdiam sembari menuntaskan rokoknya.

“Tadi kan saya sudah membeberkan cara agar bisa terlepas dari tuduhan korupsi… bahwa
sebagian ini adalah salah rekanan Anda….”

“Ya—ya…. Pokoknya saya akan bayar penuh kalau kasus ini bisa tuntas.”

Keduanya kembali terdiam.

Rokok pria itu sudah habis dan ia menyulut sebatang rokok yang lain. Ia nampak tak sabar untuk
menghabiskan batang rokoknya. Kali ini tak nampak sedang menikmati rokok namun hanya sebagai
pengalihan dari rasa cemasnya semata.

Mendung di atas langit mulai menebal. Rumah-rumah penduduk di sepanjang sungai Mahakam
tampak bagai bayangan kelabu. Mendung yang menggelayut membuat suasana menjadi lebih gelap
dari biasanya. Mendung menutupi cahaya mentari yang tampak bagai lampu raksasa yang tertutup
asap kelabu di atas langit.
Kawasan yang dilewati tampak bagai miniatur yang tertata di pinggir sungai. Pendaran cahaya-
cahaya lampu yang mulai dinyalakan tampak bagai kunang-kunang di sepanjang sungai Mahakam.

Kenyamanan dalam kabin mewah itu tidak membantu menghilangkan beban berat di pundak
kedua pria itu. Rasa lelah menghantam belakang kepala mereka. Nyaris melontarkan seluruh isi
dalam kepala mereka. Jika rencana mereka tidak berjalan dengan baik maka akibatnya seperti rantai
yang terputus. Satu dengan yang lainnya tak dapat lagi saling menolong kecuali diri mereka sendiri.

Kemeja putih bergaris yang dikenakan rekan pria itu juga nampak basah oleh keringat dingin.
Punggungnya terasa lengket dan lembab. Udara di dalam kabin speed boat itu seperti kekurangan
oksigen. Terasa gerah. Bukan karena AC yang sedari tadi tak dinyalakan, namun karena suasana
tegang yang menggelayut di dalamnya. Suasana tegang yang tercipta dari rasa cemas yang
berlebihan.

Pria itu berusaha agar tidak terlalu cemas dengan kasus yang dihadapinya. Namun ketika melihat
sosok perempuan misterius itu, perasaannya menjadi tak nyaman. Apalagi sejak ambruknya
jembatan Kartanegara ia mulai dihantui mimpi buruk. Apalagi banyak keluarga korban yang
mengadu padanya. Mereka memprotes pembangunan konstruksi jembatan yang tidak sesuai
anggaran pembangunan jembatan.

Tiba-tiba udara makin dingin. Pria itu membetulkan letak jaket kulitnya. Menutupi kemeja yang di
baliknya. Kemeja yang telah basah oleh keringat dingin. Entah kenapa tiba-tiba tubuhnya menggigil.
Jaket tebal yang dikenakannya nyaris tak membantu.

“Sial! Gak becus!!“ Gumam pria itu. Entah ditujukan kepada siapa.

Rekan di sampingnya tidak mendengar gumaman itu. Jika ia mendengarnya pun ia akan
kebingungan dengan sikap temannya itu.

Pria disampingnya nampak sibuk dengan jaket yang dikenakan. Ia mencoba untuk mencari posisi
yang nyaman untuk membaringkan tubuhnya. Jaket kulit yang dikenakan terasa makin membuatnya
sesak napas. Jaket itu tanpa disadari kini berbalik menjadi musuh yang mencekik lehernya, apalagi
setelah melihat perempuan misterius itu,dirinya semakin merasa tidak nyaman.
“Masih belum terlambat jika tim kita bisa mengambil barang bukti itu. Ya, sebelum tim lain
menemukannya. Anda bisa lebih tenang karena barang bukti sudah bisa kita amankan.” Rekan pria
itu berusaha mencairkan suasana.

“Mana? Aku masih belum menerima laporannya!” pria itu nyaris berseru.

“Tadi kan sudah saya jelaskan. Kami masih mencari waktu untuk dapat mengangkat benda-benda
itu dari dalam sungai. Kemarin kami ikut sibuk mengevakuasi mobil dan para korban.”

Pria berjaket itu berkata sembari merapikan jaketnya. Suaranya terdengar berat. “Posisi Anda
dipertaruhkan kali ini.”

Di dalam kepalanya masih tergambar jelas konstruksi jembatan yang ambruk. Ada banyak barang
yang jatuh ke dalam sungai termasuk besi-besi yang tidak layak pakai. Jika bahan besi-besi itu
ditemukan oleh tim dari Polisi maka habislah riwayatnya. Di sisi lain ia juga dihantui oleh foto-foto
para korban tenggelam yang ditemukan sudah dalam keadaan menjadi mayat.

“Sebentar lagi kita akan menerima laporan dari tim penyelam. Apakah mereka bisa mengamankan
besi-besi itu.” Rekan pria itu merogoh ponselnya dan menghubungi tim yang telah bersiap
menyelam ke dalam sungai.

Pria itu tak lagi menggubris perkataan dari teman di sampingnya. Ia berusaha melempar jauh-jauh
perkataan yang dapat menghancurkan keputusannya Keputusan yang sering diucapkannya ketika
teringat dengan kejadian memalukan di sekolah itu.

“Tak bisa ditunda lagi. Kita sudah membuang banyak waktu. Dan aku sudah muak.” Pria itu
membuang muka.

“Anda harus bersabar karena pekerjaan mencari barang yang tenggelam di dalam sungai itu tidak
mudah. Ya, tak semudah yang Anda kira. Ini seperti mencari jarum di dalam tumpukan jemari.
Apalagi mengangkut barang berat ke atas permukaan sungai. Bahkan tim kami berusaha
memotongnya di dalam sungai. Kami tidak mengharapkan bantuan Anda. Apalagi, akibat musibah
kemarin. Tidak mudah menggerakkan orang sebanyak itu.” Rekan pria itu masih menempelkan
ponsel di daun telinganya. Tampaknya panggilannya tidak terjawab di sambungan ponsel yang lain.
“Kau harus menunjukkan padaku di mana saja posisi tim mu itu. Karena aku bisa mengawasi
mereka. Ini sudah molor dari jadwal. Dan polisi sudah mendapatkan barang bukti untuk
menuntutku!” Pria itu nampak tidak sabar.

Rekan pria itu kembali menekan tombol ponselnya. Ia masih berusaha mengontak tim yang lain.
“Kesabaran adalah kekuatan. Hal yang banyak dituntut dari orang dengan profesi sepertiku—dan
Anda. Ya, Anda pasti paham benar. Aku tidak mengganggapnya sebagai tanggung jawab lagi. Tapi,
hanya lebih sekedar profesi.”

“Dan…” Kata pria itu. Menatap lekat-lekat teman di sampingnya.

“Aku tak ingin mendengar keluhan lagi. Dalam krisis seperti ini jangan khawatir tidak menemukan
waktu yang tepat. Asalkan bayarannya tepat.”

“Keadaannya sudah jauh berbeda.” Pria berjaket kulit itu memelankan suaranya. “Anda lihat
sendiri. Jembatan itu ambruk dan banyak besi yang sudah dibawa oleh tim lain untuk diperiksa.”

“Penyelidikan masih berjalan. Seminggu ini saya yakin mereka akan ikut kita.”

“Cuaca kali ini tidak mudah ditebak. Tidak semudah yang timmu ramalkan.”

“Sudah berapa kali kita membahas ini.”

“Memang harus lebih sabar. Tidak minggu ini, tapi kami usahakan bulan ini.”

“Justru itu. Kuncinya adalah waktu. Saat semua tim dan orang sibuk dengan berita banjir ini
seharusnya kita mengambil kesempatan! Bukannya malah ikut-ikutan evakuasi! Emangnya itu duit
siapa? Percuma saja bicara panjang lebar. Perlu kuperjelas siapa yang mengambil keputusan disini.”
Pria itu mencodongkan tubuhnya dan setengah berbisik. Pandangan matanya tajam menusuk. “Jika
aku sendiri yang memimpin tim penyelam itu, tak perlu berhari-hari! Bahkan kalau perlu aku ikut
juga mengangkat besi-besi sialan itu! Tak perlu bantuan darimu! Bahkan tak perlu kau bicara ini-itu.”
Tak ada yang perlu dikatakan lagi. Kedua pria itu terdiam. Mereka merasakan speed boat mulai
berhenti. Tepat pukul tiga sore hari itu, speed boat itu bergabung dengan perahu-perahu dari tim
penyelam. Mereka sudah bersiap menyisir sungai Mahakam untuk sekian kalinya demi mengangkat
besi-besi rekontruksi yang mengakibatkan jembatan itu ambruk. Mereka telah memberitakan
operasi itu sebagai aksi untuk mencari sisa-sisa para korban yang masih hilang di dalam sungai. Atau
yang masih terjebak di dalam mobil di dalam sungai yang tertutup lumpur tebal.

Pria itu beranjak dari kursinya di dalam kabin perahu lalu melangkah ke haluan. Rekannya
mengikutinya dari belakang sembari menyodorkan teropong medan. Untuk kesekian kalinya cuaca
yang tidak mendukung pencarian. Namun pria itu masih bersikeras. Tak ada lagi jalan kembali. Tim
itu sudah berada di posisinya masing-masing.

Para penyelam satu persatu menceburkan diri ke dalam sungai Mahakam yang keruh. Mereka
terpaksa karena telah dibayar. Di tengah berita simpang-siur yang menyebutkan bahwa ada sosok
misterius yang keluar dari dalam sungai Mahakam ketika musibah itu terjadi. Kengerian di dalam
sungai Mahakam tidak lebih mengerikan dari tuntutan hidup yang memaksa mereka untuk
menyambung hidup. Ya, bahkan dengan menantang mara bahaya sekalipun.

Tak ada lagi jalan kembali. Cara satu-satunya adalah terus maju walau menerobos kegelapan di
dalam sungai Mahakam.

Jadwal hari itu sangat padat. Mereka mencoba menyelesaikan semua jadwal tepat waktu. Di
tengah cuaca mendung yang menambah suram suasana. Waktu tidak mudah untuk dijadikan teman.
Mereka terpaksa menggantungkan hidup kepada teman di sisinya.

Tidak ada yang menyadari bahwa sesosok makhluk juga tengah bergerak di dalam sungai. Makhluk
dengan tubuh yang aneh itu tengah mencari pendosa yang telah menyebabkan ambruknya
jembatan Kartanegara.

Bab 15 Kembalinya Sang Kekasih

“Ada yang mengikutiku.”


SUARA Arfan tenggelam dalam gemuruh hujan yang terperangkap di langit-langit rumahnya. Ia
mencoba kembali ke rumahnya yang telah sekian lama menjadi sarang bagi laba-laba. Namun
halusinasinya belum pulih benar. Sosok istrinya seakan mengikutinya di dalam rumah itu. Rumah
yang dibangun bersama istrinya dari nol itu menyimpan banyak kenangan.

Setelah berteman dengan Ardi, anak loper koran itu membuat Arfan menyadari sesuatu. Ya, Arfan
menyadari banyak orang di luar sana yang mengalami nasib yang bahkan lebih tragis darinya.
Termasuk anak itu, Ardi. Anak belasan tahun itu tak punya sanak famili. Apalagi orang tuanya telah
tiada dan rumahnya yang kumuh tak berharga. Apalagi para tetangganya pun tak memedulikannya.

Walau sekarang Ardi tinggal di rumah Arfan yang cukup mewah, tinggal di tempat yang segalanya
tersedia. Namun, tak dapat mengembalikan orang-orang tercinta mereka.

Langit-langit ruangan yang tinggi dan tembok tebal meredam guruh yang bersahutan-sahutan dari
luar. Sembilan menit lewat dari pukul lima sore. Mendung yang berkumpul dari sejak siang tengah
hari tadi mulai menutup langit di atas kota Samarinda. Langit lebih cepat menjadi gelap.

Badai bergerak dengan kecepatan enam puluh lima kilometer per jam telah melewati laut Pasifik.
Dan dengan cepat menuju ke kota Samarinda. Suhu udara turun tiga derajat. Perlahan-lahan aktifitas
dalam kota lumpuh. Jalanan mulai sepi di akhir sore itu. Isu banjir susulan mencekam seluruh sudut
kota.

Ribuan butir air hujan seakan ditembakkan dari langit. Membentur kaca jendela di tiap kamar
rumah Arfan. Embun tipis menutupi jendela berteralis di setiap sisinya.

“Ini pertanda buruk…,” ucap Arfan. Berkata kepada dirinya sendiri.

Ardi tidak mendengarkan dengan sungguh ucapan pria kesepian itu. Yang terdengar sayup-sayup
dari seberang ruangan. Jika ia mendengarnya—lebih baik, ia memilih mendengarkan gemuruh hujan.

Berlembar-lembar foto, potongan surat kabar dan kertas menumpuk di depan Arfan. Seakan
menyita seluruh inderanya. Jika sudah begitu, bahkan badai yang mengamuk sekalipun tidak akan
begitu dipedulikannya.
Ardi bertahan agar tidak mengganggu penolongnya itu. Ia tahu sejak kali pertama bertemu, pria
itu sudah berkesan agak aneh baginya. Setelah selesai bersih-bersih di dalam rumah, ia memilih
untuk beristirahat di atas sofa ruang tamu. Meski rumah itu masih belum bersih seluruhnya. Walau
letih namun kantuk masih belum juga datang, karena itu ia mengisi waktu luang dengan membaca
koleksi buku milik tuan rumah. Arfan dan istrinya menggemari cerita novel dan dongeng. Namun
yang dihadapi Arfan sekarang bukan sekedar cerita dongeng.

Arfan tengah mengamati lembar surat kabar yang mengabarkan bahwa beberapa tim penyelam
hilang di sungai Mahakam. Seperti cerita Ardi tentang makhluk perempuan separuh ular yang
dilihatnya. Setelah banjir besar dan luapan sungai Mahakam, sesosok makhluk misterius seakan
muncul dari dalam belantara hutan Kalimantan.

“Aku belum pernah bertemu yang seperti ini,” gumamnya kepada dirinya sendiri. Hampir semua
lembar surat kabar dan berita di internet dicetak olehnya. Namun sayang tak ada satupun yang
benar-benar dapat mengambil gambar sosok makhluk itu. Ditambah lagi adanya berita palsu dan
foto editan. Apalagi akibat luapan sungai Mahakam banyak sampah dan batang kayu yang hanyut.
Batang kayu yang hanyut bisa saja berbentuk makhluk yang berenang di sungai Mahakam. Yang
dipercaya oleh Arfan adalah cerita anak loper koran itu dan berita hilangnya tim penyelam.

“Sulit dipercaya… makhluk mitos ini benar-benar ada,” gumamnya lagi.

Arfan ingin cepat-cepat menyelesaikan membaca seluruh artikel yang dicetaknya sebelum lampu
padam akibat badai yang akan mengamuk. Sedari tadi dering ponsel mengganggunya. Ia tahu bahwa
teman-temannya mencemaskan dirinya, apalagi para wanita yang naksir kepadanya. Selama ini ia
bahkan tidak menyadari bahwa kisah dirinya dimuat di surat kabar lokal. Walau kebanyakan berita
itu mengabarkan pria kesepian yang telah kehilangan akal karena depresi setelah ditinggal istrinya
hingga memilih melompat ke dalam sungai Mahakam. Memang ada benarnya, walau ia tidak
sepenuhnya kehilangan akal. Ia mempercayai apa yang dialaminya. Walau hanya dirinya sendiri yang
melihat dan merasakannya.

Putri Melati, nama istrinya yang hilang dalam musibah ambruknya jembatan. Melati begitu
panggilan akrabnya. Ia mempunyai tubuh paling kurus, namun elok di antara wanita yang pernah
dikenalnya. Rambutnya hitam lurus sepinggang. Baju yang sering dikenakannya kebanyakan
berwarna putih. Karena ia menyukai warna putih. Walau santai namun sikapnya yang disiplin
membuat Arfan tergugah.

“Aku tau sekarang kau ada di sini…,” gumam Arfan lagi.


Ia mengatakan hal yang sama selang lima belas menit. Kali ini suaranya terdengar melemah.
Piringan tua yang diputar diatas gramofon—mungkin, terdengar lebih baik.

Rasa letih mulai menggaluyut di tubuh Arfan. Ia beranjak dari kursi meja kerjanya lalu menuju
sofa. Di sana Ardi sudah nampak tertidur pulas dengan buku dongeng yang terbuka di dadanya.
Seulas senyum tergambar di wajah Arfan. Ia memilih untuk ikut tidur di sofa lain, di tengah ruang
tamu itu. Bukannya tidur di kamarnya yang lebih nyaman. Alasannya karena lagi-lagi sosok istrinya
akan membuatnya kembali bermimpi. Mimpi indah yang akan menjelma menjadi mimpi buruk.

Arfan mengambil bantal sofa lalu menumpuknya di sudut kursi. Meski letih telah membebani
tubuhnya namun pikirannya masih menerawang jauh. Berbagai kejadian yang telah dialaminya
berkelebat dalam benaknya. Pikirannya yang kalut membuatnya beranjak duduk di sofa lalu
menyalakan rokok. Aroma asap rokok tercium bersama aroma tanah basah dari hujan yang
mengguyur di kebun yang mengelilingi rumahnya.

Tanpa terasa batang rokoknya mulai padam perlahan di antara jemarinya.

Kemudian, ia segera menyalakan sebatang rokok yang lain tanpa menghisapnya.

Sosok Arfan yang gagah dan tegap mulai tampak menua. Rambutnya dibiarkan memajang tumbuh
tanpa disentuh sisir sekalipun. Garis kerutan di dahinya semakin tajam. Ia tak peduli lagi dengan
kusam wajahnya. Beban di pundaknya karena kehilangan istri tercintanya membuatnya lebih tua
dari biasanya. Kesedihan mendalam membuatnya menua lebih cepat. Sudah hampir dua bulan ia
kehilangan istrinya dan ia masih meridukannya, hanya istrinya yang dipedulikannya. Ia tak peduli
dengan rambut panjang dan cambang di wajahnya.

Gemuruh hujan tiba-tiba berhenti. Hujan di luar berubah menjadi gerimis tipis. Kemudian
gemuruh hujan terdengar kembali. Deru angin menderu-deru terdengar dari luar jendela.

Arfan mengamati Ardi untuk beberapa saat. Anak loper koran itu telah tidur dengan lelap. Guratan
kesedihan dan beban juga nampak di wajah anak itu. Ya, anak itu juga telah melihat penderitaan
seperti dirinya.
Arfan kembali berbaring dengan gelisah. Sisa-sisa otot dari hasil kerja kerasnya sekarang mulai
mengendur. Ia seakan telah kehilangan semangat. Tubuhnya tergolek lemah. Ia kembali memandang
langit-langit ruang tamu rumahnya. Di sudut rumah masih ada sarang laba-laba yang masih sabar
menyulam jaring.

Jam dinding berdentang dua belas kali. Tanda waktu telah menunjukkan tengah malam. Arfan
menoleh ke arah jam dinding kemudian ke arah jam tangan yang melingkar di lengannya. Ia tak ingat
telah melingkarkan arloji itu.

Anehnya jarum di arloji tangannya berputar lebih cepat.

Ia makin terbelalak tak percaya karena jarumnya bergerak terbalik!

Apa yang sebenarnya terjadi?

Ia mengguncang-guncang arloji di lengannya.

Arloji pemberian mendiang istrinya itu sering mendadak berhenti tanpa sebab, lalu bergerak lagi.
Arloji pemberian istrinya di hari ulang tahunnya.

Lebih anehnya di tengah malam itu, jarum jamnya tiba-tiba bergerak terbalik!

“Aku masih belum gila!” sergahnya kepada dirinya sendiri.

Arfan mulai penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Antara penasaran dan cemas yang berlebihan
ia kembali menyalakan rokoknya. Namun rokok tak dapat membantu menghilangkan rasa cemasnya
yang makin menjadi-jadi. Ketika puntung rokoknya belum habis ia telah menjejalkannya ke asbak.

Siapa yang bisa tahan?

Di dalam rumah itu ia seperti diawasi oleh sesuatu. Sosok dalam pikirannya seolah mengikutinya
ke mana pun ia pergi. Bahkan ke dalam toilet, ke dalam kamar tidur, apalagi ketika ia tengah
sendirian seperti ini. Ia menyangka tidak akan sendirian bersama anak loper koran itu. Namun,
ketika anak itu tertidur, kesunyian kembali menyelimuti rumah itu.
Ia mengajak anak loper koran itu agar dapat mengalihkan perhatiannya dari bayangan istrinya.
Juga agar ia tidak sendirian lagi di dalam rumah yang cukup besar itu. Apalagi dikelilingi oleh kebun
luas jauh dari perkotaan yang membuat suasana makin sunyi.

KLAK! Bunyi seperti pintu dibuka menggema di dalam ruang tamu itu.

Arfan beranjak dari sofa. Ia segera mencari asal bunyi itu. Ia menuju ruang baca yang berada di
samping ruang tamu. Di sana pintu ruang baca yang mengarah ke kebun belakang terbuka. Gorden
yang menutupi berkibar-kibar tertutup angin. Air hujan yang terbawa angin masuk ke ambang pintu
ruang baca.

Arfan tidak ingat apakah ia mengunci pintu-pintu rumahnya. Ia hanya ingat telah mengunci pintu
ruang tamu. Ia segera menutup daun pintu dengan terburu-buru. Namun, daun pintu itu tidak
menutup sepenuhnya. Kain gorden terjepit di antara pintu. Namun sebelum ia menutupnya lagi
angin dingin menerobos celah daun pintu ruang baca. Angin yang sedingin es mengejutkannya.
Sontak ia menarik jemarinya dari daun pintu. Kali ini angin berhembus lebih kencang dari biasanya.

Kedua daun pintu membuka dengan tiba-tiba dan membentur meja kayu yang berada di
sampingnya dengan keras. Bunyi berderak mengejutkan Arfan yang berada di sisi pintu. Daun pintu
yang terpentang lebar membuatnya dapat melihat ke arah kebun di sisi rumah. Di tengah deras
hujan ia seperti melihat sosok yang tidak asing. Ya, di tengah deras hujan itu ia seperti dapat melihat
bayangan perempuan di kebun samping. Kebun yang ditanami tanaman buah, apotek hidup, dan
taman bunga yang lebat itu tak lagi terawat sepeninggalan istrinya.

Arfan mulai penasaran. Ia menghidupkan lampu di ruang baca. Cahaya dari ruang baca sedikit
menerangi kebun di sisi rumah. Kali ini ia tak menutup daun pintu. Matanya terpicing melihat sosok
di tengah kebun itu. Tak salah lagi, ia melihat sosok perempuan.

Riuh hujan bertambah nyaring. Membuat pendengaran Arfan nyaris tuli. Ia mulai melangkah
meninggalkan ruang baca. Menuju ke arah kebun di samping rumahnya. Kakinya yang telanjang
menginjak permadani rerumputan di luar rumahnya. Ia tak peduli deras hujan membasahi bajunya.
Rambutnya mulai dibasahi hujan.

Sosok perempuan di tengah kebun itu makin jelas.


Wajah istrinya perlahan samar-samar nampak.

Tidak salah lagi… istriku telah kembali!! Seru Arfan membatin.

Namun, ia tak menyadari bahwa sosok istrinya sekarang telah jauh berbeda. Ia tak melihat bahwa
kaki istrinya tak menapak di tanah karena diganti oleh sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari
dugaannya.

Bab 16 Siluman

“Melati? Kaukah itu?!”

SERUAN Arfan tenggelam dalam bunyi deru deras hujan. Namun, tak terdengar balasan jawaban
dari sosok misterius yang menunggunya di tengah kebun itu. Yang terdengar hanyalah deru angin.
Air hujan bagai dituang dari atas langit.

Bunyi tiang listrik yang dipukul terdengar bertalu-talu dari perkampungan di seberang
persawahan. Tanda bahaya banjir telah diperingatkan.

Kemudian ia melihat sesuatu yang melingkar tidak jauh dari sosok istrinya. Ya tubuh ular raksasa
itu merusak taman bunga. Batang-batang bunga dan rimbunan rerumputan merunduk dilewati ular
raksasa itu.

Dari mana datangnya?

Apakah dari luapan sungai?

Arfan mencabut tongkat kayu di antara tanaman menjalar di sampingnya. Tanaman yang melilit
tongkat itu tercabut dari batangnya. Aroma tanah melayang-layang di sekitar tubuhnya. Aroma
tanah kebun yang dibasahi air hujan. Ia mengendap-endap di antara semak belukar. Lalu menerabas
tumbuhan yang dilewati sosok ular itu. Ia mengayunkan tongkat kayunya ke arah semak belukar
yang bergerak-gerak. Namun usahanya sia-sia. Ia hanya menghantam tanah. Tumbuhan itu
bergoyang karena terpaan angin dan air hujan. Tidak ada apapun di sana. Namun ia masih merasa
bahaya bisa datang sewaktu-waktu.
Arfan mengawasi keadaan di sekeliling kebun. Sosok wanita itu masih berdiri di sana tanpa
sekalipun bergerak. Seolah juga mengawasi gerak-geriknya. Tirai-tirai air hujan mengurangi jarak
pandangnya. Ia tak terlalu yakin bahwa sosok yang dilihatnya itu adalah sosok istrinya. Apalagi deras
hujan sedikit menghalangi pandangannya.

Lampu dari ruang baca yang menerangi halaman samping rumahnya tak cukup terang. Di kebun
itu tampak temaram. Dari pandangan mata Arfan yang cukup baik ia menangkap sosok wanita yang
mirip istrinya. Ia perlu memastikannya. Sosok itu juga seolah menunggunya… ya, menunggunya
untuk melakukan sesuatu.

“Siapa kau?” tanya Arfan. Berusaha mengeraskan suaranya di antara gemuruh deras hujan.
Sebelah tangannya masih menggenggam erat tongkat kayu itu. Tangannya yang lain berusaha
melindungi matanya dari guyuran air hujan. Sosok itu masih tak bergeming dengan latar kegelapan
persawahan.

“Apakah kau melati?!” seru Arfan.

Kilatan petir menyambar. Cahayanya menerangi tempat itu sekejap. Bunyi ledakan guruh
bergemuruh di atas langit. Cahaya petir sekejap menerangi sosok wanita yang mengenakan gaun
putih yang telah kusam. Gaun putih yang sama yang dikenakan istrinya. Namun, gaun itu telah kotor
oleh lumuran lumpur. Wajah dan rambut wanita itu juga dikotori lumpur, sulit dikenali. Namun
Arfan telah mengenal baik sosok istrinya.

Tiba-tiba sebuah suara dari ruang baca menyita perhatian Arfan. “Ada apa?!!”

Ardi telah terjaga dari tidurnya. Anak itu terbangun oleh bunyi petir. Ia menyadari pintu ruang
baca terbuka. Anak itu mengawasi Arfan dari ambang pintu.

Arfan menoleh ke arah Ardi sembari menurunkan tongkat kayunya. Ia segera memberi tanda agar
anak itu masuk kembali ke dalam. “Hey, tutup pintunya!”
Namun ketika Ardi hendak menutup pintu, tiba-tiba hempasan angin kencang bertiup menerpa.
Anehnya seolah kekuatan tak kasat mata mendorong tubuh anak malang itu hingga terjungkal ke
lantai ruang baca.

Arfan tercengang melihat kejadian aneh itu. Tiba-tiba ia merasa bulu kuduknya meremang. Ia
merasakan hawa dingin tak biasa dari arah lain. Ia menyadari sosok wanita itu telah bergerak ke
arahnya! Namun ada yang aneh, jalannya tak seperti biasa. Seperti miring ke kanan dan kiri. Sosok
wanita itu seolah meluncur ke arah Arfan.

Namun Arfan mengenal wajah istrinya, ya, walau dikotori oleh lumpur sekalipun. Walau sekarang
tubuhnya makin kurus dan tinggi, mungkin sekitar seratus tujuh puluh. Ia menyadari sosok istrinya
yang sekarang lebih tinggi darinya. Tidak seperti dahulu, tinggi badan mereka nyaris sama. Namun
rambut itu masih sama. Pandangan yang sama seperti yang pernah dilihatnya.

Bahkan cahaya mata kekasihnya kini nampak lebih tajam dari dulu.

Afran menyadari itu bukan lagi murni cahaya mata istrinya. Ada sosok lain di sana.

Ketika sosok istrinya sudah berada selangkah dari Arfan. Baru Arfan menyadari bahwa kaki istrinya
tidak berada di sana, diganti sesuatu yang tak pernah terbayang olehnya.

Tanpa sadar, Arfan melangkah mundur. Senyumnya lenyap.

“Me—melati? Betulkah ini dirimu?” tanya Arfan mengerjap-ngerjapkan matanya.

Sosok wanita itu tak menjawab. Ia hanya terdiam sembari memandang tajam.

Keretak kerikil terdengar dari belakang tubuh Arfan. Sesuatu tengah bergerak di belakang
tubuhnya. Perlahan ia menoleh ke belakang dan menyadari lilitan tubuh ular itu sudah mengelilingi
tubuhnya. Butir air hujan yang membasahi rambutnya berjatuhan. Pandangannya agak buram.
Kemeja yang dikenakannya telah basah kuyup oleh hujan. Noda lumpur terciprat ke celananya.
Tiba-tiba belitan tubuh ular itu menangkap tubuh Arfan. Melilitnya dari kaki ke dadanya.
Membuatnya mulai kesulitan untuk bernapas.

Tubuh istrinya perlahan makin mendekat. Sekarang berada tepat di depannya.

Arfan dapat melihat kornea mata istrinya berubah menjadi lancip. Bola matanya seolah ditutupi
selaput berair yang membuatnya mengilap terkena cahaya lampu dari ruang baca.

“Si… siapa kau?” Suara Arfan terdengar serak.

Degup jantung dalam dadanya menghentak. Lilitan tubuh ular cukup erat melilit tubuhnya, namun
masih menyisakan ruang baginya untuk bernapas. Dalam belitan tubuh ular itu, ia juga dapat
merasakan gerakan napasnya.

“Melati… Melati, benarkah ini dirimu?!” Arfan masih berusaha mengetahuinya.

Kemudian bibir wanita itu membuka. Lidah bercabang keluar dari mulutnya disertai bunyi
mendesis. Tak ada kata apapun yang keluar. Tubuh istrinya tiba-tiba bertambah tinggi. Hingga Arfan
harus mendongak untuk dapat melihat wajahnya.

Arfan tercekat. Ia kaget setengah mati melihat tubuh istrinya adalah ular yang juga membelitnya!

Tidak mungkin!

Tidak mungkin istriku berubah menjadi ular!

Arfan hanya dapat menjerit dalam batinnya. Karena dadanya terlilit tubuh ular membuatnya sulit
bernapas.

“Enyah kau!” seruan anak kecil itu terdengar dari ruang baca.
Perhatian wanita bertubuh ular itu tersita ketika tubuhnya terhantam benda tajam. Ardi
mengayunkan sekop yang ditemukannya di sudut kebun. Namun, sekop itu terpental ketika wanita
itu menepisnya. Jemari wanita itu menangkap leher Ardi. Dengan kekuatan yang nyaris tak dipercaya
wanita itu mengangkat tubuh Ardi. Tubuh anak itu terangkat hanya dengan satu tangan!

“Tolong lepaskan dia!” seru Arfan. Belitan tubuh ular makin longgar di tubuhnya. Ia dapat
bernapas dengan leluasa sekarang. “Jangan sakiti anak itu… ia tak berdosa!”

Wanita bertubuh ular itu melempar tubuh Ardi ke semak belukar. Terdengar suara berdebuk dan
suara mengaduh. Untungnya semak belukar cukup lebat sehingga tubuh Ardi tak mengalami luka
serius.

Wanita itu menolah kembali ke arah Arfan. Mengeluarkan bunyi mendesis lalu melompat ke arah
persawahan. Sekejap kemudian menghilang dalam kegelapan malam.

Cahaya petir sesekali menampakkan tubuh wanita ular itu melata di tanah, lalu melompat masuk
ke dalam sungai kecil yang mengular di pematang sawah.

Arfan hendak berlari ke arah wanita ular itu, namun ia menghentikan langkahnya. Ia menyadari
tak dapat lagi menyusulnya. Dalam benaknya dipenuhi pertanyaan tanpa jawaban. Karena itu ia balik
kucing menuju ke arah Ardi. Anak itu telah bangkit dari semak belukar lalu membersihkan dirinya
dari lumpur.

“Kau tak apa-apa?” tanya Arfan.

“Iya… jangan cemas.” Ardi berusaha tersenyum walau rahangnya terasa sakit. Ia mengusap luka
lecet di lengannya. Duri semak belukar telah menggores kulitnya. Namun ia bukan anak cengeng.

Arfan memberi tanda untuk kembali ke dalam rumah. Ia menyadari bahwa mereka berdua telah
basah kuyup di tengah deras hujan.

“Ganti bajumu. Aku sudah membelikan beberapa setel yang mungkin pas buatmu.” Arfan masuk
ke dalam ruang baca disusul oleh Ardi. Buku-buku yang berada di rak dekat pintu ruang baca agak
basah terkena air hujan yang dihempas angin. Untungnya rak lain terhindar dari air hujan karena
berada agak jauh dari pintu ruang baca.

KLIK!

Bunyi kunci terdengar ketika Arfan mengunci pintu ruang baca. Kali ini ia tak akan lupa mengunci
tiap pintu. Rasa takut menjalar bagai rasa kesemutan di sekujur tubuhnya. Ia masih dapat merasakan
kulit tubuh ular itu. Terasa bersisik dan berlendir.

“Akan kubuatkan teh jahe hangat,” ujar Arfan. Ia berkata ketika Ardi membawa baju yang basah
ke kamar mandi.

“Terima kasih, maaf sudah merepotkan.” Ardi mengganti baju dengan yang kering di dalam kamar
mandi, sementara Arfan memanaskan air di dalam dapur tepat di sebelah kamar mandi.

“Betulkah itu makhluk yang kau lihat tempo hari?” tanya Arfan.

“Tidak sejelas waktu itu… tapi ya, itulah makhluk yang kulihat keluar dari luapan air sungai
Mahakam.” Ardi hendak bertanya namun lantas diurungkan. Wajahnya nampak sama penasarannya
dengan Arfan.

“Tidak mungkin istriku berubah menjadi makhluk mengerikan seperti itu.” Arfan bergumam. Ia tak
menyadari air di atas kompor listrik telah masak. Sehingga Ardi yang mengambil alih membuatkan
teh hangat untuknya. Untungnya persedian gula dan bubuk jahe masih tak tersentuh di dalam lemari
dapur.

“Aku pernah mendengar legenda ular besar seperti itu di Loa Kulu.” Ardi berkata sembari
menyiapkan teh.

“Ya, kalau ular besar aku juga pernah melihatnya di kedalaman Kalimantan. Namun yang ini
bertubuh… manusia??” Pandangan Arfan masih tak fokus. Ia tercenung beberapa lama. Sebelum
Ardi menyodorkan segelas teh hangat padanya.
“Kita bisa menyelidikinya. Aku juga tak percaya namun setelah melihat dengan mata kepala
sendiri... Oya, Anda juga harus mengganti baju.” Ardi mengingatkan Arfan. Ia tak ingin melihat pria
teguh itu terkena demam.

“Tenang saja. Aku pernah mengalami hal yang lebih dari ini.”

“Apa yang terjadi ketika Anda melompat ke dalam sungai itu?”

“Hah, banyak yang mengira aku melompat ke dalam sungai. Nyatanya aku melihat jembatan itu
dan bertualang di alam lain.”

“Jadi, apakah Anda berhasil bertemu dengan istri….” Ardi tiba-tiba menghentikan ucapannya. Ia
mendengar gedoran pintu di ruang tamu. Suara-suara orang terdengar gaduh dari luar.

“Hey, kau tolong buka pintu! Aku mau ganti baju,” ujar Arfan.

Ardi hanya mengangguk lalu pergi ke ruang tamu. Di sana tampak cahaya senter menari-nari
menerobos kaca jendela.

Bunyi klik terdengar ketika Ardi membuka pintu. Di sana tampak orang-orang desa yang
berkumpul. Mereka tampak membawa senjata tajam dan senter. Tubuh mereka tertutup jas hujan.
Wajah mereka tampak menyiratkan kengerian.

“Ke mana Arfan?!” seru seorang di antara warga desa.

Tiba-tiba suara Arfan terdengar. “Ya, ada apa?”

“Kami melihat seekor ular besar ke arah rumah ini! Jadi ijinkan kami mencarinya di kebun Anda.”
Warga desa itu telah bersiap dengan parang di tangan.
“Tidak… saya tidak melihat apapun!” Arfan bertukar pandang dengan Ardi. Ia memberi tanda
dengan gelengan pelan.

Ardi menyadari tanda itu lantas ikut menggeleng.

Jika para warga menangkap ular itu... istriku juga dalam bahaya!

Rasa was-was memenuhi hati Arfan. Walau begitu ia berusaha agar nampak tenang. Dalam
batinnya rasa khawatir berbalut dengan rasa penasaran dan berbagai pertanyaan tanpa jawaban.

Apa yang terjadi dengan istriku? Ke mana ia sekarang? Apa tujuannya muncul di hadapanku
dengan sosoknya sekarang?

Bab 17 Siluman 2

ARDI, anak yatim piatu itu tak ingin merepotkan siapapun. Selama berada di rumah Arfan ia
menjadi rajin membantu pria itu. Termasuk membersihkan rumah, merawat kebun dan memasak
menyiapkan makanan untuk Arfan. Ia juga sudah senang mendapat sandang pangan dan tempat
bernaung yang lebih baik.

Arfan juga merasa terbantu dengan kehadiran anak itu di rumahnya. Ia seperti punya anak angkat.
Karena itu ia berusaha meluangkan waktu bersama Ardi. Mengurus ternak yang selama ini
ditinggalkan. Untungnya masih ada pekerja yang setia merawat ternak dan kebun milik Arfan. Walau
hasilnya mereka ambil sendiri, Arfan tak keberatan. Selama Arfan tak pulang ke rumah, hasil dari
kebun, sawah dan ternaknya diambil para pekerja yang disewanya. Arfan sudah tak memiliki
semangat untuk mengurus usahanya. Apalagi tabungannya dan istrinya sudah berlebih untuk
menghidupi dirinya seorang. Ia bisa saja bersantai-santai selama puluhan tahun tanpa bekerja.
Namun, ia memiliki rencana untuk membentuk tim demi mengetahui nasib istrinya. Meski ia tak
yakin orang lain mampu menghadapi makhluk yang hanya ada dalam mitos itu.

Ia juga tak yakin apakah istrinya yang sekarang telah berubah. Dengan wujudnya yang sekarang, ia
tak yakin dapat mengenalnya lagi dengan baik. Apalagi kesan pertama ketika bertemu dengan sosok
baru istrinya itu…
Arfan berharap tak ada yang mengetahui sosok baru istrinya selain dirinya dan anak itu, Ardi.
Pertama kali berkenalan dengan Ardi, anak itu tidak menunjukkan sikap rewel atau manja. Apalagi
setelah menjadi yatim piatu, Ardi nampak tegar walau dalam hatinya pasti terluka, ya, seperti Arfan.
Karena Ardi berasal berasal dari keluarga sederhana, kedua orang tuanya adalah pedagang keliling.

Ardi juga tidak banyak menuntut. Baju pemberian Arfan, sebuah kaos kedodoran dan dua kemeja
seukurannya yang baru dibelikan. Ia tidak pernah meminta apapun. Sehingga Arfan sendiri yang
terpaksa harus bertanya padanya.

Arfan harus meyakinkan Ardi bahwa anak itu tidak menjadi beban baginya. Malah Arfan terbantu
dengan kehadiran anak itu.

Baju-baju Arfan yang lama dan baru menumpuk di dalam lemari. Sehingga yang ukurannya cocok
dengan Ardi diberikan kepadanya. Anak itu bahkan mendapat sebuah lemari pakaian di kamar ruang
tamu yang jarang dipakai.

Arfan meyakinkan anak itu bahwa ia membutuhkannya untuk membuatnya tetap sadar bahwa ia
masih hidup di dunia nyata. Ardi sangat berterima kasih dengan bantuan Arfan. Karena itu ia
membuatkan masakan yang pedas sesuai selera Arfan. Di waktu tertentu mereka memiliki waktu
untuk berbincang, jalan-jalan bahkan bercanda. Arfan mulai dapat tersenyum ketika berdiskusi
dengan Ardi yang menanyakan hal-hal di luar topik. Lucunya Ardi tak terlalu paham apa yang
dibicarakan Arfan, karena itu pertanyaan darinya di luar topik.

Di lain waktu, Arfan hanya ingin sendirian. Membaca buku atau mengikuti berita tentang
Mahakam.

Seperti di malam itu, Arfan tampak menggambar sosok wanita ular yang dilihat pada malam itu.
Anehnya Arfan menggambarnya di kamar tidurnya yang temaram. Sinar lampu hanya datang dari
atas bufet.

Klik! Bunyi tombol lampu di dalam kamar terdengar. Ruangan itu tiba-tiba terang benderang. Ardi
yang menyalakan lampu nampak terkejut melihat wajah Arfan yang tegang.

“Kau mengagetkanku… Ada apa?” tanya Arfan. Butiran keringat nampak bergulir di dahinya.
“Agar gak sakit mata, lampu kunyalakan ya.” Ardi menyapukan pandangan ke sekeliling ruangan.
Ia melihat berbagai kertas bertebaran di atas ranjang di sekitar tubuh Arfan yang bersandar ke
dipan. Ia melihat potongan-potogan surat kabar dan berbagai sketsa yang digambar Arfan.

”Aku dapat melihat gambar sketsa dari sini….” Ardi masih berada di ambang pintu. Setelah
menyalakan tombol lampu ia masih mematung di sana.

“Ini? Ya, sketsaku… kemari kalau mau lihat,” Arfan memberi tanda kepada Ardi untuk mendekat.

Agak canggung Ardi mendekati Arfan. Ia melihat lembaran sketsa yang berada bertebaran di
ranjang. Ia harus mengakui ingatan dan Arfan lumayan bagus. Apalagi di sana tergambar cukup
detail sosok wanita yang dilihatnya kemarin malam. Dari gambar mata, rambut, sampai tinggi dan
perkiraan panjang tubuh ularnya.

“Aku tak sampai mengingat sampai sejauh ini,” ujar Ardi berdecak kagum.

“Ini jadi rahasia kita berdua… jangan bercerita kepada siapapun.” Arfan mengingatkan.

Ardi hanya mengangguk.

Kemudian Arfan terdiam. Ia menampakkan senyum yang dipaksakan. Anak itu tak sadar betapa
menyiksanya Arfan menggambar sosok istrinya dalam bentuk yang berbeda. Jauh lebih mengerikan.
Jauh dari melati putih yang selama ini dikenalnya.

Ardi masih mengamati sketsa Arfan. Ketika pria itu menyadari bahwa seharusnya anak itu tak
melihat betapa menyedihkan penampilan kekasihnya sekarang.

“Hey, nampaknya ini sudah larut malam. Kau bisa istirahat.”

Tiba-tiba kegelapan menyelubungi mereka. Lampu di dalam kamar padam. Aliran listrik mati.
Arfan tak mengetahui apakah hanya di rumahnya atau di satu wilayah itu. Padahal malam itu tak ada
angin dan hujan.
Arfan menyalakan ponselnya. Dengan cahaya ponsel ia mencari senter yang biasa ditaruh di
bawah ranjang. Ardi hanya dapat mematung di tempatnya.

Akhirnya Arfan menemukan senter itu. Ia mengeluarkan lampu senter dari bawah ranjang lalu
menjetikkan tombol lampu senter itu berkali-kali. Cahaya lampu putih menyorot. Ia mengarahkan
lampu senter itu ke wajah Ardi yang nampak memicingkan mata.

“Hei, kau baik saja?” tanya Arfan,.

“Ya,” jawab Ardi pendek.

“Ikuti aku. Aku ingat menyimpan senter lain di dapur.”

Arfan mengarahkan senternya ke ruang tamu. Sorotan cahaya menembus sampai keluar jendela.
Ardi mendahului Arfan ke dekat jendela. Anak itu mengamati lampu-lampu di rumah warga lain
masih menyala.

“Nampaknya hanya di sini yang mati listrik.” Arfan juga menyadarinya. Ia melihat berkas cahaya
lampu dari rumah penduduk di seberang persawahan.

Arfan mengarahkan lampu senternya keluar jendela. Sorotan lampu senternya menerobos
kegelapan di halaman rumahnya. “Jika bukan korsleting listrik, ada yang sengaja mematikan saklar
listrik.”

“Aku akan memeriksa meteran listrik di luar,” ujar Ardi menawarkan diri.

“Jangan, kau tetap di dalam sini. Biar aku yang memeriksa ke luar.”

“Mungkin hanya kabel yang dimakan tikus.” Ardi berusaha menenangkan suasana.
“Tak mungkin. Kabel di rumah ini telah dilapisi pipa alumunium.”

Arfan pergi ke dapur dan mencari senter yang lain. Ia menemukannya di kotak perkakas listrik.
Ardi mengikutinya dari belakang. Arfan menyerahkan senter yang dipegangnya kepada Ardi. “Kau
berjaga di dalam rumah. Jika ada yang mencurigakan segera lari ke pintu belakang dan berlarilah
terus ke pemukiman warga terdekat.”

Ardi hanya dapat mengangguk sembari menelan ludah.

Arfan menyalakan senter yang baru dikeluarkan dari kotak perkakas. Lalu kembali ke ruang tamu.
Ia memutar kenop pintu ruang tamu sembari mengamati keadaan di luar halaman rumahnya.
Matanya sudah terbiasa dengan kegelapan. Ia melangkah ke halaman dengan perlahan. Memeriksa
meteran listrik yang berada tidak jauh dari pintu rumah. Namun tak ada yang mencurigakan. Kotak
listrik terkunci seperti biasa.

Kemudian pendengaran Arfan mendengar bunyi berkeresak di atas atap rumahnya. Dedaunan
kering berguguran dari atas atap. Di samping rumah Arfan ada sebatang pohon mangga yang
tumbuh menjulang tinggi. Pohon besar yang sudah ada di sana sebelum ia membeli tanah dan
membangun rumah di dekatnya.

Di dekat pohon besar itu terdapat loteng dan balkon yang menghadap persawahan. Di waktu
luang ia sering duduk berdua dengan istrinya di sana. Ya, berdua memandang pemandangan
persawahan yang dilatari perbukitan.

Dari atas loteng rumah, Arfan dan istrinya nampak bersantai menikmati pemandangan sawah dan
perbukitan yang membentang di kejauhan. Dari sana, sungguh terlihat seperti sebuah lukisan
pedesaan. Ia dan kekasih sejatinya sering menghabiskan waktu berdua di atas kursi malas di balkon,
bertukar pikiran, bersenda gurau atau menikmati kesunyian. Mendengarkan kidung alam.

Sekelebat kenangan mengusik pikiran Arfan.

Seakan teringat dengan sesuatu Arfan segera mendekati pohon besar yang berada dekat di sisi
rumahnya. Ia menyadari jejak mengilap yang mengarah ke pohon besar itu. Kulit pohon nampak
dibasahi oleh lendir. Ia juga ingat bahwa di atap rumahnya terdapat kabel listrik yang terhubung
dengan gardu listrik!

Kemudian bunyi berdebuk menyita perhatiannya. Bunyi berdebuk yang berasal dari dalam rumah.

Arfan segera berbalik dan berlari ke arah rumahnya. “Hei, Ardi! Keluar dari sana!” Ia cepat-cepat
membuka pintu lalu menghambur masuk. Cahaya senternya menari-nari mencari sosok anak malang
itu. Ia berseru ke segala arah. “Ardi! Kau di mana?”

Sayup-sayup ia mendengar suara Ardi di atas loteng.

“Bertahan di sana, aku segera ke atas loteng!” Ketika Arfan mendekati tangga ia menyadari
sesosok hitam yang lebih gelap telah menunggunya di sudut ruang tamu!

Arfan menghentikan langkahnya. Kakinya yang telah berada di tangga pertama diturunkan dengan
perlahan.

Bunyi mendesis terdengar.

“Tenang… ssshhh… aku tak ingin menyakiti kalian!”

Ini pertama kalinya Arfan mendengar kembali suaranya istrinya. Kali ini nyata. Walau suara itu
telah sedikit berubah dengan campuran desis yang aneh dan agak serak.

“A—apa yang kau lakukan?” Arfan menahan langkahnya. Ia hendak mengarahkan senter ke arah
istrinya namun ekor ular mengibas senternya hingga melayang lalu jatuh. Terdengar bunyi krak lalu
lampu senternya padam.

Penglihatan Arfan perlahan terbiasa dengan kegelapan. Ia mengamati sosok yang lebih gelap itu.
“Shhhh… aku tak ingin menakutimu… sayang,” desis wanita ular itu. Perlahan ia bergerak
mendekati Arfan. Gerak langkahnya seolah menari-nari ketika berjalan, bukan, tepatnya melata,
seakan meluncur ke arah Arfan. “Karena itu kupadamkan lampu supaya kau tak takut melihatku!”

“Apa yang terjadi padamu….? Melati?”

“Kau harusnya bersyukur… karena kaulah aku bisa kembali lagi, ya, dengan kekuatan baruku ini.
Aku bahkan bisa menghabisi orang yang mengakibatkan jembatan itu runtuh….”

“A—apa yang kau katakan?” tanya Arfan tak percaya dengan ucapan istrinya. Atau istrinya yang
sekarang separuh siluman ular.

Tiba-tiba sorotan cahaya senter tampak dari loteng. Ardi bergegas turun setelah memeriksa
keadaan di atas atap. Ia menemukan kabel listrik yang diputus dengan sengaja. Karena itu lampu di
dalam rumah padam.

Namun Ardi berhenti di tengah tangga loteng. Cahaya senternya mengenai sosok istri Arfan yang
berwujud separuh ular. Ia ternganga tak percaya bahwa wanita itu sudah berada di dalam ruang
tamu. Ia menyadari tak melihat kehadiran sosok wanita ular itu di atas loteng. Perhatiannya terarah
ke jendela balkon yang terbuka.

“SHAA TINGGALKAN KAMI BERDUA!!” seru wanita ular itu bersamaan dengan desis yang
mengerikan.

Arfan tak dapat berbuat apapun ketika wanita itu bergerak ke arah tangga untuk menangkap Ardi.

Arfan menyadari bahwa istrinya sudah berubah. Tak seperti dulu yang dikenalnya!

Bab 18 Siluman 3

ARDI menampakkan sederet giginya ketika wanita ular itu mendatanginya. Ia menganga tak
percaya. Giginya bergemetuk tanda ketakutan. Ia dapat melihat wajah wanita itu yang tertutup
sebagian rambut panjangnya yang kusut masai.
Mata wanita itu tajam menusuk. Tampak bengis. Insting membunuh dari pemangsa membuat
suasana makin tegang.

“Tunggu! Aku yang membawa anak itu kemari!” seru Arfan berusaha menjelaskan.

Wanita ular itu hanya mendesis dan bersuara tak jelas.

Arfan masih berusaha membujuk istrinya. “Dia bernasib sama denganku! Anak itu kehilangan
kedua orang tuanya! Ia yatim piatu!”

Kelakuan tak wajar istrinya itu disebabkan sosoknya yang telah berubah. Itulah yang berusaha
dipahami oleh Arfan. Hal yang mengganggu pikirannya, tak mungkin istrinya yang memiliki sifat
lembut dan santun tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat menjadi bengis. Manusia
memang mudah berubah, namun ia tak percaya istrinya bisa berubah drastis seperti itu. Apalagi
dalam seumur hidupnya ia tak pernah melihat istrinya marah. Jika kesal, istrinya biasanya hanya
diam dan tak berkata apapun. Tak pernah ia mendengar kata-kata kasar atau mengancam dari bibir
istrinya. Tak pernah ia melihat istrinya ringan tangan atau hendak memukulnya ketika disalahkan.

Arfan yakin penyebabnya tak akan semudah yang dibayangkan oleh dirinya—atau oleh siapapun,
selain oleh istrinya sendiri. Pasti ada alasan kenapa istrinya memilih jalan untuk bersekutu dengan
siluman. Entah itu adalah kemauannya sendiri atau bukan. Pasti ada sebabnya sehingga istrinya
berubah menjadi sosoknya yang sekarang; berbadan separo ular.

“Ini semua karenamu!” Desis wanita itu terdengar kembali. Shhh…

Ardi masih tak bergerak di tangga. Ia mematikan senter seolah wanita itu tak akan dapat
melihatnya dalam kegelapan. Dugaanya salah. Bahkan dalam kegelapan seekor ular dapat
merasakan panas tubuh mangsanya.

Dalam kegelapan itu, perlahan mata Ardi terbiasa. Walau samar ia masih dapat mengenali sosok
wanita itu yang lebih gelap daripada kegelapan dalam ruang tamu itu. Cahaya bulan tertutup
mendung tipis, tak membantu menerangi ruangan itu.
Ardi melangkah ke belakang. Ia berbalik kemudian melangkah di tangga kembali ke lantai dua.
Namun, ia tidak bersembunyi. Di ujung tangga ia masih melongok Arfan dan sosok wanita ular itu.
Mengamati keadaan dalam kegelapan ruangan. Matanya perlahan terbiasa dengan kegelapan
sehingga ia masih dapat melihat sosok Arfan dan sosok wanita itu walau samar. Ia sebenarnya tak
ingin ikut campur dalam masalah di dalam keluarga Arfan. Namun, jika penolongnya itu dalam
bahaya, ia tidak akan kabur. Bahkan hal yang terbersit dalam pikirannya adalah berkorban daripada
menjadi beban.

Gerimis tipis mulai jatuh di luar. Kebun di sekeliling rumah Arfan mulai dibasahi rintik air hujan.
Warga di sekitar lingkungan itu mulai resah sungai yang melewati desa mereka akan meluap lagi.
Beberapa warga biasanya berjaga di sekitar sungai untuk mengawasi ketinggian air.

Ardi teringat akan rumahnya yang selalu kebanjiran ketika hujan deras mengguyur daerahnya.
Rumahnya yang menjadi tempat tinggalnya pernah diterjang banjir. Sehingga orang tuanya harus
menggadaikan harta mereka yang tersisa untuk memulai membangun kembali tempat tinggal
mereka. Tentu saja, rumahnya tidak senyaman rumah Arfan. Lagipula pria itu sudah dianggap
sebagai ayahnya sendiri. Karena itu ia bersikeras untuk membantu pria itu walau apapun yang
terjadi. Ia sudah sangat bersyukur mendapatkan tempat berlindung di dalam rumah Arfan. Apalagi
pria itu berbaik hati kepadanya.

Pekerjaan Ardi sebagai loper koran hanya cukup untuk menyambung hidupnya dari hari ke hari. Ia
juga pernah bekerja sebagai tukang sol sepatu hingga menjadi pengamen di dekat taman di tepi
sungai Mahakam. Sebelum ia bertemu dengan loper koran lain dan disuruh untuk tinggal di dalam
kios koran.

Bunyi dentang jam dinding seolah memecah kesunyian itu. Ardi mengetahui bahwa waktu sudah
larut malam. Meski begitu ia masih tak berani menyalakan senter untuk melihat jam berapa
sekarang. Lagipula ia tak memiliki ponsel dan arloji. Kemudian ia mendengar suara percakapan
antara Arfan dan wanita ular itu.

Ardi menyadari perhatian wanita ular itu sudah teralihkan dari dirinya. Karena itu ia berani
bergerak. Ia membawa senter ke lantai atas. Di ruang atas ia menyalakan kembali senternya. Tiba-
tiba ia mendapat ide untuk pergi ke luar melewati balkon. Ia hendak turun ke halaman rumah
melewati batang pohon mangga besar yang tumbuh di sisi rumah. Jika sesuatu sampai terjadi
kepada Arfan, ia bisa segera memanggil warga lain untuk membantunya.
Sesampai di atap rumah, ia melihat jejak kabel yang diputus itu. Ia berhati-hati agar tidak terlilit
kabel atau bahkan menginjaknya karena salah satunya masih dialiri listrik.

Ardi menyelipkan senter ke sakunya kemudian meraih batang pohon besar itu. Ia berhati-hati
ketika meraih dahan-dahan pohon untuk turun. Untung cahaya senter yang masih menyala di
pinggangnya membantunya melihat ke sekitar. Sesekali kakinya tergelincir di dahan yang licin,
namun tangannya yang sigap menolongnya. Jika tidak berhati-hati ia akan terjatuh dari pohon. Ia
teringat ketika masih kecil terjatuh dari pohon jambu lalu pingsan. Waktu itu rasanya kepalanya
seakan dihantam palu. Ia tak mau hal itu terjadi dua kali.

Rintik air hujan mulai membasahi bajunya. Tiupan angin dingin membuatnya menggigil ketika
turun dari batang pohon itu. Dengan berhati-hati ia memeluk batang pohon. Lendir dari tubuh ular
yang masih tersisa di batang pohon membuatnya makin licin. Karena itu ia dengan mudah merosot
ke bawah. Apalagi batang pohon mulai basah dibasahi rintik hujan.

Di kebun samping rumah, Ardi mengendap-endap ke teras. Telapak kakinya yang basah nyaris
terpeleset di ubin yang licin. Telapak kakinya yang dilumuri lumpur mengotori teras yang terbuat
dari marmer. Ia berusaha agar tidak mengeluarkan bunyi yang mencurigakan. Ia mengendap-endap
mendekati pintu ruang tamu. Dari jendela ia mengawasi keadaan di dalam rumah yang gelap gulita.
Sialnya ia tak dapat melihat sejelas seperti di dalam rumah. Ia kembali merunduk dan hanya dapat
mendengar suara percakapan yang perlahan makin nyaring. Ia dapat mendengar suara Arfan dan
wanita ular itu meninggi.

“Aku tak berharap kau menjadi seperti ini!” ujar Arfan terdengar tegang.

“Ssshh… harusnya kau menghargai perjuanganku! Aku juga tak ingin sosokku jadi mengerikan
begini!” Wanita ular itu mengibaskan tubuhnya memukul meja yang terbuat dari kayu. Bunyi meja
kayu yang dihantam tiba-tiba membuat Ardi terlonjak kaget di tempat persembunyiannya. Namun,
ia masih menguatkan kakinya di tempatnya berpijak. Ia sudah berpikir untuk lari dari tempat itu
demi memanggil bantuan. Dalam hatinya yang lain ia ingin melarikan diri, tapi kemana? Ia tak
memiliki apapun di luar sana. Baginya, Arfan adalah satu-satunya keluarga.

“Bagaimana agar kau bisa kembali seperti sosokmu yang semula?” tanya Arfan.

“Manusia biasa sepertimu tak akan bisa… shhh… siluman ular ini sudah merasuk ke dalam
tubuhku, bersemayam di dalam diriku!”
“Pasti ada jalan keluarnya… pasti ada caranya….” Suara Arfan terdengar gusar.

“Ya… ssshh… memang ada caranya… tapi bukan di sini, di tempat lain.”

“Akan kulakukan apapun… aku bersumpah!” seru Arfan frustasi. Namun kata-katanya keburu
dipotong desis wanit ular itu.

“Jaga kata-katamu… sssshhh… jangan sembarangan mengucap sumpah sebelum mengetahui apa
yang sebenarnya kau hadapi! Jika siluman ular dalam tubuhku ini keluar. Ia akan menelanmu hidup-
hidup! Juga bocah yang menguping di luar pintu!”

Arfan kaget bukan main ketika sosok istrinya berbalik ke pintu lalu mendobraknya. Daun pintu
yang tak terkunci terdorong keluar. Daun pintu menghantam tubuh Ardi yang masih berada di sisi
pintu.

Tubuh Ardi yang kecil jatuh terjengkang.

Sosok wanita ular itu keluar dari pintu dan mendekati tubuh Ardi yang tak berdaya. Anak malang
itu dapat melihat wajah wanita ular itu ketika berada tepat di depannya.

Shhhh… terdengar bunyi desis ular.

Ardi dapat melihat lidah bercabang yang menjulur dari bibir wanita itu. Cipratan lendir keluar
setiap kali lidah itu menari-nari

“Jangan sakiti anak itu!” seru Arfan yang bergegas menghambur keluar pintu.

“Shhhh… kau harus menyediakan tumbal… jika ingin aku kembali normal dan kita bisa hidup
bahagia seperti dulu!”
“Apa yang kau maksud?” tanya Arfan tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Tubuhku akan kembali normal jika ular siluman ini memakan tumbal! Shhh.”

“Hah, siluman ular itu sangat licik! Bukankah banyak mayat-mayat lain yang bisa mengenyangkan
perutnya? Bagaimana dengan ternak? Apakah bisa mengorbankan ternak? Aku bisa lakukan apapun,
asalkan jangan menyangkut nyawa orang lain!” Arfan tampak gusar. Padahal sebelumnya ia mati-
matian membela istrinya. Sekarang, setelah melihat istrinya mendapat kutukan, ia pikir
perbuatannya sudah melampaui apa yang selama ini pernah dibayangkannya.

“Kau tak tau apapun, Arfan! Shhhh… Kau harus membawa tumbal hidup kembali ke hutan keramat
itu untuk memancing siluman dalam tubuhku agar keluar! Pada saat gerhana matahari bulan
depan!”

“Itu tidak mungkin! Bagaimana aku membawa manusia hidup ke hutan itu! Aku tak ingin
melibatkan orang lain dalam masalah ini!”

“Kalau begitu! Selamat tinggal! Shhh! Aku tak mau siluman ular ini memakan korban lain sini!”
Sosok wanita ular itu mendesis ke arah Arfan kemudian melompat berbalik arah. Wanita ular itu
melata di halaman rumah lalu menghilang dalam semak belukar yang rimbun. Arfan berpikir untuk
menyusul wanita itu, namun diurungkan setelah melihat keadaan Ardi.

Ardi yang masih belum hilang rasa kagetnya nampak tercenung. Ia tak menyadari Arfan berbicara
kepadanya dan mendekatinya.

“Hei, kau tak apa-apa?” tanya Arfan. “Apa ada yang terluka?”

Ardi hanya menggeleng pasrah. Ia berusaha berdiri sendiri walau Arfan berusaha membantunya
berdiri. Perlahan anak itu sudah bisa bernapas lega.

Ardi tiba-tiba teringat sesuatu. “Wanita itu memutus aliran listrik di atap… dan ia masuk melalui
balkon.”
“Iya, aku juga menyadarinya. Ayo, masuk. Akan kutelepon tukang listrik besok.”

Ardi mengikuti Arfan ke dalam rumah. Dalam hatinya tersisa kekalutan.

Begitu pula Arfan, ia berusaha bersikap tenang walau pikirannya berkecamuk.

Di mana aku bisa mendapat tumbal manusia hidup!

Jika pun ada tumbalnya, apakah aku tega?

Bab 19 Siluman 4

ARDI berharap hujan malam itu tidak kembali menyebabkan banjir. Tengah malam itu ia tak dapat
tidur di kamarnya yang hangat. Ia masih terngiang dengan ucapan wanita siluman itu. Ia yakin Arfan
juga tidak bisa tidur memikirkan kejadian tadi. Apalagi aliran listrik masih belum dibetulkan. Ruang
kamar itu hanya diterangi lampu darurat dengan daya listrik dari baterai kering. Cahaya seadanya
yang terpancar dari lampu darurat membuat ruangan nampak temaram. Badai yang mengamuk di
luar membuat ruangan itu seolah terisolasi dari dunia luar. Bunyi gemuruh hujan nyaris
membuatnya tuli. Apalagi ia menutup rapat-rapat kamarnya seolah pintu itu dapat menahan segala
mara bahaya yang datang dari luar.

Bayangan tentang keluarganya kembali terbersit dalam benaknya. Wajah-wajah yang dikenalnya
seakan menari-nari di tembok kamar ruangan yang temaram itu. Ia tak pernah mendengar kabar lagi
tentang teman-teman di sekolahnya.

Tak berapa lama telinganya menangkap bunyi lain selain gemuruh hujan. Ya, tidak salah lagi bunyi
tiang listrik yang dipukul-pukul menyita perhatiannya. Bunyi tanda bahwa air sungai Mahakam telah
meluap kembali. Namun, anehnya bunyi itu makin cepat dan makin cepat seolah ada yang lebih
berbahaya daripada luapan sungai.

Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi di luar sana?


Ardi beranjak dari ranjangnya. Anak itu masih terdiam sembari mendengarkan segala bunyi yang
lamat-lamat terdengar dalam deru hujan. Bunyi tiang listrik itu kadang lenyap kadang terdengar,
timbul tenggelam dalam deras hujan.

Ardi turun dari ranjangnya kemudian melangkah ke jendela kamar. Ia menyingkap kain gorden lalu
mengamati keadaan di luar. Lampu-lampu rumah penduduk nampak terdistorsi dalam deras hujan.
Ia tak menemukan petunjuk apapun dalam kegelapan.

Anak itu melangkah ke dekat pintu dan menempelkan telinga seolah ada sesuatu yang berjaga di
luar pintu. Seolah ada mara bahaya di luar sana. Tangannya mulai meraih kenop pintu dan ia
memutar kuncinya. Bunyi engsel terdengar ketika pintu terbuka. Ia melongok ke ruang tamu. Sepi.
Tak ada siapapun di sana. Ia bergegas meraih senter lalu menaruhnya di saku celana kainnya.
Kemudian meraih lampu darurat yang berada di atas bufet kecil. Ia mengangkat lentera lampu
darurat itu lalu mulai melangkah. Kamar Arfan terbuka separuh dan tiada siapapun di dalam sana. Ia
menemukan pria itu tertidur di sofa dengan senter masih menyala di dadanya. Rupanya Arfan
berencana untuk berjaga-jaga di ruang tamu malam itu, namun tertidur.

Sayup-sayup bunyi tiang listrik yang dipukul masih terdengar. Kali ini lebih jelas. Ardi mendekati
jendela di ruang tamu demi melihat keadaan di luar. Cahaya-cahaya lampu senter nampak bergerak-
gerak dalam kegelapan malam. Ia menduga ada puluhan warga yang berada di luar pada malam itu.
Di tengah deras hujan mana mungkin warga keluar rumah kalau tidak ada sesuatu yang penting?
Pikirnya mulai penasaran. Terdorong oleh rasa penasaran itulah, Ardi membuka pintu ruang tamu. Ia
meraih payung yang berada di dekat pintu. Akhirnya rasa penasaranlah yang menang ketimbang
rasa takutnya.

Anak itu menaruh lampu darurat di dekat pintu sebagai tanda bahwa ia pergi keluar karena
disengaja. Jika Arfan terbangun akan segera mengetahui bahwa ia baru saja keluar. Ia tak mau
membangunkan Arfan dan membuat pria itu cemas. Ia berjanji akan cepat kembali setelah
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di luar sana. Setelah menaruh lampu darurat dan menutup
pintu ruang tamu, ia mengeluarkan senternya.

Di luar hujan dan angin masih menari-nari. Genangan air besar terkumpul di teras. Halaman rumah
itu nyaris menjadi kolam.

Ardi membuka lebar-lebar payungnya lalu menyorotkan senternya. Ia melangkah di teras yang
licin dengan hati-hati. Ia kembali berhenti demi menggulung celananya sebatas lutut dengan sebelah
tangan. Lalu meneruskan melangkah.
Hujan seakan masih belum menyerah. Terdengar semakin bertambah deras. Banjir dari luapan
sungai menggenangi dengan cepat halaman rumah itu. Luapan air dari sungai di dekat persawahan
menggenangi tempat yang lebih rendah dan mengisi apapun yang dilewatinya. Apalagi rumah Arfan
berada di tengah-tengah persawahan milik pribadi.

Dengan hati-hati Ardi berjalan di halaman rumah yang tergenang air sebatas mata kakinya. Deras
hujan mengguyur payungnya yang terkembang.

Butiran air hujan yang pecah diterbangkan angin di udara memborbardir baju yang dikenakannya.
Rembesan air mulai membasahi celananya.

Ardi berjalan perlahan melewati kebun di sekitar rumah lalu keluar ke jalan perkampungan. Jalan
yang terbuat dari batu kerikil menusuk-nusuk kakinya yang telanjang. Walau begitu ia telah terbiasa.
Cahaya dari lampu-lampu di sepanjang jalan yang berjarak setiap beberapa meter hanya mampu
menerangi sekitarnya. Namun sejauh mata memandang ke arah persawahan hanya diselimuti
kegelapan.

Seleret cahaya nampak dari balik pepohonan. Di sana ia melihat cahaya senter lain yang menari-
nari dalam kegelapan. Ia yakin warga berkumpul di sana. Suara-suara sayup terdengar dalam deras
hujan.

“Apa yang dilakukan para warga?” gumamnya bertanya kepada dirinya sendiri. Ardi melangkah
terus di jalan perkampungan yang hanya ditutupi kerikil. Aliran air hujan mengalir deras di jalan yang
makin menurun. Kontur tanah makin menurun. Kakinya mulai tenggelam sebatas betis. Untungnya
ia tak memakai alas kaki jadi tak tergelincir ketika melewati jalanan berbatu yang licin. Jemari
kakinya dapat lebih kuat mencengkeram tanah.

Ardi berjalan melewati pepohonan lebat yang tumbuh di kanan kiri jalan. Ia merasa seolah
perjalanannya lebih jauh dari biasanya. Dari balik bayang-bayang pepohonan dan kegelapan itu
seolah dirinya diawasi oleh seseorang… atau sesuatu. Ia berharap hanya perasaan buruknya saja.
Karena itu ia membuang jauh-jauh pikiran buruknya. “Aku tak akan menyerah semudah ini,”
gumamnya menguatkan hati.

Tiba-tiba sesosok bayangan bergerak dari satu pohon ke pohon lain. Seolah bersembunyi darinya.
Ardi menyorot bayangan itu menggunakan lampu senternya. Samar-samar ia melihat sosok
seseorang yang mengenakan jas hujan coklat pudar. Bunyi kecipak air terdengar jelas ketika orang
berlari menjauhinya. Orang itu berlari ke arah kebun yang mengelilingi rumah Arfan.

Ardi menaruh payungnya di jalan berbatu itu. Kemudian berlari mengejar sosok misterius itu. Ia
mematahkan batang tanaman sebesar lengan yang menjadi pagar hidup di sekitar kebun Arfan. Ia
menimang berat batang kayu tanaman itu, cukup berat untuk membuat cedera seseorang.
Kemudian ia mengambil ancang-ancang lalu mengayunkan lengannya demi melempar batang kayu
itu ke arah sosok yang berlari itu.

Batang kayu melayang di udara, mengempas butiran hujan di sekitarnya.Kemudian ia mendengar


bunyi berdebuk keras tidak jauh di depannya. Erangan kesakitan dan suara mendesis terdengar
kemudian. Seperti suara wanita. Dan desis itu! Tidak salah lagi, pikirnya.

Ia sepertinya mengenal suara itu. Ya, tidak salah lagi, suara yang didengarnya seperti di dalam
rumah Arfan. Apakah wanita siluman itu masih berkeliaran di sekitar rumah warga? Apa yang
dilakukannya di sekitar sini?

Jantung Ardi berdegup kencang. Ia tak menyangka wanita siluman itu masih berkeliaran di sekitar
pemukiman warga. Ia mulai teringat dengan ucapan wanita itu bahwa jika siluman ular di dalam
tubuh wanita itu keluar maka tak ada manusia yang bisa mencegahnya. Jika jatuh korban dari warga
di pemukiman itu maka Arfan akan merasa ikut bersalah.

Ardi mempercepat langkahnya. Ia berjalan hati-hati berjalan diatas tanah becek di tanah
berumput. Ketika ia telah sampai di arah suara erangan itu terdengar, namun sosok misterius itu
telah lenyap!

Ardi menyibak semak belukar dengan jemari gemetar. Menyorotkan lampu senter yang berada di
tangannya ke arah sesemakan. Ia tak peduli bajunya basah kuyup terkena guyuran hujan. Baju dan
celananya dikotori oleh cipratan lumpur. Ia sudah terbiasa berjalan tanpa menggunakan alas kaki
ketika membantu orang tuanya menanam sayuran di kebun yang disewakan.

Anak itu menyorotkan cahaya lampu senter ke tanah berlumpur. Anehnya ia menemukan jejak
kaki manusia di antara gerombolan rumput liar. Dalam hatinya mulai dipenuhi pertanyaan. Ia makin
tak mengerti apa sebenarnya yang dihadapinya. Tak mungkin siluman ular itu memiliki telapak kaki!
Ia mengamati jejak berlumpur itu dan mengingatnya. Kemudian, mencari-cari sesuatu yang bisa
dijadikan petunjuk lain di sekitarnya.

Orang itu terjatuh… tepat disini… dan lenyap…

Anehnya jejak kaki itu lenyap ke arah sawah. Jejak kaki digantikan oleh jejak lain seperti sesuatu
yang panjang diseret di atas tanah berlumpur.

Sesuatu yang mengilap tampak tergeletak di atas lumpur. Ketika Ardi mengamati benda itu, ia
menemukan jas hujan warna coklat yang tadi dikenakan sosok misterius itu.

“Kenapa ia melepas jas hujannya?” gumamnya lagi bertanya kepada diri sendiri. Kemudian ia
merasakan sesuatu yang licin di jas hujan itu. Lendir dan sesuatu yang berwarna merah. Aroma amis
tercium dari jas hujan itu. Darah? Pikirnya.

Apakah ini darah? Darah siapa? Apakah orang itu terluka?

Ardi menemukan rambut panjang yang melekat di rembesan darah segar itu.

“Orang itu bersembunyi dari sesuatu… atau mengawasi sesuatu? Keadaan di sekitar kampung itu.
Atau mengawasi seseorang? Mengawasi siapa? Untuk apa?” Ardi terus bergumam sembari
memeriksa jas hujan itu. Jas hujan itu ternyata robek seperti dikoyak sesuatu. Seperti cakar… atau
taring?

Apa yang telah terjadi sebenarnya?

Rasa takut tiba-tiba menyergapnya. Ia bergegas mengambil payungnya yang berada di jalan
berbatu lalu berbalik arah. Ia menyandangkan jas hujan di lengannya sembari memegang senter lalu
kembali ke arah rumah. Keadaan di rumah Arfan masih nampak sepi. Sesampai di teras, Ardi
menaruh payungnya. Kemudian ia melewati teras di sisi rumah Arfan agar sampai ke pintu belakang.
Ia tak mau mengotori rumah Arfan dengan jas hujan berdarah dan beraroma amis itu.
Setelah tiba di pintu belakang ia menyembunyikan jas hujan berdarah itu di semak-semak dekat
kamar mandi. Ia khawatir Arfan menemukan jas hujan itu sebelum ia dapat menjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi. Ia tak ingin membuat pria itu bertambah cemas.

Setidaknya ia harus mencari kata yang tepat untuk menjelaskannya kepada Arfan, namun ia tak
akan mengetahui apa yang akan terjadi keesokan harinya.

Bab 20 Ritual Gerhana 1

ARDI terlambat bangun keesokan paginya. Ia baru bisa tertidur ketika sudah dini hari. Dari
semalaman ia tak bisa tidur.

Siang itu terbangun karena mendengar suara gaduh dari atas atap rumah. Ia ingat bahwa hari itu
Arfan berencana membetulkan kabel yang diputus kemarin malam. Ia mendengar suara tukang
listrik yang bercakap-cakap dengan Arfan. Entah kenapa Arfan tak membangunkannya. Tapi toh ia
akan terbangun mendengar suara gaduh di atap rumah.

Biasanya ia terjaga oleh denting jam di ruang tamu. Namun, karena tidurnya terlalu larut, jadi ia
bangun kesiangan. Ia terlambat dari jadwal pagi yang seharusnya. Biasanya ia bangun paling pagi.
Setelah solat subuh ia menyiapkan sarapan lalu bersih-bersih di dalam rumah. Agak siang biasanya ia
bersih-bersih di halaman sampai ke kebun Arfan.

Namun, siang itu berbeda. Sekujur tubuhnya seperti kaku dan nyeri.

Ardi masih mengumpulkan kekuatan di atas ranjang kamar tidur. Ia mengerjap-ngerjapkan mata.
Menatap jendela. Cahaya matahari yang sudah naik menerobos ruang kamar itu, membuat seluruh
ruangan terang benderang. Nampaknya setelah langit puas menurunkan hujan, hari itu giliran
matahari yang memeluk dengan kehangatannya.

Setelah kesadarannya terkumpul dengan terburu-buru ia turun dari ranjang. Setelah melipat
selimut dan merapikan ranjang lalu keluar kamar.
Keadaan di luar terang benderang. Hari itu nampak cerah. Lumpur yang dibawa luapan sungai
mulai mengering. Ketika keluar dari ruang tamu, Ardi mendapati langit di luar biru cerah. Walau
gumpalan awan yang mirip sosok ular raksasa melingkar di sudut langit. Kali ini ia mengenakan
sandal lalu melangkah ke halaman rumah dan mengamati keadaan sekitar. Ia merindukan hangatnya
sinar mentari. Tepat di atas kepalanya langit biru menaunginya.

Kemudian ia teringat kepada sesuatu… ya, jejak kaki manusia itu pasti masih ada di sana. Ia juga
teringat kepada jas hujan berdarah yang disimpannya semalam.

Ardi melanjutkan melangkahkan kaki ke samping rumah. Angin menerpa dedaunan kering yang
berguguran. Hangat matahari membuat udara terasa lembab. Namun entah kenapa tengkuknya
terasa dingin seolah jemari dingin tak nampak mengusapnya. Harusnya ia bisa lebih bersemangat
lagi. Apalagi angin segar di hari itu memberikan suasana yang hangat. Walau rasa kantuk masih
menggelayut di pelupuknya.

Sesampai di belakang rumah. Ia mendekati semak belukar di samping kamar mandi. Di sana ia
menyingkap sesemakan dan melihat jas hujan berdarah itu masih ada di sana. Dari atas atap ia
masih mendengar suara Arfan dan suara tukang listrik yang bercakap-cakap. Nampaknya perbaikan
sudah selesai karena tak terdengar lagi suara gaduh.

Ardi masih meninggalkan jas hujan berdarah itu di balik semak. Kemudian ia pergi untuk
memeriksa jejak kaki yang dilihatnya semalam. Lumpur yang telah mengering membuat jejak itu
makin jelas. Telapak kaki manusia telanjang terbentuk di tanah berlumpur. Anehnya jejak itu
kemudian lenyap dan digantikan jejak seperti roda ban yang diseret ke arah persawahan. Ia bergidik
ngeri jika membayangkan bahwa jejak itu benar-benar jejak ular!

“Hey, kau sudah bangun?!” seru Arfan dari sisi rumah yang lain. Nampaknya ia melihat kehadiran
sosok Ardi yang berada di halaman rumahnya. Anehnya wajah Arfan nampak cemas. Pria itu dengan
langkah panjang-panjang mendekat ke arahnya. Lalu pria itu menepuk bahu Ardi dan menggiringnya
ke dalam rumah.

“Aku rasa kita harus segera pergi….” Suara Arfan terdengar lirih. Seolah tak ingin orang lain
mendengar suaranya. Termasuk tukang listrik yang sedang mengemasi perkakasnya.

“Ada apa?” tanya Ardi.


“Semalam… ya, semalam ada musibah lagi. Sebaiknya kita bicara di dalam rumah saja.” Arfan
membuka pintu rumah kemudian Ardi mengikutinya. Setelah itu pintu rumah ditutup rapat-rapat.
Pria itu mengawasi tukang listrik yang melangkah pergi dari halaman rumahnya.

“Dengar baik-baik… aku tak mau kamu celaka karena ulah siluman itu. Maksudku….” Arfan
berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku akan menitipkanmu ke keluarga istriku. Besok aku akan
pergi ke hutan keramat.”

“Sendirian?”

“Ya, tapi aku akan menghubungi tim SAR kenalanku. Aku akan ke hutan keramat itu menggunakan
perahu bersama tim SAR. Mereka yang menolongku tempo hari masih ingat rutenya. Setelah itu…
aku akan memisahkan diri,” beber Arfan menjelaskan rencananya. Ia memperlihatkan surat kabar di
hari itu. Ada peta jalur gerhana matahari yang melewati Indonesia, termasuk hutan keramat di
Kalimantan.

“Itu rencana gegabah… sama saja mencari mati!” Ardi seakan tak percaya mendengar rencana
gegabah Arfan.

“Aku sudah memikirkannya… daripada orang lain yang terus jadi korban.”

“Memangnya ada apa?”

“Tadi aku mendengar cerita tukang listrik… semalam ada seorang warga desa yang tewas diserang
ular. Ia tengah berjaga untuk mengawasi ketinggian air sungai memakai jas hujan lalu… seekor ular
menyerangnya. Walau ia sempat berteriak dan terdengar oleh warga lain yang kemudian datang
hendak menolongnya namun terlambat, tubuhnya sudah ditemukan tewas dan tinggal separo! Kalau
warga tak bergegas datang mungkin tak ada yang tersisa lagi dari tubuh orang itu….”

Ardi terhenyak mendengar cerita Arfan. Ia tak menyangka sosok misterius yang dilihatnya
semalam adalah pelaku pembunuhan itu! Tapi, apakah benar-benar siluman itu yang melakukannya?
Kemudian ia bergidik ngeri membayangkan jika dirinya yang menjadi korban!

Namun, anehnya kenapa sosok misterius semalam meninggalkan jejak telapak kaki? Bukankah
siluman ular tak memiliki sepasang kaki?

“Aku ingin kau merahasiakan ini. Karena hanya kita berdua yang melihat sosok siluman itu. Ya,
sosok istriku yang telah terkena kutukan!” Arfan menghempas tubuhnya ke sofa. Ia nampak berpikir
dengan keras. “Aku harus segera pergi ke hutan keramat itu. Namun bagaimana cara mendapatkan
tumbal manusia? Dan kabarnya seminggu lagi akan terjadi gerhana matahari yang melewati hutan
keramat itu.”

Ardi berusaha mencerna kejadian itu satu per satu. Ia masih berdiri mematung di ruang tamu. Ia
mencari kata-kata yang tepat kemudian bersuara. “Maaf, jika semalam aku tak membangunkan Mas
Arfan… karena semalam aku diam-diam keluar rumah.”

Arfan menoleh mengamati Ardi. Ia merasa anak itu memiliki kunci jawaban dari teka-teki yang
berusaha dipecahkannya seorang diri. Ya, selama ini ia hanya mengandalkan dirinya sendiri. Padahal
misteri itu tak akan terpecahkan tanpa bantuan orang lain. Tentu saja orang yang dipercaya dan
dapat diandalkan. Tapi, apakah anak berusia belasan tahun itu bisa diandalkan? Ia masih belum
menemukan jawabannya.

“A—apa yang kau lakukan semalam?” tanya Arfan penasaran.

“Tengah malam itu aku keluar karena tak bisa tidur. Di tengah suara deras hujan aku mendengar
bunyi tiang listrik yang dipukul-pukul, namun anehnya bunyinya berkali-kali tanpa henti seolah
hendak mengumpulkan warga. Karena itu aku memutuskan untuk keluar rumah.”

Arfan terdiam. Ia menahan diri untuk tak banyak bertanya agar anak itu dapat menyelesaikan
ceritanya.

“Ketika aku dalam perjalanan ke arah warga yang berkumpul. Dari balik pepohonan di tengah jalan
berbatu aku melihat sosok misterius itu. Ia mengenakan jas hujan yang berlumuran darah dan telah
robek. Dari gerak-geriknya aku yakin ia tidak terluka karena bisa berlari menghindariku. Karena itu
aku melemparkan dengan batang kayu. Tapi, orang itu lenyap ke arah persawahan. Hanya
meninggalkan jejak kaki. Anehnya jejak kaki itu juga hilang diganti jejak lain seperti… seperti jejak
ular berukuran besar.”

Arfan segera beranjak dari sofa. Ia bergegas mendekati anak itu. “Tolong tunjukkan di mana kau
menemukan petunjuk itu.”

Ardi hanya mengangguk lalu bergegas menghambur keluar dari pintu ruang tamu. Di halaman
rumah, ia menunjukkan jejak kaki yang masih tercetak di lumpur kering. Lalu jejak seperti tubuh ular
yang melata di tanah. Ia juga menunjuk arah persembunyian sosok misterius itu dan arah terakhir
sosok itu menghilang. Kemudian ia mengajak Arfan untuk melihat jas hujan warna coklat berdarah
yang disembunyikannya di balik semak-semak di belakang rumah.

“Tidak salah lagi. Ini adalah jas hujan yang dipakai korban semalam… lalu kenapa bisa dipakai
sosok misterius itu?” Arfan mengernyitkan dahi.

“Sedari tadi aku juga berpikir. Kuncinya adalah jejak manusia yang berubah jadi jejak ular. Aku
menduga… siluman ular itu telah keluar dari tubuh istri demi mencari mangsa.” Ardi kembali
mengamati jas hujan yang berdarah itu.

“Ya… ya, bisa jadi. Atau… itu merupakan wujud aslinya. Dengan kata lain, istriku yang berubah
menjadi ular. Bentuk asli siluman ular itu.”

“Jadi apakah itu benar-benar istri Mas, atau siluman ular yang menyaru menjadi….” Ucapan Ardi
terpotong oleh ucapan Arfan.

“Bukan… aku yakin itu adalah Melati, istriku. Aku masih dapat melihat pancaran mata dan
mendengar suara aslinya. Ya, itu adalah sosok istriku yang terperangkap dalam tubuh siluman ular.”
Arfan bergegas pergi ke kamar. Ia nampak melongok di bawah kolong ranjang dan mengeluarkan tas
besar.

“Apa yang Mas rencanakan?” tanya Ardi.


“Tidak bisa ditunda lagi. Aku harus mencari tim SAR dan pergi ke hutan keramat itu. Ya, sebelum
gerhana matahari minggu depan.”

“Tolong bawa aku ikut serta… aku bisa….”

“Jangan… ini terlalu berbahaya untuk anak seusiamu. Harusnya kau berada di sekolah. Belajar dan
bermain…. Ini bukan….”

“Aku bukan anak sekolahan lagi. Aku bekas loper koran yang tiap hari harus menyambung hidup.”

“Aku akan membiayai sekolahmu lagi. Kau akan dititipkan ke keluarga istriku. Tapi jangan bercerita
apapun kepada mereka.”

Ardi masih bersikeras untuk ikut Arfan. “Tapi, aku tak akan betah lagi berada di sekolah. Apalagi…
aku bersedia menjadi tumbal. Jika ritual gerhana itu bisa berjalan lancar, Mas bisa bertemu lagi
dengan….”

“Cukup!” Arfan berhenti mengemasi barang bawaannya. Ia tak percaya dengan apa yang
didengarnya. Untuk beberapa saat ia terdiam. Lalu berusaha tersenyum,”Anak-anak seusiamu mana
bisa jadi tumbal! Siluman itu tak akan menerimanya!”

“Lalu… siapa yang akan jadi tumbal?”

“Lihat saja… aku yang akan menjadi umpan, lalu akan kubunuh siluman ular itu setelah keluar dari
tubuh istriku, Melati.”

“Tak akan bisa kalau seorang diri. Harus ada yang mengalihkan perhatian siluman ular itu! Jadi
biarkan aku membantu….” Ardi memohon kepada Arfan.

“Tidak! Dengar, keputusanku sudah bulat. Kau akan dititipkan.” Arfan masih bersikukuh.
“Tapi, bagaimana jika gagal? Kapan Mas akan kembali?”

“Jika aku tak kembali… kau harus tetap hidup untuk mengurus rumah ini.”

Ardi hanya terdiam. Entah kenapa butiran air mata bergulir di pipinya. Ia tak ingin kehilangan
orang yang disayanginya lagi! Tidak untuk yang kedua kalinya!

Bab 21 Keteguhan Hati

ARFAN menitipkan Ardi kepada keluarga istrinya. Sebelum berangkat mencari tim SAR yang
pernah bersamanya di Loa Kulu.

Anak itu masih tampak enggan berpisah dengan Arfan. Di sepanjang perjalanan Ardi terdiam. Ia
berusaha menahan air matanya agar tak membuncah. Walau bulir-bulir air mata telah mengalir di
pipinya.

Sesampainya di rumah keluarga istrinya di Tenggarong. Arfan tak berkata-kata. Pria itu hanya
memberi tanda dengan anggukan. Seolah anggukan itu sudah mewakili seribu kata. Seolah Arfan
berkata-kata untuk menjaga rahasia mereka. Sekaligus mewanti-wanti agar Ardi menjaga dirinya
selama bersama keluarga istrinya.

Untungnya di dalam keluarga istrinya ada anak yang sepantarannya. Keponakan Arfan itu bernama
Ruli, anak semata wayang saudara istrinya yang tinggal di rumah warisan mendiang mertuanya.
Karena ia tidak memiliki saudara lain, maka kehadiran Ardi membuat dirinya senang. Ia menyambut
teman barunya dengan hangat.

Ruli menyapa Ardi dengan senyumnya yang khas. Senyum simpul yang manis. Ardi menoleh ke
arah anak itu membalas senyumnya. Ia memperhatikan Ruli yang baru datang dari sekolah,
membuka sepatunya dan menyusul Ardi naik ke atas anak tangga. Ia duduk di anak tangga teratas.
Rumah masih tampak kosong, karena orang tua Ruli masih berada di toko kelontong mereka yang
berada agak jauh. Kadang mereka pulang agak malam dari menjaga toko sejak pagi hari.
Jika bukan Ruli yang menjaga rumah, biasanya tetangga dekat yang dititipi kunci rumah sesekali
datang memeriksa atau bersih-bersih. Keluarga istrinya sering membagi-bagi sembako kepada warga
tak mampu di sekitar rumahnya, sehingga para tetangga pun selalu sigap membantu.

Apalagi ketika orang tua Ruli harus pergi ke luar kota, maka tetangganya yang datang pagi-pagi
membantu beres-beres rumah dan menyiapkan sarapan untuk Ruli. Di sekitar rumahnya, Ruli juga
kenal baik dengan anak-anak tetangga bernama Faris dan Ela. Di sekitar lingkungan juga dikenal
lelaki bernama Pak Sis yang bekerja serabutan. Termasuk membantu memperbaiki atau
memperbagus rumah para warga yang membutuhkan bantuan. Bahkan lelaki yang sebatang kara itu
yang paling banyak menyelamatkan warga ketika sungai meluap.

Karena luapan air sungai Mahakam pula yang membuat sekolah Ruli kebanjiran. Para siswa juga
banyak yang terlambat karena rumah mereka tergenang air sungai. Bahkan guru-guru yang paling
disiplin datang di pagi hari juga memutuskan untuk meliburkan sekolah. Ardi jadi teringat kepada
teman-teman dan para gurunya di sekolah. Juga kepada Bu Emi yang seringkali memintanya untuk
tetap masuk sekolah.

Ruli yang jangkung, lebih tinggi tiga inci dari Ardi—tinggunya mungkin seratus dua inci. Ia berusaha
mengenal Ardi lebih dekat seolah mereka sudah seperti saudara. Memang sejak awal Ruli ingin
memiliki seorang adik, bahkan ia memohon kepada orang tuanya untuk memberinya adik kecil yang
dapat menemaninya.

Kadang Ruli mengucap sesuatu berulang-ulang. Hingga Ardi menyangka bahwa Ruli seorang anak
yang cerewet atau pandai bercerita. Ruli memang suka bercerita bahkan ia bercita-cita menjadi
seorang penulis. Di sekolahnya ia seringkali ikut lomba pidato dan baca puisi di tiap acara sekolah.
Kemampuan menulisny bahkan lebih baik dari guru bahasa yang mengajarinya. Ruli juga menjabat
sebagai anggota OSIS di ekskul majalah sebagai pemimpin redaksi. Awalnya penerbitan majalah
sekolah lancar, sebelum luapan banjir menghancurkan naskah-naskah di ruang ekskulnya.

“Aku harap kau betah tinggal di sini,” tukas Ruli.

“Betah gak betah ya harus betah dong.” Ardi berusaha bersikap hangat, walau ia tak dapat
menyembunyikan matanya yang sembap karena menangis sepanjang perjalanan.

Ruli mengedip-ngedipkan mata. “Hei, santai saja, oke.”


Ruli mengeluarkan buku catatannya dari dalam tas punggungnya. Bukan tas ransel bermerk, tapi
Ardi menyukai model tasnya. Semakin banyak benda yang bisa dimasukkan ke dalam tas sekolah itu,
Ardi semakin menyukainya. Tas ranselnya hilang ikut terseret sungai Mahakam ketika ia nyaris
menjadi korban ambruknya jembatan Kartanegara. Tas ransel merah menyala yang sering
dibawanya ketika menyusuri hutan di Kalimantan bersama kelompok pecinta alam di sekolahnya. Ia
berusaha mencari tas sekolah penuh kenangan itu di sepanjang sungai Mahakam namun tak
menemukan apapun selain sampah. Ia bahkan mengais-ngais di dalam tumpukan lumpur sungai
yang bercampur pasir. Berharap menemukan benda kesayangannya. Namun, usahanya sia-sia
belaka.

“Masih ada mata pelajaran yang tak kupahami.” Ruli mengaduk-ngaduk tasnya. Ia mengeluarkan
pensil kayu dan mulai mencorat-coret halaman di belakang buku catatanya.

“Coba kalau ada Mas Arfan di sini. Ia pasti bisa mengajarimu mengerti semua mata pelajaran di
sekolah. Aku lihat piala-pialanya banyak di rumahnya.” Ardi membalas perkataan Ruli. Dan mencoba
memasang tampang serius seperti dia. Namun, gagal. Ardi merasa konyol dan menertawakan diri
sendiri dalam hati. Ia teringat ketika bersama Arfan membaca buku di ruang baca. Sekejap kemudian
kenangan itu kembali membuat dirinya bersedih.

“Dulu Mas Arfan sering mengajariku. Tapi semenjak ia menikah, aku mulai belajar sendiri.” Ruli
mencoba tersenyum. Ia juga merasakan kehilangan seperti Ardi. Suara mereka memantul-mantul di
beranda depan rumah. Halaman yang luas membuat suasana menjadi tenang. Di teras itu cocok
sebagai tempat belajar.

Ardi sadar masih belum berganti pakaian. Kemeja biru pudar itu terasa lengket oleh peluh. Ia
mengingat-ingat, apakah sudah membawa semua pakaian dan perlengkapan mandinya di dalam
kopor. Arfan juga menitipkan amplop tebal untuk diberikan kepada orang tua Ruli. Arfan hanya
berpesan bahwa surat itu penting untuk diberikan sebagai biaya sekolah dan segala keperluan Ardi
selama tinggal di rumah itu. Entah sampai kapan. Tapi Arfan telah mengatakan bahwa ia juga
menitipkan tabungannya. Walau telah dijamin, namun Ardi masih berharap dapat melihat Arfan lagi.

“Oya kalau mau ganti pakaian akan kutunjukkan ruang kamarmu,” ujar Ruli memerhatikan Ardi
yang memeriksa kopornya. Kopor berdebu yang diberikan Arfan.
Ardi memeriksa kemejanya yang telah dilipat rapi. Di bawah lipatan itu ada amplop tebal yang
harus diberikan kepada orang tua Ruli seperti pesan Arfan. Setelah yakin tidak ada yang berkurang di
dalam kopornya, ia menutupnya kembali. Ruli memberi tanda agar ia mengikutinya ke dalam
rumahnya.

“Di sini ruang tamu. Sekarang menjadi kamarmu. Anggap rumah sendiri.” Ruli membuka jendela
ruang kamar dan membiarkan udara masuk.

Ardi mengeluarkan kemeja lalu menatanya di lemari kecil dalam kamar. Ia menggantung topi di
tempat gantungan baju di tembok. Ia sudah terbiasa merapikan kamarnya sendiri. Bahkan menyuci
dan menjemur pakaiannya sendiri.

Ruli bergegas keluar kamar. “Istirahat dulu. Kalau lapar jangan sungkan ke dapur ya. Kutinggal
ganti seragam dulu.”

“Iya. Di mana letak kamar mandi? Aku belum mandi nih.” Ardi tersipu.

“Belum mandi? Pantesan…” Ruli meledek Ardi sembari menunjukkan letak kamar mandi. Ia
memperhatikan buku-buku dan lembaran kertas yang dikeluarkan Ardi dari dalam kopor. Sesekali ia
melihat catatan seperti coretan, sketsa gambar, dan potongan surat kabar. Ruli tak mengerti kenapa
Ardi membawa berkas-berkas itu. Namun ia tak ingin banyak bertanya atau mencampuri urusan
orang lain. Ia menganggap berkas-berkas itu sangat berharga bagi Ardi.

“Apa badanku bau?” tanya Ardi jujur.

“Gak, maksudnya–pantesan masi pakai kemeja kusut.”

“Padahal tadi pagi udah mandi.”

“Ini kan sudah hampir sore. Kalau mandi kemalaman ntar flu loh.” Ruli melirik ke arah berkas-
berkas itu. Rasa penasarannya timbul juga.
Ketika Ardi hendak pergi ke kamar mandi, Ruli akhirnya bertanya juga. “Untuk apa berkas-berkas
itu?”

Ardi berbalik kembali. Kemudian menunjukkan berkas-berkas itu. “Aku membawanya dari rumah
Mas Arfan. Catatan tentang kejadian-kejadian misterius yang terjadi di sungai Mahakam.”

“Apakah karena itu Mas Arfan pergi?” tanya Ruli lagi.

Ardi teringat bahwa ia sudah berjanji untuk merahasiakan kejadian misterius di rumah Arfan. Ia
berusaha untuk tidak membeberkan semuanya.

“Ya, Mas Arfan hendak mencari jejak istrinya.”

“Maksudmu Mas Arfan masih berusaha mencari jasad istrinya? Mbak Melati?”

“Iya, begitulah.” Ardi tak ingin membahasnya lebih jauh. Ia berkata sembari keluar dari kamar.
Kemudian melangkah panjang-panjang menuju arah yang ditunjuk Ruli di mana letak kamar mandi
berada.

Sementara Ardi berada di kamar mandi. Ruli penasaran untuk memeriksa tumpukan berkas-berkas
itu. Ia membaca potongan berita tentang anggota tim SAR yang lenyap di dalam sungai Mahakam. Di
lembaran lain terdapat catatan berupa coretan spidol. Coretan gambar-gambar aneh seperti sosok
siluman? Ruli bertanya-tanya dalam batinnya.

Bunyi panjang dari pintu kamar terdengar. Ardi melangkahkan kakinya di atas tegel kamar
ruangan. Ia sudah membersihkan diri. Karena udara yang dingin ia tak ingin kena demam.

“Kok sebentar mandinya?” tanya Ruli

“Ya, airnya dingin.” Ardi tampak menggigil. Alasan lainnya adalah ia lupa menaruh berkas itu.
Sehingga Ruli dapat memeriksanya. Ia tak ingin menceritakan apa yang telah terjadi dengan Arfan
dan istrinya. Cukup dirinya yang mengetahuinya.
Ardi bergegas merapikan berkas yang berada di atas ranjang. Ruli hanya dapat memandang heran
tanpa banyak bertanya.

Udara dalam ruang kamar itu begitu dingin apalagi di waktu malam. Langit-langit yang tinggi
menyebabkan udara dingin berkumpul masuk melalui celah di ventilasi jendela. Tak kalah dingin
dengan AC. Ia tak terlalu terganggu dengan udara dingin. Karena selama menjadi loper koran ia
biasanya sering berada di jalanan. Ia bahkan bisa tidur di mana saja. Namun, malam itu ia tak bisa
tidur. Walau ruang kamar itu begitu nyaman ia masih tetap memikirkan apa yang terjadi dengan
Arfan. Sempat terbersit dalam hatinya untuk kabur dari rumah itu. Tapi bisakah ia membuat cemas
Ruli? Walau ia masih belum bertemu dengan tuan pemilik rumah itu.

Ke mana pria merana itu pergi?

***

Arfan tak perlu lagi mencemaskan Ardi yang telah dititipkan ke keluarga istrinya. Ia merasa bahwa
Ardi aman berada di sana.

Ia tengah berada di atas perahu motor yang disewanya. Hanya berdua bersama pemilik perahu
motor. Rencana untuk mengumpulkan anggota tim SAR yang membantunya tempo hari tak berjalan
semestinya. Beberapa anggota tim SAR menolak, yang lainnya tengah bertugas di tempat lain.
Mereka tak dapat menerima alasan yang diajukan oleh Arfan. Bahwa jasad istrinya masih berada di
suatu tempat yang bahkan ia sendiri tidak tahu di mana tepatnya. Tentu saja ia tak mengatakan hal
yang sebenarnya, bahwa istrinya telah dirasuki siluman.

Berita mengenai gerhana yang akan melewati sebagian pulau Kalimantan mulai santer. Sesanter
berita tentang ular raksasa yang mengganggu ketenangan warga. Ia yakin istrinya tengah
mengikutinya. Jika ia tidak ada di kampung itu, maka warga akan selamat. Karena siluman ular itu
datang karena istrinya masih menyimpan kenangan bersama Arfan. Jadi, siluman ular itu pasti akan
mengikutinya.

Setidaknya ia harus mengejar waktu agar bisa menemukan istrinya, tepatnya, siluman itu pada
saat gerhana mulai terjadi. Sekarang waktu baginya sangat berharga. Ia tak boleh menyia-
nyiakannya.
***

Bab 22 Hutan Bayangan

RUANG kamar yang ditempati Ardi memiliki jendela berteralis besi. Tak akan mudah keluar lewat
jendela. Pikiran untuk melarikan diri pada malam itu sudah terbersit dalam benaknya. Ia tak perlu
berpikir terlalu lama untuk memutuskannya. Meskipun ada perasaan bersalah, namun ia tak mau
merepotkan siapapun. Termasuk keluarga Ruli. Ia sudah berencana untuk pergi sebelum melihat
kedua orang tua Ruli datang dari toko.

Ia juga telah menaruh amplop yang dititipkan Arfan. Ia menaruhnya di atas ranjang. Setidaknya ia
telah menyampaikan amanat Arfan. Apalagi Arfan juga memberi sebagian tabungannya kepada Ardi
untuk uang sakunya. Ia mengira akan baik-baik saja selama membawa bekal dalam perjalanannya
nanti.

Ardi memeriksa keadaan di luar kamar. Ia mencocokkan jam di ponselnya dengan jam dinding di
ruang tamu. Setelah memastikan dari celah pintu bahwa Ruli tengah fokus belajar di kamarnya,
diam-diam ia mengendap keluar rumah. Ia menyandang tas ransel pemberian Arfan. Ia tak
membawa sebagian pakaiannya yang berada di dalam koper. Tas kopernya ditinggal di dalam kamar.
Ia juga telah menulis pesan di atas amplop yang berbunyi:

Aku hendak menyusul Mas Arfan,

kami akan baik-baik saja, saya harap kalian tidak cemas

tertanda, Ardi.

Ia memastikan tidak ada orang lain yang memperhatikan ketika keluar dari rumah. Apalagi
keadaan di halaman cukup terang. Lampu-lampu di teras dan halaman rumah menyala. Halaman
rumah Ruli tampak asri. Tetangga yang peduli ikut membersihkan sampah dan dedaunan kering yang
jatuh dari pepohonan di halaman rumah itu.

Setengah jam kemudian. Ardi sudah sampai di jalan besar. Ia menghentikan angkutan umum lalu
bergegas naik. Rumah Ruli perlahan tampak menjauh dari jendela mobil. Kemudian ia melayangkan
pandangan ke arah depan. Membayangkan apa yang akan ditemuinya di depan sana.
Kemana ia akan mencari Arfan…

***

Kegelapan di dalam hutan Tenggarong membuat Arfan berhalusinasi. Cahaya senternya nyaris tak
membantu. Ia seperti melihat bayangan putih sosok manusia di antara pekatnya malam. Di sudut
gelap yang tak terjangkau cahaya senternya. Wajah-wajah yang menari dalam kegelapan malam
seolah tersenyum kepadanya dan seperti mengatakan sesuatu. Ia menabur garam di sekelilingnya
agar terhindar dari hewan melata beracun. Kemudian menggelar matras di atas permadani
rerumputan pendek. Tidak jauh dari jalan setapak lalu berbaring. Berbagai bunyi hewan malam
terdengar. Bunyi lain seperti gumaman seseorang… atau sesuatu mengganggu ketenangan Arfan.

“Jangan sekarang,” gumamnya. “Aku letih… biarkan aku tidur nyenyak.” Rasa letih membuat
pandangan Arfan buram. Bayangan itu pun semakin memudar. Seleret cahaya dari lampu perahu
motor yang membawanya menyeberang ke hutan mulai menjauh. Tampak bagai bintang kecil yang
terhalang rapatnya pepohonan kemudian menghilang tertutup batang pepohonan yang makin
rimbun.

Entah kenapa, Arfan mulai merasakan rasa bersalah. Ya, kepada semua orang. Kepada dirinya
sendiri. Rasa bersalah yang tak dimengerti, bahkan oleh dirinya sendiri. Kenapa aku gak bisa
menyelamatkan diriku sendiri? Gak bisa menyelamatkan istriku sendiri? Bahkan aku nyaris
membawa orang lain yang tak ada hubungannya dengan masalahku… aku telah membawa Ardi
terlibat masalah ini, juga nyaris mengajak tim SAR untuk ikut dalam… dalam pencarian yang
membahayakan mereka!

Seharusnya biarlah aku saja yang menanggung semua ini!!

Ya, biarkan aku saja yang menanggungnya!

Kelelahan menggelayuti punggung Arfan seakan punggungnya berubah menjadi tempurung kura-
kura. Sehabis menyusuri sungai Mahakam dan menerobos hutan di Tenggarong, rasa letih terpaksa
membuatnya beristirahat sejenak. Ia tak berpikir untuk membersihkan diri. Lumpur yang mengotori
celana kargonya sudah mengering.
Mimpi buruk yang terjadi atas istrinya terus menghantuinya. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan
pahit itu, namun tak bisa. Seakan ia berada dalam mimpi buruk tanpa ujung. Mimpi buruk yang
menjadi nyata.

Mimpi buruk yang terus berulang seperti malam-malam kemarin.

Hambusan angin berkesiur di antara dedaunan pepohonan. Namun Arfan sudah tak memedulikan
sekitarnya, rasa letih menyeretnya ke dalam kelelapan. Ia tertidur di tengah-tengah hutan.

***

Jalanan di dekat bantaran sungai Mahakam masih amat ramai oleh pengendara sepeda motor.
Mereka menganggap puing-puing akibat banjir sebagai tontonan yang cukup menarik di malam itu.
Penjual makanan ringan pun tak mau ketinggalan memetik rejeki untuk mengisi perut mereka yang
kosong. Kehidupan seolah tak pernah mati, bangkit kembali dari hari ke hari.

Seperti Ardi, anak yang sebatang kara itu sekarang sedang menyusuri tepi sungai Mahakam.
Mencari informasi dari perahu-perahu motor tentang keberadaan pria bernama Arfan. Selama
beberapa lama sosok pria itu menjadi buah bibir. Maka tak heran jika orang-orang yang biasa berlalu
lalang di tepi Mahakam cukup akrab dengan wajah Arfan.

Ardi memperhatikan perahu-perahu motor yang berlalu lalang sepanjang sungai Mahakam.
Perahu motor itu seperti kunang-kunang di atas gelapnya sungai Mahakam.

Ardi kembali mendekati perahu motor yang masih kosong penumpang.

“Apa tadi melihat pria bernama Arfan?” tanya Ardi mengeraskan suaranya.

“Hah? Oh pria aneh itu baru kuantar ke Tenggarong.”

“Apa bisa mengantarkan saya ke sana? Ke tempat pria itu?”


“Iya, nanti setelah perahu penuh dengan penumpang. Pulangnya saya antar.”

Ardi meraih tas ranselnya. Ia mengeluarkan gulungan lembaran uang yang diberi oleh Arfan.

“Antar saja saya sekarang. Berapa biayanya? Apa ini cukup?” Ardi menyodorkan gulungan penuh
lembaran uang itu.

Untuk beberapa lama pemilik perahu mengamati lembaran uang. Menghitungnya. Lalu ganti
mengamati Ardi. Dahinya berkerut seperti melihat keanehan.

“Anak-anak sepertimu ada keperluan apa ke Tenggarong?” tanya pemilik perahu, tampak heran.

“Saya mau menyusul pria itu… Arfan.”

Pemilik perahu tidak bertanya-tanya lagi. Ia hanya menggeleng-geleng tanda tak mengerti. Ia
hanya memberi tanda untuk naik ke perahu motor.

***

Arfan terjaga di malam buta itu karena gerombolan nyamuk yang ribut di atas wajahnya. Sebagian
dari mereka sudah kenyang oleh darahnya. Setitik darah membekas di telapak tangannya ketika ia
menepuk jatuh salah satu nyamuk yang tak beruntung.

Ia beranjak dari matras dengan wajah linglung. Tengkuknya masih terasa berat. Dengan tergesa ia
meraih senternya lalu berdiri. Ia kembali mengemasi matras ke dalam ransel. Kemudian melanjutkan
perjalan memasuki hutan. Menurut perhitungannya, di dalam hutan Tenggarong adalah tempat yang
tepat untuk bertemu istrinya yang sekarang sudah jauh berbeda.

Apalagi tepat di tengah-tengah hutan itu akan dilewati jalur gerhana minggu depan. Jalur gerhana
sebagian… seperti yang diceritakan istrinya tentang ritual gerhana.
Langkah Arfan tak setegap tadi. Beberapa kali langkahnya limbung. Apalagi semak belukar makin
rapat. Pepohonan berjejer seperti pagar hidup. Ditambah bayangan tentang istrinya masih
mengusiknya. Entah kenapa ia teringat ketika memarahi istrinya. Rasa bersalahnya makin lama
makin mengganggu pikirannya. Jika istrinya masih hidup maka delapan atau sembilan bulan
mendatang ia sudah bisa melihat anak pertamanya lahir.

Ia masih berusaha melupakan kesalahannya kepada istrinya. Lalu mencoba mengalihkan


pikirannya kepada bayangan anak pertama mereka. Nama-nama yang akan dipilihnya jika anaknya
lahir. Tapi kemudian bayangan mengerikan menari-nari dalam pikirannya. Jika istrinya yang tengah
hamil dirasuki siluman ular, ia tak berharap melihat bayinya juga berubah menjadi sesosok ular… Tak
mungkin. Ia mulai bergidik ngeri. Apalagi ketika mendengar bunyi berkeresak yang tidak jauh
darinya. Bunyi yang berasal dari balik pepohonan tidak jauh darinya. Bunyi berkeresak lagi. Sekarang
bunyi itu seolah berlari mengelilingi di sekitar tempatnya. Semak belukar bergoyang-goyang ketika
sesuatu lewat di sana.

Arfan menghunus belati dari sakunya.

Ia tak berharap bertemu dengan makhluk buas.

Namun, apapun itu akan ia hadapi.

Sebelumnya ia pernah berhadapan dengan maut. Dan tak akan mundur lagi.

***

Ardi dengan terburu-buru keluar dari perahu motor. Tas ransel di punggungnya melompat-lompat
setiap kali melangkah panjang-panjang. Ia sudah hendak berlari. Namun, ia menyadari harus
menghemat energinya. Bekalnya tidak banyak, hanya sebotol besar air mineral, biskuit, garam dan
gula yang dibelinya dalam perjalanan. Ia juga membawa lampu darurat yang dibawanya dari rumah
Arfan.

Suara mesin perahu motor makin menjauh. Refleksi lampu dari perahu motor membuat garis
cahaya di atas sungai. Itu terakhir kalinya ia melihat perahu motor yang mulai menjauh.

Ia melangkah menjauhi jalan setapak dan masuk ke dalam lebatnya hutan. Ia bergegas memasuki
hutan Tenggarong.
Udara di dalam hutan tidak biasanya lembab, agak hangat. Serombongan nyamuk menyerbu
wajahnya ketika ia makin memasuki hutan lebat. Ia ingin segera mengusir hawa panas yang
menggigit kulitnya dari sejak memasuki hutan. Semak belukar dan ranting pepohonan mulai
menyulitkan perjalanannya.

Dengan lengannya ia menyingkirkan dedaunan yang menghalangi pandangan.

Ia merasakan udara di hari itu naik tiga derajat dari biasanya.

Punggungnya bermandikan keringat dingin. Pandangannya awas memperhatikan keadaan


sekeliling. Mencari cahaya lain yang nampak.

Angin dingin tiba-tiba berhembus di antara celah pepohonan. Apakah badai akan kembali lagi
malam ini? Batinnya. Jika hujan turun terpaksa ia akan membuat shelter di dalam hutan. Ia
membawa jas hujan lipat yang dibelinya di mini market. Ia masih ingat ketika bersama teman-teman
sekolahnya mengadakan kegiatan perkemahan walau hanya di tepi hutan. Ia berusaha mengingat-
ingat bagaimana cara bertahan hidup di dalam hutan. Meski sekarang bukan lagi latihan. Hanya
dirinya seorang di dalam hutan itu. Tapi benarkah ia sendirian?

Bunyi berkeresak dari balik pepohonan membuat anak itu waspada.

“Siapa di sana?” Ardi memberanikan diri mengeluarkan suara. Namun tak ada jawaban. Tak ada
pula suara. Tak ada cahaya. Jadi anak itu menduga bahwa hewan liar tengah bergerak
mendekatinya. Entah apa… Namun jika hewan liar pun pasti akan mengeluarkan suara. Ia menyerah
untuk menduga-duga.

Yang terdengar hanya bunyi berkeresak yang terus bergerak mengelilingnya.

Ia tak dapat berbuat banyak ketika seseorang…. atau sesuatu menerjang tubuhnya dari belakang.
Anak itu tidak sempat melawan. Jika melawan pun tak akan bisa. Yang dapat dilihatnya adalah sosok
seperti manusia namun hitam legam. Hanya bola mata yang nampak putihnya saja!
Jemari kokoh mencengkeram lehernya. Membuatnya tak bisa bernapas. Dadanya sesak. Anak itu
berpikir mungkin saat itu juga ajalnya akan tiba.

Bab 23 Hutan Bayangan 2

“Jangan ganggu aku!”

SUARA itu terdengar serak. Terdengar dari sosok bayangan hitam itu. Suara yang masih dapat
dikenali oleh Ardi. Walau kesadarannya perlahan-lahan nyaris lenyap. Ia masih sadar bahwa suara itu
adalah suara Arfan.

Kenapa? Apa yang terjadi sebenarnya?

Apa yang terjadi dengan Arfan?

Ardi merasakan pelipisnya berdenyut-denyut. Darah seakan mengalir ke ubun-ubunnya,


berkumpul di ujung kepalanya. Cengkeraman jemari sosok hitam itu makin kuat di lehernya.

“Arrgh… Arrffannn!!” seru Ardi melontarkan napas terakhirnya. Usahanya yang penghabisan. Ia
berserah kepada nasib jika harus tewas di tangan sosok misterius itu.

Kemudian jemari di leher anak itu makin mengendur.

Tak lama terdengar suara lagi dari sosok hitam itu. “Ardi?? Kaukah itu?”

Cengkeraman sosok hitam itu perlahan mengendur.

Ardi tersedak. Ia buru-buru menghirup udara untuk mengisi paru-parunya.

Perlahan sosok hitam itu berubah menjadi sosok yang dikenalnya. Kegelapan tersaput dari sosok
Arfan. Bagai lapisan jelaga tebal yang telah tersaput dari kulitnya.

“Apa yang terjadi?” tanya Arfan masih linglung. Ia jatuh terduduk. Tak percaya sedetik yang lalu
akan menjadi pembunuh.
Ardi mengusap lehernya. Wajahnya meringis tanda kesakitan.

“Hey, kau tak apa-apa?” tanya Arfan lagi. Ia memeriksa bekas memar di leher anak itu. Memar
yang diakibatkan olehnya sendiri. “Maaf… aku….”

“Ini hutan bayangan… sudah banyak yang jadi korban.”

“Hutan bayangan… aku pernah dengar.”

“Ya, biasanya orang yang tersesat di sini menjadi macan kumbang yang menyerang pemukiman
warga. Setelah warga membunuhnya, macan kumbang berubah menjadi manusia. Padahal di sini tak
ada macan kumbang, yang ada macan dahan.”

Arfan terhenyak. Ia tadi memang tak melihat sosok Ardi. Yang ia lihat adalah sosok macan
kumbang!

“Syukurlah… kau tak apa-apa!” Arfan bernapas lega.

“Aku minta maaf juga karena tak mendengarkan perkataan Mas.” Ardi tampak menyesal.

“Yang sudah terjadi biarlah terjadi. Aku akan mengantarkanmu pulang.” Arfan beranjak dari
tempatnya. Ia meraih ransel anak itu dan membawanya.

Ardi tak dapat berbicara banyak lagi. Ia menurut saja.

Namun, tidak semudah itu.

***
“Aku yakin tadi melewati jalan ini,” ujar Arfan. Ia yakin telah berbalik arah, namun seperti
berputar-putar di tempat. Hutan itu seperti labirin yang tak ada habisnya.

Gerimis yang turun membuat udara menjadi dingin. Kabut terbentuk di dalam hutan itu. Arfan dan
Ardi mengenakan jas hujan yang mereka bawa. Namun jika gerimis hujan terus menderas, mereka
akan makin kesulitan. Ditambah perangkap alami dari kubangan lumpur dan semak berduri akan
membuat mereka terjebak.

Langit tampak gelap gulita. Cahaya senter nyaris tak banyak membantu, apalagi GPS dan ponsel
pintar yang dibawa Arfan. GPS menunjukkan mereka masih berada di tempat yang sama. Tak ada
cahaya di langit. Bahkan tak ada kilat yang menyambar. Yang terdengar hanya deru angin yang
menerjang gerimis.

Suhu udara memang tak menentu di dalam hutan hujan tropis. Kadang panas dan lembab,
kemudian—berubah drastis, menjadi dingin yang tak begitu nyaman.

Arfan masih tak menemukan pemukiman terdekat. Tak ada cahaya dari rumah-rumah penduduk
dari celah-celah pepohonan. Tanda bahwa mereka makin masuk ke dalam hutan belantara. Hutan
yang misterius dan tak bernama itu…

Hujan lebat mulai mengguyur hutan bayangan malam hari itu.

Hutan yang mendapat julukan dari warga dayak sebagai hutan bayangan. Sialnya Arfan dan Ardi
berada di sana. Di kawasan hutan hujan tropis yang masih lebat karena keramat. Siapa saja yang
masuk ke dalam sana tak kembali. Tidak ada yang memperingatkan mereka. Namun seolah mereka
seakan sudah tak peduli. Di sisi lain tak ada jalan kembali. Mereka seakan masih betah berada di
dalam hutan. Walau hujan dapat menyingkirkan sekawanan nyamuk malaria yang menari-nari di
sekitar wajah mereka yang tertutup tudung jas hujan.

“Kita istirahat dulu!” seru Arfan. “Matikan sentermu. Hemat baterai.”

Ardi hanya dapat mengangguk. Ia mengikuti Arfan ke gundukan batu kemudian duduk di sana. Ia
bersandar ke batang pohon di dekat gundukan itu.
Arfan menaburkan bubuk garam di sekitar tempat mereka duduk. Menghindari dari lintah dan
hewan melata lain. Ia berharap hewan melata beracun dapat terjebak dalam bubuk garam yang
ditaburkan.

Hanya suara deras hujan yang terdengar. Kabut yang bergerak di bawah pepohonan tampak
bergerak perlahan menyelimuti hutan, seakan hidup! Tiba-tiba lampu darurat yang berada di tangan
Arfan meredup.

Kabut yang semula putih perlahan berubah menjadi hitam! Seolah asap kebakaran hutan telah
mengotori asap putih hingga menjadi berwarna kelabu. Tidak seperti asap dari kebakaran yang
biasanya melanda hutan Kalimantan. Dalam asap kelabu itu sosok malaikat maut berjubah kelabu
seolah terbang kesana-kemari.

Satwa di dalam hutan terdiam. Dalam diam mereka gelisah. Apalagi bunyi guruh di atas langit
mulai bergemuruh. Insting mereka lebih kuat dari manusia. Mereka dapat merasakan sesuatu yang
datang. Sesuatu yang bukan dari dunia ini. Satwa-satwa liar itu bersembunyi dalam shelter alam.
Melindungi kepala mereka dari guyuran hujan dengan dedaunan. Burung-burung pun bersahut-
sahutan gelisah dalam kabut yang tak biasa itu. Hawa dingin yang tak biasa mulai dirasakan.

Namun Arfan tak sendirian. Walau ia tak mengetahuinya bahwa tidak jauh dari tempatnya ada pos
pantau polisi hutan. Dua orang polisi hutan yang berada di dalam hutan juga melihat fenomena aneh
itu. Teman-teman polisi hutan itu telah pulang mengikuti jadwal patroli mereka. Melewati jalan
setapak yang nyaris tak dapat dilalui umum. Baru sore hari tadi mereka giliran shift jaga di dalam
menara pantau yang berada di atas menara kayu. Dari menara kayu itu mereka dapat mengawasi
kawasan hutan menjaganya agar bebas dari penebangan liar.

Seorang polisi hutan berusia tiga puluhan turun dari menara pantau. Ia masuk ke dalam
pepohonan. Polisi hutan lain yang berusia lebih muda masih berada di atas menara pantau, berjaga
dengan teropong medan yang dilengkapi night vision untuk dapat melihat dalam gelap.

Tiba-tiba terdengar bunyi berderak yang nyaring. Entah apa yang terjadi kepada pepohonan di
dalam hutan itu. Pohon yang menjulang tinggi berdiameter sekitar lima meter tumbang pada sebab!
Polisi itu mengarahkan senternya dan memeriksa pohon yang tumbang. Akar-akar pohon itu
membusuk hingga batangnya menjadi rapuh. Anehnya pohon lain di sekitar pohon itu juga ikut
tumbang! Satu per satu pohon tumbang. Di sekitar menara itu tampak gersang. Sisa-sisa bongkol
batang kayu yang menghitam karena membusuk seperti nisan-nisan di kuburan! Hutan itu dengan
cepat menjadi sebuah kuburan pepohonan! Semak belukar pun menjadi menghitam seperti terkena
hama. Permadani lumut, rerumputan liar, paku-pakuan, dan jamur seperti disiram cairan beracun
pestisida. Kawasan hutan itu tampak bagai lapangan kematian pepohonan yang diselimuti kabut
kelabu yang perlahan menjadi hitam.

“Hey, turun!” seru polisi hutan itu. Ia mendongak melihat rekannya di atas menara pantau. “Apa
kau melihatnya juga?”

Rekan itu seperti mengambil sesuatu dari pinggangnya. Rekan polisi hutan itu turun dari menara.
Wajahnya tampak ketakutan.

“Apa kau melihatnya….”

Belum selesai kata-kata polisi hutan itu, rekannya tiba-tiba menyerangnya dengan tongkat listrik!
Pergumulan pun tak dapat dihindari.

“Hentikan! Hey, apa yang kau lakukan… aku ini temanmu!”

Namun rekan polisi hutan itu seperti kalap. Di kedalaman matanya ia seperti tak melihat sosok
temannya. Ia melihat sosok hitam legam yang mengerikan.

Ya, sama ketika Ardi melihat sosok Arfan yang berubah menjadi sosok gelap.

Sesuatu tengah terjadi di dalam hutan bayangan.

Tidak jauh dari tempat itu. Pemukiman penebang pun mulai merasakan kengerian yang sama.

Beberapa kilometer dari menara pantau. Beberapa penebang yang menginap di dalam hutan lari
terbirit-birit. Seakan melihat sosok hitam legam dari dalam hutan. Mereka melepas tali-tali perahu
yang ditambatkan. Perahu motor bermesin diesel yang berayun-ayun di atas anak sungai Mahakam
menunggu mereka untuk melarikan diri dari hutan bayangan.
Jalur yang biasanya dilewati tergenang lumpur. Entah kenapa mesin truk mati. Mereka tak dapat
melarikan diri menggunakan truk-truk pengangkut kayu. Tumpukan log kayu telah dilepas ke sungai
lebih awal. Mereka tak ingin merugi. Sebagian besar batang kayu telah dihanyutkan melalui aliran
anak sungai Mahakam di Tenggarong. Di dekat sana ada sawmill, tempat penggergajian. Di dekat
pemukiman itu juga dibangun dermaga sederhana. Dermaga yang digunakan untuk menyalurkan
logistik melalui transportasi air. Di dalam deras hujan itu mereka tak dapat mengendarai sepeda
motor trail untuk pergi dari tempat itu.

Bunyi mesin diesel dari perahu motor meraung-raung di tengah-tengah kesunyian anak sungai
Mahakam. Lentera listrik menjadi penerang di tengah kegelapan kabut kelabu yang tak biasa. Tak
ada yang tau apa yang terjadi sebenarnya. Seolah kekuatan alam tak kasat mata telah menunjukkan
sosoknya.

Di dusun pelosok hutan beberapa orang dayak juga merasakan kekuatan gaib itu. Mereka keluar
dari pemukiman, mengawasi keadaan, menerobos masuk ke dalam hutan. Mereka bergerak
waspada di dalam hutan tanpa bersuara. Gerak-gerik mereka tampak seperti macan yang tengah
mengawasi mangsa. Sosok-sosok gelap mengikuti mereka bagai bayangan yang hidup dan
bernyawa!

Satu per satu orang dayak itu lenyap dalam hutan bayangan. Mereka lengah kepada teman-teman
yang sudah lenyap dalam kabut kelabu. Sosok gelap menyatu dengan sempurna dalam kegelapan
hutan. Sosok gelap yang tidak dapat dilumpuhkan dengan panah beracun! Mereka mendengar
bahwa di hutan bayangan merupakan tempat bertapa seorang dukun hitam. Kisah kesaktian yang
diceritakan sebagai legenda dari generasi ke generasi itu. Hutan bayangan telah banyak memakan
korban dan tumbal demi menyempurnakan kesaktian dukun ilmu hitam itu.

Beberapa orang dayak yang masih tersisa berusaha kembali ke pemukiman. Di tangan merka
tergenggam senjata tajam, perisai, sebilah mandau yang dilumuri racun. Namun kali ini musuh
mereka bukan dari dunia ini. Sosok-sosok gelap sekelam malam dengan aura kematian mengepung
mereka. Pasukan kegelapan beserta macan kumbang.

Panca indera mereka lumpuh dalam kabut kelabu. Telinga mereka tak dapat menangkap
pergerakan musuh yang sangat dekat. Hidung mereka tak dapat mengendus aroma mangsa yang tak
berkeringat bahkan jantung mereka tak berdetak!
Yang mereka hadapi lebih dari mayat hidup!

Satu per satu warga dayak itu lenyap dalam hutan bayangan. Tak satupun yang kembali ke
pemukiman.

Apa yang sebenarnya terjadi di dalam hutan bayangan? Misteri apa yang tersimpan di dalam sana?

Bab 24 Hutan Bayangan 3

POLISI hutan yang masih muda itu menurunkan tongkat listriknya. Napasnya memburu. Keringat
dingin membasahi dahinya. Ia terheran-heran melihat sosok hitam yang terkapar di tanah itu tak lain
adalah rekannya sendiri!

“Apa yang telah kulakukan?” gumamnya. Ia meyakinkan dirinya bahwa tubuh yang terkapar itu
adalah temannya. Ia mengingat-ingat nama yang tersemat di seragam temannya. Lantas ia
mengingat-ingat namanya sendiri: Fadli.

“Ya—ya, namaku Fadli… aku tak mungkin melakukan ini,” gumamnya.

Fadli memeriksa denyut nadi di leher temannya. Tak ada tanda kehidupan. Ia tak menyangka telah
menjadi seorang pembunuh! Sengatan listrik yang diarahkan ke jantung temannya itu segera
menewaskannya seketika. Padahal yang dilihatnya tadi adalah sosok gelap, ya, sosok sehitam
bayangan!

Apa yang sebenarnya terjadi?

Ia berdoa dalam hati. Memohon perlindungan dari kekuatan gelap.

Setelah menutup mayat temannya, ia mengenakan jaket lalu masuk ke dalam hutan. Demi
memeriksa apa yang terjadi sebenarnya. Ia menyalakan radio dua arah lalu menghubungi rekan-
rekannya yang tengah dalam perjalanan pulang. Namun, tak ada jawaban hanya bunyi berkeresik
frekuensi radio. Ia berharap tak ada kejadian buruk yang menimpa teman-temannya.
Namun, dugaannya sekali lagi salah.

Walau begitu ia terus berjalan menerobos hutan. Kabut di dalam hutan terus menebal seolah ada
kebakaran di tempat lain. Jarak pandang menjadi terbatas.

Sesekali ia masih menyalakan radio dua arah demi melaporkan apa yang terjadi di dalam hutan
itu. Setiap lima menit, ia menyalakan handy talknya, namun masih tak terdengar jawaban. Ia masih
berada di jalan setapak namun serasa berputar-putar di tempat. Kabut membuat pandangannya
berkunang-kunang. Langkahnya limbung. Ia menghentikan langkahnya kemudian menyandarkan diri
ke batang pohon.

Tak jauh dalam sesemakan, ia menangkap sekelebat sosok bayangan dari balik pepohonan. Ia
teringat kepada serangan warga dayak yang menolak penebangan di hutan bayangan. Sudah tiga kali
ia sempat melerai ancaman yang berubah menjadi serangan warga dayak dari pedukuhan di dekat
hutan bayangan. Namun kali ini berbeda. Waktu itu ia bersama teman-temannya. Kali ini hanya ada
dirinya seorang. Meski ia bisa saja nekat melebihi apa yang dibayangkannya.

Sengketa lahan hutan bayangan sudah melewati masa krisisnya. Banyak korban yang berjatuhan
baik dari warga sipil maupun petugas.

Polisi hutan itu mulai melangkah lagi. Kali ini tergesa-gesa, panjang-panjang, setengah berlari,
melewati semak belukar berduri. Ia ingin segera sampai di tepi anak sungai Mahakam. Di sana ada
speed boat milik petugas yang berjaga di hari itu. Sepatu botnya menerobos semak belukar.

Ia masih berusaha menghubungi teman-temannya yang lain.

Suara-suara berkeresik terdengar, kemudian suara-suara samar.

Ia menghentikan langkah ketika terdengar suara jeritan.

Suara jeritan yang terdistorsi bunyi kerisik frekuensi radio.


“Apa yang terjadi?!!” serunya melalui radionya. Namun, tak ada jawaban. Hanya suara deru
seperti angin yang berhembus kencang terdengar dari handy talky.

Ia berusaha mengeraskan suaranya. “Hei! Apa yang terjadi di sana!!” Serunya lagi. Ia kembali
mematikan radio dua arahnya lalu mengamati keadaan di sekitar. Sosok bayangan yang masih
mengikutinya. Sosok hitam itu berkeliaran di sekitarnya seperti hendak bermain-main dengannya.

Ia memanggil-manggil sosok hitam itu. “Hey!! Siapa kau!”

Namun tak ada jawaban.

Suaranya yang berat dan serak membahana memecah kesunyian.

***

“Hey, kau dengar suara itu?” ujar Arfan dari balik jas hujannya.

Ardi yang nampak letih menampakkan wajah dari balik tudung jas hujannya. Walau menggigil
kedinginan ia berusaha bersuara, “Ya….”

Arfan berusaha merendahkan suaranya, seolah ada yang mengawasinya, mengikutinya. Wajahnya
terlihat pucat pasi, bukan karena takut, lebih kepada rasa dingin yang menjalar di tengkuknya.

“Semua karena kabut hitam ini. Aku dengar-dengar tidak jauh dari sini terjadi sengketa lahan.”
Suara Ardi nyaris tak terdengar. “Kabut hitam ini sudah memakan korban….”

“Hah, kau percaya omong kosong itu?!” sergah Arfan. Kemudian ia menarik kata-katanya sendiri.
Sadar bahwa ia telah melihat sendiri sosok hitam yang nyaris tewas di tangannya. Sosok hitam yang
menutupi sosok Ardi.
Tiba-tiba Arfan berseru. “Heei!” Ia hendak menjawab suara misterius dari dalam hutan yang
didengar itu. Ia tak peduli sosok hitam yang mengawasinya juga mendengar mendengar suaranya.

“Sepertinya memang ini yang diharapkan lelembut hutan bayangan.” Arfan seperti berkata kepada
dirinya sendiri. “Kita diadu di dalam hutan ini.”

“Sebaiknya kita cari pemukiman terdekat….” Ardi memberi saran.

“Aku masih cukup kuat untuk mencekik hantu itu!” Arfan kembali mengeluarkan belati dari dalam
celana kargonya. Tangannya yang lain mengangkat lampu darurat tinggi-tinggi. Namun tak cukup
menerangi tempat di sekitarnya yang tertutup kabut hitam. Seolah abu dari asap pembakaran dan
jelaga telah menutupi tempat itu.

“Ayo berdiri. Kita harus bergerak lagi untuk mengecoh hantu itu!”

Mereka berjalan beriringan masuk ke dalam hutan. Arfan menyerahkan belati kepada Ardi.
Kemudian pria itu mengeluarkan benda mengilat dari dalam ranselnya. Ardi menyadari bahwa Arfan
membawa sebuah revolver.

Arfan nampak canggung ketika memegang revolvernya. Wajahnya tampak memucat. Itu pertama
kalinya ia mengeluarkan senjata api yang selama ini disimpannya. Lagipula ia jarang berlatih
menembak apalagi kejadian di lapangan tak akan sama seperti latihan. Ia berharap tak sampai
menggunakannya. Tapi jika terdesak, ia akan melakukan apa saja demi bertahan hidup. Demi
melihat lagi istri tercintanya.

“Dari mana Mas mendapat revolver?”

“Oh ini… aku membelinya di pasar gelap. Hei, aku harus melindungi diri. Tidak ada salahnya
bukan.”

“Aku tak ingin melihat pembunuhan lagi. Apalagi jika korbannya warga tak berdosa.” Suara Ardi
terdengar bergetar. Mimpi buruk ketika melihat korban akibat siluman itu membuatnya bermimpi
buruk.
“Masalahnya yang sekarang kita hadapi ini bukan manusia.” Arfan mengingatkan. “Entah apakah
pistol ini bisa membunuhnya.”

Ardi tak menjawab. Ia tak akan lupa ketika sosok Arfan berubah menjadi hitam legam. Di hutan
bayangan, teman bisa menjadi musuh.

Bunyi ranting patah tidak jauh di depan membuat mereka waspada.

Hujan deras sedari tadi sudah menjelma rintik tipis. Suara-suara tak dikenal mulai terdengar di
sekitar mereka.

“Tetap di dekatku. Jangan jauh-jauh. Jangan lari jika tak kusuruh.” Arfan mewanti-wanti.

Mereka maju beriringan.

Arfan mengangkat revolvernya. Tangannya yang lain memberi tanda kepada Ardi dari mana
datangnya bunyi ranting patah itu.

Mereka keluar dari semak belukar. Dan menemukan jalan setapak.

Arfan tak dapat melihat jejak apapun di sana. Tak ada tanda-tanda sosok makhluk di jalan setapak.
Bunyi ranting patah itu pun tak terdengar lagi.

Namun Arfan masih merasa ada yang mengawasinya.

Ardi pun masih bersiap dengan belati di tangannya.

***
Polisi hutan itu bersembunyi di balik semak belukar dekat jalan setapak. Ia dapat mendengar
suara-suara meraung dan menggeram yang mendekat ke arahnya. Ia yakin seekor macan kumbang
tengah mendekat ke arahnya, namun kehilangan jejaknya.

Fadli yakin suara seruannya tadi yang memancing macan kumbang itu datang ke arah suaranya.
Dari balik dedaunan semak belukar ia dapat melihat sosok macan kumbang berukuran besar. Seperti
sosok manusia yang berjalan merangkak! Ia melihat dua ekor macan kumbang, satunya berukuran
lebih kecil.

Fadli, polisi hutan itu sudah cukup berpengalaman. Dengan waspada ia bersiap dengan senapan
serbu di tangannya. Jika kedua ekor macan kumbang itu mengendus tempat persembunyiannya, ia
terpaksa akan menarik picu senapannya.

***

Arfan berhati-hati ketika menemukan jejak sepatu bot di jalan setapak. Ia yakin suara ranting
patah tadi dari sosok manusia yang berada di tempat itu. Namun, anehnya yang akan dihadapinya
justru berbeda.

Sekejap kemudian Arfan terkesiap. Dari balik semak belukar ia melihat sosok macan kumbang
yang bergerak keluar dari persembunyian. Suara menggeram yang berat terdengar.

Arfan mengacungkan revolver ke arah macan kumbang itu.

Jemarinya siap menarik pelatuk pistolnya.

***

Polisi hutan itu sudah keluar dari tempat persembunyian. Ia hendak memberi tanda bahwa ia tidak
gentar dan dapat mengancam. Dengan senapan serbu teracung ia mendekati kedua ekor macan
kumbang itu.
Jemarinya siap menarik pelatuk senapan serbunya.

Jika macan kumbang itu tidak mundur, ia menembaknya.

***

“Tunggu! Apa tidak aneh?” tanya Ardi yang berada di belakang Arfan.

“Apa yang aneh?” tanya Arfan.

“Ke mana jejak sepatu bot itu?”

“Mungkin telah diserang macan kumbang itu!” sembur Arfan.

“Tapi, tak tampak jejak macan kumbang di sekitar sini.”

Arfan kemudian tersadar. Ia teringat kepada sosok hitam yang ternyata adalah Ardi. Sosok
kegelapan di dalam hutan bayangan dapat menjelma menjadi apa saja! Termasuk menjadi macan
kumbang!

Jadi, siapa yang aku hadapi sekarang? Batin Arfan.

“Hei! Siapa kau?” tanya Arfan ke arah macan kumbang itu.

Namun tak ada jawaban yang dikenalnya. Hanya bunyi geraman berat.
Untuk memberi tanda, Arfan melangkah mundur. Ia tak mau menjadi pembunuh. Jika yang
dihadapinya sebenarnya adalah juga manusia seperti dirinya. Yang juga ketakutan dan merasa
terancam.

***

Polisi hutan itu menghentikan langkahnya. Ia melihat macan kumbang di arah depannya memilih
untuk mundur. Namun ia masih tak menurunkan senapan otomatisnya.

Suara geraman macan kumbang itu masih membuatnya tetap waspada.

Kemudian ia teringat kepada sosok temannya sendiri.

Ya, sosok hitam legam yang disengat listrik dari tongkat di tangannya itu tidak lain adalah
rekannya sendiri.

Apakah kali ini yang kuhadapi adalah sosok macan kumbang jadi-jadian? Ia bertanya-tanya dalam
batin. Siapa sebenarnya sosok macan kumbang itu?

Sebelum Fadli menemukan jawabannya. Bunyi berkerisik lain terdengar dari dalam hutan.

Kali ini ia tidak lagi melihat dua ekor macan kumbang, namun sekarang bertambah menjadi lima
ekor! Tiga ekor macan kumbang yang baru keluar dari dalam hutan menggeram ke arahnya. Tepat di
tengah-tengah jalan setapak itu. Menghalangi polisi hutan itu dan dua ekor macan kumbang yang
sedari tadi berada di depannya.

Siapa lagi sekarang?

Polisi hutan itu masih bertanya-tanya ketika tiga ekor macan kumbang itu menyerang ke arahnya!
Seekor macan kumbang dengan cepat menerkamnya, yang lain mengitarinya. Cakar macan kumbang
yang melompat ke arahnya menepis senapan yang berada di tangannya. Senapan serbunya
terlempar jatuh ke tanah.
Lengan polisi hutan itu berdarah terkena cakar macan kumbang. Fadli yakin ajalnya sudah dekat
ketika dua ekor macan kumbang yang mengitarinya menerjang tubuhnya. Membuatnya terjerebab
ke tanah berlumpur.

Bab 25 Desa Kabut 1

POLISI hutan itu tak sempat menghunus belatinya. Ia tak berdaya ketika tiga ekor macan kumbang
itu menerkamnya. Fadli sudah yakin ajalnya telah tiba.

Tiba-tiba bunyi tembakan terdengar. Seekor macan kumbang terkena tembakan di bahunya. Bunyi
tembakan itu mengejutkan dua ekor macan kumbang yang lain. Sosok macan kumbang yang sehitam
malam bergerak-gerak gelisah. Pancaran mata mereka menyala dalam gelap.

Tiba-tiba sosok macan kumbang yang terkena tembakan jatuh ke tanah. Kaki dan tangannya
berubah. Sosok manusia perlahan mulai nampak. Wujud asli macan kumbang itu adalah warga dayak
setempat!

Arfan menurunkan revolvernya. Ia terpaksa melepas tembakan. Walau satu kali, namun fatal
akibatnya.

Ketiga warga dayak itu kembali ke sosok asli mereka. Mereka juga tampak kaget ketika melihat
polisi hutan itu. Mereka tak menyangka telah menyerang manusia lain.

Padahal tadi ketiga warga dayak itu melihat sosok macan kumbang di jalan setapak. Begitu pula
polis hutan dan Arfan, mereka saling melihat sosok satu dengan yang lainnya sebagai macan
kumbang!

“Maaf! Aku tadi salah melihat kalian sebagai macan kumbang!” seru Arfan sembari menyimpan
revolvernya.
Warga dayak itu hanya dapat saling bertukar pandang. Seorang dari mereka berkata,”Kami
mencari teman-teman kami yang lenyap di dalam hutan bayangan.” Kemudian mereka mengangkat
temannya yang meringis kesakitan karena luka tembak. “Kami akan kembali ke pemukiman.”

“Apa di dekat sini ada pemukiman?” tanya Arfan.

“Ya, tapi kami tak menerima orang luar.”

“Kami hanya akan lewat saja," timpal polisi hutan itu.

“Lebih baik kalian segera keluar dari hutan bayangan ini. Kalau tidak, kalian akan tersesat sampai
di desa kabut.”

“Desa kabut… aku pernah mendengarnya, tapi belum pernah melihatnya.” Polisi hutan itu, Fadli,
beranjak dari tempatnya. Rasa syoknya telah mereda. Ia meraih senapan serbunya yang terjatuh.
“Tapi, kita tak akan ke sana. Kita akan menemukan jalan keluar.”

Warga dayak itu tak terdiam. Mereka menggotong teman mereka yang tertembak lalu
membawanya masuk ke dalam hutan.

Arfan mendekati polisi hutan itu. Ia menyodorkan tangan. “Namaku Arfan. Jika tadi kami tidak
mundur, salah satu dari kita pasti telah tewas.”

Fadli menjabat tangan Arfan. “Maaf, aku tadi salah melihat kalian sebagai macan kumbang.
Namaku Fadli.”

“Ini bukan kesalahan kita. Ini akibat kutukan hutan bayangan.”

“Mungkin, kita memang bersalah. Termasuk berada di dalam hutan ini.” Polisi hutan itu
mengamati Arfan dan anak belia yang mengikutinya. “Kenapa kalian berada di dalam hutan ini?”

“Ceritanya panjang. Ini Ardi, anak yatim piatu yang semula hendak kutitipkan ke keluarga istriku…
Istriku, Melati, menjadi korban runtuhnya jembatan Kartanegara beberapa waktu silam.” Arfan
masih menyembunyikan tujuannya sebenarnya. Dan ia

merasakan polisi hutan itu mencurigainya.


“Jadi tujuan kalian berada di dalam hutan ini?” tanya Fadli lagi.

“Kami mendapat pesan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi saat gerhana matahari tiba.” Arfan
menyerah untuk menyembunyikan tujuannya.

“Pesan? Dari siapa?”

“Dari istriku.”

Polisi hutan itu mengerutkan dahi. “Istrimu yang menjadi korban itu?”

“Iya… istriku mendatangiku sebagai sosok yang berbeda. Dan jalan satu-satunya untuk
menyelamatkannya adalah ketika terjadi gerhana matahari di hutan keramat ini.”

“Aku pernah baca berita tentang seorang pria yang melompat ke sungai Mahakam demi mencari
jasad istrinya. Aku tak tau kalau berita itu bukan rekaan semata.”

Polisi hutan itu memeriksa senapan serbunya. “Aku tak ingin kalian berada dalam bahaya. Itu
tugasku. Karena itu kita akan menemukan jalan keluar dari dalam

hutan ini.”

“Kau tak percaya ceritaku?” tanya Arfan tersinggung. Kemudian ia menyadari bahwa ceritanya
memang sulit dipercaya kecuali melihat dengan mata kepala sendiri. Lagipula ia sudah terkenal
sebagai orang sinting baru.

“Itu urusan kalian. Tugasku hanya memberikan keamanan. Kau ikut denganku ke tempat aman,
setelah itu terserah kalian.” Polisi hutan itu setengah memaksa ketika memberi tanda dengan
senapan serbunya. “Ayo jalan….”

Arfan tak menyangka berada dalam pengawasan polisi hutan itu. Ia mengerti niat

baiknya, tapi ia memiliki tujuan yang berbeda.

“Jadi kau mengerti arah tujuan kita?” tanya Arfan.

“Jalan setapak ini akan membawa kita ke tepi sungai. Atau ke tempat pemotongan kayu di

tengah hutan. Sedari tadi aku kehilangan arah, seperti berputar-putar di jalan
yang sama.”

Arfan terdiam. Begitupula Ardi. Mereka mengerti bahwa polisi hutan itu tak akan banyak
membantu menemukan arah yang benar. Ya, mereka sama-sama tersesat di

dalam hutan bayangan.

“Tidak lama lagi kita akan menemukan pohon besar. Itu tanda arah ke tepi sungai tidak jauh lagi.”
Polisi hutan itu terdengar berkata dengan yakin.

“Kita sudah diperingatkan tentang adanya desa kabut.” Arfan memeriksa keadaan sekitar dengan
lampu lentera. Ardi dibelakangnya ikut memeriksa keadaan dengan lampu senternya.

Arfan merasakan keanehan. Ia tak melihat jejak apapun di jalan setapak itu. Harusnya jika jalan itu
sering dilalui akan tampak jejak sepatu bot petugas atau ban

sepeda motor trail.

Jejak warga dayak juga seakan lenyap. Seakan lebatnya hutan telah menelan mereka. Seakan
sesemakan dan pepohonan dapat bergerak, berpindah tempat demi membuat labirin. Menjauhkan
mereka dari tujuan sebenarnya.

Mereka tiba di sebuah pohon besar. Betul kata polisi hutan itu. Arfan tak pernah melihat pohon
seunik itu, lingkar diameter batangnya sebesar empat pelukan orang dewasa.

“Benarkah ini pohonnya?” tanya Arfan sembari mengangkat lampu lentera.

Namun, polisi hutan itu malah terdiam. Ia terdiam beberapa lama seperti mengingat-ingat sesuatu

“Sudah beberapa bulan aku bertugas di sini, namun baru hari ini melihat pohon sebesar ini.” Polisi
hutan itu mengerutkan dahinya.

“Jadi bukan ini pohon besarnya?” tanya Ardi ikut penasaran.


Polisi hutan itu hanya menggeleng. Ia tampak mengingat-ingat lagi. Diterangi cahaya dari lentera,
wajahnya nampak cemas. “Ini aneh. Sudah ratusan kali aku melewati jalan setapak ini, namun tak
pernah bertemu dengan pohon berbentuk seperti

ini.”

“Kalau begitu kita kembali saja,” usul Arfan. Ia sudah berbalik dan melangkah ke arah datangnya
tadi. “Hutan ini memang angker, sebaiknya kita kembali.”

“Hei lihat ada jamur hitam yang tumbuh di celah akar ini,” ujar Ardi. “Aku tak pernah melihat
jamur hitam seperti ini.”

“Apa ini semacam pertanda buruk.” Polisi hutan itu masih bergeming di tempatnya.

“Harusnya kau yang lebih mengerti jalan di hutan ini.” Arfan memberi tanda kepada Ardi untuk
meninggalkan polisi hutan itu.

Namun, suara geraman membuatnya menghentikan langkah.

Perhatian mereka teralihkan.

“Hei, tetap bersama, jangan berpencar.” Polisi hutan itu nampak waspada.

Kabut hitam yang datang membawa kegelapan di tempat itu. Cahaya lentera dan senter tak dapat
menembus kegelapan. Dari atas pohon bunyi kepakan sayap berjumlah ratusan berterbangan di
sekitar mereka.

“Kelelawar!” seru Arfan. “Merunduk!”

Namun kali ini bukan kelelawar biasa. Sayap mereka seakan setajam silet. Menggores pakaian dan
melukai kulit.
Bunyi tembakan mulai terdengar. Polisi hutan itu berusaha mengusir kelelawar yang terbang di
sekitarnya. Terdengar bunyi tembakan beruntun dari senapan serbu. Seluruh peluru seakan
dimuntahkan ke atas udara tanpa pikir panjang.

“Lari!” seru polisi hutan itu.

Arfan dan Ardi mengikuti arah lari polisi hutan itu.

Fadli memilih untuk meneruskan perjalanan melewati jalan setapak. Tak ada jalan kembali
sekarang selain terus maju.

Bunyi ratusan kepakan sayap mengiringi mereka selama berlari melewati jalan setapak. Mereka
kehilangan arah. Tak tau lagi ke mana jalan setapak itu membawa mereka pergi. Napas mereka
memburu. Rintik gerimis bagai sedingin butiran es batu.

Jalan setapak itu mulai makin melebar. Pepohonan di kanan kiri mulai renggang. Mereka sampai di
sebuah kebun yang tak terawat. Tanaman ketela dirambati gulma. Tanaman merambat tampak
rimbun seperti sebuah sarang.

Polisi hutan itu terkejut melihat sosok yang terkapar di tanah kebun yang berlumpur. Ia mengenali
seragam yang dipakai mayat itu. Ya, tidak salah lagi. Ia melihat rekannya sendiri!

“Apa yang terjadi di sini?” tanya Arfan.

“Aku kira mereka sudah berada di tepi sungai. Aku tadi… mengontak mereka melalui radio dua
arah. Ta—tapi, yang terdengar malah jeritan tak jelas.” Polisi hutan itu memeriksa satu per satu
mayat rekannya yang terkapar bersimbah darah. Ia menemukan pistol berlumuran darah tergeletak
tak jauh dari mayat rekannya.

“Siapa yang menyerang mereka?” tanya Arfan sembari mengangkat lentera demi menerangi
tempat itu. Namun, justru mimpi buruk yang dilihatnya. Empat orang polisi hutan terkapar dalam
jarak beberapa meter di kebun tak terawat itu.
“Dari peluru yang bersarang di tubuh mereka. Nampaknya mereka saling serang satu dengan yang
lainnya.” Fadli memeriksa peluru yang menembus perut rekannya. Peluru yang bersarang di lilitan
sabuknya setelah menembus tubuh yang malang itu.

“Apa maksudmu saling serang?”

“Kejadiannya seperti di dalam hutan… mereka juga melihat macan kumbang jadi-jadian itu. Macan
kumbang yang tidak lain adalah rekan mereka sendiri….” Fadli menghela napas panjang. “Kita harus
lebih waspada. Jangan berpencar.”

Ardi nampak ketakutan melihat banyak kematian terjadi di depannya. Ia tetap berada di dekat
Arfan dan polisi hutan itu.

“Kita harus meminta tolong kepada penduduk setempat. Ayo!” Fadli memberi tanda untuk
kembali bergerak. Mereka keluar dari kebun tak terawat itu. Menyibak semak belukar dan pagar
hidup yang telah rapuh. Langit di atas mereka mulai terang. Tak terasa mereka telah melewati
malam yang penuh mara bahaya.

Mereka pikir inilah akhir dari mimpi buruk itu.

“Lihat, kita telah sampai di kampung dayak,” ujar polisi hutan itu.

Namun Arfan melihat sebuah keanehan. Pagi itu matahari yang mengintip dari balik awan
mendung menerangi pedukuhan itu. Kabut masih nampak menyelimuti rumah-rumah sederhana
dari sirap kayu. Masih belum nampak kabel-kabel listrik. Desa itu masih belum mendapat aliran
listrik.

“Hei, apakah kau lihat penduduknya?” tanya Arfan menyapukan pandangan ke sekeliling. Jalan
pedukuhan dipenuhi rumput liar. Rumah-rumah penduduk yang dibatasi halaman dan kebun
nampak sepi. Tak ada tanda-tanda penghuninya. Tak ada suara manusia di sana. Rumput liar dan
semak belukar menutupi tiang-tiang rumah panggung. Ia hanya dapat bertanya-tanya dalam hati.

Apa yang terjadi di desa ini?


Apakah desa ini yang disebut desa kabut?

Bab 26 Desa Kabut 2

“Lebih baik kita istirahat dulu.”

ARFAN memberi tanda dengan telunjuknya. “Sepertinya rumah itu masih layak huni.” Ia menunjuk
ke arah rumah di seberang kebun itu. Rumah panggung yang masih tampak kokoh berdiri.

“Ya, tapi tetap waspada,” ujar polisi hutan itu. Fadli kembali menyalakan radio dua arahnya. Masih
tak ada tanda-tanda rekan-rekannya yang lain. Tapi ia yakin polisi hutan yang piket di hari itu akan
menyadari bahwa rekan-rekan mereka lenyap di dalam hutan.

“Tak ada sinyal.” Arfan memutar-mutar ponselnya di udara. Berusaha mencari sinyal. “GPS juga
masih menandai kita berada di anak sungai Mahakam.”

“Tenang saja. Tim bala bantuan akan segera tiba.” Polisi hutan itu berusaha nampak yakin.

Namun kecemasan di wajahnya tak dapat disembunyikan. Adakah yang bisa menolong mereka?

***

Seekor macan kumbang menggeram. Sorot matanya nampak tajam. Macan itu menunjukkan
taringnya sebelum melompat dari pohon. Berusaha menjauhi sekelompok manusia yang
mengejarnya.

Bunyi tembakan beruntun terdengar. Senapan serbu memuntahkan puluhan peluru. Tak
menyisakan ruang seinci pun di udara. Seorang tentara menembak ke arah macan kumbang sembari
berlari. Kulit batang pohon hancur ketika terhantam peluru senapan serbu. Namun macan kumbang
itu dapat lolos ke dalam hutan. Meninggalkan tentara yang kebingungan.
“Hei! Benarkah rekan kita diterkam macan kumbang?” tanya tentara itu. “Lihat saja. Mendengar
bunyi senapan mereka sudah lari!”

“Tapi memang ada jejak macan kumbang di sekitar menara pantau.” Rekan tentara itu
mengingatkan. “Apalagi kalau malam hari macan kumbang dapat bergerak lebih leluasa. Jika siang
hari begini, tentu mereka mudah terlihat.”

“Ya, apalagi mayat polisi hutan itu dirusak oleh macan kumbang. Siapa lagi pelakunya?” sanggah
tentara yang lain.

Tentara itu memasukkan magazen kedua ke dalam senapan serbu. Ia mendengar bunyi berkeresak
di atas kepalanya, namun hanya kawanan tupai. Siang hari itu laporan tentang lenyapnya beberapa
polisi hutan diterima oleh pos tentara di Tenggarong. Satu jam kemudian dipersiapkan tim pencari
yang terdiri dari tentara dan SAR (Search and Rescue).

Mata tentara itu mengawasi keadaan hutan di sekelilingnya yang tampak sunyi. Ia tak dapat
berkata-kata ketika berusaha mambaca jejak buruannya. Ia tak dapat membaca jejak yang berada di
sekelilingnya. Karena musuh yang dihadapi kali ini memang tak memiliki jejak.

Tanpa mereka sadari, bayangan hitam mengawasi mereka dari balik bayangan pepohonan. Asap
hitam mulai memenuhi hutan itu bagai asap dari kebakaran hutan.

Seorang tentara yang berada paling belakang dari rombongan tiba-tiba terangkat ke udara ketika
bayangan itu menyambarnya. Bayangan itu melilit tubuhnya. Senapan yang berada di tangannya
terlepas dan terlampar ke semak belukar. Tubuhnya yang tak berdaya meronta-ronta di udara.
Kedua tangannya menggapai-gapai mencari pegangan. Bunyi berderak-derak ranting patah
terdengar saat tubuhnya dilempar ke atas pepohonan.

Kemudian tubuh tentara itu dijatuhkan kembali dari atas pohon. Tubuhnya yang telah pingsan
jatuh kembali ke tanah. Menimbulkan bunyi berdebuk keras yang tak terdengar oleh rombongan
yang telah bergerak jauh.

Hutan mendadak kembali sunyi.


Tak lama kemudian, bunyi berkeresak terdengar. Dua orang warga dayak keluar dari semak
belukar. Ia terlompat terkaget ketika melihat tubuh tentara yang jatuh dari pepohonan itu. Jasadnya
masih bersimbah darah segar.

Warga dayak itu memanggil-manggil rombongan tentara yang tak menyadari rekan mereka telah
tewas. Sontak rombongan tentara itu berhenti. Mereka bergegas mengikuti suara memanggil itu.

Terkejut melihat kematian teman mereka yang tiba-tiba. Mereka memandang curiga ke arah
warga dayak yang memegang parang. Namun, kematian rekannya bukan karena benda tajam
melainkan karena terjatuh hingga tulang di sekujur tubuhnya patah dan retak. Mareka hanya dapat
bertanya-tanya siapa yang telah melakukan pembunuhan misterius itu.

“Ini ulah sihir hitam!” Seru warga dayak itu. “Kemarin malam warga kampung dayak hilang di
tengah hutan bayangan!”

Tentara itu tampak cemas. “Kami juga tengah mencari teman-teman kami yang lenyap di hutan
bayangan.”

Warga dayak itu hanya dapat saling pandang.

“Lihatlah! Siang hari saja sudah berbahaya begini. Apalagi jika kalian sampai kemalaman di dalam
hutan!” seru warga dayak itu. Mereka nampak ketakutan lalu bergegas meninggalkan rombongan
tentara itu.

“Kita harus mencari mereka. Mumpung hari masih siang. Jangan jauh-jauh. Kita harus berjalan
berdekatan.” Ketua tim pencari memberi perintah. Mereka masih belum mengerti bahaya apa yang
akan mereka hadapi.

***

“Hei, kalian dengar bunyi tembakan itu?” Arfan memasang telinga. Bunyi tembakan dari tengah-
tengah hutan terdengar olehnya. Ia tengah berbaring di atas matras di dalam rumah panggung yang
kosong. Tidak ada seorang pun di dalam rumah itu.

Anehnya bahan makanan dan perkakas ditinggal begitu saja. Polisi hutan itu memeriksa bahan
makanan telah membusuk. Begitu pula perabotan dan perlengkapan memasak sudah berkarat. Ia
mengira-ngira sudah berapa lama rumah panggung itu ditinggalkan penghuninya.
Siang tengah hari itu. Matahari bersinar terik. Untunglah Arfan, Ardi dan Fadli dapat menemukan
tempat bernaung dari panas yang lembab di hutan tropis itu. Sirap kayu yang menjadi atap rumah
sudah menua. Sebagian berlubang hingga cahaya matahari dapat masuk dengan leluasa ke dalam
rumah. Membuat ruangan di dalam rumah itu cukup terang. Ardi dan Fadli memanaskan kompor
mini berbahan organik yang dibawa oleh Arfan. Karena Ardi dan Fadli asyik bercakap-cakap mereka
tak mendengar bunyi tembakan di dalam hutan.

“Kalian dengar barusan? Bunyi tembakan?” Arfan menajamkan telinga. Namun, bunyi tembakan
yang sayup-sayup itu tak terdengar lagi.

“Benarkah? Dari mana?” Tanya Fadli setengah berbisik. Ia ikut menajamkan telinga.

“Apakah itu tim penolong?” tanya Ardi.

“Seharusnya tim pencari telah bergerak sekarang.” Polisi hutan itu melongok melalui jendela di
rumah panggung. Ia mengawasi ke arah hutan lebat, namun tak ada pertanda apapun di sana. Tak
ada asap atau bunyi pertanda lain. “Jika menemukan jalan buntu, biasanya mereka akan
mengerahkan anjing pelacak.”

Di ujung langit, gumpalan awan mendung mulai terbentuk. Polisi hutan itu hanya dapat terdiam
mengamati hutan yang membisu di sekeliling desa itu.

“Kalau hujan, akan makin menyulitkan tim pencari. Walau memakai anjing pelacak.” Arfan ikut
mengamati keadaan.

“Untuk sementara kita menginap di rumah panggung ini. Sebelum mengetahui ke mana arah
tujuan kita selanjutnya. Berada di dalam hutan akan makin berbahaya.” Polisi hutan itu kembali ke
kompor kecilnya. Bubur roti yang dimasak di dalam panci kecil sudah matang. “Kita harus
mengumpulkan tenaga dulu. Mari makan.”

Ketiga orang itu sejenak melupakan kecemasan mereka. Bubur roti yang dimasak seadanya
dengan garam cukup mengganjal perut mereka yang kelaparan sejak semalam.

Namun, mereka tak tau apa yang akan keluar pada malam hari di desa itu.
Setidaknya belum.

***

Cahaya petir sesekali menerobos masuk melalui celah pepohonan. Menerangi wajah-wajah tim
pencari yang tegang. Mereka bertanya-tanya dalam hati. Menajamkan penglihatan mereka. Hari
sudah beranjak petang, namun mereka malah kehilangan arah di dalam hutan bayangan. Mereka
sudah seharian mencari, namun sia-sia.

Bunyi berkeresak langkah mereka di atas karpet dedaunan tertelan bunyi guruh di atas langit. Tim
lain tengah bergerak melalui jalur yang berbeda menggunakan sepeda motor. Bunyi meraung-raung
mesin sepeda motor memecah kesunyian hutan. Sorot cahaya lampu sepeda motor menari-nari
menerobos kegelapan hutan bayangan. Mereka makin bergerak masuk ke dalam hutan.

Bayangan hitam berkelebat mengikuti mereka. Bergerak dari satu pohon ke pohon lain. Satu
persatu tim pencari dilontarkan ke udara hingga menabrak ranting pepohonan berduri. Sepeda
motor yang tak berpenumpang saling bertabrakan lalu menabrak batang pepohonan. Tak ada jeritan
yang terdengar. Bayangan itu secepat kilat yang menyambar.

Tim pencari yang lain pun mengalami nasib yang naas.

***

Anjing pelacak itu mengendus aroma kematian yang masih bergentayangan di udara malam. Rintik
gerimis mulai turun. Aroma tubuh tim pencari pertama dan kedua yang hilang sedikit tertutup olah
aroma tanah basah. Tim pencari ketiga dikerahkan bersama anjing pelacak. Mereka mendapat
laporan terakhir dari radio dua arah. Laporan yang disertai suara jeritan pendek lalu bunyi berderak
kemudian tak ada suara hanya bunyi berkerisik dari frekuensi yang lenyap.

Langit petang beranjak malam. Hutan bayangan makin gelap. Bahkan insting anjing pelacak yang
terlatih mengendus penyelundupan liar di dalam hutan, kali ini tak mampu mengendus jejak tim
yang hilang di dalam hutan. Instingnya tak dapat menerobos kabut hitam di dalam hutan bayangan.
Hewan itu merasakan kegelapan lain yang lebih pekat. Kehadiran seekor macan kumbang jadi-jadian
yang bukan berasal dari dunianya.

Telinga anjing pelacak itu waspada. Matanya menyala berusaha menembus kegelapan hutan
bayangan. Walau kemudian anjing itu menyerah. Ia berlari tak tentu arah menerobos semak belukar,
namun tak menemukan jejak apapun di sana. Jasad tim pencari itu seolah lenyap tertelan kabut
hitam.

Puluhan anjing pelacak kembali ke tim ketiga tanpa hasil. Sepeda motor trail tim pelacak ketiga
terpaksa berhenti karena jalan yang dilalui makin licin akibat hujan. Anjing pelacak yang dikerahkan
cukup besar. Bulunya yang hitam tampak licin seperti beludru.

Jenis anjing pelacak yang mendapat pelatihan dan perawatan khusus. Seorang tim pelacak ketiga
mengeluarkan handy talky lalu melaporkan kejadian di tempat itu.

“Macan satu ke macan dua.” Suara-suara berkerisik dari frekuensi radio terdengar, lalu suara-
suara jawaban dari sambungan yang lain.

“Roger, di sini macan dua… silakan laporkan.”

“Kami tak menemukan apapun. Zero… zero.”

“Sebutkan kordinat Anda. Sebentar lagi hutan gelap, medan ke sana cukup sulit, ditambah lagi
hujan, kembali ke perahu… roger.”

Tim itu balik kucing setelah melaporkan keadaan dengan handy talky. Mereka keluar dari tepi
hutan bayangan. Puluhan anjing yang dikerahkan mengikuti dari belakang rombongan itu. Puluhan
anjing itu masih mengendus-endus udara. Mereka merasakan mara bahaya ada di belakang, di
dalam hutan bayangan. Anjing-anjing itu seakan senang telah meninggalkan hutan. Tim lain telah
menunggu di atas perahu di tepi anak sungai Mahakam. Pencarian mereka di hari itu sia-sia. Bahkan
mereka kembali kehilangan tim lain yang seharusnya menjadi tim penyelamat lain.

Mereka berharap mayat rekan-rekan mereka tidak diganggu hewan liar. Sehingga mereka dapat
mencarinya keesokan harinya pada siang hari. Namun, mereka harus memikirkan rencana pencarian
lain karena di jalur darat menemui jalan buntu. Setidaknya mereka harus mempersiapkan pencarian
di jalur udara dengan pesawat terbang perintis.

Tim pencari bergerak menjauhi hutan bayangan. Hari itu merupakan hari tersial dalam hidup
mereka. Rekan-rekan mereka hilang dan ditambah lagi di hari itu.

Apa yang sebenarnya terjadi di hutan bayangan? Dari mana datangnya macan kumbang itu?

Bab 27 Desa Kabut 3

ESOK paginya, polisi berhasil menemukan mayat polisi hutan yang terkapar di bawah menara
pantau. Kematiannya karena serangan listrik di dadanya. Mayat kedua ditemukan tercabik-cabik dan
tergantung di atas pohon. Beberapa korban sudah tak dapat dikenali lagi. Kecuali dari pakaian dan
barang-barang yang melekat di tubuh mereka. Korban lain juga ditemukan oleh warga dayak di
sekitar hutan bayangan.

Pada siang hari itu, matahari mampu menerangi hutan bayangan hingga ke sudut pepohonan.
Satuan polisi dan reserse dari kepolisian resor kota Samarinda berdatangan. Garis polisi dipasang di
sekeliling tempat kejadian perkara. Berbagai jejak kematian dan bukti pembunuhan berusaha
diungkap. Namun kesimpulannya kejadian itu disebabkan binatang buas. Satuan polisi lain
berdatangan mengendarai perahu motor yang membelah anak sungai Mahakam. Lalu, mereka
mengendarai sepeda motor trail demi memasuki hutan bayangan. Jalan masuk ke dalam hutan
makin sulit karena hujan yang terjadi semalaman. Jalur berlumpur menyulitkan kendaraan roda dua.

Tim ahli forensik menyusul. Mereka mengevakuasi korban dan meneliti penyebab kematian lebih
dalam. Mereka mengangkut korban menggunakan perahu motor ke laboratorium forensik untuk
diselidiki. Namun, sebelum divisum harus mendapat ijin dari keluarga korban.

Satu-persatu warga dayak yang berada di sekitar pedukuhan dekat hutan bayangan diinterogasi.
Namun, penyelidikan polisi menemukan jalan buntu. Tak satupun bukti mengarah kepada warga
dayak yang juga ikut menjadi korban. Selama tiga jam tim reserse masih mengolah tempat kejadian
perkara. Namun, mereka tak menemukan bukti-bukti berarti di tempat korban ditemukan.

Anehnya tak ada jejak kaki manusia di jalan setapak. Seolah kejadian semalam terjadi di alam lain.
Warga dayak juga hanya mengaku melihat asap seperti kebakaran hutan.

“Mayat di menara pantau ditengarai diserang oleh rekannya sendiri,” ujar seorang reserse. Sepatu
botnya nyaris tenggelam dalam lumpur ketika menerobos semak belukar.

“Bahkan anjing pelacak tak dapat mengikuti jejak polisi hutan itu. Namanya Fadli, masih beberapa
bulan bertugas di hutan Kalimantan Timur.” Rekan reserse yang lain memeriksa data-data anggota
polisi hutan yang berjaga kemarin malam.

Reserse itu mendekati polisi hutan yang masih mengamati proses olah TKP. Ia nampak menjaga
jarak agar tidak merusak tempat kejadian perkara.

“Apa Anda kenal dengan polisi hutan bernama Fadli ini?” tanya reserse itu.

Polisi hutan itu mengeluarkan foto dari yang tertempel di dokumen. “Ini dia. Masih muda. Tidak
ada catatan buruk tentang jagawana ini. Cukup berdedikasi.”

“Oya, saya pernah melihatnya ketika kasus sengketa lahan di hutan ini. Ya, saya kenal orang ini
walau hanya dua kali bertemu. Waktu itu ia menjelaskan dengan rinci masalah yang terjadi di dalam
hutan. Termasuk adanya berita tentang warga yang hilang di hutan bayangan dan desa kabut.”
Reserse itu meneliti dokumen profil polisi hutan bernama Fadli.

“Saya yakin itu tak disengaja.” Polisi hutan itu membela temannya. “Fadli pasti memiliki alasan
kenapa menyerang rekannya sendiri. Ditambah lagi korban lain tewas bukan karena tongkat listrik.
Korban yang tergantung di atas pohon tewas akibat luka cabikan di sekujur tubuhnya. Hanya macan
besar yang dapat melakukannya. Anehnya macan itu tidak emakannya. Ini aneh. Tidak mungkin
seekor macan besar yang tidak kelaparan tiba-tiba menyerang. Kami juga menemukan ratusan
selongsong peluru dari senapan serbu. Tidak mungkin tembakan dari polisi hutan yang terlatih dapat
meleset. Apalagi memakai senapan serbu. Seharusnya hewan liar apapun dapat dengan mudah
dilumpuhkan dengan peluru senapan serbu.”

“Ya, itu sangat aneh.” Reserse itu nampak berpikir keras. “Senapan serbu yang terjatuh juga
ditemukan di semak belukar. Sidik jari seorang tentara terlatih ditemukan di sana. Anehnya peluru di
dalam magazen masih utuh. Tentara itu tidak sempat menembak penyerangnya. Kenapa? Mayat
tentara itu ditemukan di dalam semak belukar dengan sekujur tubuh remuk. Kematiannya karena
terjatuh dari tempat tinggi. Seolah ia telah diseret angin ke atas pohon dan terjatuh. Ini aneh.”

“Ya, pembunuhan akibat hewan liar sudah seringkali saya lihat di dalam hutan di Kalimantan.”
Polisi hutan itu menggelengkan kepala. “Tapi tak pernah seaneh ini.”

“Ya, saya pernah dengar kasus orang hilang karena diterkam binatang buas. Dan potongan
tubuhnya ditemukan di berbagai arah. Tercecer dimakan oleh macan-macan lain.” Reserse itu
mengingat-ingat.

“Tahun itu saya belum diangkat menjadi jagawana. Masih menjaga di Loa Kulu. Namun ketika
masuk ke hutan bayangan saya menemukan seorang turis manca yang terjebak di dalam hutan
selama beberapa hari. Ia mengaku hanya sehari di dalam hutan. Sudah banyak yang mengira turis itu
menjadi korban satwa liar.”

“Kasus orang hilang beberapa bulan lalu merupakan anak pengusaha kayu yang terlibat kasus
ilegal loging. Anehnya, mayatnya lenyap setelah saya tinggal sehari untuk memanggil bantuan polisi
hutan. Seminggu SAR mengadakan pencarian, namun jasadnya tak pernah ditemukan,” ujar reserse
itu mengingat-ingat.

“Ya, aku pernah dengar kasus itu. Keluarga pengusaha itu mendapat kutukan setelah melakukan
pembakaran hutan bersama penduduk setempat. Anehnya api yang berjarak beberapa kilometer tak
terkendali hingga membakar habis sebuah desa serta penduduknya. Sejak saat itu warga dayak
sering melihat adanya desa berkabut. Mereka memberi nama desa Kabut. Dan setiap orang yang ke
desa misterius itu tak kembali.” Polisi hutan itu membuka peta. Ia menunjuk letak desa yang
terbakar itu. “Sekarang desa itu menjadi titik lenyap yang tak terjangkau satelit. Setiap alat
komunikasi di sekitar area itu mengalami gangguan.”

“Aku tak percaya mistik atau takhayul semacam itu. Namun, apa yang kita hadapi ini sudah di luar
akal sehat.” Reserse itu mengamati anjing pelacak yang ikut nampak kebingungan. “Bahkan insting
hewan yang tajam bisa lumpuh.”

“Tim ketiga sudah melakukan pencarian dengan anjing pelacak. Namun sia-sia.” Polisi hutan itu
memberi tanda kepada anjing pelacak agar tak menjauh. “Kasus ini tak dapat dideteksi oleh panca
indera biasa.”

“Hah, apa kita harus mendatangkan paranormal ke hutan ini?” Reserse itu terdengar pesimis.

“Percaya atau tidak. Kami sudah mencobanya.”

Reserse itu tak dapat menjawab. Ia meluruskan tubuhnya yang penat. Lalu menghela napas
panjang. “Saya tak akan berlama-lama dengan kasus pelik ini. Kasus lain terus berdatangan.”
Polisi hutan itu mengerti. Jika tak ada titik terang, polisi akan menutup kasus itu. Seolah akal sehat
mereka tertutup oleh kegelapan.

Namun, kegelapan yang lebih gelap dari malam tengah mengawasi mereka dari bayangan
pepohonan. Kemudian berkelebat dari satu pohon ke pohon lain. Tanpa bunyi dan suara. Seperti
malaikat maut yang menunggu mangsanya lengah.

Tak terasa langit mulai gelap. Petang akan segera menjelang. Satu per satu tim investigasi
meninggalkan hutan bayangan. Meninggalkan misteri yang masih tersimpan rapi di sana.

***

Di sini macan satu… apa ada petugas di sana?” Fadli berusaha mencari frekuensi dengan radionya.
“Di sini macan satu… siapa saja yang mendengar radio frekuensi ini tolong jawab….” Namun, ia
seolah berbicara dengan dirinya sendiri. Berbicara kepada diri sendiri seperti berbicara kepada
benda mati; sebuah radio yang tak lagi berfungsi. Ia tak ingin Arfan dan Ardi melihat keputusasaan di
wajahnya. Jadi berbicara kepada radio dua arah itu setidaknya sedikit memberikan harapan.

Fadli bukan polisi dengan postur tinggi dan atletis. Bukan seperti tentara yang memiliki bodi siap
tempur di medan perang. Namun ia memiliki tubuh dengan tinggi rata-rata namun nampak gesit.
Otot tubuhnya terbentuk karena rajin berolahraga. Ia nampak kurus namun tak terlalu kurus. Tulang
pipinya nampak kokoh, rambutnya yang wavy dibiarkan sedikit memanjang sampai telinga.
Pandangannya tajam namun tak mengancam. Tipikal orang yang tak mudah menyerah.

Petang itu Fadli nampak makin gusar. Ia bertugas mengawasi keadaan sekitar jika ada tanda-tanda
cahaya atau bunyi dari dalam dalam hutan. Sedangkan Arfan dan Ardi bertugas membuat api unggun
di halaman rumah kosong itu.

Fadli berjalan di sekitar rumah kosong itu. Senternya di arahkan ke rumah-rumah kosong lain yang
berjarak beberapa meter. Dibatasi kebun dan halaman yang cukup luas. Ia merasakan sesuatu yang
aneh dengan desa berkabut itu. Ia pernah mendengar berbagai cerita orang hilang di desa itu.
Namun kali ini ia melihat bahkan mengalaminya sendiri.

Fadli dapat merasakan seseorang… atau sesuatu mengawasinya. Padahal biasanya ia berpatroli
seorang diri di dalam hutan. Bahkan lewat tengah malam biasanya turun dari menara pantau dan
mengawasi keadaan di jalan setapak. Ia jarang bermimpi buruk ketika menginap di dalam hutan. Jika
bermimpi buruk pun merupakan sebuah pertanda musibah yang akan datang menimpanya. Bahkan
di dalam hutan membuatnya seringkali mendapat pencerahan. Walau ia bukan muslim yang taat, ia
berusaha agar solat tepat waktu walau di dalam hutan. Agar tetap waras di dalam hutan, ia menjaga
dirinya dan rekan-rekannya dari obat terlarang dan minuman keras. Biasanya ia membawa
sebungkus bubuk kopi jahe ke dalam hutan.

Malam makin menukik tajam. Sesekali ia memeriksa jam arlojinya. Jarum jamnya tak bergerak. Ia
menyangka arlojinya mati karena membentur sesuatu ketika kejadian di dalam hutan. Anehnya
kompas di sabuk arlojinya berputar-putar ke segala arah.
Apa yang terjadi sebenarnya? Ia bertanya dalam batin.

Fadli merasa terjebak di desa itu. Tak ada komunikasi, tak ada arah, tak ada jalan lain selain
melewati hutan bayangan yang berbahaya.

Untuk mengusir kantuknya biasanya ia menyalakan radio di dalam ponselnya, namun tak ada
frekuensi apapun. Yang terdengar hanya bunyi berkerisik. Ia memiliki gitar tua di menara pantau. Ia
berdendang bersama rekan-rekannya. Termasuk rekan yang tewas di tangannya. Bayangan kematian
rekannya membuatnya kembali merasa sesal.

Bunyi jendela yang diterpa angin dari sebuah rumah kosong tak jauh dari tempatnya menyita
perhatiannya. Sebuah suara terbawa angin malam. Nampaknya keluar dari dalam rumah kosong itu.
Tak ada penerangan di dalamnya, tak ada cahaya yang nampak. Rumah kosong itu gelap gulita.
Samar-samar terdengar seperti suara-suara pertengkaran.

“Kau harus mati … keluargamu semuanya harus mati!!”

Fadli menajamkan pendengaran. Memastikan suara itu benar-benar datang dari dalam rumah
kosong itu. Ia menyorotkan cahaya senter ke jendela rumah kosong itu. Namun tak ada seorang pun
yang terlihat di sana.

Entah kenapa bulu kuduknya meremang. Ia hendak berbalik untuk memanggil Arfan dan Ardi.
Namun, ia merasa itu langkah yang pengecut.

Jadi polisi hutan itu memutuskan untuk menyelidiki rumah kosong itu sendirian.

Bab 28 Rumah Jelaga

FADLI melangkahkan kakinya menuju ke jendela di rumah kosong itu. Ia mengarahkan senternya
ke dalam. Kosong, tak ada apapun di dalam ruangan.

Apa aku salah dengar? Fadli membatin.

Ia memeriksa ke sekeliling rumah panggung itu. Semak belukar tumbuh di bawah sirap kayu yang
telah berlubang-lubang. Ia hendak menaiki tangga kayu demi memeriksa ke dalam rumah tua itu.
Namun bunyi berderak membuatnya berhenti. Bunyi itu datang dari atap rumah yang cukup tinggi.
Rumah dayak yang besar itu biasanya dihuni oleh beberapa anggota keluarga.

Dari bawah rumah ia dapat melihat bayangan seseorang yang berada di atas atap yang terbuat
dari sirap kayu. Sosok bayangan manusia itu lebih gelap dari langit malam yang tiada berbintang.
Fadli memicingkan matanya. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa sosok manusia memang sedang
berada di atas atap.

“Kenapa orang itu? Kenapa berada di atas atap?” gumam Fadli. Ia menyadari sosok itu juga tengah
mengawasi dirinya. Pikiran pertama yang menggema dalam kepala Fadli adalah orang itu adalah dari
warga suku dayak. Pikiran kedua adalah… ia mulai teringat kepada sosok hitam legam yang merasuki
tubuh rekannya. Ya, rekannya sendiri yang tewas di tangannya.

Siapa sosok itu sebenarnya? Warga dayak atau… sosok jadi-jadian?Fadli tak ingin melakukan
kesalahan dua kali. Di malam hari itu ia mulai melihat hal-hal aneh seperti di dalam hutan bayangan.
Namun ia akan bertambah sinting jika tidak menghadapinya.

Tiba-tiba sosok bayangan hitam itu melompat dari atap rumah, namun sekejap kemudian lenyap
di udara. Cahaya senter yang disorot polisi hutan itu menembus sosok hitam itu!

Fadli makin penasaran. Ia bergegas naik ke tangga kayu yang berada di beranda rumah kosong itu.
Bunyi berderak-derak terdengar. Salah satu kayu tiba-tiba patah. Untung ia dapat melompat tepat
waktu. Kakinya nyaris terperosok.

Fadli melewati ruang depan. Ruangan itu dipenuhi ukiran dan senjata tajam khas dayak. Beberapa
senjata tajam tampak berserakan di lantai papan kayu. Noda-noda warna hitam pekat tercecer di
lantai dan dinding. Seakan telah terjadi pertarungan di tempat itu.

Apa yang terjadi di rumah ini?

Cahaya senter Fadli menyusuri jejak noda hitam itu. Ia menduga jejak itu adalah jejak darah yang
telah mengering dan menghitam karena telah lama mengering.

Angin malam menerpa jendela yang terbuka. Menggoyang jaring laba-laba yang dikotori debu.
Tiba-tiba bunyi berkerisik terdengar di radio dua arahnya. Namun tak ada suara apapun di sana. Ia
mematikan radio dua arahnya.
Kemudian ia mendengar bunyi berderak-derak di dalam rumah itu tidak jauh darinya. Bunyi
seperti benda berat yang diseret di atas lantai papan kayu.

Ketika ia mengarahkan senter ke arah bunyi itu tak tampak apapun. Namun beberapa detik
kemudian bayangan seperti hologram itu mulai nampak. Cahaya senternya menembus tubuh
transparan itu. Ia seperti melihat film lama yang diputar di depannya.

Di sana tampak seorang dayak yang tengah menyeret mayat seorang lelaki asing. Lelaki itu
nampak masih belum mati walau kepalanya berdarah. Suara-suara memaki dalam bahasa asing
terdengar. Kemudian nampak lelaki asing itu mengeluarkan pistol dari balik jaketnya. Lelaki asing itu
menembak ke arah dayak yang menyeretnya. Lalu datang warga dayak lain yang menombak lelaki
itu tepat di dadanya! Suara kematian yang keluar dari dalam mulut lelaki asing itu terdengar
mengerikan.

Fadli merasa mual melihat kejadian itu. Walau ia telah beberapa kali melihat kematian yang terjadi
tepat di depan matanya. Namun, kali ini terasa lebih engerikan. Tanpa sadar ia mengeluarkan
pistolnya.

Siapa lelaki asing itu? Apakah ia merupakan turis manca yang menghilang di dalam desa kabut?
Fadli pernah mendengar beberapa turis menghilang di kedalaman hutan Kalimantan. Tapi kenapa
lelaki itu membawa pistol? Kalau memang benar hanya turis asing harusnya hanya membawa tas
ransel. Ia pernah menemukan tas ransel yang tak bertuan di dalam hutan Kalimantan Timur. Pemilik
tas ransel itu baru ditemukan beberapa hari kemudian di tepi hutan bayangan. Turis itu mengaku
hanya sehari berada di desa kabut, dan tak dapat bercerita banyak karena syok. Kebanyakan yang
telah menghilang di dalam hutan kabut tak dapat kembali lagi!

Kemudian bayangan kematian yang terjadi di depan Fadli lenyap di udara. Yang tersisa hanya debu
yang melayang-layang di dalam rumah kosong itu. Cahaya senternya membuat debu-debu
berpendar.

Fadli hendak kembali dan menceritakan kejadian itu. Namun, ia masih penasaran apa yang terjadi
di dalam rumah kosong itu. Ia mulai melangkah kaki masuk lebih dalam ke ruang tengah. Cahaya
senternya menyapu sudut rumah. Ia melihat tumpukan pakaian. Ketika memeriksa ia mendapati
kaos hitam polos, celana kargo yang telah kotor oleh lumpur kering seolah tak pernah dicuci. Ia
melihat merk yang tertera pakaian itu berasal dari merk luar negeri.
Fadli mulai merasakan kehadiran seseorang di sekitarnya. Bukan. Bukan hanya seorang tapi
banyak orang. Mereka yang bukan berasal dari dunia ini.

Tiba-tiba radionya berkerisik lagi. Padahal radio itu telah mati. Ia pikir ada yang salah dengan radio
itu. Ia memeriksanya.

Namun bunyi seperti sekop yang menghantam tanah terdengar dari bawah rumah itu. Tepat di
bawah kolong rumah panggung itu.

Fadli buru-buru memasukkan kembali radionya. Ia menajamkan telinga demi mencari sumber
bunyi itu. Bunyi ujung sekop yang menghantam tanah berasal dari bawah lantai sirap kayu tidak jauh
di depannya. Seperti ada seseorang yang menggali lubang di bawah rumah panggung… tapi untuk
apa? Pikirnya.

Fadli mulai melangkah perlahan. Ia dapat melihat lubang di lantai sirap kayu. Lubang sebesar
sekepalan tangan itu akibat kayu yang telah lapuk dimakan usia.

Lima langkah di depan. Melalui lubang di lantai sirap kayu itu. Fadli dapat melihat seseorang yang
tengah menggali sesuatu di atas tanah di bawah kolong rumah panggung itu.

Fadli terus melangkah maju demi melihat lebih jelas. Jantungnya berdebar-debar. Pikirannya
penuh tanda tanya. Ia memicingkan matanya agar lebih jelas melihat orang yang berada tepat di
bawahnya. Namun semakin nampak bahwa yang menggali lubang itu adalah dirinya sendiri!

Kehadiran Fadli mengalihkan perhatian sosok mirip dirinya itu. Kepalanya berputar seratus
delapan puluh derajat ke arah polisi hutan itu. “Jangan ganggu kami!” Seru sosok bayangannya itu
dengan suara berat.

Fadli nyaris menjatuhkan senternya karena terkejut. Ia tak percaya melihat dirinya sendiri tengah
menggali sebuah kuburan!

Sontak Fadli melangkah ke belakang.


Sosok yang dilihatnya mengayunkan sekop demi menghancurkan sirap kayu di atasnya. Kepalanya
melongok mengawasi Fadli. Wajahnya tampak masam. Kemudian tiba-tiba senyum mengerikan
tampak di wajahnya. Wajah Fadli dalam sosok yang lebih bengis. Kehadiran Fadli seperti telah
diketahuinya sedari tadi. Seakan tugasnya menggali kuburan di bawah rumah panggung itu memang
ditujukan untuk polisi hutan itu!

Fadli mundur lagi. Kali ini ia menyiapkan senapan serbu yang tersandang di bahunya. Ia bersiap
menarik pelatuk jika nyawanya terancam. Sembari menghindari lontaran pecahan sirap kayu yang
lapuk. Serbuk kayu mengganggu penglihatannya. Beberapa kali ia mengerjap-ngerjapkan mata.

Tiba-tiba sepotong tangan menangkap kaki Fadli. Ia tak percaya sepotong tangan menembus sirap
kayu dan menangkap kakinya. Di arah lain sepotong kepala manusia menyembul dari lantai kayu!

Fadli hendak menarik pelatuk senapan serbunya, namun ia mengurungkannya. Jika ia menembaki
lantai sirap kayu itu maka lantai di sekitarnya akan ambruk! Ia tak tau apa yang bersembunyi di
kolong rumah panggung itu. Yang pasti ia tak ingin jatuh terperosok ke bawah rumah mengerikan
itu! Ia kembali menyandangkan senapan serbunya lalu meraih belatinya. Tangan yang lain tetap
memegang senter. Ia menusuk sepotong tangan yang menangkap kakinya. Terdengar suara jeritan
kesakitan yang mengerikan, namun polisi hutan itu tak peduli. Ia tak mau tertangkap penunggu
rumah berhantu itu. Jemari yang menangkap kakinya masih bergeming. Karena itu ia berjongkok lalu
kembali menyayat tangan yang mencengkeram kakinya. Cipratan darah hitam mengotori celana dan
lantai sirap kayu itu. Sepotong tangan itu terlepas dari kakinya.

Namun satu per satu tangan lain menjebol lantai sirap kayu itu. Ada sekitar belasan tangan yang
menggapai-gapai dari bawah lantai kayu. Berusaha menangkap tubuh polisi hutan itu. Kemudian
terdengar bunyi tembakan dari ambang pintu. Peluru dari revolver menghancurkan sepotong tangan
yang menjebol lantai kayu.

“Hei, kau tak apa-apa?!!” seru Arfan. Ia datang setelah mendengar bunyi ribut di rumah panggung
itu. Ia datang bersama Ardi yang memegang senter.

“Ya! Aku masih bernapas!” jawab Arfan. Napasnya terdengar memburu. “Jangan masuk ke mari.
Cepat pergi!”

Fadli tak menyangka sosok mirip dirinya naik ke lantai rumah.


“Kalian harus mati!!” seru sosok penggali kuburan itu dengan suara berat.

“Kita telah mendapatkannya. Jangan sampai lolos!” seru suara serak lain. Sosok lain yang tampak
hitam legam keluar dari bawah kolong rumah. Melewati lubang yang telah dijebol di lantai kayu.
Lantai kayu itu nyaris ambruk. Satu per satu sosok hitam keluar dari dalam lubang di lantai yang
dijebol.

Sosok mirip Fadli mengayunkan sekopnya di udara. Hendak menghantam polisi hutan itu dengan
sekop. Namun polisi hutan itu dengan gesit menghindari menjauh.

Fadli memasukkan belatinya dan menyiapkan senapan serbunya. Ia melepas tembakan beruntun
ke arah sosok jadi-jadian itu. Puluhan peluru menghancurkan tubuh sosok hitam menjadi serpihan
arang. Namun sosok yang luput dari tembakan masih berusaha menangkapnya.

“Keluar! Cepat lari!” seru Fadli berbalik arah dan berlari ke luar ambang pintu rumah.

Sosok hitam menangkap lengan Fadli. Dengan sigap polisi hutan itu melayangkan tendangannya.
Tubuh sosok hitam itu terjatuh ke lantai yang rapuh dan ambruk ke kolong rumah.

Fadli berlari keluar. Di luar halaman rumah sudah menunggu Arfan dan Ardi yang masih waspada.
Mereka tak meninggalkan polisi hutan itu sendirian.

“Pancing mereka ke tempat terbuka!” seru Fadli. “Hati-hati rumah itu akan ambruk!”

Bunyi rentetan tembakan terdengar. Disusul bunyi pistol revolver. Satu per satu sosok hitam yang
mengejar Fadli ke luar halaman berhasil dilumpuhkan. Tubuh mereka menjadi arang dan
berhamburan ke tanah. Sosok hitam lain memilih untuk mundur ke kegelapan malam.

Dari kejauhan terdengar gonggongan anjing tanda bahaya lain segera mendekat.
Fadli tau, malam itu akan menjadi malam yang panjang.

Bab 29 Penjaga Gaib

BELUM reda rasa kaget Fadli dan kawan-kawan. Bahaya lain dengan segera datang. Puluhan sosok
anjing hitam menyerbu ke tempat mereka.

Gonggongan anjing penjaga kampung dayak makin terdengar mendekat. Siluman anjing roh
berwarna hitam yang lebih gelap daripada malam itu menyerbu. Siluman anjing sebagai penjaga gaib
di kampung dayak dikenal sebagai Bahutai.

“Hemat peluru. Pakai senjata apa saja!” seru Fadli. Ia mencabut tongkat listriknya lalu memberikan
kepada Arfan. Polisi hutan itu bersiap dengan belatinya.

“Ardi… kau berlindung di belakangku. Pakai pistolku hanya jika keadaan darurat. Ingat. Hanya jika
darurat! Jangan ikut melawan mereka.” Arfan mewanti-wanti anak itu.

Puluhan anjing hitam nampak mengepung di sekitar mereka. Mata mereka merah menyala. Kulit
hitam mereka seakan mengeluarkan asap hitam.

Polisi hutan itu tak menyangka akan melawan puluhan anjing hitam. Jika sangat terpaksa ia akan
menggunakan senapan serbunya. “Kita harus menggiring mereka ke api unggun….”

Namun tak ada celah untuk melarikan diri. Anjing-anjing hitam itu seakan dikerahkan untuk
mengepung Arfan dan kawan-kawan. Satu orang harus melawan lima penyerang, tidak berimbang.

Fadli mencabut belati yang lain. Ia menggunakan dua belati di kedua tangannya. Begitu pula Arfan
menggunakan tongkat listrik dan belati untuk menghalau anjing hitam itu. Arfan dan Fadli saling
memunggungi, melindungi Ardi yang berada di tengah-tengah.

Hanya Ardi yang memakai senter untuk memberi penerangan, sedangkan tangannya yang lain
bersiap dengan revolver. Walau anak itu tak yakin dapat melepas tembakan.
Ketika puluhan anjing hitam mulai menyerang mereka. Fadli mengeluarkan jurus silat yang telah
dilatihnya untuk melumpuhkan musuh di dalam hutan. Dengan gesit kedua belati di tangan polisi
hutan itu menyayat kepala anjing hitam. Belati di kedua tangan tampak berpendar mengilat tertimpa
cahaya senter. Satu per satu perut anjing hitam dirobek belati. Cipratan darah hitam mereka
berhamburan di udara. Namun meski isi perut mereka berhamburan keluar, anjing-anjing hitam itu
masih dapat berdiri!

Arfan mengayunkan tongkat listriknya. Bunyi tongkat listrik yang menyengat tubuh anjing hitam
itu terdengar. Aroma daging terbakar memenuhi udara. Bunyi berdebuk terdengar ketika anjing
yang menerkamnya terkena tongkat listrik dengan telak. Bunyi tulang patah terdengar ketika Arfan
mengayunkan dengan sekuat tenaga pukulan tongkat listriknya. Kemudian ia menusukkan belatinya
ke anjing yang telah terjatuh. Namun walau telah berkali-kali belatinya ke anjing

hitam yang terkapar itu, usahanya sia-sia. Anjing hitam itu seolah tak merasakan sakit!

“Bergerak! Ke arah api unggun!” seru Fadli. Ia berhasil menghalau kepungan anjing hitam.
Membuka celah di antara barisan kepungan anjing hitam itu.

“Biarkan Ardi yang bergerak lebih dulu!” seru Arfan. “Kita lindungi.”

Arfan nyaris terkena gigitan taring anjing hitam. Untungnya hanya jaketnya yang koyak. Ia
mengayunkan tendangannya demi menghantam anjing hitam yang menggigit jaketnya.

Gonggongan anjing hitam makin nyaring. Nampaknya mereka makin murka karena belum berhasil
melumpuhkan Fadli dan Arfan. Kerja sama antara Fadli dan Arfan yang saling melindungi perkelahian
sengit itu cukup baik. Mereka saling melindungi satu dengan lain dengan cara memunggungi satu
dengan yang lain.

“Hei! Lihat!” seru Ardi menunjuk ke arah api unggun. Salah satu sosok hitam berada di sana. Ia
berusaha memadamkan api unggun dengan menguburnya dengan tanah.

“Tembak!” seru Arfan.


Rasa panik membuat Ardi tak juga menarik pistolnya. Apalagi sosok hitam itu melemparkan tanah
ke arahnya. Guyuran tanah mengenai wajah anak itu. Ia tak sengaja menghirup debu yang masuk ke
hidungnya. Butiran debu masuk ke dalam mulutnya. Membuatnya sesak napas.

Ardi terbatuk-batuk. Dadanya terasa sesak. Pistol di tangannya nyaris terjatuh ketika ia
menyingkirkan debu di wajahnya. Untung Arfan segera mengambil alih pistol di tangan anak itu. Ia
segera menarik pelatuk dan menembak sosok hitam yang hendak meraih batu sebagai senjata.

Bunyi tembakan terdengar membahana. Sosok hitam itu hancur menjadi arang hitam.

Ardi masih tersiksa dengan debu yang masuk ke tenggorokannya. Ia terbatuk-batul. Ia hanya dapat
terduduk sembari mengatur napasnya yang tercekat. Setiap tarikan napas membuat tenggorokannya
panas.

“Lindungi anak itu!” seru Fadli kepada Arfan. Ia mengambil sepotong kayu dari api unggun.
Kobaran api di ujung kayu itu menghalau anjing hitam yang masih mengepung mereka. Namun itu
tidak lama.

Seekor anjing hitam yang melompat jatuh di atas api unggun. Tubuhnya terbakar namun ia masih
belum mati!

“Mereka tak mempan kepada api!” seru Fadli menyadari bahwa mereka dalam kesulitan besar.
Karena itu ia terpaksa menggunakan senapan serbunya. Satu per satu anjing hitam terjatuh setelah
kaki mereka hancur terkena peluru!

Arfan hendak ikut menembak kaki anjing hitam dengan pistolnya, namun tembakannya meleset.
Karena itu ia menembak lagi dan lagi. Ia tak menyadari persediaan peluru di ranselnya menipis.

“Hei, hemat pelurumu! Biar aku saja!” seru Fadli. Satu per satu anjing hitam lumpuh terkena
puluhan peluru dari senapan serbu. Meski begitu butuh puluhan peluru agar kaki anjing-anjing hitam
itu bisa hancur.
Serangan kedua pun dapat dihentikan. “Kita harus mencari tempat lain,” ujar Arfan sembari
merogoh sapu tangan dari sakunya dan menyeka wajah Ardi yang dikotori tanah. Anak itu masih
terbatuk-batuk.

Ardi berusaha membuka matanya. Butiran debu yang masuk ke kelopak matanya membuat
penglihatannya buram.

“Jangan…terlalu berbahaya bergerak di malam hari begini. Malam ini saja kita tetap menginap di
sini. Bangkai anjing hitam itu sebagai pertanda bahwa kita bisa melawan mereka.” Fadli mencari
tempat duduk di tangga kayu. Ia berusaha mengatur napasnya.

Arfan menuangkan air mineral ke sapu tangannya lalu membersihkan wajah Ardi. Kini penglihatan
anak itu mulai membaik. Walau sesekali ia terbatuk-batuk.

Lewat tengah malam itu. Arfan dan Fadli giliran berjaga. Ardi tak dapat tidur akhirnya jatuh
tertidur juga karena kelelahan. Arfan yang mendapat giliran jaga setiap lima jam mendengar anak itu
meracau dalam tidurnya.

Ardi bermimpi dalam tidur. Mimpi buruk. Di atas langit anak itu dapat melihat bayangan yang
berputar-putar saling menyerang. Bertabrakan menghempas udara.

Cepat pergi dari tempat ini…

Cepat pergi…

Aku akan menghalangi mereka!

Suara-suara samar terdengar dari mulut anak itu. Arfan hanya dapat melihat sedih ke arah anak
itu. Tidak seharusnya Ardi ikut dalam misi berbahaya itu.

Dalam mimpinya. Ardi nampak berlari menghindari bayangan hitam yang mengejarnya. Sampai
tenaganya nyaris terkuras habis. Ia memilih jalur memutar untuk kembali ke dalam hutan bayangan.
Meski harus kembali melewati bahaya, ia tak memiliki pilihan lain. Namun justru di dalam hutan
bayangan itu bayangan hitam itu berhenti mengejarnya. Mimpi memang aneh. Setelah berada di
dalam hutan bayangan, Ardi merasa lelah. Ia tertidur di antara akar-akar pohon besar.
Akhirnya, mimpi buruk itu berakhir dan anak itu dapat tertidur dengan pulas.

***

Ketika bangun, Ardi tak melihat cahaya matahari. Mendung menutupi langit yang agak muram
siang itu. Aroma roti yang direbus menyita perhatiannya. Ia melihat Arfan masih tertidur pulas di
sampingnya.

Polisi hutan itu nampak masih mengantuk. Ia nampak merebus roti dan kopi di atas panci kecil.
Sesekali mulutnya menguap karena digelayuti kantuk.

“Hei, kemari. Kau sudah bangun.” Polisi hutan itu memberi tanda kepada Ardi. “Semalam kami
berjaga bergantian. Arfan yang terjaga sampai subuh.”

Perut Ardi yang sejak semalam kosong berbunyi.

“Hah, sarapan dulu. Biar gak kelaparan sepanjang perjalanan nanti. Mumpung hari cukup terang
untuk mencari tempat yang lebih aman.” Fadli menuang bubur roti panas ke gelas alumunium.
Kemudian mengangsurkan kopinya.

Wajah Ardi nampak lega. Mereka masih memiliki makanan. Dan yang terpenting kopi. Ia masih
memiliki biskuit dan gula di ranselnya.

“Syukurlah kita masih memiliki makanan.” Ardi meraih gelas alumunium.

“Aku ingin tau sebenarnya tujuan kalian kemari itu. Apa benar berhubungan dengan gerhana yang
akan datang?” tanya Fadli. Ia sengaja bertanya kepada Ardi karena Arfan masih nampak tidur
nyenyak di dalam kantung tidurnya. Udara yang dingin telah membuainya dalam tidur yang lelap.
Siang itu udara masih dingin seperti pagi tadi. Mendung yang menutupi langit siang membuat
udara terasa dingin. Gerimis tipis mulai terbentuk bersama kabut yang masih enggan pergi dari desa
itu.

“Aku sudah berjanji tidak menceritakannya kepada siapapun.” Wajah Ardi nampak polos.

“Kau berjanji? Kepada Arfan?” Fadli makin penasaran.

“Ya… dan lelaki sejati harus menepati janjinya. Seperti janji Mas Arfan kepada istrinya.”

“Akhirnya aku akan menemukan jawabannya sendiri. Karena kalian masih tetap dalam
pengawasanku selama aku masih hidup.” Fadli menampakkan senyumnya. “Kau memang bukan
anak-anak lagi Ardi, tapi sudah jadi laki-laki sejati.”

Tiba-tiba terdengar suara Arfan, “Hei, jam berapa sekarang?”

“Jarum arlojiku berhenti bergerak. Anehnya jam digital di ponsel juga.” Fadli mengambil gelas
alumunium dari hadapan Ardi. Isinya sudah tandas. Ia mengisinya lagi lalu menyodorkannya ke arah
Arfan. “Hei, sarapan dulu.”

“Jamku juga bernasib sama….” Arfan keluar dari kantong tidurnya lalu menggulungnya lagi.

“Karena kita berada di desa kabut ini.” Ardi ikut menimpali.

“Ya, kita berada di antah berantah.” Arfan mengambil gelas alumuniumnya yang telah terisi lalu
meniupnya. Ia minum sedikit-sedikit sampai isinya habis.

“Ayo, lekas berbenah. Kita akan pindah sebelum bangkai hewan itu membusuk.” Fadli mengemasi
kompor kecil itu.
Mereka pun bersiap untuk melakukan perjalanan lagi. Walau tanpa tujuan dan arah yang pasti.
Ketika mereka keluar dari rumah panggung itu, bangkai-bangkai anjing hitam sudah lenyap.

“Ke mana bangkai-bangkai itu?” tanya Ardi penasaran.

“Aku tak berharap mereka hidup lagi. Aku yakin seseorang atau sesuatu telah memindahkan
mereka. Ada makhluk lain yang hidup di siang hari.” Arfan mendapati jejak-jejak seperti kaki dan
sesuatu yang diseret.

“Ya, aku harap makhluk siang ini bisa lebih bersahabat. Entah hewan, manusia atau… siluman.”
Fadli berkata sembari menyalakan radio dua arahnya lagi. Namun tak ada suara apapun selain bunyi
berkerisik.

Arfan ikut-ikutan menyalakan radio di ponselnya. Sama. Hanya suara berkerisik yang terdengar.
Namun ia tak menyerah dan terus menyalakan radio ponselnya sembari melangkah keluar dari
halaman rumah panggung itu.

Mereka mengikuti jalan setapak di desa yang berkabut itu. Tak ada suara apapun selain desau
angin. Bunyi sepatu di atas kerikil dan rerumputan terdengar sepanjang langkah mereka.

“Kita menuju ke mana?” tanya Ardi.

“Kompas tak berfungsi. Matahari tertutup mendung. Tapi yang penting kita menemukan sesuatu
di desa ini. Syukur lagi kalau makanan atau buah-buahan.” Arfan menepuk pundak Ardi sebagai
tanda agar anak itu bisa lebih tabah.

“Ya, setidaknya kita masih bisa menyelidiki desa ini.”

Apa yang sebenarnya terjadi dengan desa ini sehingga dinamakan desa kabut?

Anda mungkin juga menyukai